Share

Part 5

"Lebih tidak masuk akal kalau aku memanggilnya dengan sebutan Om. Dia bahkan lebih cocok jadi adikku."

"Ha? Kok bisa?"

"Dia hanya lebih tua tiga tahun dariku. Tapi wajahnya jelas lebih muda dibandingkan aku. Bisa kau naikkan gajiku bulan ini? Aku butuh biaya untuk perawatan agar terlihat lebih muda."

"Dasar tidak waras. Kenapa tidak sekalian kau memintaku untuk membelikanmu sabun mandi dan juga pasta gigi. Berhenti berhemat. Belum cukup juga tabungan untuk hadiah Ayahmu itu?"

"Kenapa membahasnya sekarang? Cepatlah, aku takut Paman terlalu lama menunggu."

"Aku baru tahu kalau kau punya Paman. Apa dia tampan?" godanya. 

Aku memutar bola mata, malas. Lekas ku rebut kunci mobil yang masih menjuntai di tangannya.

"Terima kasih, Bos. Nanti aku jelaskan lagi."

"Heh, aku potong gajimu kalau sampai malam tidak kembali, ya?" teriaknya saat aku bergegas keluar. Kulirik dari ekor mata, sesosok yang dari tadi duduk di kursi pojok itu, langsung memutar kepala mengikuti arah langkahku yang melewatinya begitu saja.

.

Berulang kali panggilan nada dering memekakkan telinga. Setiap dua menit sekali dia menanyakan aku sudah sampai dimana. Bukankah seharusnya dia menghubungiku sebelum sampai di stasiun? Kenapa harus mendadak seperti ini? Apa dia pikir aku tidak punya kerjaan lain? 

"Sebentar Paman. Aku sudah mau sampai," jawabku setengah berteriak. Untung Pamanku, kalau bukan sudah kumaki dia habis-habisan.

Aku berjalan cepat begitu sampai. Dia menghela nafas kasar setelah melihatku. Diseretnya koper besar dan langsung berjalan melewatiku begitu saja. Tak ada kata sapaan ataupun terima kasih karena aku telah berusaha datang. 

Aku berdiri mematung, masih dengan posisi terheran-heran dengan sikapnya. 

"Kenapa masih berdiri saja?" tegurnya sambari menghentikan langkah. "Aku sudah lelah." Dia sengaja membuat suaranya terdengar lemah. 

Dia bilang lelah? Apa itu salahku? Ya ampun, kau sungguh manis Pamanku. Akupun bergerak menuju ke arahnya. Kuraih tangkai koper dan menepiskan tangannya.

"Biar aku bawakan. Bukankah Paman lelah menungguku sedari tadi?" Aku mencoba mengulas senyum termanisku. 

.

"Mobilnya bagus sekali. Pria yang kau panggil Ayah itu pasti sangat menyayangimu," ujarnya saat kami sudah merayap membelah jalanan. 

Ah, tentu saja. Dia pasti berpikir kalau mobil ini adalah milikku. Haruskah aku terus berpura-pura? Sebaiknya begitu. Aku tak ingin dia mengadu ke kampung dan membiarkan mereka mengetahui keadaanku yang sebenarnya.

Toh setelah dia sibuk bekerja, kami tidak akan punya waktu untuk bertemu lagi. Jadi, berbohong sedikit tidak akan menjadi masalah.

"Apa Paman tidak pernah dibelikan mobil oleh almarhum Kakek?" balasku. Paman menggeleng. "Dulu Paman kuliah dimana?"

"Di Jogja."

"Waw, keren sekali. Universitas terkenal itukah?" Dia menggeleng. 

"Swasta."

"Oh!"

"Bagaimana dengan kau? Negeri?"

Aku menahan tawa sembari menutup mulut. Kemudian dia juga ikut tertawa. 

"Ternyata kita memang satu keluarga," ujarnya. Dan kamipun kembali tertawa. 

Hari sudah menjelang malam. Aku tak mungkin mengajaknya berkeliling untuk mencari rumah. Aku juga tak tahu pasti dimana dia akan bekerja. Tapi yang pasti, aku harus mencarikannya tempat tiinggal yang sangat jauh dari daerah tempat tinggalku. 

"Malam ini menginap di hotel saja dulu, ya?" usulku. Tidak mungkin aku membawanya menginap di rumah. 

"Dasar pelit. Kenapa tidak membawaku ke rumahmu? Bukankah kau bilang Ayahmu baik? Ibumu juga pasti tidak akan keberatan. Bagaimanapun aku juga kerabat dari mantan suaminya."

"Tidak ada kamar kosong. Mau, tidur di kamar mandi?" candaku. 

"Kau punya saudara?"

"Iya. Namanya Dara. Dia tidak suka berbagi kamar. Jadi Paman jangan berharap yang bukan-bukan. Biar nanti aku yang membayar biaya hotel Paman," jawabku asal. Hisk.. mati aku. Bisa habis gajiku bulan ini sebelum waktunya.

"Kau bekerja dimana?" Dia kembali bertanya. Tidak sabar rasanya aku ingin cepat-cepat sampai di hotel dan meninggalkannya. Semakin sering dia bertanya, semakin sering pula aku berbohong. 

"Aku bekerja di kantor," dustaku lagi. "Ah, bagaimana kabar Nenek di kampung? Sehat-sehat saja, kan?" Aku mulai mengalihkan pembicaraan. 

"Iya, mereka semua sehat. Ikutlah pulang saat empat puluh hari meninggalnya Ayah."

"Oh, iya. Kalau dapat ijin aku akan ikut."

"Kita naik mobil saja. Kalau kau lelah, biar aku yang mengemudi."

Mobil? Maksudnya mobil ini? Arrgghh... 

                   **********

Hari ini aku kembali meminta ijin kepada Hana. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali aku sudah merepotkannya. 

"Sebaiknya aku jual saja kafe ini, biar tahu rasa kau bila nanti dapat Bos yang kejam," sungutnya saat kuraih lagi kunci mobil itu. 

"Kau harus mengerti posisiku, Bos. Aku sedang terjebak," ucapku  setengah menghiba. 

"Mau sampai kapan kau terus berbohong? Lebih baik kau mengatakan yang sebenarnya. Siapa tahu mereka akan membantumu keluar dari masalah keuangan ini."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
ah senang dg pemuda yg suka menggoda
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status