Sumiyati hanya diam, wajahnya terlihat murung ketika pemuda yang baru saja ia kenal itu menanyakan tentang calon suaminya yang tidak ikut pulang bersamanya. Gadis itu mengenakan kembali masker duckbill yang ia pakai, kekecewaan yang tergambar di wajahnya tersamarkan ketika ia mengenakan kembali masker tersebut.
"Ah, pasti calon suami Mbak sibuk ya?! Dia pasti punya pekerjaan mapan sehingga tidak bisa pulang ke kampung sama Mbak. Wah beruntung sekali punya calon imam seperti itu," ucap Ilham meneruskan ucapannya ketika tahu Sumiyati tak bisa menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. "Ayo Mbak, itu mobil saya yang warnanya hitam."Ilham tersenyum, ia menunjuk pada mobil sedan mulus warna hitam yang terparkir rapi di luar terminal. Sekali lagi Sumiyati merasa rendah sekaligus takjub, pemuda yang sangat ramah itu bahkan memiliki kendaraan pribadi yang cukup bagus untuk ditumpangi."Itu-itu mobilnya Mas?" Sumiyati bergumam lirih, merasa ragu untuk mengikuti langkah Ilham."Iya Mbak, kenapa Mbak? Jelek ya?! Maaf Mbak, saya punyanya cuma itu." Ilham menyeringai, sama sekali tidak tersinggung bilamana Sumiyati mengatakan mobilnya jelek. Ya wajar jelek sih soalnya mobilnya keluaran tahun lama."Oh, enggak kok Mas. Mobilnya justru bagus, saya malah ragu ingin menaikinya. Sandal saya jelek dan kotor Mas, nanti malah ngotorin lagi."Ilham tertawa, ia bisa tertawa lepas kali ini karena gadis bernama Sumiyati ini. "Oalah Mbak, kotor ya dicuci. Kayak gak ada air aja. Yuk Mbak, kita makan dulu yuk."Ilham lalu berjalan duluan menuju ke mobil, ia membuka kunci pintu mobil dan mempersilakan Sumiyati untuk masuk ke dalam. Layaknya seorang gadis terhormat, Ilham bahkan menbukakan pintu khusus untuk Sumiyati. Perlakuan manis itu membuat wajah Sumiyati memerah dan salah tingkah."Kita makan apa Mbak?" tanya Ilham ketika ia masuk ke dalam mobil, melepas tas ransel milik Sumiyati lalu memakai seatbelt. "Bagaimana kalau bakso rusuk? Sekitaran sini ada warung bakso yang terkenal enak."Sumiyati terdiam, ia memikirkan sisa uang yang masih ia kantongi. Uang itu ia jadikan pegangan selama belum gajian, jika ia menggunakannya untuk membeli bakso rusuk yang harganya mahal itu artinya—Ilham lagi-lagi terkekeh, ia menyalakan mesin mobil lalu meninggalkan area terminal. "Saya yang traktir Mbak, nggak usah ragu. Anggap saja ini sebagai traktiran pertama sebagai tanda persahabatan.""Ah nggak usah Mas, saya aja yang bayar. Saya masih ada uang kok," tolak Sumiyati dengan enggan."Nggak papa Mbak, yang tenang aja." Ilham terlihat tak keberatan. Ia terus menatap jalanan ramai yang terdapat di depannya, kali ini ia berniat untuk mengajak Sumiyati makan di warung bakso yang viral di tok-tok itu."Mas, saya jadi nggak enak nih. Apa-apa yang bayarin Mas," gumam Sumiyati lirih sambil tertunduk."Nggak papa Mbak, ya kalo Mbak nggak enak bayar saja nanti kalo pas gajian. Gimana? Enak nggak? Biar Mbak gak bingung dan merasa nyaman juga temenan sama saya." Ilham berkata tenang sesekali ia menatap wajah Sumiyati lalu tersenyum."I-iya deh, nanti kalo gajian saya balikin sama uang yang tadi ya?!""Siap Bosku!" Ilham mengangguk-angguk, tersenyum dan terkekeh dengan suasana canggung di kala senja menjelang malam tersebut.Dengan mobil sedan yang ia punya, Ilham akhirnya mampir juga di warung bakso yang ia maksud. Perkenalan pertama bukankah harus berkesan baik, bukankah begitu?!**"Jadi calon suami Mbak itu kerja jadi tukang ojek online ya Mbak?" Ilham mengulangi apa yang menjadi ucapan Sumiyati barusan.Gadis itu mengangguk, menatap mangkuknya yang penuh dengan butiran bakso dan juga rusuk sapi. Mengembuskan napas panjang, Sumiyati melanjutkan ucapannya."Kerjaannya selalu sibuk Mas, dia kerja dari pagi sampai malam. Kita aja jarang ketemu kecuali kalo pas pagi mau berangkat kerja aja.""Nggak papa Mbak, saat ini cari kerja aja susah. Bersyukur calonnya Mbak Sum kerja, coba kalau dapat pengangguran kayak saya. Wah pasti tekor mbaknya," hibur Ilham lalu terkekeh. Pria itu menyendok kuah bakso, meniupnya sejenak lalu menyeruputnya perlahan."Iya sih Mas, bersyukur juga. Setidaknya dia mau kerja keras dan mau nabung untuk pernikahan kami nanti.""Bagus sih Mbak planningnya." Ilham manggut-manggut, ia fokus pada mangkuk baksonya yang masih mengepulkan asap panas."Mas sendiri kerja apa sebelumnya?" Sumiyati kini balik bertanya, ia mengambil butiran bakso dengan garpu yang ia pegang lalu mengunyahnya."Kan saya pengangguran Mbak," jawab Ilham sekenanya lalu kembali terkekeh. "Pengangguran ya kerjanya makan tidur aja di rumah. Mau bagaimana lagi?!"Mendengar candaan Ilham sejenak rasa bosan Sumiati hilang, ia tersenyum tipis lalu melanjutkan aktifitasnya makan bakso malam itu."Sama seperti Mbak, kalo saja bencana itu tidak datang mungkin tahun ini saya juga menikah mbak," ucap Ilham setelah jeda sesaat. Wajah pria itu terlihat mulai serius, ada mimik sedih yang terlukis disana."Bencana apa Mas?" Sumiyati mengerutkan dahi, ia hampir tak percaya jika pria humoris dan ramah sepertinya memiliki masalah hidup yang Sumiyati sendiri tidak menyadarinya."Iya Mbak, calon saya hamil sama pria lain. Padahal waktu itu kami sudah tunangan tiga tahun lamanya," cerita Ilham tanpa menatap bola mata Sumiyati."Kenapa bisa Mas?""Ya bisalah Mbak, kan mereka cewek cowok. Ya bisalah hamil," seloroh Ilham membuat Sumiyati harus melepaskan ketegangan yang tercipta kala itu."Iya Mas, maksud saya kenapa bisa kejadian seperti itu?!" Sumiyati mengusap dahinya yang berpeluh, bakso yang ia makan terasa panas dan juga pedas namun apa yang dikatakan Ilham membuat suasana makin pedas."Bisa Mbak, kami tinggal di kota yang berbeda. Saya besar di Jakarta ikut Bapak sejak kecil sedang dia ada di Jogja untuk kuliah. Saya sih percaya-percaya saja Mbak wong dia juga anaknya alim pinter dan pokoknya Sholehah sekali. Tapi beberapa bulan terakhir tiba-tiba orang tua dia W******p saya, bilang kalo sebaiknya pertunangan dibatalkan saja." Ilham mulai bercerita sambil memandikan bakso di dalam mangkuk dengan kuahnya beberapa kali, wajah pria itu terlihat sedih. "Pada awalnya saya kaget Mbak, loh kok bisa gitu? Ada apa?! Eh usut punya usut dia udah hamidun sama temen kuliahnya di Jogja."Sumiyati terdiam, ia mendengarkan cerita Ilham penuh seksama. Nasibnya hampir sama dengan ketiga calon suaminya yang kabur akibat masakan asin buatan ibunya. Rasanya Sumiyati juga ingin bercerita tapi apakah pantas masalah pribadi seperti ini diumbar terlebih pada pria yang baru beberapa jam ia kenal?!"Saya turut berduka ya Mas, semoga Mas segera didekatkan sama jodohnya yang baru.""Aamiin Mbak, aamiin." Ilham mengamini sambil mengangguk. "Saya juga sudah ikhlas kok Mbak, mungkin benar dia bukan jodoh terbaik untuk saya."Ilham menutup ceritanya sambil tersenyum. Ia lalu kembali fokus pada bakso yang mulai mendingin di mangkok bakso. Kedua pemuda-pemudi berbeda usia itu kini sibuk makan malam dengan bakso rusuk yang nikmat serta banyak isinya. Satu porsi mangkok bakso cukup membuat perut mereka terasa kenyang."Setelah ini Mbak mau balik lagi ke Semarang? Gimana dengan Bu Saritun Mbak? Beliau sudah tua, kasihan kalo sendirian di rumah." Ilham kembali bersuara setelah bakso di mangkoknya telah habis."Nggak tahu Mas, kita lihat aja perkembangannya Ibu kayak apa. Kalo memang tidak memungkinkan ya terpaksa nggak balik Mas," jawab Sumiyati sambil mencabut tisu dan membersihkan mulutnya."Gak usah kerja aja Mbak, kan calonnya udah kerja. Suruh aja tinggal di sini lalu nikah, kalian berdua bisa rawat ibu sama-sama," saran Ilham sambil tersenyum.Sumiyati balas tersenyum, ia tidak menjawab apa yang dikatakan Ilham kepadanya. Andai saja Ilham tahu yang sebenarnya, andai saja pria ini tahu alasan kenapa Mas Susilo tidak mau ikut pulang kampung bersamanya. Ah, rumit sekali kisah cinta ini!"Mbak, calon suami Mbak itu kayak apa ya? Pengen kenalan aja siapa tau kita nyambung dan bisa temenan juga." Ilham berkata dengan ramah. "Kapan-kapan ajak Mas-nya pulang ya Mbak, kenalin ke saya. Saya pengen ketemu dan kenalan juga, boleh kan Mbak?"***Sesampainya Sumiyati di rumah sakit, wajah gadis itu nampak menegang. Keadaan ibunya yang tak kunjung siuman menjadi beban tersendiri untuknya.Setelah memakai seragam berwarna biru untuk menjenguk ibunya yang masih dirawat di ICU, air mata Sumiyati sama sekali tidak bisa terbendung melihat kondisi Bu Saritun yang pucat dan terbujur tak sadarkan diri di atas ranjang putih."Assalamualaikum Bu, Sumiyati pulang. Ibu bangun ya, bukankah Ibu kangen banget sama Si Sum?" bisik Sumiyati di telinga kiri ibunya. Gadis itu menghapus air mata yang merembes di sudut mata kirinya. Kesedihan yang ia rasa akibat melihat ibunya seperti itu sama sekali tidak bisa dibendung.Hingga sang dokter jaga datang, meminta untuk Sumiyati keluar dan berjaga di luar sana. Sumiyati menarik napas, menerima perintah dokter meskipun ada berat yang terasa.Berjalan keluar dari ruangan Bu Saritun, Sumiyati harus menghadapi Bu Wiryo—ibu kandung dari Ilham Suntoro."Terima kasih ya Bu sudah bantu Ibu saya pergi ke rumah
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Sumiyati untuk merenung. Semua cerita yang disampaikan Bu Wiryo begitu jelas dan masih terngiang di kedua telinganya.Sumiyati tidak mampu terpejam, cerita yang diberikan Bu Wiryo benar-benar menguras energinya saat ini. Gadis itu menelan ludah, tidak terpikirkan bagaimana penderitaan ibunya kala itu. Rasa sakit yang menimpanya hingga kehilangan salah satu saraf yang berakibat fatal.Sekarang, setelah tahu semuanya, apakah Sumiyati berani untuk meninggalkan ibunya barang sejenak?! Gadis itu menarik napas, ia merasa gelisah luar biasa. Kata dokter yang ia temui beberapa jam yang lalu, kemungkinan untuk Bu Saritun sembuh hanya beberapa persen saja. Beliau memiliki luka dalam yang seseorang tidak pernah tahu betapa sakitnya penderitaan itu.Andai saja Allah memberi Sumiyati kesempatan maka Sumiyati akan menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Ia tidak akan mengumpat ibunya lagi walau dalam hati, ia bahkan ikhlas lahir batin jika diminta untuk
Sumiyati melangkah cepat memasuki ruang ICU, mengabaikan perasaannya yang buruk terhadap telepon Susilo yang baru saja memporak-porandakan perasaannya. Tersenyum manis pada wanita tua yang telah mensgndungnya tersebut, Sumiyati menggenggam tangan Bu Saritun dengan penuh cinta."Assalamualaikum Bu, selamat pagi." Sumiyati menyapa ibunya di pagi yang cerah dan mulai panas tersebut. Sebuah senyuman ia haturkan pada sang ibunda yang lambat laun baru disadarinya telah berkorban banyak dalam hidupnya.Wanita tua dengan kepala dibalut perban itu tersenyum lemah, perlahan tangannya yang ringkih menyentuh pipi Sumiyati dengan lembut. "Wa'alaikum salam, Nduk. Selamat pagi."Keduanya terdiam seribu bahasa, hanya saling menatap satu sama lain seolah tidak ingin terpisahkan oleh jarak dan juga waktu.Menarik napas panjang, Sumiyati duduk di kursi yang sudah disediakan di dalam ruangan itu lalu menatap ibunya lekat-lekat. "Maafin Sum ya Bu, Sum bahkan tidak memiliki perhatian lebih untuk Ibu. Bahka
"Mas Ilham—" Sumiyati tertegun saat sosok berperawakan kurus tinggi dengan wajah tampan itu menyodorkan sebuah tisu ke arahnya. Dengan senyuman manis yang terlukis di bibirnya, Ilham mencoba memahami apa yang tengah terjadi pada diri Sumiyati saat ini. "Ambil tisu ini, hapus air mata yang sudah jatuh ke pipi. Saya tidak tahu kesedihan apa yang membuat kamu menangis, hanya saja saya peduli dan ikut bersedih saat melihat kamu menangis."Sumiyati menatap tisu berbungkus plastik warna pink tersebut dengan tatapan ragu, tisu dengan harga seribuan itu perlahan ia ambil dari tangan Ilham. "Terima kasih Mas."Gadis itu menunduk, mencabut tisu dari bungkus plastik lalu mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Ilham menarik napas, ia duduk di sebelah Sumiyati dengan gusar. "Kamu lapar tidak? Sembari menunggu Bu Saritun pindah kamar, bagaimana jika kita jajan bubur ayam di depan rumah sakit? Aku dengar bubur ayam di pojok rumah sakit rasanya nikmat dan juga murah."Sumiyati meng
"Mau pinjam uang Bu?" Susilo mengulangi apa yang baru saja ia dengar dari ibunya. Rasanya ia menyesal karena telah mengangkat panggilan ibunya yang selalu saja terkait dengan uang."Iya, pinjam uang. Kamu ada 'kan? Kalo misal kagak ada coba deh kamu minta bantuan sama Sum. Demi adik iparnya, Ibu yakin kok Sum pasti mau. Dia kan baik hati, Sus.""Empat juta mana ada Bu?! Ibu tahu sendiri 'kan kalo aku sama Sum kerja mati-matian untuk biaya nikah kami akhir tahun ini." Susilo memberi pengertian, sedikit keberatan jika wanita yang sudah melahirkannya itu meminjam duit sebegitu besarnya."Kan masih akhir tahun, masih ada waktu tiga bulan lagi buat kembaliin duitnya. Lagipula duit segitu pasti kecil-lah buat Sumiyati, dia kan kerja di pabrik obat, gajinya besar setiap bulan. Harusnya Sum itu kasih duit sama Ibu jadi Ibu nggak perlu lagi minjam-minjam sama dia kayak orang lain."Susilo terdiam, ia terpaku sesaat dan bingung harus menjawab apa pada perkataan ibunya. Haruskah ia meminjami wan
"Apa Sum? Menunda pernikahan?" Susilo melebarkan bola matanya. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu mengatupkan bibir dan berwajah masam. "Kamu tidak bisa memutuskan dengan sepihak seperti itu Sum, kita sudah berjuang selama ini. Hanya karena ibumu sakit kamu rela menunda pernikahan kita? Hmm.... Aku sungguh tidak percaya.""Kalau begitu kirimkan saja uangnya Mas, nyawa ibuku jauh lebih penting dari apa pun." Sumiyati bersikeras, kali ini ia tidak ingin kalah dari Susilo. Ya, setiap kali Sumiyati meminta uangnya untuk hal-hal mendesak pasti Susilo tidak pernah memberinya. Tentu saja Sumiyati harus berhutang pada teman-temannya hingga akhirnya ia dijuluki si ratu hutang."Tapi Sum, uang itu—uang itu tidak ada," jawab Susilo mulai merendah. Ada nada bingung yang mampu ditangkap oleh Sumiyati sekarang. "Kalo kamu minta empat juta aku belum bisa kasih sekarang Sum.""Kenapa Mas? Uangnya tidak ada, tidak ada gimana maksudnya?" Sumiyati tercengang, jantungnya seolah dipukul palu besar. Ia
"Memangnya kalau ingin berbuat baik harus memiliki alasan ya Mbak?!" Ilham tiba-tiba membalik pertanyaan Sumiyati. Pertanyaan yang membuat Ilham bingung harus menjawab apa sebelumnya. Sumiyati hanya diam, ia menggelengkan kepala lalu kembali menunduk. Sepertinya ia terlalu lancang jika menanyakan alasan pribadi kenapa Ilham begitu ringan tangan terhadapnya. Mungkin saja Ilham memang memiliki sifat murah hati tersebut kepada siapa pun."Maaf Mas, saya cuma tanya aja. Mungkin sudah menjadi sifat Mas kali, suka menolong sesama." Sumiyati lantas meminta maaf atas apa yang sudah ia katakan sebelumnya. Ia tidak ingin Ilham merasa sungkan terhadapnya hanya karena pertanyaan aneh dan abstur tersebut."Kalo bisa kalau mau nolong itu jangan ada alasan Mbak, nanti Allah nggak ridho." Ilham lagi-lagi berkata dengan benar, perkataan yang membuat Sumiyati merasa bersalah luar dan dalam. Sumiyati menyadari kekeliruannya, gadis berambut panjang itu memilih untuk menganggukkan kepala tanpa menatap k
Sekali lagi Ilham merogoh tabungannya untuk Bu Saritun, ia membantu Sumiyati tanpa pamrih. Baginya membantu orang dijadikan sarana untuk bersedekah sekaligus mencari amalan.Kelakuan Ilham yang begitu ringan hati dan sama sekali tidak mengeluh membuat Bu Wiryo menggelengkan kepala. Ia hanya bisa berdecap sambil bersedekap saat melihat putra semata wayangnya nampak repot menyediakan beberapa uang yang ia ambil dari brankas pribadinya."Begitu saja terus, sampai tabungan kamu ludes." Bu Wiryo menyinggung, jujur kepalanya berdenyut ketika memikirkan sikap Ilham yang begitu ringan soal uang. "Ibu tak habis pikir kenapa kamu ringan soal duit sama orang. Hati-hati Ham, Ibu nggak pengen kebaikan hati kamu itu dimanfaatkan orang."Ilham menatap ibunya sejenak, diam adalah salah satu watak Ilham yang berhasil membuat darah tinggi ibunya naik."Ham, Ibu itu bicara sama kamu loh! Bukan sama tembok," ucap Bu Wiryo lagi. Ia mendengkus lalu duduk di atas ranjang Ilham."Iya Bu, Ilham dengar kok." I