Rin terbangun dengan cepat, merasa seolah-olah dunia berputar di sekelilingnya. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya masih lemah akibat kejadian yang terjadi sebelumnya. Dalam kebingungannya, ia mencoba untuk mengingat apa yang terjadi, namun semuanya terasa seperti bayangan yang kabur.
Kamar yang gelap dan sunyi itu hanya diterangi oleh cahaya redup dari sebuah lampu kecil di sudut ruangan. Suasana yang menenangkan bagi sebagian orang, tetapi bagi Rin, itu adalah sesuatu yang asing dan menakutkan. Ia duduk perlahan, berusaha mengingat kejadian yang membawa dirinya ke tempat ini. Sebentar, Rin berusaha untuk bangkit dari tempat tidurnya, namun tubuhnya terasa kaku dan lelah. Ia berusaha untuk menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam. “Apa yang terjadi padaku?” bisiknya pada dirinya sendiri. Pintu yang terkunci tiba-tiba terbuka, dan Luca muncul dengan langkah tegap. Wajahnya yang tampan dan penuh ketenangan seakan tidak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya. Namun, ada aura misterius yang mengelilinginya, aura yang membuat Rin merasa tidak nyaman, meskipun ia tidak tahu mengapa. “Selamat pagi, Rin,” ucap Luca dengan nada yang sangat tenang, hampir terdengar seperti perintah. Rin menatapnya dengan penuh pertanyaan, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. “Siapa kamu? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa saya ada di sini?” tanyanya, suaranya lebih terdengar lemah daripada yang ia inginkan. Luca tersenyum tipis, tetapi tidak ada rasa empati dalam senyumnya. “Saya sudah memberitahumu tadi malam, Rin. Nama saya Luca. Anda berada di tempat yang aman. Sementara itu, lebih baik jika kamu beristirahat. Kamu baru saja terjaga setelah perjalanan yang panjang,” jawab Luca, suaranya tetap tenang dan penuh kontrol. “Apa maksudmu dengan ‘perjalanan yang panjang’? Saya—saya tidak tahu apa-apa!” Rin berkata dengan suara yang semakin cemas. Dia merasa seperti berada dalam mimpi buruk yang tidak bisa ia bangun. Luca tidak menjawab langsung. Dia hanya berdiri di sana, mengamati Rin dengan tatapan yang sulit dimengerti. Beberapa detik berlalu sebelum dia akhirnya membuka mulut. “Kamu akan tahu lebih banyak saat waktunya tiba. Sementara itu, kamu harus menjaga dirimu sendiri. Jangan coba-coba melarikan diri,” katanya, suaranya serius dan tajam. Rin merasa darahnya dingin. Melarikan diri? Apakah itu berarti dia terjebak di sini? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? “Apa yang kamu inginkan dariku?” tanya Rin, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya berdebar-debar. Luca mengangkat bahunya, seakan tidak ada yang lebih biasa. “Sementara kamu berada di sini, kamu akan belajar banyak hal. Ada alasan mengapa kamu dibawa ke sini. Semuanya sudah direncanakan,” jawab Luca, dengan nada yang begitu tenang. Rin merasa bingung. Apa yang dimaksud Luca dengan ‘semuanya sudah direncanakan’? Apakah ini berarti dia terjebak dalam permainan yang lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan? “Apakah... apakah saya akan dibebaskan?” tanya Rin dengan suara yang lebih lembut, hampir seperti berbisik. Luca hanya tersenyum, tetapi tidak ada keceriaan dalam senyumnya. “Tidak, Rin. Kamu tidak akan dibebaskan begitu saja. Namun, jika kamu mengikuti aturan, mungkin saja kamu bisa mendapatkan kebebasanmu suatu hari nanti.” Rin merasa hatinya berat. Apa yang harus dia lakukan? Semua ini terasa begitu tidak nyata. Di dunia luar sana, ia hanya seorang gadis biasa dengan kehidupan yang sederhana. Namun sekarang, dia terperangkap dalam sebuah dunia yang sangat asing dan penuh dengan misteri. Luca kemudian berbalik dan berjalan ke pintu. Sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan menatap Rin. “Ada satu hal yang perlu kamu ingat, Rin. Tidak ada yang benar-benar bebas di dunia ini. Kita semua terikat oleh pilihan kita.” Dengan itu, Luca meninggalkan Rin sendirian di dalam ruangan yang sepi dan gelap. Rin hanya bisa duduk di tempat tidurnya, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan Luca. Pilihan? Apa maksudnya dengan itu? Dan mengapa ia harus terjebak di sini, jauh dari segala yang ia kenal? Pikiran Rin terus berputar. Sejak pertama kali bertemu dengan Luca, ada sesuatu yang terasa berbeda. Sosok Luca yang misterius itu menarik perhatian Rin, meskipun ia tahu betapa berbahayanya pria itu. Ia merasa ada rahasia yang lebih besar di balik semua ini—rahasia yang mungkin hanya bisa terungkap jika ia memilih untuk tetap bertahan. Namun, Rin juga tidak bisa melupakan Aidan, sahabat lamanya yang selalu ada untuknya. Aidan pasti sedang mencarinya sekarang, berusaha untuk menemukan jejaknya. Rin merasa cemas, khawatir jika Aidan tidak bisa menemukannya tepat waktu. Tapi di sisi lain, Rin merasa seperti ada sebuah kekuatan tak terlihat yang menarik dirinya ke dunia ini—sebuah dunia yang penuh dengan ancaman dan misteri. Di saat-saat seperti ini, Rin tidak tahu harus kemana. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah bertahan, berusaha untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana ia bisa keluar dari situasi ini dengan selamat. Namun, Rin tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Apa yang menantinya di depan masih sangat gelap dan penuh ketidakpastian. Meskipun begitu, ia tahu satu hal: hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah pertemuan dengan Luca.Rin berdiri di depan rumah Aidan. Tangannya gemetar, jantungnya berdegup kencang. Selama ini, dia selalu menghindari perasaannya sendiri. Tapi sekarang, dia tidak bisa lagi bersembunyi. Dia harus mengatakannya. Dia mengetuk pintu perlahan. Tidak lama kemudian, Aidan muncul di ambang pintu. Mata coklatnya yang teduh menatap Rin dengan penuh keterkejutan. "Rin?" suaranya serak, seolah tidak percaya Rin ada di sini. "Hai, Aidan..." Rin tersenyum kecil, tetapi hatinya berdebar tak karuan. Aidan terdiam sejenak sebelum akhirnya melangkah ke samping, memberi isyarat agar Rin masuk. Rin melangkah masuk ke dalam rumah yang begitu familiar. Tempat di mana dia menghabiskan begitu banyak waktu bersamanya dulu. Semua kenangan itu kembali menyeruak dalam pikirannya—tawa mereka, perbincangan panjang, perlindungan yang selalu Aidan berikan. Aidan berjalan ke dapur dan kembali dengan segelas air. "Kau kelihatan lelah," ujarnya sambil menyodorkan gelas itu. Rin mengambilnya, tetapi tidak
Rin duduk termenung di tepi jendela, memandangi hujan yang turun perlahan. Di luar, jalanan basah diterangi lampu jalan yang temaram, menciptakan suasana yang sepi dan sendu—persis seperti hatinya saat ini.Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Luca semalam. "Aku akan tetap di sini, menunggumu."Kenapa kata-kata itu begitu mengguncang perasaannya? Kenapa bayangan Aidan juga terus menghantuinya?Rin menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya yang kacau. Tetapi sekeras apa pun dia mencoba, ada sesuatu yang terasa janggal. Sesuatu yang membuatnya gelisah.Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk. Rin tersentak dari lamunannya.“Rin, boleh aku masuk?” Suara Luca terdengar dari balik pintu.Rin menelan ludah. Setelah pernyataan cinta Luca semalam, ia merasa canggung untuk menatapnya lagi. Namun, menolak Luca juga terasa salah.“Masuklah,” jawabnya, mencoba terdengar biasa.Luca melangkah masuk dengan senyum lembut, tetapi matanya menyiratkan kekhawatiran. Dia berjalan mendekati Rin dan berdir
Malam semakin larut, dan Rin masih duduk di ayunan taman sekolah. Hembusan angin dingin menyentuh kulitnya, membuatnya sedikit menggigil, tetapi dia tetap di sana. Bukan karena dia menyukai udara malam, tetapi karena pikirannya terlalu penuh untuk membawanya kembali ke asrama.Bayangan wajah Luca dan Aidan bergantian muncul dalam benaknya. Kata-kata mereka terus terngiang-ngiang, seolah berusaha merebut ruang dalam hatinya. Rin memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri. Namun, usaha itu sia-sia.“Apa aku terlalu egois?” gumam Rin pada dirinya sendiri.Dia merasa bersalah kepada keduanya. Luca, dengan tatapan matanya yang tulus dan senyum hangatnya, selalu ada di saat dia merasa kehilangan arah. Lelaki itu memberinya rasa aman, meski dalam kondisi yang jauh dari kata normal.Dan Aidan… sahabat kecilnya yang selalu melindunginya. Aidan tahu segalanya tentang Rin, mulai dari kebiasaannya yang aneh hingga mimpi-mimpi kecil yang pernah dia ceritakan saat mereka masih kecil.“Kenapa aku
Rin duduk di bangku taman sekolah, menatap kosong ke arah langit senja. Cahaya oranye keemasan membias di wajahnya, namun pikirannya melayang jauh. Sejak perpisahannya dengan Aidan, hatinya terasa kosong. Dia mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi bayangan laki-laki itu terus muncul dalam benaknya.Luca yang duduk di sampingnya menatapnya dengan tatapan serius. “Kau sudah melamun sejak tadi. Apa yang kau pikirkan?”Rin tersentak dari lamunannya dan tersenyum kecil. “Tidak ada,” jawabnya singkat.Luca menghela napas, jelas tidak percaya. “Rin, aku bukan orang yang suka mendesak. Tapi, kau tahu kan? Aku selalu ada kalau kau ingin bercerita.”Rin menatap Luca. Mata biru kehijauannya berkilat lembut dalam cahaya senja, memberi kehangatan yang aneh di hatinya. Selama ini, Luca selalu menjadi tempatnya bersandar, memberikan kenyamanan yang dia butuhkan.Namun, ada sesuatu yang berbeda.Aidan.Nama itu muncul dalam pikirannya lagi. Rin menghela napas dalam, mencoba mengabaikannya.Luca tiba
Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Rin berdiri di depan Aidan, menatap matanya dengan penuh kebimbangan. Tangannya gemetar saat dia mencoba menggenggam jemari Aidan, seolah takut jika dia melepaskan, segalanya akan hilang begitu saja."Aidan..." suara Rin lirih, hampir tenggelam dalam hembusan angin. "Aku... aku tak tahu harus bagaimana."Aidan menatapnya dengan lembut, matanya penuh ketenangan yang selama ini selalu membuat Rin merasa aman. "Jangan takut, Rin," ujarnya, suaranya hangat seperti biasanya. "Aku di sini.""Tapi... bagaimana jika kita tak bisa bertemu lagi? Bagaimana jika semuanya berubah setelah ini?" Rin menggigit bibir bawahnya, menahan gemuruh di dadanya.Aidan tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan di matanya. "Dengar, Rin. Tidak peduli seberapa jauh kita terpisah, hatiku akan selalu bersamamu. Kau tahu itu, kan?"Rin menatapnya lekat-lekat. Dia ingin percaya, sungguh. Tapi ada sesuatu dalam hatinya yang membuatnya begitu takut. S
Mobil melaju dengan cepat di jalanan sepi, hanya ditemani cahaya bulan yang samar-samar menyinari malam. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya terdengar deru mesin dan napas mereka yang masih memburu setelah kejadian tadi.Aidan duduk di kursi belakang bersama Rin, sementara Luca mengemudi dengan ekspresi serius. Luka di bahu Aidan masih mengeluarkan darah, tetapi dia tetap menahan sakit tanpa mengeluh.Rin menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran. Dengan tangan gemetar, dia merobek sedikit ujung bajunya dan menekan luka Aidan agar pendarahan berhenti.“Aku baik-baik saja,” kata Aidan, meskipun wajahnya pucat.“Jangan berbohong,” Rin mendesis pelan. “Aku tahu kau kesakitan.”Aidan hanya tersenyum tipis, meskipun matanya menunjukkan kelelahan yang luar biasa. “Selama kau aman, itu sudah cukup untukku.”Hati Rin terasa diremas. Lelaki ini… selalu menomorsatukan dirinya, bahkan saat nyawanya sendiri dalam bahaya.Luca melirik ke kaca spion dan mendengus. “Kalau kalian mau rom