Alisha terdiam saat ia melihat rumah kosong yang sepi jauh dari rumah penduduk sekitar. "Ini rumah, Om?"
"Iya. Masuklah!" Madin masuk lebih dahulu. Alisha tampak ragu melangkah masuk ke rumah itu. "Masuklah." "Apa tidak ada tempat lain, Om? Terus terang saya takut di sini. Gelap dan sepi." Ia melihat ke sekitarnya."Bermalam dulu di sini. Besok aku akan antar kamu ke tempat kerja lalu kita akan mencari tempat tinggal untukmu."Luna mengusap perutnya yang mulai bergerak. Nyawa bayi dalam perutnya berdenyut.
"Apa kamu lapar? Kita sudah makan tadi." Madin heran melihat Luna yang kini menyentuh perutnya."Nggak, Om. Saya cuma kekenyangan." "Oh, kukira tadi kamu lapar lagi." Madin tertawa. "Ayo, masuk." Alisha memberanikan diri untuk masuk ke rumah itu. Tidak buruk juga seperti yang ia pikirkan beberapa menit yang lalu. Rumah itu terlihat nyaman ditempati walaupun dinding rumahnya tidak diberi cat. Ia meletakkan tas berisi pakaiannya di atas ranjang. "Tidurlah. Aku harus pergi untuk mengantar penumpang bekerja." Alisha terkejut, itu berarti ia akan sendirian di rumah itu. "Om, aku takut sendirian." "Kunci pintu kalau kau takut ada yang tiba-tiba masuk kemari. Ingat, jangan buka pintu selain aku yang memintamu." Luna mengangguk lalu ia menutup pintu setelah Madin pergi. Gadis ini melihat ke sekitarnya. Ia tidak memiliki ponsel sebagai hiburan dan tidak tahu harus ke mana mencari Deni. Gadis ini berusaha untuk tertidur walaupun ia kembali mengingat penghinaan siang tadi yang dilakukan oleh ibu tirinya dan Anjas. Gadis ini menangis tersedu-sedu sambil memeluk tasnya.Keesokan harinya pada jam 07:08,. Alisha terbangun ketika Madin mengetuk pintu."Alisha." Madin memanggil Alisha dari luar sambil mengetuk pintu.Alisha segera membuka pintu. "Om."
"Apa kamu sudah sial?""Ke mana, Om?""Bekerja. Bukankah kamu ingin bekerja?" Alisha Luna mengangguk. "Iya, Om.""Sarapan dulu, nih." Madin menyodorkan sebungkus nasi kuning pada Luna. "Terima kasih, Om." Madin membuka kemeja kuning bermotif kotak-kotak yang dikenakannya. Ia lalu pergi ke belakang untuk mandi. Luna makan sambil menyentuh perutnya yang kembali bergerak. Padahal usia kandungannya baru berjalan dua bulan, tapi ia telah merasakan cinta untuk bayinya.***Deni tengah menandatangani dokumen penting di kantornya. Pemuda tampan yang kaya raya ini baru saja menandatangani proyek besar dengan PT Bumi Perkasa Jaya Indah. Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan intan yang terbesar di Banjarmasin. Pemilik PT Bumi Perkasa Jaya Indah memang sengaja datang ke Tenggarong untuk menemui Deni. Selain mereka berteman akrab sejak di bangku kuliah, mereka juga saling membantu jika salah satunya memerlukan suntikan dana untuk bisnis mereka."Riski, kapan kamu nikah?" tanya Deni setelah menandatangani dokumen yang dibawa oleh sekretaris Riski. Riski adalah pemilik PT Bumi Perkasa Jaya Indah.
Riski menekuk dagunya hingga membentuk banyak lipatan. Ia kesel karena Deni selalu mengungkit masalah pernikahannya. Ia memang akan menikah, cuma jodohnya saja yang belum diciptakan atau mungkin sedang nyangkut di atas pohon dan belum waktunya untuk jatuh. "Jangan cemberut begitu. Aku hanya bercanda," kata Deni."Kamu kapan nikahnya?" Riski balas mengejek Deni.Deni teringat pada Luna. Ia ingin tahu kabar berikutnya mengenai gadis itu."Hei, kok, ngelamun, sih? Aku nanya, kamu kapan nikahnya?" Deni tersenyum. "Ada, deh.""Kalau kita jomblo sampai kiamat mending kita nikah, yuk.""Oh, najis." Deni mengerutkan keningnya untuk mengejek Riski. "Aku ada urusan. Aku tinggal dulu. Jangan lupa cuci piring setelah mamam," kata Riski. Ia pergi dengan membawa dokumen yang telah ditandatangani.Deni tertawa, ia sudah biasa bercanda dengan Riski. Pembicaraan mereka pun jarang ada yang serius. Seringnya ngalur-ngidul. Pintu ruangnya diketuk oleh seseorang. "Masuk!" perintah Deni."Pak, saya membawa seseorang untuk bekerja menjadi OB di sini." Deni mengalihkan tatapannya pada lelaki itu dan ia terkejut melihat Alisha berada di belakang lelaki yang dikenalnya sebagai kepala supir bus angkutan karyawan di perusahaannya, dia adalah Madin. "Alisha?" Alisha terdiam. Ia akhirnya bertemu lagi dengan Deni."Kalian sudah saling kenal?" Madin kebingungan. Alisha tiba-tiba menangis. "Eh, kenapa dia menangis?" Madin panik dan ia tidak tahu mengapa tiba-tiba saja gadis itu histeris.Madin bingung melihat reaksi Alisha yang tiba-tiba menangis ketika melihat Deni."Kamu kenapa?" tanya Madin.Alisha menggelengkan kepalanya, tidak ingin menceritakan tentang dirinya dan Deni bertemu beberapa hari yang lalu."Dia teman lama, Pak. Mungkin kangen sama sekolah dulu," kata Deni.Madin tertawa, merasa lucu karena seharusnya reaksi Alisha tidak begitu saat bertemu teman lama. "Kupikir tadi apa?""Kami sempat musuhan dulu, pas ketemu sayanya sukses. Mungkin dia malu." Alisha tertawa sambil mengusap air matanya. "Astaga, cuma itu saja," kata Madin sambil melirik Alisha."Berhubung saya dan dia sudah saling kenal, Bapak nggak perlu khawatir. Dia akan saya beri tempat tinggal."Madin menatap Luna. "Baik-baik bekerjanya, ya?"Luna menganggukkan kepala. "Terima kasih.""Sama-sama. Saya masih ada kerjaan. Permisi." Setelah berkata, Madin segera pergi.Alisha itu kini hanya berdua dengan Deni. Alisha hanya berdiri mematung. Dalam hati ia sangat malu karena telah mengabaikan nasiha
"Aduh, sakit," rengek Alisha, sambil menutupi lukanya."Apa ini?" Deni melihat jari telunjuk Alisha yang terluka. Ia lalu melihat pisau yang digunakan oleh perempuan itu. "Kamu ngapain, sih? Sini jarimu!""Aku mencoba membantumu." Ia meringis sambil menyerahkan tangannya untuk dirawat oleh Deni."Ayo, duduk dulu!" Deni mengajak Alisha duduk di kursi dekat pintu menuju ruang makan. "Tunggu sebentar." Alisha menyedot darah di jarinya, kemudian ia melihat jarinya yang masih mengeluarkan darah. "Ish..."Deni datang dengan kotak obat. Ia menyeret kursi lalu duduk di hadapan Alisha. "Tahan, rasanya agak perih.""Auh!" Deni menatap Alisha saat perempuan itu menjerit. Ia tersenyum, kemudian berkata, "Kamu cantik bila sedang meringis."Alisha merenggut karena itu artinya Deni tengah mengejeknya. "Kamu suka seperti itu, ya? Suka bila aku sakit.""Maaf-maaf. Aku cuma bercanda." Deni tertawa.Alisha sejenak terpesona menatap wajah bahagia Deni. Deni segera menghentikan tawanya, kemudian menaik
Alisha tidak dapat tidur. Ia mengalami mimpi buruk. Di dalam mimpinya ia mendapatkan perlakuan buruk dari ibunya Deni. Perempuan ini terbangun ketika ibunya Deni akan menampar wajahnya. Keringat mengalir deras dari pelipis kiri hingga ke dagunya. Ia menelan ludah sambil menggosok wajah. Kilatan cahaya petir tanpa suara kini menerobos masuk dari celah ventilasi di atas jendela. Rupanya tengah ada pemadaman listrik bergilir. Ia mencari sesuatu di laci meja. "Alisha," panggil Deni.Alisha menoleh ke arah pintu." Ya.""Aku membawa lilin." Alisha melihat dengan memanfaatkan penerangan dari cahaya kilatan yang memasuki ventilasi. Ia membuka pintu dan melihat wajah Deni yang diterangi oleh lilin. "Ini lilin untukmu." Deni memberikan lilin yang sudah menyala. "Terima kasih. Em, apa kamu ada? "Aku ada. Pakai saja lilin itu." "Hem, oke." Hatinya berdenyut ketika tidak sengaja menyentuh tangan Deni. "Kamu nggak papa, kan?" Deni heran melihat Alisha yang sepertinya salah tingkah padanya.
Plak! Alisha menampar wajah Dani, setelah itu berlari ke kamarnya. "Kamu salah paham!" Dani berseru sambil menyusul Alisha, tapi perempuan itu telah mengunci pintu sehingga ia hanya dapat terdiam di depan pintu sambil berupaya menjelaskan kesalahpahaman mereka."Aku nggak sengaja, Lis? Aku nggak tahu apa-apa."Alisha menutup kedua kupingnya dengan bantal. Ia sangat kecewa dengan Dani.Dani menghela napas sedalam-dalamnya. Mencoba bersabar dengan sikap Alisha yang enggan mendengar penjelasannya. "Maaf, Alisha. Aku nggak pernah bermaksud merendahkanmu."Alisha terdiam mendengar keputusasaan Dani. Perlahan ia meletakkan bantal sambil merenung. ***Semalam Alisha tidak dapat tidur, jadi ia memutuskan untuk memasak. Meski sangat marah pada Dani, tapi ia tidak mungkin melupakan kebaikan lelaki itu.Dani menatap Alisha, tapi tidak berani menyapanya. Ia makan tanpa bicara sepatah kata pun. Begitupun Alisha, bahkan perempuan itu tidak makan. Sampai pada mereka akan berangkat ke kantor. Alis
Alisha terkejut, buru-buru masuk lagi ke kamar Yeni. "Kamu kenapa?" tanya Yeni. Ia begitu heran saat melihat Alisha yang hampir tersandung saat memasuki kamarnya."Aku nggak sengaja ngelihatin orang di depan kamar ini. Dia marah." Ia melirik ke arah pintu untuk memastikan bahwa orang yang baru saja menegurnya tadi tidak mendatanginya."Mungkin kamu melihatnya tengah marahan sama suaminya. Dia sering begitu." "Aku nggak merasa melihat siapa pun. Bahkan perempuan yang marah tadi. Aneh aja dia bisa lihat aku." "Em, mungkin dia melihatmu di tempat yang kau nggak bisa jangkau," terkanya. Ia sempat berhenti mengemas pakaiannya ketika menjawab pertanyaan Alisha.Alisha memperhatikan pakaian Yeni yang berada di tas dan tas itu belum dikunci oleh Yeni. "Menurutmu ... Dani itu bagaimana?"Yeni menutup tasnya, kemudian meletakkan di lantai, siap untuk dibawa ke hotel. "Baik dan tegas. Kenapa kamu bertanya?" "Aku cuma mau tahu aja.""Loh, bukannya kalian saudara tiri, ya? Masa, nggak tahu?""
"Kamu nggak boleh bersikap begitu sama calon istrimu!" bentak ibunya Dani."Mama lebih bela dia daripada aku. Padahal aku juga belum setuju mau sama dia." "Tante, tolong bersabar. Banyak orang yang melihat kita," kata Melinda. "Ini semua karena kamu!" Dani membentak Melinda dan tegas menunjuk wajah perempuan itu sehingga kini banyak orang yang melihat ke arah Melinda. "Jangan bikin malu!" bentak ibunya sambil menepis tangan putranya.Dani menatap marah pada ibu dan calon istrinya. Setelah itu pergi. ***Dani tidak berbicara sama sekali pada ibunya semenjak terakhir kali mereka berdebat di restoran. Mereka telah tiba di rumahnya, tapi Dani sengaja mengabaikan kedua perempuan itu. Ia masih marah dan merasa tidak dianggap oleh ibunya.Lelaki ini termenung sendiri di dekat jendela kamarnya. Biasanya ia mendengar suara Alisha memanggil dirinya, kini justru Melinda yang datang dengan secangkir teh, berusaha untuk ramah padanya. Namun, Dani tidak peduli."Aku minta maaf karena sudah biki
"UPS, udah tersebar." Perempuan kejam ini tersenyum mengejek Alisha."Jahat!" teriaknya. Perempuan ini ingin mencakar wajah ibu tirinya, dan dengan derai air mata ia melupakan segala kekecewaannya."Alisha, tenanglah!" Dani segera memeluk Alisha. Alisha berusaha melepaskan tangan lelaki yang kini memeluknya. "Aku akan menghajar perempuan itu!" "Ingat kondisi bayimu," bisik Dani.Alisha sejenak terdiam, kemudian menangis. Ia membalas pelukan Dani. "Aku belum menyebarkan video itu, Lis," kata perempuan itu dengan nada jumawa. Alisha menatap tajam ibu tirinya. "Apa maumu, hah?" Perempuan penuh muslihat ini menatap lekat Alisha. "Aku ingin uang sebagai tutup mulut." Alisha yang telah dimakan kemarahan kini langsung menampar wajah ibu tirinya. Kini semua perhatian orang tertuju kepada perempuan itu. "Pergi kau!"Dani menatap puas. Ia memang ingin menampar wajah perempuan pembuat onar itu, tapi sebagai lelaki ia harus bisa menahan diri dari bertindak kekerasan terhadap wanita apalagi
Melinda duduk berhadapan dengan Dani di meja makan. Ia sesekali mencuri pandang pada lelaki itu. "Hari ini kamu harus mengajak Melinda berkeliling," kata Ibunya Dani.Dani segera menyudahi makannya. "Nggak bisa. Banyak urusan hari ini.""Kamu, kan bisa tunda dulu. Melinda baru datang dan kamu sudah sibuk dengan urusanmu sendiri."Dani mendesah jengkel. "Apa Mama nggak bisa ngajak dia jalan? Aku beneran sibuk, Ma.""Ish... sibuk apa, sih? Tunda dulu!" "Mama...," rengek Dani."Dia cuma sementara di sini." Ibunya melirik Melinda. Melinda tersenyum, tapi masih menundukkan kepalanya karena tidak ingin Dani menduga bahwa ia senang dengan pembelaan calon ibu mertuanya.Dani mendesah lagi. Kali ini ia juga menghembuskan napas kasar. "Oke. Kutunggu di mobil." Melinda tersenyum sambil memeluk ibu mertuanya. "Terima kasih, Ma.""Iya. Hati-hati di jalan, ya." Melinda menganggukkan kepalanya kemudian mendatangi Dani di mobil."Aku sibuk," kata Dani saat Melinda telah duduk di mobilnya."Oh, o