Hembusan nafas terdengar dari bibir Serena. Gadis itu sedang duduk di taman kota. Setelah tubuhnya mampu bertahan dari guyuran air dingin. Serena berhasil menyelinap keluar rumah pagi tadi. Saat Frans, Thalia dan Anthony tidak ada di rumah. Serta semua staf sibuk dengan tugas masing-masing.
"Halo, sudah lama menunggu?" Suara itu membuat Serena mengembangkan senyum dari balik masker. Pria di depannya memang selalu membawa kebahagiaan untuk Serena. Pantas saja jika putri Nereida menyukainya. Lelaki yang tak lain adalah Ravi Alexander. "Tidak juga," balas Serena. "Kamu pakai masker pasti dia habis memukulmu. Kenapa kalian tidak mau menerima bantuanku?" Ravi tampak prihatin dengan keadaan Serena. Dia tahu kalau Frans kerap melakukan kekerasan pada Serena. "Kata Ibu nanti akan jadi masalah buat Kakak. Jadi begini saja aku sudah senang." Netra Serena menyipit menandakan gadis itu sedang tersenyum lebar. Ravi mendengus sebelum mengusap puncak kepala Serena. "Yang sabar ya. Panggil aku jika kamu dan bibi benar-benar perlu bantuan. Aku akan usahakan datang menolong." Ingin sekali Ravi membantu, tapi jika Serena dan Nereida selalu menolak, dia bisa apa. "Tentu saja. Oh iya, ini yang kakak minta kemarin. Jangan sampai Thalia tahu." Tidak terkira bahagia yang Serena rasa, hanya dengan bertemu sepupunya. Ravi sungguh sosok baik hati yang dikirimkan pada Serena. Perhatian Ravi mampu menghibur hati Serena yang kerap merasakan kesedihan. Serena mengulurkan sehelai kertas yang langsung diteliti oleh Ravi. "Heart of a mother. Kamu benar-benar berbakat. Bibi pasti bangga denganmu. Ibumu desainer perhiasan top di zamannya." Putri Nereida kembali mengulas senyum. Dia tidak berharap banyak. Mengingat besok dia harus pergi ke The Palace, menuju tempat yang sama sekali tidak dia ketahui seperti apa bentuknya. Apakah cantik seperti namanya atau macam neraka layaknya kediaman Hernandez. Dan satu lagi, apakah setelah hari ini, dia akan bertemu kembali dengan Ravi, sepupunya sekaligus pria yang dia suka. Serena tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Gadis itu hanya bisa mengucapkan selamat tinggal dalam hati saat Ravi beranjak pergi. Jam kantor sudah akan dimulai. Serena tidak mau menciptakan masalah untuk Ravi. Baginya sudah cukup menyimpan nama Ravi dalam hati, tanpa punya keberanian untuk memberitahu si pemilik nama. Satu sebab Serena merasa tak pantas mengharap perhatian lebih dari seorang Ravi Alexander. Dua, karena Thalia juga menyukai pria itu. Serena jelas bukan lawan untuk Thalia yang punya segalanya. Berbagai pikiran yang berkecamuk membuat Serena tidak fokus saat berjalan menyusuri trotoar. Akibatnya dia tanpa sengaja menabrak seseorang. "Maaf, saya tidak sengaja." Sama-sama memakai masker membuat Serena dan lelaki tinggi besar yang dia tabrak tak bisa melihat wajah masing-masing. Satu yang pasti, pria di depan Serena punya tatapan elang paling mematikan yang pernah Serena lihat. Netra sepekat jelaga tersebut seolah mampu membunuh lawan tanpa perlu menyentuh. Pria itu tak bersuara, tapi tatapannya tajamnya mampu menciutkan nyali Serena. "Ya maaf, kan saya bilang tidak sengaja. Lagian situ yang tak tabrak, saya yang mental. Itu badan apa batu." Sarkas Serena, tapi orang tersebut sepertinya tidak peduli dengan ocehan sang gadis bermata biru. Dia tinggalkan Serena begitu saja. Sedikit senggolan di bahu cukup membuat Serena nyaris oleng. Agaknya pria itu ingin balas dendam. "Sombong amat. Tahulah body lebar kek gapura provinsi. Eh, dia itu bagaimana sih, itu kan lampu ijo. Kenapa malah nyebrang!" Serena berlari mengejar si pria yang menurutnya sembrono. Menyeberang jalan saat kendaraan sedang padat melintas. Si lelaki hampir mencapai tengah jalan ketika Serena menarik paksa tubuh besarnya. Pria itu hampir saja terjungkal oleh tindakan mendadak Serena. Sebelum kaki panjangnya berhasil menyeimbangkan tubuhnya kembali. Tangan sosok tersebut terangkat, membuat satu orang di seberang jalan urung bergerak. Figur yang sama-sama bermasker dan berpakaian hitam. Ditambah tatapan sama tajamnya dengan lelaki yang sedang diseret Serena menepi. "Kau mau bunuh diri atau bagaimana? Sudah tahu lampu ijo kenapa nekat menyeberang!" Marah Serena meski nafasnya tersengal. Tenaganya terkuras lumayan banyak guna menarik badan titan pria di depannya. Sosok yang sejak tadi hanya diam, tanpa bicara sepatah katapun. Padahal Serena sudah mengoceh ke mana-mana. "He! Kau dengar tidak apa yang kukatakan?" Serena kesal juga dicuekin. Inilah Serena kalau di luar rumah. Gadis yang sebenarnya berani, blak-blakan juga sedikit bar-bar. Dia hanya kalah kalau ibunya yang dijadikan sandera. Lain hal, Serena tak punya gentar. Padahal Serena tidak tahu siapa lelaki yang berdiri di hadapannya. Pria itu melihat ke arah tangan Serena yang masih memegang tangannya. “Oh, maaf.” Serena mengangkat tangan, sadar pria arogan di depannya tidak suka disentuh. "Kau yang tidak tahu aturan. Kau tidak lihat yang di sana itu!” Alamak! Serena menepuk jidatnya ketika dia melihat seorang pria sedang menunggu di trotoar dengan wajah terlihat lemas. Sepertinya sedang sakit parah. "Maaf," cicit Serena penuh rasa bersalah. "Kalau sampai terjadi apa-apa dengan temanku. Awas kau!" Ancaman sang pria terdengar menakutkan di telinga Serena. Setelahnya pria itu berlari menerobos jalanan yang lampunya kali ini merah. "Kan aku sudah bilang maaf. Lagian aku kan cuma mau menolong," kata Serena sendu. Dipandangnya mobil hitam berkilat yang mulai melaju meninggalkan tempat itu. Bersamaan dengan itu, tangan Serena yang ditarik seseorang. "Lepas!" Serena berteriak begitu tahu siapa yang melakukan hal tadi. "Diam kau! Ikut aku! Atau dia akan merasakan akibatnya!" "Tidak mau!" Serena berontak. Tapi pria yang mencengkram tangan Serena lebih kuat tenaganya. Susah payah melepaskan diri, Serena gagal juga pada akhirnya. Serena dipaksa masuk ke dalam mobil, sebelum kendaraan itu pergi dari sana. "Aku bilang diam! Atau ibumu akan menderita. Ini akan jadi hukuman karena kau berani menyelinap keluar rumah." Serena menatap horor pria yang sedang mengendalikan kemudi. Dia harus lari, bagaimanapun caranya."Dia sudah di sini, Tuan."Dimitri langsung beranjak dari duduknya. Dia ikuti ke mana sang asisten melangkah. Sepuluh menit kemudian, keduanya masuk ke sebuah ruangan yang berisi set sofa juga beberapa meja dan kursi.Seorang perempuan duduk di salah satu kursi dengan mata tertutup, serta kaki dan tangan terikat.Dimitri duduk di salah satu sofa. Dia pandangi gadis yang mengenakan dress mini yang membalut tubuh seksinya.Kening sang presiden mengerutkan dahi. Anak buahnya tidak salah membawa orang kan. Dia pikir gadis secerdas Yue, tidak akan berpenampilan seperti itu. Atau memang zaman sekarang pintar dan seksi bisa berdampingan."Buka tutup matanya."Ketika penutup mata dibuka, wajah bule dengan mata abu terlihat jelas. Ditambah rambut coklat terang sang gadis turut terurai."Kalian siapa?" Tanya si gadis sambil memicing memperhatikan keadaan sekitarnya."Bukankah Yue Igarashi berdarah Asia," tanya Dimitri heran."Benar kedua orang tuanya murni berdarah Jepang.""Lalu kenapa dia yan
"Bagaimana mereka hidup selama ini?" "Sebesar apa tempat itu?""Berapa orang yang ada di dalamnya?"Pertanyaan itu langsung mendesak untuk ditanyakan ketika chat antara Steve dan Owen Mc Gregor dibagikan oleh Al pada teman-temannya."Kenal orang ini?" Al bertanya pada Max mengenai Owen.Max langsung mengamati foto Owen yang sudah di-generate ke usia terkini. Foto aslinya menampilkan lelaki berusia lima puluhan tahun.Beberapa waktu berlalu, Max menggeleng ragu. "Paul, Beita?"Keduanya juga angkat tangan. Tidak bisa menemukan paras Owen di manapun."Dia sembunyi di mana?""Atau lebih tepatnya kenapa berbuat demikian. Bayangkan saja, siapa tahu ada yang mengancamnya. Lalu dia terpaksa menyembunyikan diri di suatu tempat."Ini masuk akal. Bisa kalian cari tahu, dari mana sinyal itu berasal."Beita dan Paul bergerak cepat mencari tapi lima menit berselang, keduanya saling pandang."Tidak bisa ditemukan. Kan aneh. Masak tidak bisa dilacak," gumam Paul."Kemungkinannya susah sinyal. Atau
"Kami, para peneliti memang pernah mendengar sebuah fasilitas telah dibangun untuk kepentingan penelitian nuklir. Hanya saja tempatnya tidak pernah di-share ke publik."Max menjeda ceritanya. "Waktu itu sejumlah ilmuwan mendadak mundur dari tempat bekerja masing-masing dengan alasan pribadi. Tidak bisa disampaikan ke khalayak ramai. Nah, mereka ini yang diduga bekerja di fasilitas itu.""Lalu sekarang mereka ke mana? Pernah dengar kabarnya tidak?" Paul bertanya dengan tangan terus bekerja. Dia perlu menggabungkan sistemnya dengan akses ke kemenhan. Agar dia bisa masuk ke sana. Mencari info sekecil apapun soal lab yang sampai sekarang masih mereka bahas."Kemungkinan sudah meninggal. Lagi pula fasilitas itu dibangun tahun berapa. Kalau tempat itu terendam di bendungan Karabi, apa itu tidak mustahil. Bendungan itu dibuat kapan. Sementaran lab nya sudah ada sejak lama." Max kembali mengutarakan keraguannya soal fasilitas penelitian nuklir di bawah bendungan Karabi."Karena itu kita perl
"Sembarangan saja menyebut tunangan!" Gerutu Yue begitu masuk ke dalam mobil.Yue sedikit heran. Baru kali ini Sergie berkeliaran di jalan memakai mobil sport. Biasanya Sergie memakai mobil yang tampilannya lebih resmi. Seperti jenis sedan, SUV, walau terkadang bawa MPV juga. Sekali lihat pernah bawa Rubicon.Jarang sekali pria di sebelahnya menggunakan kendaraan model beginian. Walau cocok saja dengan gaya Sergie yang sangat maskulin."Kan memang begitu," balas Sergie sambil membetulkan letak ear piece-nya. "Aku belum setuju.""Makanya setujui segera, biar segera naik statusnya." Jantung Yue berdebar kencang. Beginilah efeknya kalau berdekatan dengan Sergie. Lelaki dewasa yang eksistensinya saja mampu membuat Yue traveling.Dia memang menjadikan pria dewasa yang matang dan macho sebagai pria idaman. Tapi sangat ketakutan ketika figur pria impiannya muncul di depannya. "Maumu!" Yue mencebik kesal. Dari tempatnya dia bisa melihat Wilson masih mengawasinya. Kaca mobil Sergie yang sep
"Hai."Yue menghela napas melihat Wilson berdiri di depannya. Dia tidak mengerti kenapa putra salah satu keluarga pengacara kondang di negeri ini, mendadak kerap muncul di sekitarnya.Wilson Junior bahkan terkesan mengejarnya. Memburunya untuk sesuatu yang tidak Yue percaya sama sekali."Aku jatuh cinta padamu sejak beberapa waktu lalu. Tapi baru sekarang berani mengungkapkannya."Itu alasan Wilson yang Yue nilai basi waktu mereka bertemu untuk kedua kali. Dalam kamus hidup Yue, cinta bukan sesuatu yang layak untuknya. Dia tidak pantas mendapatkannya. Sebab Yue telah lama kehilangan makna cinta itu sendiri.Jadi ketika ada pria mendekatinya dengan alasan klise itu. Logikanya serta merta menolak. Kecuali untuk Sergie. Pria dewasa yang kerap membuat kewarasannya hilang. Sosok yang membuat kecerdasannya menguap hilang entah ke mana."Aku tidak punya waktu meladenimu, Tuan Wilson Junior. Di belakang Anda, ada banyak gadis cantik yang siap jadi pasangan ... tidur Anda."Dua kata terakhir Y
"Dilihat dari gelagatnya, sepertinya Dimitri tidak menemukan apapun di rumah Zack."Al tertawa kecil mendengar laporan Paul. "Tentu saja dia tidak akan menemukan apa-apa di sana. Kalau mau mencari tahu. Geledah kantor Zack. Setidaknya akan ada petunjuk di sana."Beita dan Paul bergerak, mereka telah memeriksa kediaman Zack dan Dimitri. Selain brankas tersembunyi dan penjara bawah tanah. Keduanya tidak menemukan ruang rahasia mencurigakan di dua rumah orang itu. Saat Al sedang berpikir di mana lokasi kunci itu berada. Ben masuk dengan laptop di tangannya."Dimitri sedang memburu Yue melalui salah satu anak Wilson. Kita harus peringatkan Glen dan Sergie," lapor sang adik."Kenapa jadi merepet ke Yue segala." Tanya Al tidak paham.Pertanyaan Al disambut gambar drone yang dia tahu pasti siapa penciptanya. "Dia menginginkan teknologi drone yang Yue dan Arthur kembangkan. Karena hanya nama Yue yang tertera di sana, tentu saja mereka akan menargetkan Yue."Alterio cepat menghubungi Glen, t