Share

Calon Istri yang Tak Diharapkan

Madin bingung melihat reaksi Alisha yang tiba-tiba menangis ketika melihat Deni.

"Kamu kenapa?" tanya Madin.

Alisha menggelengkan kepalanya, tidak ingin menceritakan tentang dirinya dan Deni bertemu beberapa hari yang lalu.

"Dia teman lama, Pak. Mungkin kangen sama sekolah dulu," kata Deni.

Madin tertawa, merasa lucu karena seharusnya reaksi Alisha tidak begitu saat bertemu teman lama. "Kupikir tadi apa?"

"Kami sempat musuhan dulu, pas ketemu sayanya sukses. Mungkin dia malu." 

Alisha tertawa sambil mengusap air matanya. 

"Astaga, cuma itu saja," kata Madin sambil melirik Alisha.

"Berhubung saya dan dia sudah saling kenal, Bapak nggak perlu khawatir. Dia akan saya beri tempat tinggal."

Madin menatap Luna. "Baik-baik bekerjanya, ya?"

Luna menganggukkan kepala. "Terima kasih."

"Sama-sama. Saya masih ada kerjaan. Permisi." Setelah berkata, Madin segera pergi.

Alisha itu kini hanya berdua dengan Deni. Alisha hanya berdiri mematung. Dalam hati ia sangat malu karena telah mengabaikan nasihat Deni dan datang dengan keadaan yang menyedihkan.

Deni menghela napas. "Bagaimana kabarmu?"

Alisha menahan sekuatnya agar air mata tidak mengalir. Namun, percuma karena semakin ditahan semakin ingin menangis. "Aku baik."

Sekali lagi Deni menghela napas. Ia tahu bahwa Alisha kini tengah berbohong.

"Aku nggak bisa memberikan pekerjaan OB ke kamu, Bu Lisha?"

Alisha terkejut. "Kenapa, Pak?" 

Deni menunjuk perut Alisha. "Karena dia."

Alisha menyentuh perutnya. "Saya harus bekerja."

Deni berdiri, kemudian menghampiri Alisha. "Aku khawatir dengannya. Lebih baik kau pulang dan beristirahat saja. Biarkan suamimu yang bekerja. Kau boleh datang lagi setelah melahirkan." 

"Saya bisa bekerja." Alisha menatap Deni.

Sejenak Deni terdiam. "Saya nggak mau ikut campur urusanmu, tapi harus ada alasan supaya kamu bisa saya terima di sini." 

"Dia, bapak dan ibu tiriku...." Alisha menangis. "Mereka mengusirku." 

"What? Apa yang terjadi?" 

"Aku difitnah. Mereka mengambil video di hotel dan mengarang kejadian memalukan sehingga ayahku mengira aku sudah tidur dengan banyak lelaki."

Deni mengepalkan kedua tangan. Ia marah karena perlakuan mereka. 

"Aku tidak punya rumah, uang dan tempat bersandar. Aku bingung." 

Deni menyentuh pundak kanan Alisha, tetapi Alisha malah memeluknya. Ia merasa tidak nyaman, tetapi untuk menolak, ia takut akan membuat Alisha tersinggung. 

"Aku nggak punya siapa-siapa lagi. Tolong terima aku bekerja." 

"Hem, baiklah." 

Alisha melepaskan pelukannya pada Deni. "Terima kasih, Pak. Terima kasih sekali." 

"Berhentilah menangis." Deni menyeka air mata Alisha dengan tisu yang baru diambil dari mejanya. 

Alisha sejenak terdiam. Ia belum pernah diperlakukan romantis oleh lelaki mana pun. Kini perlakuan Deni membuatnya terkesima sampai tak sadar telah menatapnya begitu lama. 

"Maaf." Alisha segera menjauh, mundur dua langkah dari Deni.

"Kamu tinggal di rumah saya dulu untuk sementara, ya, Bu." Bima kembali ke mejanya. 

"Baik, Pak." 

"Maaf kalau di sini nggak bisa ber-aku. Soalnya kita berada di kantor. Kamu paham, kan?" 

"Saya paham, Pak." 

Deni melirik melihat arlojinya. "Kamu tunggu saja di sofa itu. Pas jam makan siang saya antar kamu ke rumah." 

Alisha menganggukkan kepalanya. Ia berjalan menuju sofa yang berada di sisi ruangan itu, kemudian duduk di sana. Ada televisi di sana, tapi ia tidak berani menghidupkannya. 

***

12:20, Alisha dan Deni telah berada di rumah. Alisha kebingungan saat melihat rumah itu yang berbeda dari yang waktu  di lihatnya.

"Aku sempat meminta beberapa orang untuk merenovasi tempat ini," kata Deni.

Alisha mengangguk-angguk. "Padahal baru beberapa hari."

"Kuberi waktu dua hari untuk mengecat dan memerbaiki beberapa." 

Deni berjalan ke taman belakang. Alisha takjub melihat pemandangan itu. Ada bunga mawar yang berada di ujung pagar. Pohon mangga dan pohon cempedak. "Kalau kau mau, ambillah."

"Apa nggak ada yang marah kalau kamu membawaku kemari?" 

Deni menatap Alisha. "Nggak. Ini rumahku."

"Ibumu di mana?" 

"Dia ada di Balikpapan." 

Perut Alisha tiba-tiba berbunyi. Perempuan itu malu karena Deni harus mendengarnya. Alisha menyengir sambil berkata, "Sorry. Aku lapar." 

Deni tersenyum. "Aku akan memasak untukmu." 

Deni diikuti oleh Alisha pergi ke dapur. Perempuan itu duduk di depan meja tempat meletakkan makanan dan sayur, sedangkan Deni sibuk memasak.

"Apa perlu aku membantumu?" Alisha bertanya.

"Tidak perlu." Deni mengambil sebotol susu putih dan kemudian menuang susu ke gelas, setelah itu diberikan pada Alisha. "Minumlah."

Alisha meminum susu itu. Setelah itu ia melirik ke luar pintu dapur. Perempuan ini melihat mangga muda. 

Deni menoleh ke arah luar. "Apa yang kau lihat?"

Alisha menggelengkan kepalanya.

Deni tahu bahwa Alisha ingin makan mangga, jadi ia menunda masakannya. Deni pergi ke luar. 

Alisha melihat Deni mengambil mangga dengan sebatang kayu. Ia membayangkan memiliki Suami seperti itu. "Andai saja, huh, tapi nggak mungkin." 

Deni datang dengan dua buah mangga muda. Ia mengupas mangga kemudian menyajikan ke piring, lengkap dengan garam. "Makanlah." Setelah itu ia kembali memasak.

Alisha tengah asyik memakan mangga. Tiba-tiba ponsel Deni berdering di atas meja. Ia sempat membaca nama orang yang menghubungi Deni. 

"Aku terima telepon dulu." Deni segera keluar. Ia kini berada di luar dapur.

"Kapan kamu mau menikah?" tanya ibunya yang berada lewat telepon.

Deni memijat keningnya sambil menghela napas berat. "Aku belum memikirkan itu, Ma."

"Melinda sudah jamuran nunggu kamu. Cepatlah ambil keputusan." 

"Aku nggak cinta sama dia, Ma."

"Apaan, sih? Pake cinta-cintaan segala. Nikah dulu, cinta belakangan."

"Nggak bisa begitu, Ma. Aku nggak mau tinggal bersama orang yang nggak aku sayang. Kalau nanti jadi nikah juga, toh, aku nggak bisa pura-pura terus apalagi nanti kalau ternyata aku suka sama cewek lain, nah, gimana itu?" 

"Ribet banget, sih, hidupmu. Pokoknya aku nggak mau tahu. Besok dia datang. Kamu harus baik sama dia. Dia juga akan nginap beberapa hari." 

"Astaga, Ma. Kenapa nggak jujur ke dia? Aku nggak mau sama dia." 

"Pokonya harus. Awas kalau kamu buat dia marah."

"Ma, Mama!" Pembicaraan berakhir membuat Deni prustasi. 

"Aaah!" Alisha berteriak.

Deni terkejut. "Alisha!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status