Share

Part 6

"Dan kembali membuat Ibuku dibenci? Ayolah Han, walaupun begitu dia tetap Ibuku."

"Terserah kau saja. Awas lecet mobilku. Seenaknya saja mengaku-ngaku," sinisnya. Begitulah Hana. Sedari dulu selalu bersikap judes dan suka marah-marah. Bukan hanya padaku, tapi juga pada semua orang termasuk para karyawannya. Tapi dibalik semua itu, dialah satu-satunya sahabat yang bisa menerimaku apa adanya.  

Kujemput Paman Harun di depan hotel. Dia langsung keluar begitu tahu aku datang.  

"Bagaimana tidurnya, Paman? Nyenyak, kan?" Aku berbasa-basi. 

"Aku pikir kau benar-benar akan mengantarku ke hotel." Dia terlihat kesal. 

Aku tertawa kecil. Merasa lucu karena aku membawanya ke hotel kelas melati. Hanya itu kemampuanku saat ini. 

"Paman kan sudah biasa tidur di kamar kost. Apa bedanya dengan hotel itu?"

"Kalau tahu begitu, aku cari hotel sendiri saja. Begini rupanya kalau mengharapkan sesuatu yang gratis," keluhnya. 

Aku kembali tertawa. Kali ini cukup keras begitu melihat wajahnya yang super kecewa. 

"Maaf, Paman. Ini baru pertengahan bulan. Aku tidak punya uang lagi. Nanti kalau sudah gajian, pasti aku traktir." 

Eh? Kenapa aku malah berjanji. Bukankah setelah mengantarnya aku tidak akan menemuinya lagi? 

"Tidak usah," sahutnya. 

Oh, syukurlah. Aku merasa lega. Setidaknya jika tertarik dengan rumah yang di sarankan Hana, tugasku akan selesai sampai di sini. Aku punya banyak alasan untuk tidak saling bertemu. 

"Ya sudah kalau tidak mau. Aku juga tidak memaksa kok," ucapku girang. 

"Benar. Aku tidak mau di traktir lagi olehmu. Pasti kau akan mengajakku ke tempat yang paling murah. Dasar pelit. Lain kali aku saja yang bayar, kita cari tempat makan yang paling enak."

Eh? 

.

Selesai sudah tugasku hari ini. Setelah mengantar mobil aku langsung pulang menenteng banyak makanan yang dibelikan Paman Harun untuk aku dan keluarga. 

Ayam goreng jatah Ibu dan Dara bisa kusimpan untuk besok. Ayah pasti senang melihat semua ini. 

"Kenapa tidak kau ajak singgah Pamanmu itu?" tanya Ayah saat kami menikmati ayam penyet yang kubawa tadi. 

"Sarah tidak mau dia tahu tentang keadaan kita, Yah. Memangnya Ayah mau dikasihani sama orang lain?" 

"Siapa yang minta dikasihani? Bagaimana kalau nanti dia mengadu kepada keluarga yang di kampung? Nanti malah mereka tidak akan menyukaimu."

"Biarkan saja. Bukankah dari dulu juga kami tidak saling kenal? Sarah takut mereka malah menjauh setelah tahu keadaan kita yang sebenarnya. Bukankah seperti itu, perlakuan yang kita terima selama ini?"

Ayah kemudian terdiam. Mungkin merasa benar dengan apa yang aku katakan. Tapi aku jadi merasa tidak enak, karena Ayah kembali teringat akan perlakuan sanak keluarganya terdahulu. 

"Sudah selesai makannya, Yah? Sarah kupaskan buah, ya?" 

"Ayah bisa sendiri. Lagipula untuk apa mengupas apel? Sayang, kulitnya juga enak kok."

Aku tersenyum melihatnya. Dulu Ayah paling benci makan kulit apel. Dia selalu mengupasnya jika ingin makan. Tapi lihatlah sekarang, dia sudah tahu betapa mahalnya jenis apel itu sehingga dia tidak tega untuk membuangnya.

"Kau hanya membayar kamar hotel itu sebesar dua ratus ribu, tapi kau minta Pamanmu membayar semua ini yang jumlahnya bisa dua kali lipat," protes Ayah sambil menggigit apel merah itu. 

"Bukan Sarah yang minta, Yah. Paman Harun sendiri yang memesannya. Masa harus di tolak?" Ayah menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku. 

.

Aku membaringkan diri di kasur tipis layaknya anak kos. Sedih sekali jika mengingat betapa indahnya hidup kami dulu. Rumah besar, kamar yang nyaman, kesana kesini di antar supir. Bahkan uang saku dengan mudah kami dapatkan dari Ayah. 

Ah, seandainya saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi, tentu kami tidak akan semenderita dan hidup terpisah-pisah seperti sekarang ini. Apa pemuda yang menabrak Ayahku dulu hidup bahagia sekarang ini? Tidakkah dia merasa bersalah setelah semua kesalahan yang telah diperbuatnya? 

Apa yang sekarang dilakukan Ibu dan Dara? Apakah mereka senang hidup menumpang di rumah orang? Bukankah Ibu bilang, dulu Tante Retno pernah menyukai Ayah? Kenapa mereka  bisa menjadi sahabat seperti sekarang? Tidakkah itu mencurigakan? 

Sahabat macam apa yang meminta seorang istri untuk meninggalkan suaminya? 

Tengah malam, mataku belum juga terpejam. Masih teringat insiden jus semangka tadi sore. Ah, sial. Kenapa aku harus mengingatnya? Siapa pemuda itu? Sebentar baik, sebentar menyebalkan. Atau memang kami pernah bertemu sebelumnya? 

Tapi kapan? Dimana? Kenapa tak ada bayangan sedikitpun. Bukankah selama Ayah sakit dan kami jatuh miskin, semua orang menjauh dan pura-pura tidak mengenal kami. Lalu kenapa dia tetap merasa mengenalku dan terus-terusan menggangguku? 

Ah, sudahlah. Fokus, Sarah. Fokus. Kuliah yang benar. Berhemat, dan berikan apa yang Ayahmu butuhkan. Tunggulah Ayah, sedikit lagi tabungan Sarah akan cukup. Cukup untuk membelikan ayah sebuah kursi roda. 

                           ************

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status