"Kenapa saya harus menggantikan kak Thalia untuk menikah dengan orang itu?"
Pertanyaan itu mengalir lancar dari bibir seorang gadis berpakaian lusuh dengan wajah kusam dan rambut diikat asal. Serena Valencia namanya. Hari ini dia baru dipecat dari restoran tempat dia bekerja sebagai pelayan. Semua karena ulah kakaknya sendiri. Thalia, perempuan yang kini duduk manis di sofa sambil memainkan kukunya yang dicat merah menyala. Kakaknya berulah, sengaja membuat keributan di restoran, hingga Serena yang kena akibatnya. Serena dipecat dari pekerjaan, yang jadi satu-satunya sumber pendapatan guna membeli obat untuk sang ibu. Ada seulas benci bersemayam di hati Serena untuk Thalia. "Masih tanya kenapa? Tentu saja untuk menunjukkan kalau kau ada gunanya. Lihat! Kau hanya anak haram yang kubesarkan di rumahku. Sudah waktunya kau membalas budi." Seorang pria menjawab penuh emosi. "Tapi, A-Tuan. Bukankah ini kesalahan Kak Anthony. Kenapa saya yang harus menanggungnya?" Yang disebut namanya melotot marah pada Serena. Tapi Serena acuh. Dia coba menolak. Jika dia pergi, siapa yang akan merawat ibunya. Dia tidak percaya pada siapapun di rumah ini. Bahkan pada pada lelaki berwajah tirus dengan sorot mata penuh kebencian padanya. Sosok yang bahkan tidak sudi dipanggil ayah oleh Serena. Frans Hernandez namanya. Pria yang statusnya adalah suami ibunya, tapi tak pernah mau mengakui Serena sebagai anak. "Sebagai orang yang hanya bisa numpang makan dan tidur harusnya kau sadar diri. Kau harus bayar untuk semua yang sudah kau telan sebagai ganti." Ucapan Frans setajam pisau, sepedas cabai Carolina Reaper. Kalimat yang mampu mencabik hati Serena berulang kali. Tak sekali dua pria itu berucap demikian. Luka yang Serena tanggung seakan tak pernah dibiarkan mengering. Tiap saat ada saja hal yang menambah dalam sakit di hati Serena. Sedalam kebencian Frans dan seisi rumah ini padanya dan ibunya. "Tapi Frans, bukankah itu tanggung jawab Anthony. Dia yang buat kacau, kenapa Serena yang harus menanggung akibatnya?" "Kau diam saja. Kau dan dia hanya aib di rumah ini!" Frans lekas memotong ucapan wanita yang tampilannya tak jauh beda dengan Serena. Perempuan yang berdiri di belakang Serena. Mendengar suara itu, Serena menoleh. Dia mendapati ibunya memandang penuh permohonan pada Frans. "Frans, berapa kali kubilang. Kalau malam itu aku dijebak. Kalau kau ingin membenci, bencilah aku. Jangan Serena, dia tidak bersalah." Frans memanahkan pandangan tajam. Emosi lelaki itu selalu terpatik tiap kali melihat Serena. Paras gadis itu menuruni garis wajah ibunya. Hanya saja netra biru benderang milik Serena, dengan jelas menunjukkan kalau bukan benih Frans, yang membuat Serena hadir ke dunia. Frans rasanya ingin sekali melenyapkan Serena guna meredakan amarah di hati. "Kau tahu bukan? Aku membencinya sedalam cintaku padamu dulu." Ibu Serena tertunduk mendengar ucapan Frans. Arrghhh! Serena meringis kala Frans mencengkeram dagunya. "Hentikan, Frans! Kau menyakitinya!" Nereida, ibu Serena coba melepas cekalan Frans. "Benar begitu? Sayangnya aku selalu ingin menyakitinya!" Satu tamparan mendarat di pipi Serena. Gadis itu tersungkur ke lantai dengan sudut bibir berdarah. Nereida menjerit histeris, dia lekas menolong sang putri. Serena hanya bergeming, ini bukan kali pertama Frans menamparnya. Serena bersumpah akan membalas semua perbuatan Frans. Tapi bagaimana caranya? Jika keluarga ini masih menyandera ibunya. "Jangan melihatku seperti itu!" Hardik Frans melihat Serena balik menatap tajam padanya. Tatapan Serena mampu membuat nyali Frans ciut. Frans yakin Serena menuruni mata elang ayah kandungnya. Netra yang membuat Frans selalu merasa terancam.Tapi dia tidak akan kalah di rumahnya sendiri. "Sudahlah, Pa. Antarkan saja dia lusa ke The Palace. Aku tidak mau menikah. Apalagi dengan orang yang wajahnya tidak pernah aku lihat. Siapa tahu dia tua bangka yang doyan kawin, dengan perut buncit." Thalia segera mempengaruhi sang ayah. Dia masih ingin bebas, menikmati hidup, mengejar karier, bermain dengan banyak pria. Jelas, Thalia tidak mau terjebak dalam sebuah pernikahan. "Yang aku dengar dia kejam. Tapi yang lain menyebut dia tampan." Anthony melirik ke arah Thalia. "Tampan dan kejam, bukan tipeku. Dia juga kabarnya pemimpin klan mafia. Suruh dia saja yang pergi. Kalau tidak, hentikan saja pengobatan ibunya." "Jangan!" Serena langsung bereaksi mendengar ucapan Thalia. Thalia dan Anthony tersenyum sinis. Serena sangat mudah diancam, dikendalikan, jika sang ibu yang dijadikan ancaman. Sangat cocok dijadikan pelampiasan kekesalan juga kebencian. Dua beradik itu sangat membenci Serena. Bagi mereka, Serena adalah hal yang menyebabkan keluarga mereka dipandang sebelah mata, oleh keluarga lain yang mengetahui keberadaan Serena. Frans menatap dingin pada Serena, menikmati ekspresi sang gadis yang sedang terdiam menahan rasa sakit. "Frans, aku mohon. Jangan kirim Serena ke sana," pinta Nereida dengan wajah memelas. "Lalu kau ingin aku mengirim Thalia. Tidak!" Serena kembali meringis ketika Frans menjambak rambutnya. "Aku dengan senang hati akan memberikanmu pada Tuan Alterio Inzaghi. Aku tidak peduli dia akan melakukan apa padamu." "Jangan Frans! Jangan! Bagaimana kalau dia menyakiti Serena." Nereida bahkan sampai berlutut di kaki Frans. "Bagus dong. Akan lebih bagus lagi kalau dia ... mati." Nereida melotot melihat Thalia mengucap "mati" walau tanpa suara. "Kenapa? Kenapa kalian begitu kejam pada kami. Kenapa kalian sangat membenci Serena. Dia tidak salah!" Protes Nereida tidak terima. "Ibu!" Serena melepaskan diri dari jambakan Frans ketika Anthony menampar Nereida. Hingga perempuan itu berakhir tertelungkup di lantai. "Sebab kalian tidak berguna! Kau aib dan dia anak haram! Kalian patut dibenci, disingkirkan kalau perlu." Desis Frans, seraya menunjuk Nereida dan Serena bergantian. Sebelum beranjak pergi. Serena memandang tajam punggung Frans. Sebelum bibirnya mengucapkan satu kalimat yang mematik amarah Frans tumbuh lebih besar. "Saya menolak menikah dengan Alterio Inzaghi!”"Max, kamu di mana?"Suara Serena terdengar cukup keras. Dia ingin mencari Max, minta obat atau apalah untuk Mona yang muntahnya belakangan makin parah.Riva mulai bisa beraktivitas normal. Giliran Mona yang keok. Ravi bahkan secara khusus minta Mona untuk sementara tinggal di mansion. Agar jika dia pergi bekerja ada yang memantaunya. Itu kalau Mona tidak mampu bekerja. Namun sejauh ini Mona masih bisa menghandle urusan Serena dengan baik. Justru kalau diam saja, muntahnya makin menjadi.Serena berputar beberapa kali di ruangan Max, tapi tak jua menemukan pria itu. "Apa dia lagi di lab? Apa sedang keluar dengan Lalita."Langkah Serena menuntunnya masuk laboratorium yang terlihat sunyi. Sunyi dalam artian semua aktivitas dilakukan dibalik bilik kaca kedap udara dan anti ledakan.Perempuan itu menyusuri lorong demi lorong di antara meja stainless steel panjang. Di atasnya terdapat berbagai alat untuk melakukan percobaan. Mikroskop juga deretan tabung reaksi siap pakai juga peralatan la
"Aku hampir yakin itu ibunya.""Dari mana kamu tahu?""Aku melihatnya dipasangi infus juga selang oksigen.""Di mana dia sekarang berada?"Sica mendengus sebal. Ini kalau Beita ada di depannya sudah kena cakar pria itu. Beita hampir sama seperti Alex, detail juga teliti saat mencari tahu."Itu rahasia. Aku tidak bisa memberitahu tempatnya.""Oke."Beita tersenyum, jemarinya bergerak di atas keyboard hingga sebuah map muncul di layar monitornya."Paul aku menemukan rumah Mateo yang lain."Kembali ke kamar Sica, gadis itu baru bangun ketika Beita sudah membombardir dengan pertanyaan seputar Mateo.Tak berapa lama, pintunya digedor dari luar. Sica menggeram kesal. "Aku baru bangun, kenapa juga kau sudah muncul," galak Sica begitu melihat Alex di depannya."Aku sudah hubungi kamu dari semalam, tapi kau tidak angkat. Kamu ke mana? Healing kok gak ingat dunia.""Kamu sumpahin aku mati?""Ya gak dong. Kita belum kawin masak mau mati."Plak! Sica mengeplak lengan Alex yang kalau di luar kanto
"Bagaimana bisa?" Suara Nandito melengking tinggi. Ada emosi bercampur gemas dalam pertanyaannya."Bukannya aku suruh pakai pengaman?" Celetuk Al sambil menggelengkan kepala.Ravi nyengir sambil menggaruk kepala. "Pernah satu kali kelupaan, saking enggak tahannya."Nandito melotot dengan Alterio tepuk jidat. "Terus sekarang bagaimana? Berapa umur kandungannya?""Baru tiga minggu." Ravi mengangkat tiga jarinya, tampak merasa bersalah.Ketika dokter menyatakan Mona hamil, wanita itu diam membisu, tanpa kata. Setelahnya dia menangis, membuat Ravi kebingungan.Ruang keluarga itu mendadak hening. Tidak ada yang bersuara sama sekali. Hanya teriakan Arthur yang terdengar dari arah belakang sana."Kalau begitu, tunggu keputusan Mona. Ikut apa maunya. Dia yang akan menjalani, menanggung kehamilan sampai kelahirannya nanti. Kalau mentalnya belum siap, kamu tidak boleh memaksa. Sudahlah kamu nikahin dia pakai paksa. Sekarang urusan hamilpun, kamu tidak bisa mengaturnya.""Dia sukses jadi CEO ta
"Lebih kuat, Ren. Fokus!"Yang disebut namanya hanya melengos, sambil kembali memusatkan perhatiannya ke depan. Sasaran tembak yang berjarak lima meter."Aku latihan menembak bukan adu jotos."Peluru dilesatkan, bunyi dengungnya teredam oleh head phone yang Serena kenakan."Habis ini kita adu jotos."Brak! Yes! Serena mengepalkan tangan, penuh selebrasi ketika tembakannya tepat mengenai sasaran."Lihat, aku masih lihai dalam menembak.""Lebih lihai lagi kalau mancing. Sini," balas Alterio seraya melambai ke arah Serena. Meminta wanita itu mendekat.Begitu dalam jangkauan, Al langsung menarik Serena hingga perempuan itu terduduk di pangkuannya."Alterio!" Desis Serena penuh peringatan. Mata birunya melirik kiri dan kanan, takut ada yang melihat kelakuan mesum suaminya."Tenang saja. Ini area private. Tidak akan ada yang mengganggu. Di rumah ada putramu yang super rempong kalau lihat kita berduaan.""Memang bapaknya tidak rempong. Kalian itu sama, gak ada beda. Beda umur saja.""Makanya
Mateo mengamuk, surat permintaan resmi darinya mendapat penolakan dari kubu Alterio. Bahkan ketika dia sudah menggunakan dalih untuk kebaikan bersama. Serum yang Max ciptakan bisa menjadi terobosan penyembuhan dalam dunia kedokteran."Tidak, ini tidak sesederhana itu. Mereka tahu apa tujuanku melakukan hal ini."Dari kemarahan, raungan Mateo berubah jadi putus asa. Saat itulah ponselnya berdering. Pria itu bergetar waktu menjawabnya."Bagaimana keadaannya?""Buruk, dia tidak akan bertahan.""Aku pastikan dia akan sembuh. Aku hanya punya dia! Aku tidak akan biarkan dia tinggalkan aku.""Teo, apa kamu bisa dengarkan Bibi sekali saja. Bukan mereka yang tinggalkan kamu, tapi kamu yang meninggalkan mereka."Brak! Tinju Mateo menghantam meja. Dada Mateo berdebar kencang. "Mereka membuangku. Menghancurkan hidupku dan ibuku. Tidak salah jika aku membalasnya sekarang. Alterio, Benjamin Cestra, tunggu saja.""Bibi aku pergi dulu."Suara itu membuat kemarahan Mateo menguap seketika. Sica? Apa y
"Seseorang mengkhianati kami, dia mengambil Black Diamond, selain itu dia juga berniat mengambil Rever. Saat itu, Rever belum sempurna. Bahkan antidotnya masih di tahap awal pembuatan. Kalau Rever sampai disalahgunakan, tidak ada penawarnya. Sangat berbahaya.""Demi melindungi Rever ayahmu mengorbankan diri. Kami terlambat datang waktu itu. Tapi kabar gembiranya, Rever aman meski semua kami tebus sangat mahal, kepergian ayahmu. Maaf, Glen. Maaf."Glen menitikkan air mata, sementara tangannya terkepal erat. Satu aksi yang menyuarakan kebimbangan sang pemilik raga. Hatinya ingin percaya, tapi logikannya sibuk mencerna. Yang mana yang harus dia percaya. "Sampai saat ini, aku belum bisa memutuskan apa yang harus kita lakukan dengan Rever. Dia mahakarya ayahmu. Satu bukti kalau kemampuan ayahmu sangat mengagumkan. Aku saja tidak bisa menyamai levelnya.""Tapi di sisi lain, ada bahaya mengancam jika ada orang luar yang tahu soal hal ini. Mereka bisa menyalahgunakan Rever untuk kejahatan."