Mag-log in“Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un,” kata Yusuf.Farah yang sedang menidurkan Genta, reflek melihatnya. Tadi Yusuf memang menerima telepon dari seseorang. Yusuf bicara dengan orang yang menghubunginya tanpa keluar dari kamar. Makanya Farah bisa mendengarnya. “Baik, Pak. Saya akan segera kesana,” kata Yusuf lagi, lalu hening. Yusuf mendengarkan orang di sebrangnya bicara, lalu melihat Farah. “Insha Allah, Pak.” Tak lama, Yusuf mengucap salam, lantas meletakkan hapenya di atas meja rias. Dia tampak menghela nafas dalam. Seperti ada hal yang berat yang harus dia sampaikan pada Farah. “Siapa yang meninggal, Bang?” tanya Farah. Yusuf melihatnya, lalu melihat Genta yang sudah tertidur. Bukannya menjawab, Yusuf malah membuka lemari dan mengambil sebuah amplop dari dompetnya.Perlahan dia jalan mendekati Farah, lalu duduk di sebelahnya. “Abang ada amanah dari seseorang untuk kamu,” kata Yusuf lalu memberikan amplop itu pada Farah. Alis Farah menaut, tetapi tetap menerima amplop itu kar
“Udahlah, kamu nggak usah cerita soal keburukan istri kamu itu. Aku sudah tenang tanpa kamu sekarang. Jadi jangan ganggu aku lagi,” sela Nisma yang tak mau mendengar penjelasan suaminya, tepatnya, mantan suami. “Sayang–” Tegar berhenti karena Nisma melototinya. “Um, Nis. Aku mohon. Bagaimana cara aku menebus kesalahan sama kamu? Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Walau aku menikahi Ajeng, tetap aja yang kuingat itu, kamu,” kata Tegar memohon. “Gi la kamu ya. Bisa-bisanya kamu mikirin perempuan lain di saat sudah beristri. Pantas aja, cerai lagi dalam waktu singkat,” ejek Nisma. “Bukan itu yang menyebabkan kami pisah,” kata Tegar, lalu cepat menyambung ucapannya sebelum Nisma memotongnya lagi. “Ajeng tak selembut kelihatannya. Dia bukan istri dan menantu yang menurut. Bahkan, sejak keuangan dipegang sama dia, warung nyaris aja pailit. Dia menyelewengkan uang penjualan setiap hari. Warung cabang, bahkan sudah mengurangi banyak karyawan, karena tak sanggup menggaji. Ibu jadi jatuh saki
Sudah enam bulan berlalu. Semuanya sudah berjalan seperti biasa, kecuali Yusuf yang rutin mengunjungi Hadi. Yusuf memahami, kesalahan masa lalu Hadi sulit untuk dimaafkan oleh istrinya, tetapi Yusuf mencoba menempatkan diri sebagai orang yang memberi kesempatan ada Hadi untuk memperbaiki diri. Farah yang tengah bersiap untuk menjemput Lila dari sekolah, dikejutkan dengan kehadiran Tegar. “Kak, tolong kasih tau dimana Nisma sekarang,” kata Tegar dengan wajah memohon. Farah menatap wajah Tegar dengan sorot mata yang tajam. “Buat apa?” tanyanya.Tegar menelan ludah. Sudah lama, sejak dia berpisah dari Nisma dia tak lagi datang, apalagi mencari Nisma.“Saya … ingin merujuk Nisma, Kak,” kata Tegar agak ragu, khawatir memancing amarah Farah. Mata Farah menyipit mendengarnya. “Kenapa? Bukannya kamu udah nikah lagi sama wanita yang dipilihkan ibu kamu?” Tegar hanya bisa menunduk lesu. “Saya menyesal sudah menuruti keinginan Ibu, Kak. Saya nggak bisa melupakan Nisma.”“Nggak mungkin, kamu
Lelaki tua itu merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan sebuah amplop. Dilihatnya amplop itu untuk sesaat, lalu diberikan pada Yusuf. Yusuf melihat dengan heran.“Mungkin, Bapak tak akan punya kesempatan untuk minta maaf lagi secara langsung sama Farah juga Nisma. Kamu simpan surat itu, berikan pada mereka kalau Bapak nanti meninggal dunia,” kata Hadi dengan mata berkaca-kaca dan suara yang bergetar.Yusuf terpaku memandangi amplop lusuh di tangan Hadi. Sepertinya, surat itu sudah sangat lama Hadi simpan. Tangannya sempat ragu untuk menerima. Seakan berat amanah yang dititipkan padanya. Namun akhirnya ia menunduk pelan, meraih amplop itu dengan kedua tangan.“Baik, Pak. Saya simpan. Insha Allah, nanti saya sampaikan,” ucap Yusuf, suaranya serak.Hadi hanya mengangguk, lalu menunduk menahan isak yang hendak pecah. Sesaat, suasana di halaman lembaga perawatan lansia itu hening, hanya terdengar desir angin sore yang menerbangkan debu dan daun kering.Yusuf menatap lelaki renta di depannya
“Kok Pak Hadi dibawa lagi?” tanya Imah dengan bingung. Entah pada siapa, yang jelas ada Rundiah dan Sarah di dekatnya. Saat ini, ketiganya sedang duduk di depan rumah Sarah yang berada di depan rumah Imran.“Ya berarti memang benar dia pelakunya,” kata Rundiah.“Tapi kok, kayaknya polisinya baik banget,” kata Sarah. “Biasanya, kalau sama pelaku apalagi pelaku yang cabul sama anak-anak, polisi itu paling nggak suka, bisa kasar sikapnya. Jangankan polisi, kita aja gitu. Emang suka, lihat orang jahat kayak gitu.” Begitulah pembicaraan orang yang awam. “Iya juga. Pak Hadi juga nggak diborgol kan?” kata Rundiah. “Ya mungkin, karena Bang Yusuf nggak nerima Pak Hadi. Ingatkan, kejadian kemarin itu. Apa jangan-jangan, Farah yang nggak mau dan udah ngomong sama Bang Yusuf,” kata Imah pula. “Bisa jadi. Tapi kok ya Farah itu kejam kali sama bapaknya sendiri. Kesalahan masa lalu, ya aturan jangan diungkit lagi. Pak Hadi sekarang juga udah baik. Buktinya, nggak ada masalah selama dia tinggal d
Yusuf akhirnya sampai ke rumah Imran. Terpaksa dia izin dari perusahaan tempatnya bekerja. Imran mengajak polisi dan Hadi ke rumahnya. Rumah sederhana itu, seketika terasa penuh, karena memang ruangan tamu rumah Imran kecil. Sengaja Imran tak mengajak duduk di mushola, agar tak menjadi pusat perhatian dan akan ada yang datang untuk mencuri dengar.“Assalamualaikum,” sapa Yusuf saat masih di teras dan terus melangkah masuk ke dalam rumah Imran. “Waalaikumsalam.” Semuanya menyambut salam Yusuf.Saat mata Yusuf bertemu dengan mata Hadi, Hadi langsung menunduk dalam. Yusuf segera menyalami para polisi, Imran dan tentunya Hadi. Tangan pria tua itu terasa dingin, terlihat jelas kalau dia menyimpan ketakutan di hatinya. Yusuf menarik napas dalam-dalam. Matanya tajam menatap sosok Hadi yang bahkan tak berani mengangkat wajah. Ada perasaan aneh mengalir di dadanya, antara amarah, iba, dan bingung harus bersikap seperti apa.“Silakan duduk, Yusuf,” kata Imran lembut.Yusuf duduk di dekat Imr







