Share

Bab 4. Hasutan Setan

Cukup lama kami bersitegang. Aku senang melihat raut wajah ibu dan Nila yang tampak pucat. Apa sungguh dia ketakutan melihat aku yang mulai berani setelah hampir tiga tahun menjadi babu di rumah suami sendiri? Cuih, sekalipun mereka menangis darah, aku tidak akan pernah memberi maaf.

Luka yang digores dalam hati kecil ini sudah terlalu menganga. Disebabkan perlakuan mereka, aku sudah melakukan percobaan bunuh diri hampir empat kali dalam dua tahun terakhir. Lucunya, Mas Dimas selalu berhasil mencegah, walau tetap saja berujung perdebatan panjang di mana aku dianggap salah karena tidak mampu bersabar.

Sabar seperti apa yang mereka inginkan? Pertanyaan itu selalu hadir dalam benak, setiap malam sebelum aku kembali memejamkan mata.

"Apa-apaan ini?!"

Kami bertiga menoleh ke sumber suara. Aku segera menyambut Mas Dimas yang berdiri di beranda pintu dengan kedua mata menatap penuh kebencian pada istri sendiri. Namun, semua itu bukan masalah lagi karena aku sudah sering menerima perlakuan buruk dari suami pula ketika mencoba membela diri.

"Ibu kamu, seperti biasa selalu maksa aku buat nyuci baju kotornya sekalian sama punya Nila. Ya, seperti babu yang melakukan semua pekerjaan rumah sendirian, padahal di rumah ini ada tiga perempuan dan ketiganya masih sehat. Jadi, aku beri pelajaran. Kamu seneng gak?" Aku sengaja bergelayut manja di lengan Mas Dimas agar dia merasa kesal.

"Kamu ini sudah gila, Ana?!" bentak Mas Dimas menarik kasar tangannya lantas menoyor kepalaku berulang kali. "Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan?!"

Setelah Mas Dimas menghentikan toyoran itu, aku melirik santai ke arah kanan. Ibu mertua dan Nila duduk di lantai dalam keadaan terikat. Ah ya, aku sampai lupa kalau tadi mengikat mereka dengan tali jemuran. Sebenarnya rencana ini sudah lama ingin aku wujudkan, tetapi belum menemukan saat yang tepat.

"Istri kamu ini emang sudah gila, Dimas. Lihat ibu sama Nila, kita berdua disiksa. Ana selalu pandai mengarang cerita, mengaku dianggap babu lah, dipaksa nyuci pakaian kotor tiga rak sekaligus lah, padahal faktanya nggak begitu. Tadi ibu nyuci baju kotor kalian dan tidak dibolehkan pakai mesin cuci, katanya listrik itu mahal. Dibantu malah gak tahu terima kasih, malah asik-asikan bobo di kamar seharian. Sekalinya keluar, ya kami disiksa." Ibu mertua mengadu, tetapi aku membiarkannya.

"Betul, Mas. Tadi aja aku pengen makan disuruh beres-beres dulu. Lihat muka aku ini ada lebam karena dia pukul. Kalau gak dilawan, mungkin aku sudah mati di tangan Mbak Ana, Mas. Katanya, kita berdua tinggal di sini itu sebagai penumpang, jadi harus tahu diri," sambung Nila memaksa aku menaikkan sebelah alis karena tidak menduga dia berani mengarang bebas seperti yang dilakukan ibunya.

Mas Dimas segera melepas tali yang mengikat ibu dan adiknya, kemudian meminta mereka menepi. Setelah itu aku dipaksa duduk untuk diintrogasi. Aku sudah bisa menebak alur sendiri karena terbiasa diadukan sebagai tersangka oleh mertua sendiri. Betapa iri hati melihat perempuan yang bahagia dengan suami, juga dicintai mertua dan saudara iparnya. Ini hanya sebatas angan, bukan ingin.

"Sekarang mas mau tanya sama kamu, kenapa kamu tega melakukan itu semua? Sudah tidak menganggap ibu seperti ibu kandung kamu lagi? Atau mungkin karena Nila tidak punya pekerjaan?"

Aku memilih diam. Benarkah Mas Dimas tidak tahu alasannya atau hanya sedang berpura-pura demi terlihat baik di mata keluarga sendiri? Entah, aku sendiri belum bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Mas Dimas, juga bingung dia ini bodoh atau polos?

"Dulu di awal kita bertemu, mas akui kamu itu gadis yang baik. Hampir setiap hari kamu menanyakan kabar ibu dan juga Nila. Kenapa setelah menikah, semuanya berubah padahal sekarang kamu adalah menantu di rumah ini." Mas Dimas kembali membuka suara, ekspresinya sudah tidak sesangar tadi.

"Aku menantu di rumah ini? Mas jangan bercanda, aku istri di rumah ini, Mas. Emang rumah ini milik ibu kamu?"

Mas Dimas menaikkan sebelas alisnya seperti orang yang sedang mencerna ucapan. Dia benar-benar bodoh, selalu berhasil ditipu oleh ibu dan adik sendiri. Lihatlah dua perempuan sialan itu, mereka kompak mendekati Mas Dimas dan terus mengadu yang tidak-tidak.

"Kalau kamu keberatan menafkahi aku gara-gara pengen membahagiakan ibu sama adik kamu, sebaiknya nikahi saja salah satu dari mereka. Bahagiakan mereka semau kamu, Mas dan lepaskan ikatan pernikahan kita!" pintaku tersulut emosi.

Mas Dimas melipat bibir, sedangkan ibu mertua melotot tajam. Kenapa dengan perempuan tua itu? Dia sangat hobi melotot dan aku berharap mata itu melompat saja keluar daripada aku congkel dengan paksa. Jahat? Tidak, mereka yang memaksaku berpikir demikian padahal sebelum menikah memang sudah menganggapnya sebagai keluarga, saling tolong-menolong jika mendapat kesulitan.

"Udah, ceraikan saja dia, Mas. Di luar sana masih banyak cewek yang cantik dan juga kaya, tentu selevel sama kita. Makanya tuh sejak awal aku nggak setuju kamu nikah sama anak panti, gini, kan, jadinya?"

Ibu mertua mengangguk setuju dengan hasutan Nila tepat di telinga kanan Mas Dimas, dia pun menambahkan, "Betul, tuh. Lihat istrimu, malu-maluin kalau mau dibawa kondangan atau party sama rekan kerja kamu. Udahlah dekil, miskin, burik, kurus, hidup lagi. Mending ceraikan dia. Toh, nggak ada yang bisa diharapkan dari Ana."

"Iya, Mas. Mbak Ana itu kan perempuan mandul!" timpal gadis sialan itu sekali lagi.

Mereka bertiga menatap aku dengan tatapan yang entah, sulit diartikan. Akan tetapi, perlu mereka tahu kalau di sudut hati terdalam ada luka baru. Dikatai mandul karena belum pernah hamil setelah menjalani pernikahan selama tiga tahun? Terlalu gegabah. Aku sudah sering mendesak agar kami melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan, tetapi Mas Dimas kerap menolak. Untung terakhir kali membujuk, dia mau meski langsung pergi tanpa melihat hasil.

Ini sulit dimaafkan. Aku pun tidak akan mau lagi menjadi menantu jika terus saja mendapat penghinaan. Mas Dimas termasuk satu dari sekian banyak suami lemah yang selalu bersembunyi di ketiak ibunya dengan alasan berbakti karena surga ada di telapak kaki ibu. Kalau saja tahu dia selemah itu, aku tidak akan sudi menerima lamarannya dahulu. Dia yang tergila-gila, mendesak agar aku bersedia menjadi istrinya, ternyata bukan tolak ukur kebahagiaan.

"Ayo, Mas. Ceraikan saja dia. Masih banyak kok perempuan yang mau sama kamu, single atau janda asal tajir dan cantik, Mas. Ayolah, ceraikan demi kesehatan mental kamu. Orang mandul gitu gak ada manfaatnya dipertahanin!" bujuk Nila lagi semakin terang-terangan.

"Aku menjatuhkan talak tiga untukmu, kita bukan suami istri lagi!" Ucapan Mas Dimas bagai sambaran petir di siang bolong. Talak tiga?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Elena Wills
suami kek lo ga pantes dipertahankan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status