Share

Part 2

"Dari siapa ini?"

Kutatap wajahnya dengan penuh rasa benci.

"Katakan!"

Kiara masih tetap diam. Dengan keras, aku mencengkram kedua bahunya. "Cepat katakan?"

"Warung depan, Mas," jawabnya lirih.

"Kenapa kau bisa punya hutang sebanyak ini? Bukankah aku seringkali memberikanmu uang yang banyak?"

Aku benar-benar hilang kendali, bagaimana bisa Kiara punya hutang sebanyak ini ke warung depan. Bikin malu.

"Aku hanya pesan perlengkapan Della, Mas," lirihnya tidak masuk akal.

"Apa katamu? Perlengkapan Della?"

"Iya, Mas."

"Kau pikir aku akan percaya setelah beberapa hari aku kasih uang sebanyak sepuluh juta?"

Suaraku menggema di ruangan ini.

Emosiku memuncak.

"Kau tahu aku kerja keras bahkan tidak kenal lelah untuk memberikan uang yang banyak padamu, hah? Apa kau tahu?”

"Tapi apa yang kudapatkan?"

Kiara hanya terdiam sambil terisak. Air mata yang jatuh buliran, kini sudah tumpah. Tapi aku tidak peduli.

"Maafkan aku, Mas," lirihnya.

Hanya itu kata-kata maaf yang bisa aku dengar, tidak ada kata lain yang keluar dari bibirnya.

Aku mencoba untuk menarik nafas dalam-dalam menguasai diri. Percuma rasanya. Semarah apa-apa pun aku, itu tidak akan ada pengaruhnya bagi Kiara. Menurutnya mungkin kepercayaanku tidak penting.

"Ini, bayar semua hutang yang kau punya!"

Kukeluarkan beberapa gepok uang, sekitar lima juta rupiah.

"Apa kau ikhlas, Mas?" tanyanya menatapku ragu.

"Apa kau peduli aku ikhlas atau tidak?"

Dia kembali menunduk.

"Maafkan aku, Mas," lirihnya lagi.

Lagi-lagi kata itu yang aku dengar. Membosankan.

"Sudahlah. Sana pergi dan lunasi hutang-hutangmu."

Kiara mengambil uang yang kutarun kasar ke atas tempat tidur. Baru berjalan beberapa langkah, dia kembali berbalik dan menatap Della.

"Biar aku yang menjaga Della, kau pergi saja."

Mungkin dia khawatir mengenai Della. Nampak seulas senyum di bibirnya setelah mendengar perkataanku.

Bergegas dia pergi keluar.

Aku juga memutuskan untuk mandi. Setelahnya membawa Della keluar kamar untuk membuatkannya sebotol susu formula.

.

Emosiku kembali naik ketika melihat dus susu yang biasa ditaruh di rak sebelah kanan kosong. Sama sekali tidak ada.

Padahal aku masih ingat betul membelinya beberapa puluh dus, bahkan aku sampai dapat hadiah koper.

"Mama."

Aku berjalan ke arah kamar Mama dan mengetuk pintunya.

"Ada apa?"

"Apa Mama tahu dimana Kiara menyimpan susu?"

"Ditempat yang biasa, kok," jawabnya males. Tapi ada raut takut yang aku tangkap.

"Mana mungkin, Ma. Baru saja aku lihat tak itu kosong."

"Masa sih?"

"Iya, Ma."

"Nah, itu tuh yang paling Mama tidak suka dari Kiara. Dia itu suka bersikap seenaknya."

"Mas, ini susunya," Kiara datang terpogoh-pogoh dengan dua dus susu diperlukannya.

Tanpa bicara, aku langsung mengambilnya. Takut aku akan kembali terbawa emosi.

***

"Raksa, bisa kamu ke ruangan saya?" Pak Sultan mendekat ke arah meja kerjaku.

"Ada apa, Kak? Apa aku boleh tahu apa yang akan kalian katakan?" Reyhan tersenyum ke arah Pak Sultan yang menatapnya datar.

"Jangan pernah ikut campur urusan kakakku!" teriak seseorang dari lorong.

Meskipun aku belum mengenalnya, tapi yang kutahu dia juga adalah adiknya pak Sultan yang berprofesi sebagai dokter.

"Jangan ikut campur!"

Reyhan memasang wajah tidak suka pada dokter itu.

"Kata-kata itu harusnya ditujukan padamu. Dasar manusia tidak tahu diri!" ucap Reyhan terbawa emosi.

Biasanya sikap Rey ini sangat diam dan sering becanda. Tapi ketika berhadapan dengan adiknya Pak Sultan yang satu ini, dia selalu saja emosi.

"Sudahlah, jangan bertengkar. Bukankah kalian adik kakak?" Aku mencoba untuk menengahi ketika Pak Sultan hanya diam.

"Dia tidak pantas menjadi saudaraku," Dokter itu terlihat sangat kesal.

"Apa kau pikir kau pantas?" tantang Rey.

"Cukup! Rey kau harus tahu posisimu!" bentak Pak Sultan.

Aku cukup dibuat kaget dengan suara Pak Sultan sama Rey. Bukankah dia adik yang biasanya selalu disayangi? Sebenarnya siapa yang adiknya Pak Sultan?

"Kamu pergilah dulu, nanti kakak menyusul," bisik Pak Sultan pada dokter yang hanya mengangguk itu.

Sementara aku mulai masuk ke dalam ruangan Pak Sultan.

"Ada apa, Pak?"

"Apa kau sudah berbaikan dengan istrimu?"

Pertanyannya membuatku terdiam. Sejak kapan ia suka mencampuri urusan orang lain?

"Sejauh ini sudah, Pak," jawabku berbohong.

"Syukurlah. Ingat, jangan sia-siakan dia yang mau berjuang bersamamu. Karena kau tidak tahu sebanyak apa laki-laki diluaran sana yang menginginkan kau secepatnya bisa melepaskan istrimu," ucapnya lagi.

Tapi aku sama sekali tidak mengerti dan hanya mengangguk.

Dering chat aplikasi hijau terdengar keras.

"Lihatlah! Siapa tahu ada hal penting."

Kuambil ponsel yang ada di saku celana. Ada sebuah pesan dari Mbak Eri, kakak pertamaku yang membuatku geram.

[Segera lunasi hutang istrimu, kalau tidak Mbak akan mengadukannya kepada Mas Hermawan.]

Hutang? Sejak kapan Kiara suka berhutang? Sepertinya Kiara sudah berani bermain rahasia di belakangku!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status