"Dan kembali membuat Ibuku dibenci? Ayolah Han, walaupun begitu dia tetap Ibuku."
"Terserah kau saja. Awas lecet mobilku. Seenaknya saja mengaku-ngaku," sinisnya. Begitulah Hana. Sedari dulu selalu bersikap judes dan suka marah-marah. Bukan hanya padaku, tapi juga pada semua orang termasuk para karyawannya. Tapi dibalik semua itu, dialah satu-satunya sahabat yang bisa menerimaku apa adanya.
Kujemput Paman Harun di depan hotel. Dia langsung keluar begitu tahu aku datang.
"Bagaimana tidurnya, Paman? Nyenyak, kan?" Aku berbasa-basi.
"Aku pikir kau benar-benar akan mengantarku ke hotel." Dia terlihat kesal.
Aku tertawa kecil. Merasa lucu karena aku membawanya ke hotel kelas melati. Hanya itu kemampuanku saat ini.
"Paman kan sudah biasa tidur di kamar kost. Apa bedanya dengan hotel itu?"
"Kalau tahu begitu, aku cari hotel sendiri saja. Begini rupanya kalau mengharapkan sesuatu yang gratis," keluhnya.
Aku kembali tertawa. Kali ini cukup keras begitu melihat wajahnya yang super kecewa.
"Maaf, Paman. Ini baru pertengahan bulan. Aku tidak punya uang lagi. Nanti kalau sudah gajian, pasti aku traktir."
Eh? Kenapa aku malah berjanji. Bukankah setelah mengantarnya aku tidak akan menemuinya lagi?
"Tidak usah," sahutnya.
Oh, syukurlah. Aku merasa lega. Setidaknya jika tertarik dengan rumah yang di sarankan Hana, tugasku akan selesai sampai di sini. Aku punya banyak alasan untuk tidak saling bertemu.
"Ya sudah kalau tidak mau. Aku juga tidak memaksa kok," ucapku girang.
"Benar. Aku tidak mau di traktir lagi olehmu. Pasti kau akan mengajakku ke tempat yang paling murah. Dasar pelit. Lain kali aku saja yang bayar, kita cari tempat makan yang paling enak."
Eh?
.Selesai sudah tugasku hari ini. Setelah mengantar mobil aku langsung pulang menenteng banyak makanan yang dibelikan Paman Harun untuk aku dan keluarga.
Ayam goreng jatah Ibu dan Dara bisa kusimpan untuk besok. Ayah pasti senang melihat semua ini.
"Kenapa tidak kau ajak singgah Pamanmu itu?" tanya Ayah saat kami menikmati ayam penyet yang kubawa tadi.
"Sarah tidak mau dia tahu tentang keadaan kita, Yah. Memangnya Ayah mau dikasihani sama orang lain?"
"Siapa yang minta dikasihani? Bagaimana kalau nanti dia mengadu kepada keluarga yang di kampung? Nanti malah mereka tidak akan menyukaimu."
"Biarkan saja. Bukankah dari dulu juga kami tidak saling kenal? Sarah takut mereka malah menjauh setelah tahu keadaan kita yang sebenarnya. Bukankah seperti itu, perlakuan yang kita terima selama ini?"
Ayah kemudian terdiam. Mungkin merasa benar dengan apa yang aku katakan. Tapi aku jadi merasa tidak enak, karena Ayah kembali teringat akan perlakuan sanak keluarganya terdahulu.
"Sudah selesai makannya, Yah? Sarah kupaskan buah, ya?"
"Ayah bisa sendiri. Lagipula untuk apa mengupas apel? Sayang, kulitnya juga enak kok."
Aku tersenyum melihatnya. Dulu Ayah paling benci makan kulit apel. Dia selalu mengupasnya jika ingin makan. Tapi lihatlah sekarang, dia sudah tahu betapa mahalnya jenis apel itu sehingga dia tidak tega untuk membuangnya.
"Kau hanya membayar kamar hotel itu sebesar dua ratus ribu, tapi kau minta Pamanmu membayar semua ini yang jumlahnya bisa dua kali lipat," protes Ayah sambil menggigit apel merah itu.
"Bukan Sarah yang minta, Yah. Paman Harun sendiri yang memesannya. Masa harus di tolak?" Ayah menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku.
.
Aku membaringkan diri di kasur tipis layaknya anak kos. Sedih sekali jika mengingat betapa indahnya hidup kami dulu. Rumah besar, kamar yang nyaman, kesana kesini di antar supir. Bahkan uang saku dengan mudah kami dapatkan dari Ayah.
Ah, seandainya saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi, tentu kami tidak akan semenderita dan hidup terpisah-pisah seperti sekarang ini. Apa pemuda yang menabrak Ayahku dulu hidup bahagia sekarang ini? Tidakkah dia merasa bersalah setelah semua kesalahan yang telah diperbuatnya?
Apa yang sekarang dilakukan Ibu dan Dara? Apakah mereka senang hidup menumpang di rumah orang? Bukankah Ibu bilang, dulu Tante Retno pernah menyukai Ayah? Kenapa mereka bisa menjadi sahabat seperti sekarang? Tidakkah itu mencurigakan?
Sahabat macam apa yang meminta seorang istri untuk meninggalkan suaminya?
Tengah malam, mataku belum juga terpejam. Masih teringat insiden jus semangka tadi sore. Ah, sial. Kenapa aku harus mengingatnya? Siapa pemuda itu? Sebentar baik, sebentar menyebalkan. Atau memang kami pernah bertemu sebelumnya?
Tapi kapan? Dimana? Kenapa tak ada bayangan sedikitpun. Bukankah selama Ayah sakit dan kami jatuh miskin, semua orang menjauh dan pura-pura tidak mengenal kami. Lalu kenapa dia tetap merasa mengenalku dan terus-terusan menggangguku?
Ah, sudahlah. Fokus, Sarah. Fokus. Kuliah yang benar. Berhemat, dan berikan apa yang Ayahmu butuhkan. Tunggulah Ayah, sedikit lagi tabungan Sarah akan cukup. Cukup untuk membelikan ayah sebuah kursi roda.
************Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me