"Lepaskan aku! Ibu! Jangan sakiti ibuku!"
"Rasakan ini! Rasakan!" Serena menggigil kedinginan ketika tubuhnya disiram air dingin bertubi-tubi. Siraman air berhenti, kini tubuhnya diseret paksa untuk kemudian dilempar ke dalam gudang. "Rasakan itu, berani kau menolak perintah Papa." Suara Thalia terdengar sangat puas, memandang tubuh Serena yang basah kuyup dengan bibir memucat, juga badan bergetar. "Ibu, Ibu! Ibu tidak apa-apa?" Serena merangkak ke arah sang ibu lalu membuka ikatan tangan dan kakinya. Juga lakban yang menutup mulut Nereida. "Rena, kamu kedinginan." Nereida berniat memeluk Serena. Tapi sang gadis menolak. "Nanti baju Ibu ikut basah. Rena tidak mau Ibu ikut sakit. Ini simpanlah." Serena mengulurkan sebotol obat yang ragu untuk Nereida terima. "Ini gaji terakhir Serena, Bu. Simpan, Serena tidak tahu lagi kapan akan mendapat uang untuk beli obat Ibu." Nereida segera memeluk Serena yang tampak pasrah, tak bisa menolak keinginan sang ibu. "Serena akan baik-baik saja, Bu. Seperti kata Ibu. Serena ini kuat." Buah dari Serena menolak keinginan Frans, dia disiram berember-ember air di malam yang nyaris mencapai puncaknya. Ditambah cuaca dingin tengah melanda, bisa dibayangkan bagaimana Serena harus bertahan. Dia tidak mau terlihat lemah di hadapan Frans. Satu-satunya hal yang membuat Serena kalah adalah Nereida. Dia tidak sanggup melihat sang ibu diikat tangan dan kakinya lalu disumpal mulutnya. Nereida dipaksa melihat bagaimana Serena disiksa. Tidak ada yang bisa Nereida lakukan selain menangis dan berdoa, supaya putrinya diberi kekuatan untuk bertahan. Keduanya berada di gudang, kemungkinan mereka akan dikurung di sana malam ini. Tidak ada makanan, tidak ada tempat tidur yang layak. Hanya lantai tanah beralas jerami. "Maafkan Ibu, Rena. Karena Ibu kamu jadi menderita." Kata Nereida seraya terus menitikkan air mata. "Kenapa kita tidak minta bantuan Kak Ravi saja. Dia pasti mau membantu kita." Nereida hanya diam mendengar perkataan Serena. Yang Serena tahu, Ravi Alexander adalah satu-satunya keluarga sang ibu yang masih tersisa. Pria itu juga baik pada Serena. Pria tampan yang selalu membuat Serena bahagia dan tersenyum. "Tidak bisa, Rena. Mereka membenci Ibu. Karena Ibu tidak menuruti nasehat mereka agar tak menikah dengan Frans. Mereka menilai Frans tidak pernah mencintai Ibu." Lirih suara Nereida sudah cukup untuk menggambarkan betapa nestapanya hidup perempuan tersebut. "Dan terbukti benar kan. Dia itu cuma mau menguasai harta Ibu. Lihat sekarang, dia mencampakkan Ibu begitu saja. Jika dia pria baik, Rena rela pergi jika dia tidak mau melihat Rena. Tapi dia ... jahat, kejam, tidak punya hati." Nereida menunduk dia akui yang dikatakan Serena benar. Dia yang terlalu mencintai Frans, sampai rela dimanfaatkan. Hal inilah yang membuat keluarga Ravi murka, hingga membenci Nereida. Tersisa Ravi yang tetap bersikap baik pada Serena dan ibunya. "Hati-hati kalau sedang bicara." Nereida pada akhirnya hanya bisa memperingatkan Serena Jika ada yang mengadu, hukuman Serena bisa tambah berat. Terkadang dinding pun bisa mendengar. Namun Serena acuh saja. Dia menyandarkan tubuh ke dinding kayu. Coba melawan dingin yang masih menyiksa. Netra birunya memandang langit-langit tinggi di atasnya. Seingat Serena, dia dan ibunya sudah diperlakukan buruk sejak dia masih kecil lagi. Dulu dia tidak tahu kenapa dia dibedakan dalam segala hal. Lambat laun Serena akhirnya mengerti kalau dia bukanlah anak kandung Frans. Dia anak yang Nereida akui lahir dari pria yang tidak diketahui identitasnya. Bahkan sang ibu tidak tahu siapa yang sudah menanam benih malam itu. Serena disuruh bekerja di rumah itu jika ingin makan. Sebelum pergi bekerja di restoran, Serena harus membantu pekerjaan pekerja lain. Pun dengan sang ibu. Perempuan berstatus nyonya di kediaman besar tersebut punya pekerjaan mencuci piring dan merawat kebun. Padahal fisik Nereida sangat rapuh. Tapi Frans dan yang lainnya tidak peduli. Untungnya Serena masih diizinkan bersekolah, hingga gadis itu bisa membaca dan menulis. Tidak ketinggalan pelajaran meski hanya sampai sekolah menengah atas. "Ibu tahu kan, kalau aku tidak takut dengan apapun. Aku hanya takut jika Ibu kenapa-kenapa. Takut kalau Ibu terluka." Bulir bening mengalir dari mata Serena yang memandang kosong langit-langit gudang. "Ibu akan bertahan. Kamu jangan khawatir," ujar Nereida menenangkan. Tanpa sadar dia ikut menitikkan air mata. Sudah banyak penderitaan yang Serena alami. Dicaci, dimaki, dihina. Belum kekerasan fisik yang terkadang Serena terima karena hal sepele. Perempuan itu ingat bagaimana punggung Serena berdarah-darah saat Frans mencambuknya. Semua hanya karena laporan Thalia yang mengatakan kalau Serena menggoda Ravi. Thalia sudah lama menyukai Ravi Alexander, tapi pria itu tak pernah menggubrisnya. Ravi justru bersikap baik pada Serena. Hal ini yang memicu kemarahan Thalia. Nereida menghela napas. Serena harus pergi dari sini. Rumah ini bukan tempat yang aman untuk sang putri. Itu belum ancaman lain yang datang dari Anthony. Walau sudah punya tunangan, Anthony masih tetap mengincar Serena. Entah apa yang Anthony pikirkan. Pria itu beberapa kali mencoba menyentuh Serena. Namun sejauh ini usahanya selalu gagal. Mungkin karena Anthony tahu, Serena dan dirinya tidak ada hubungan darah. Thalia dan Anthony anak istri pertama Frans yang sudah meninggal, sebelum pria itu menikah kembali dengan Nereida. Tak selamanya Serena bisa menjaga diri jika Anthony terus mengincarnya. Maka jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Serena adalah mengirim sang putri pergi dari tempat ini. Dipandanginya paras Serena yang tak kalah cantik dari Thalia. Ditambah mata biru menawan yang akan membuat siapapun terpana. Serena tinggal dipoles sedikit, dijamin kecantikannya akan menarik banyak pria untuk mendekat. Sungguh, Nereida tak pernah mau berpisah dari Serena. Tapi jika hanya itu yang bisa dilakukan, Nereida rela menjalaninya. "Rena, menikahlah dengan Alterio Inzaghi"Max, kamu di mana?"Suara Serena terdengar cukup keras. Dia ingin mencari Max, minta obat atau apalah untuk Mona yang muntahnya belakangan makin parah.Riva mulai bisa beraktivitas normal. Giliran Mona yang keok. Ravi bahkan secara khusus minta Mona untuk sementara tinggal di mansion. Agar jika dia pergi bekerja ada yang memantaunya. Itu kalau Mona tidak mampu bekerja. Namun sejauh ini Mona masih bisa menghandle urusan Serena dengan baik. Justru kalau diam saja, muntahnya makin menjadi.Serena berputar beberapa kali di ruangan Max, tapi tak jua menemukan pria itu. "Apa dia lagi di lab? Apa sedang keluar dengan Lalita."Langkah Serena menuntunnya masuk laboratorium yang terlihat sunyi. Sunyi dalam artian semua aktivitas dilakukan dibalik bilik kaca kedap udara dan anti ledakan.Perempuan itu menyusuri lorong demi lorong di antara meja stainless steel panjang. Di atasnya terdapat berbagai alat untuk melakukan percobaan. Mikroskop juga deretan tabung reaksi siap pakai juga peralatan la
"Aku hampir yakin itu ibunya.""Dari mana kamu tahu?""Aku melihatnya dipasangi infus juga selang oksigen.""Di mana dia sekarang berada?"Sica mendengus sebal. Ini kalau Beita ada di depannya sudah kena cakar pria itu. Beita hampir sama seperti Alex, detail juga teliti saat mencari tahu."Itu rahasia. Aku tidak bisa memberitahu tempatnya.""Oke."Beita tersenyum, jemarinya bergerak di atas keyboard hingga sebuah map muncul di layar monitornya."Paul aku menemukan rumah Mateo yang lain."Kembali ke kamar Sica, gadis itu baru bangun ketika Beita sudah membombardir dengan pertanyaan seputar Mateo.Tak berapa lama, pintunya digedor dari luar. Sica menggeram kesal. "Aku baru bangun, kenapa juga kau sudah muncul," galak Sica begitu melihat Alex di depannya."Aku sudah hubungi kamu dari semalam, tapi kau tidak angkat. Kamu ke mana? Healing kok gak ingat dunia.""Kamu sumpahin aku mati?""Ya gak dong. Kita belum kawin masak mau mati."Plak! Sica mengeplak lengan Alex yang kalau di luar kanto
"Bagaimana bisa?" Suara Nandito melengking tinggi. Ada emosi bercampur gemas dalam pertanyaannya."Bukannya aku suruh pakai pengaman?" Celetuk Al sambil menggelengkan kepala.Ravi nyengir sambil menggaruk kepala. "Pernah satu kali kelupaan, saking enggak tahannya."Nandito melotot dengan Alterio tepuk jidat. "Terus sekarang bagaimana? Berapa umur kandungannya?""Baru tiga minggu." Ravi mengangkat tiga jarinya, tampak merasa bersalah.Ketika dokter menyatakan Mona hamil, wanita itu diam membisu, tanpa kata. Setelahnya dia menangis, membuat Ravi kebingungan.Ruang keluarga itu mendadak hening. Tidak ada yang bersuara sama sekali. Hanya teriakan Arthur yang terdengar dari arah belakang sana."Kalau begitu, tunggu keputusan Mona. Ikut apa maunya. Dia yang akan menjalani, menanggung kehamilan sampai kelahirannya nanti. Kalau mentalnya belum siap, kamu tidak boleh memaksa. Sudahlah kamu nikahin dia pakai paksa. Sekarang urusan hamilpun, kamu tidak bisa mengaturnya.""Dia sukses jadi CEO ta
"Lebih kuat, Ren. Fokus!"Yang disebut namanya hanya melengos, sambil kembali memusatkan perhatiannya ke depan. Sasaran tembak yang berjarak lima meter."Aku latihan menembak bukan adu jotos."Peluru dilesatkan, bunyi dengungnya teredam oleh head phone yang Serena kenakan."Habis ini kita adu jotos."Brak! Yes! Serena mengepalkan tangan, penuh selebrasi ketika tembakannya tepat mengenai sasaran."Lihat, aku masih lihai dalam menembak.""Lebih lihai lagi kalau mancing. Sini," balas Alterio seraya melambai ke arah Serena. Meminta wanita itu mendekat.Begitu dalam jangkauan, Al langsung menarik Serena hingga perempuan itu terduduk di pangkuannya."Alterio!" Desis Serena penuh peringatan. Mata birunya melirik kiri dan kanan, takut ada yang melihat kelakuan mesum suaminya."Tenang saja. Ini area private. Tidak akan ada yang mengganggu. Di rumah ada putramu yang super rempong kalau lihat kita berduaan.""Memang bapaknya tidak rempong. Kalian itu sama, gak ada beda. Beda umur saja.""Makanya
Mateo mengamuk, surat permintaan resmi darinya mendapat penolakan dari kubu Alterio. Bahkan ketika dia sudah menggunakan dalih untuk kebaikan bersama. Serum yang Max ciptakan bisa menjadi terobosan penyembuhan dalam dunia kedokteran."Tidak, ini tidak sesederhana itu. Mereka tahu apa tujuanku melakukan hal ini."Dari kemarahan, raungan Mateo berubah jadi putus asa. Saat itulah ponselnya berdering. Pria itu bergetar waktu menjawabnya."Bagaimana keadaannya?""Buruk, dia tidak akan bertahan.""Aku pastikan dia akan sembuh. Aku hanya punya dia! Aku tidak akan biarkan dia tinggalkan aku.""Teo, apa kamu bisa dengarkan Bibi sekali saja. Bukan mereka yang tinggalkan kamu, tapi kamu yang meninggalkan mereka."Brak! Tinju Mateo menghantam meja. Dada Mateo berdebar kencang. "Mereka membuangku. Menghancurkan hidupku dan ibuku. Tidak salah jika aku membalasnya sekarang. Alterio, Benjamin Cestra, tunggu saja.""Bibi aku pergi dulu."Suara itu membuat kemarahan Mateo menguap seketika. Sica? Apa y
"Seseorang mengkhianati kami, dia mengambil Black Diamond, selain itu dia juga berniat mengambil Rever. Saat itu, Rever belum sempurna. Bahkan antidotnya masih di tahap awal pembuatan. Kalau Rever sampai disalahgunakan, tidak ada penawarnya. Sangat berbahaya.""Demi melindungi Rever ayahmu mengorbankan diri. Kami terlambat datang waktu itu. Tapi kabar gembiranya, Rever aman meski semua kami tebus sangat mahal, kepergian ayahmu. Maaf, Glen. Maaf."Glen menitikkan air mata, sementara tangannya terkepal erat. Satu aksi yang menyuarakan kebimbangan sang pemilik raga. Hatinya ingin percaya, tapi logikannya sibuk mencerna. Yang mana yang harus dia percaya. "Sampai saat ini, aku belum bisa memutuskan apa yang harus kita lakukan dengan Rever. Dia mahakarya ayahmu. Satu bukti kalau kemampuan ayahmu sangat mengagumkan. Aku saja tidak bisa menyamai levelnya.""Tapi di sisi lain, ada bahaya mengancam jika ada orang luar yang tahu soal hal ini. Mereka bisa menyalahgunakan Rever untuk kejahatan."