Share

Part 3

"Mama itu sama sekali enggak faham bagaimana cara kamu mengatur uang, Kiara. Padahal semua uang yang dititipkan Raksa sudah Mama kasih semuanya sama kamu."

Aku yang sudah berdiri di depan pintu terkaget mendengar suara Mama dengan nada yang lumayan tinggi pada Kiara.

Padahal sebelumnya belum pernah.

Tapi syukurlah, ternyata Mamaku bukan mertua yang jahat seperti di novel-novel ataupun serial drama yang sedang ramai.

"Maafkan Kiara, Ma. Kiara tidak bisa menjadi istri yang baik."

Kiara duduk bersimpuh di kaki Mama, dia mungkin tidak enak hati atas sikapnya belakangan ini. Apalagi tadi Mbak Eri juga menanyakan perihal hutang padaku.

Sejak kapan Kiara berubah seperti ini?

"Lalu kamu kemanakah uang-uang yang Mama kasihkan?"

"Padahal Mama malah suka memberikan uang lebih padamu, Kiara. Karena Mama tahu kalau susu Della sangat mahal."

Kini Mama mulai mengontrol emosinya lagi.

"Maafkan aku, Ma," lirihnya lagi.

Mama membuang napas kasar. Sepertinya kali ini sudah tidak bisa berbuat apapun. Apa yang bisa aku lakukan agar Kiara mau bicara?

"Mama sudah lelah mendengar permintaan maafmu, Kiara. Bukan ini yang Mama inginkan, tapi jawaban atas uang-uang yang selama ini Mama dan Raksa kasih?"

Kini napas Mama kembali naik turun.

"Ayolah Kiara, katakan saja yang sebenarnya. Aku dan Mama tidak akan marah jika kau mau berterus terang," ucapku melangkah masuk mendekat ke arah mereka.

Tubuh Kiara malah terlihat gemetar, dia sepertinya tidak menyangka kalau aku sudah pulang.

"Ada apa? Katakan saja."

Bukannya menjawab, Kiara malah terduduk lemas dan kembali menangis.

Benar kata Sultan. Aku harus mencari tahu penyebab dibalik perubahan sikap Kiara dari keluargaku dan juga keluarganya. Karena setelah menikah, Kiara memang tinggal bersama Mama dan adik perempuanku. Tapi aku tahu dari dulu mereka sangat menyayangi Kiara.

Entah bagaimana dari keluarga Kiara sendiri. Karena aku belum begitu lama mengenal semuanya. Bahkan setahuku, kakak kandungnya pun pernah menaruh hati pada Kiara.

***

"Sebaiknya kita tengok Ibu dan Bapakmu di kampung, ya?" ajakku pada Kiara. Dia langsung mengentikan aktivitas melipat bajunya.

Tubuh yang baru saja terlihat tenang, kini mulai kembali gemetar.

Ketika menangkap perbedaan reaksi dari tubuhnya, aku yakin dibalik sikap Kiara ada ikut campur keluarganya.

Dugaan Sultan benar.

"Bu-buat apa, Mas?" tanyanya terbata.

"Tidak apa. Tapi bukankah sebagai anak dan menantu yang baik kita harus melihat keadaan mereka?"

"Itu tidak perlu, Mas. Mereka bisa hidup dengan tenang tanpa kehadiranku."

"Apa maksudnya?" Aku semakin yakin ketika mendengar perkataan Kiara barusan.

Hidup dengan tenang tanpa kehadiran Kiara? Bukankah seharusnya sebagai orangtua tetap mengontrol anak-anaknya meskipun sudah menikah? Sepertinya aku harus diam-diam pergi ke rumah Ibu dan Bapak di kampung.

.

Brakkk

Tanpa sengaja, aku hampir menabrak seorang wanita yang hendak menyebrang ketika akan berangkat ke kantor.

Bergegas aku segera turun.

"Maaf, apa Mbak tidak apa-apa?"

Dia hanya mengangguk.

"Apa ada yang sakit?"

Lagi-lagi dia tidak bicara. Hanya menggelengkan kepalanya saja. Kuperkirakan usianya lebih beberapa tahun dariku. Tapi wajahnya terlihat awet muda fan sangat cantik.

Astagfirullah.

Ingat Raksa kamu punya istri yang lebih cantik.

”Ya, sudah. Kalau begitu simpan uang ini baik-baik."

Aku mengeluarkan beberapa lembar uang padanya. Lama dia mengulurkan tangannya untuk mengambil. Namun, aku segera meraihnya.

"Maaf, saya harus segera berangkat kerja."

Tanpa menunggunya bicara, aku kembali melajukan mobil ke kantor. Sesampainya di parkiran, mataku hanya fokus mencari mobil Sultan.

"Ada apa?"

Seseorang menepuk pundakku dan ternyata itu Sultan.

"Maaf Pak, aku mencarimu untuk membicarakan masalah menyangkut perubahan istriku."

"Tidak usah panggil Pak. Kita masih belum memasuki waktu kerja," ucapnya sedikit keberatan.

"Baiklah."

"Jadi apa yang sudah kau temukan?"

"Aku curiga kalau yang ada dibalik semua ini adalah keluarganya," jawabku geram. Tanpa sadar tangan ini mengepal kuat.

"Kau yakin kalau orangtua dan adik-adikmu menyayangi ibu dari anakmu?"

"Aku sangat yakin, apalagi Mama juga sering memberikannya tambahan uang untuk membeli susu."

"Apa kau sudah melihat kebenarannya?"

"Sudah cukup yakin!" jawabku mantap.

"Baiklah. Aku akan mengatur pertemuan istrimu dan Sinta, istriku. Dia adalah wanita yang pintar mengambil hati orang lain. Terutama wanita," ucapnya terkekeh.

Aku belum pernah melihat Sultan tersenyum, tapi tiap kali dia menceritakan istrinya, dia bahkan mulai tertawa. Aku jadi penasaran bagaimana rupa dari istrinya.

***

Hari ini aku pulang kerja lebih awal. Sengaja untuk bisa bersama Kiara lebih lama. Karena aku tahu, Mama juga seorang wanita karir. Tidak selamanya bisa menemani Kiara dan Della.

Ketika pulang, Mama dan adikku tidak ada di rumah. Hanya Della yang sedang meminum susu dari botol.

Terdengar gemericik air dari kamar mandi, mungkin Kiara sedang mandi.

Kurebahkan tubuh yang letih ini di samping putriku. Baru saja akan terlelap, getar ponsel yang kencang terasa sangat menganggu.

Ternyata berasal dari ponsel Kiara.

Segera kusentuh layarnya, terkunci.

Kumasukkan hari pernikahan kita, tapi gagal.

Kelahiran Della, juga gagal. Tapi entah dari mana ide ini muncul, aku masukan kembali tanggal dan bulan kelahiran Della dengan terbalik dan berhasil.

Mataku melotot membaca pesan yang entah dari siapa.

[Aku minta uang sepuluh juta. Kalau tidak, maka bersiaplah untuk kemurkaanku!]

Suara gemericik air mulai terhenti, aku pun menyudahi melihat ponselnya. Tidak lupa untuk menyimpan nomor orang yang tidak tahu malu ini.

Siapa dia? Beraninya meminta uang pada istrimu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status