"Lebih tidak masuk akal kalau aku memanggilnya dengan sebutan Om. Dia bahkan lebih cocok jadi adikku."
"Ha? Kok bisa?"
"Dia hanya lebih tua tiga tahun dariku. Tapi wajahnya jelas lebih muda dibandingkan aku. Bisa kau naikkan gajiku bulan ini? Aku butuh biaya untuk perawatan agar terlihat lebih muda."
"Dasar tidak waras. Kenapa tidak sekalian kau memintaku untuk membelikanmu sabun mandi dan juga pasta gigi. Berhenti berhemat. Belum cukup juga tabungan untuk hadiah Ayahmu itu?"
"Kenapa membahasnya sekarang? Cepatlah, aku takut Paman terlalu lama menunggu."
"Aku baru tahu kalau kau punya Paman. Apa dia tampan?" godanya.
Aku memutar bola mata, malas. Lekas ku rebut kunci mobil yang masih menjuntai di tangannya.
"Terima kasih, Bos. Nanti aku jelaskan lagi."
"Heh, aku potong gajimu kalau sampai malam tidak kembali, ya?" teriaknya saat aku bergegas keluar. Kulirik dari ekor mata, sesosok yang dari tadi duduk di kursi pojok itu, langsung memutar kepala mengikuti arah langkahku yang melewatinya begitu saja.
.
Berulang kali panggilan nada dering memekakkan telinga. Setiap dua menit sekali dia menanyakan aku sudah sampai dimana. Bukankah seharusnya dia menghubungiku sebelum sampai di stasiun? Kenapa harus mendadak seperti ini? Apa dia pikir aku tidak punya kerjaan lain?
"Sebentar Paman. Aku sudah mau sampai," jawabku setengah berteriak. Untung Pamanku, kalau bukan sudah kumaki dia habis-habisan.
Aku berjalan cepat begitu sampai. Dia menghela nafas kasar setelah melihatku. Diseretnya koper besar dan langsung berjalan melewatiku begitu saja. Tak ada kata sapaan ataupun terima kasih karena aku telah berusaha datang.
Aku berdiri mematung, masih dengan posisi terheran-heran dengan sikapnya.
"Kenapa masih berdiri saja?" tegurnya sambari menghentikan langkah. "Aku sudah lelah." Dia sengaja membuat suaranya terdengar lemah.
Dia bilang lelah? Apa itu salahku? Ya ampun, kau sungguh manis Pamanku. Akupun bergerak menuju ke arahnya. Kuraih tangkai koper dan menepiskan tangannya.
"Biar aku bawakan. Bukankah Paman lelah menungguku sedari tadi?" Aku mencoba mengulas senyum termanisku.
.
"Mobilnya bagus sekali. Pria yang kau panggil Ayah itu pasti sangat menyayangimu," ujarnya saat kami sudah merayap membelah jalanan.
Ah, tentu saja. Dia pasti berpikir kalau mobil ini adalah milikku. Haruskah aku terus berpura-pura? Sebaiknya begitu. Aku tak ingin dia mengadu ke kampung dan membiarkan mereka mengetahui keadaanku yang sebenarnya.
Toh setelah dia sibuk bekerja, kami tidak akan punya waktu untuk bertemu lagi. Jadi, berbohong sedikit tidak akan menjadi masalah.
"Apa Paman tidak pernah dibelikan mobil oleh almarhum Kakek?" balasku. Paman menggeleng. "Dulu Paman kuliah dimana?"
"Di Jogja."
"Waw, keren sekali. Universitas terkenal itukah?" Dia menggeleng.
"Swasta."
"Oh!"
"Bagaimana dengan kau? Negeri?"
Aku menahan tawa sembari menutup mulut. Kemudian dia juga ikut tertawa.
"Ternyata kita memang satu keluarga," ujarnya. Dan kamipun kembali tertawa.
Hari sudah menjelang malam. Aku tak mungkin mengajaknya berkeliling untuk mencari rumah. Aku juga tak tahu pasti dimana dia akan bekerja. Tapi yang pasti, aku harus mencarikannya tempat tiinggal yang sangat jauh dari daerah tempat tinggalku.
"Malam ini menginap di hotel saja dulu, ya?" usulku. Tidak mungkin aku membawanya menginap di rumah.
"Dasar pelit. Kenapa tidak membawaku ke rumahmu? Bukankah kau bilang Ayahmu baik? Ibumu juga pasti tidak akan keberatan. Bagaimanapun aku juga kerabat dari mantan suaminya."
"Tidak ada kamar kosong. Mau, tidur di kamar mandi?" candaku.
"Kau punya saudara?"
"Iya. Namanya Dara. Dia tidak suka berbagi kamar. Jadi Paman jangan berharap yang bukan-bukan. Biar nanti aku yang membayar biaya hotel Paman," jawabku asal. Hisk.. mati aku. Bisa habis gajiku bulan ini sebelum waktunya.
"Kau bekerja dimana?" Dia kembali bertanya. Tidak sabar rasanya aku ingin cepat-cepat sampai di hotel dan meninggalkannya. Semakin sering dia bertanya, semakin sering pula aku berbohong.
"Aku bekerja di kantor," dustaku lagi. "Ah, bagaimana kabar Nenek di kampung? Sehat-sehat saja, kan?" Aku mulai mengalihkan pembicaraan.
"Iya, mereka semua sehat. Ikutlah pulang saat empat puluh hari meninggalnya Ayah."
"Oh, iya. Kalau dapat ijin aku akan ikut."
"Kita naik mobil saja. Kalau kau lelah, biar aku yang mengemudi."
Mobil? Maksudnya mobil ini? Arrgghh...
**********Hari ini aku kembali meminta ijin kepada Hana. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali aku sudah merepotkannya.
"Sebaiknya aku jual saja kafe ini, biar tahu rasa kau bila nanti dapat Bos yang kejam," sungutnya saat kuraih lagi kunci mobil itu.
"Kau harus mengerti posisiku, Bos. Aku sedang terjebak," ucapku setengah menghiba.
"Mau sampai kapan kau terus berbohong? Lebih baik kau mengatakan yang sebenarnya. Siapa tahu mereka akan membantumu keluar dari masalah keuangan ini."
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me