hola teman-teman, gimana-gimana? 😉😊, jangan lupa kasih ulasan ya, tengkiu 🫶🫶
Motor besar Al berhenti di satu tempat yang membuat Serena mengerutkan dahi. Tempat seperti basement tapi lebih pribadi."Kerja di sini?"Al tidak menjawab, dia hanya melepas helm, menyisir rambut dengan jari untuk kemudian berjalan menuju lift.Serena hanya melongo diam. Sampai suara Al membuat perempuan itu terkejut. Keduanya masuk ke lift yang kemudian bergerak cepat menuju lantai sepuluh.Selama itu tak ada yang bicara. Serena diam-diam melihat ke arah Al. Pria di depannya, karakter sebenarnya seperti apa.Kalimatnya pedas, tak pernah terdengar ramah, tapi segala tindak tanduknya membuat Serena berpikir kalau Al peduli padanya."Peduli apa, dia hanya ingin menyiksaku, membuatku bingung. Pria sepertinya patut dibenci," batin Serena."Sudah selesai memaki?"Eh? Serena membekap mulutnya sendiri. Al cenayang ya, bisa tahu apa yang Serena pikirkan.Serena hanya diam, tidak berani membalas pertanyaan Al. Dia salah tingkah sendiri, ketahuan mengumpat pria yang selama naik motor tadi, mem
Serena perlu beberapa waktu untuk menyadari apa yang tengah terjadi. Sementara di depannya, Thalia berdiri dengan wajah tidak suka. Perempuan itu tentu tak pernah menduga akan bertemu Serena di tempat ini.Sebenarnya sangat mustahil bagi Serena untuk muncul di sini tanpa campur tangan Al. Pria itu perlu mem-validasi sesuatu hingga dia terpaksa mengeluarkan Serena dari The Palace.Thalia berdecak kesal melihat tampilan Serena. Dia pikir putri Nereida akan disiksa bahkan dihabisi. Tapi lihatlah Serena sekarang. Gadis itu tampil cantik dalam balutan pakaian yang Thalia tahu berharga mahal."Sialan! Si Inzaghi itu malah memelihara anak haram ini. Apa karena Serena berhasil menyenangkannya?" Ekspresi wajah Thalia berubah jijik, membayangkan Serena sudi disentuh laki-laki tua, juga doyan kawin. Label murahan lekas Thalia sematkan di jidat Serena.Serena yang tadi mendengar Anthony babak belur cukup terhibur hatinya. Kenapa tidak sekalian dimatikan saja. Kan habis cerita si pemain perempuan
"He! Tunggu!" Thalia mengejar Serena yang lebih dulu keluar dari ruang seleksi. Pengumuman pemenang kompetisi akan dilakukan setelah makan siang. "Kalau kau sampai diterima bekerja di tempat ini, aku tidak akan membiarkan ibumu hidup," ancam Thalia. "Kamu tidak akan berani melakukannya. Aku akan lapor polisi jika kau menyentuh ibuku," Serena balik mengancam. Thalia tertawa mendengar ucapan Serena. "Memangnya ada yang mau mendengarmu. Kau itu bukan siapa-siapa!" "Aku memang bukan siapa-siapa. Tapi Tuan Alterio Inzaghi jelas orang penting. Kau bilang Anthony babak belur dihajar tuan Inzaghi. Maka sentuh ibuku, kalau kau ingin kakakmu kembali dipukuli." Thalia melotot melihat Serena berani membalasnya. Gadis di depannya berubah. Serena jadi lebih tangguh. Tidak mudah digertak. Walau begitu, Thalia punya satu senjata untuk menyerang Serena. "Jadi ini yang kau dapat dari melayani si tua bangka, doyan kawin itu. Kau jual dirimu, kau tukar dengan hal yang kau inginkan, termasuk berad
Serena kembali ke ruang kompetisi dengan wajah berbinar. Dia kenyang plus dapat ponsel. Dia setengah tidak percaya ketika Al mengembalikan ponsel tadi padanya."Untukku?" Serena tidak percaya. Pasalnya ponsel itu terlihat mahal, mana mungkin Al memberikannya begitu saja pada Serena."Ada beberapa nomor di kontaknya. E wallet juga sudah terisi. Kau tahu cara menggunakannya?"Tunggu! Jadi benar, ponsel ini untuknya? Serena nyaris melompat saking senangnya. Seumur-umur baru kali dia punya ponsel. Komplit dengan saldo e wallet yang membuat Serena nyengir sendiri. Dia punya uang, yey dia punya uang.Dengan senyum lebar macam Joker, Serena masuk ke ruang seleksi. Di mana sudah ada beberapa orang yang kembali dari makan siang."Hai, boleh kita kenalan?" Seorang gadis berkacamata menyapa Serena lebih dulu."Tentu saja, aku Serena.""Aku Pevita. Panggil saja Pevi."Dalam sekejap, Serena sudah mempunyai beberapa teman. Meski masih malu-malu, tapi Serena senang sekali. Sejenak kesedihannya soal
Serena memegang pipinya yang terasa panas. Setelahnya dia tersenyum, melihat wajah Thalia merah padam. Biarpun dia kena tampar, tapi Serena puas. Melihat Thalia untuk pertama kali kalah darinya.Meski diterima jadi trainee di Royal Diamond, tapi peringkat Serena dan Thalia berbeda jauh. Serena di tempat pertama, sementara Thalia berada di rangking bawah.Nyaris terbawah, tiga tempat di bawah Vasti yang langsung protes akan pengumuman barusan. Ocehan Vasti berhenti ketika staf perusahaan menunjukkan tanda tangan Almeer Beita sebagai orang yang telah menyetujui hasil seleksi tadi.Beita sama saja dengan Alterio Inzaghi. Vasti tidak bisa membuat perkara lebih jauh lagi. Atau dia akan terkena masalah."Kau pikir sudah merasa hebat ha? Kau hanya beruntung kali ini.""Keberuntunganku baru saja dimulai," balas Serena manis.Jawaban Serea membuat Thalia terpatik emosinya. Tangannya kembali terangkat, bersiap menampar Serena lagi. Namun semua urung terjadi saat Felix kembali muncul mengacaukan
Serena didorong masuk ke kamarnya. "Ganti bajumu! Kau membuat mataku sakit" Perintah itu yang terucap begitu keduanya ada di kamar Serena."Apa yang salah?" Serena melihat pakaiannya sendiri. Baju tidur pendek sepaha yang seketika membuatnya menepuk jidat.Al melengos, lantas keluar dari sana. Meninggalkan Serena yang masuk ke ruang ganti. Tak berapa lama Serena muncul kembali dengan celana berganti panjang.Al tak bereaksi tapi yang lain mengulum senyum. Hanya Ara yang tampak masam wajahnya."Kau harus hati-hati dengan geng-nya Vasti," Felix memperingatkan."Akan aku hindari sebisa mungkin," balas Serena di tengah aksinya makan."Good," respon Felix.Serena baru akan memakan camilan semacam pastel berwarna hijau, ketika Al merebutnya. Serena balik ingin merebutnya ketika ucapan Al membuat gadis itu berhenti berebut."Kau mau mati?" Setelahnya pria itu mengambil satu lalu memakannya. Serena mundur melihat isi benda itu kehijauan, kemungkinan bayam. Serena diam-diam tersenyum. "Pria i
Serene mengerjap tidak percaya, melihat Ravi Alexander berdiri di depannya. Pria tampan yang selalu membuat Serena tersenyum."Kak Ravi," pekik Serena senang. Ravi sendiri tak pernah menyangka akan benar-benar melihat Serena di Royal Diamond. Jadi Felix berhasil menemukan Serena, pemilik nama samaran Valen."Kamu sungguh lolos kompetensi? Maaf, boleh bergabung?"Karena kursi masih kosong satu, yang lain mengizinkan Ravi duduk di meja mereka. Lagi pula, bisa kenal dengan senior adalah hal bagus."Iya, aku. Al maksudku mereka menemukanku," jawab Serena kelabakan."Caranya?" Ravi kepo, sebab dia sudah mencari Serena ke mana-mana tapi tak menemukan keberadaan putri Nereida saat itu."Rahasia. Yang penting aku ada di sini. Aku bisa mengasah kemampuan juga mengumpulkan uang untuk beli obat ibu."Sendu mewarnai wajah Serena yang kini tampak lebih cantik dalam pandangan Ravi."Bibi akan baik-baik saja. Jangan cemas.""Kamu tahu keadaan ibu?"Ravi mengangguk. Keduanya sedang bicara berdua di
Al sendiri tidak tahu kenapa moodnya berubah drastis sejak makan siang selesai. Mood biasa saja sering membuat Max dan yang lainnya kewalahan. Apalagi bad mood begini. Bisa tambah runyam semua."Dia minum hasil percobaan kamu yang mana? Kenapa mukanya tambah psiko begitu?"Felix si ceplas ceplos langsung komen begitu Al mengakhiri rapat yamg dihadiri Beita by live streaming. Beita sendiri baru mengabarkan kalau Vasti nekad jalan-jalan ke lantai sepuluh."Enggak ya. Aku gak punya jadwal nguji hasil percobaan. Kecuali untuk Anthony. Obyek penelitiannya tidak cocok jika Al yang jadi bahan uji cobanya. Soalnya efeknya ngarah ke situ.""Ada juga yang seperti itu," Paul turut berkomentar."Apa karena Vasti?"Nah, kali ini semua setuju. Vasti memang perusak mood Al yang paling handal. Namun tebakan tiga sekawan itu meleset. Saat Serena pulang, Al masih mengantar. Tapi aura Al makin lama makin menyeramkan. Puncaknya ketika Al menyuruh Serena minum sup.Serena menolak dan malah nantangin Al.
Serena kesal sekaligus sedih di waktu bersamaan. Fakta kalau Lisa adalah dalang dibalik kejadian beberapa waktu lalu, cukup memukul mentalnya.Padahal Lisa punya tempat tersendiri di hati Serena. Sekarang Lisa sudah tidak ada. Ada hampa juga kecewa yang Serena rasakan. Perempuan itu meringkuk di bantal besar yang terhampar di lantai.Serena tanpa Al duga pergi ke rumah pohon. Dia melamun sambil memandang ranting pohon yang jadi atap tempat itu.Dia tidak tahu apa yang akan dia hadapi besok. Apa mereka masih akan menghujatnya, atau semua sudah berhenti. Apa yang harus Serena lakukan.Haruskah dia pergi ke kantor atau tetap bersembunyi seperti hari ini. Helaan napas berat jadi hal terakhir yang Serena lakukan sebelum memejamkan mata.Dia berniat kabur dari Al malam ini. Dia marah pada sang suami. Namun rencana kabur Serena tinggal rencana saja. Sebab lima belas kemudian, suara langkah mendekat terdengar. Diikuti hembusan napas penuh kelegaan. Al menemukan Serena. Pria itu duduk bersila
Lisa pikir masih bisa menyelamatkan diri. Dia akan mencobanya. Tidak peduli Gaston hanya memanfaatkannya atau sungguh menyayanginya. Lisa akan urus nanti. Yang penting kabur dulu.Dia melihat celah saat semua orang orang fokus pada Serena. Istri Alterio? Ini di luar perkiraan. Gaston bilang, Serena hanya salah satu wanita yang sedang dekat dengan pria itu.Jadi Serena adalah target yang tepat jika ingin mengusik Al. Siapa sangka jika posisi Serena lebih dari itu.Serena masih sibuk berdebat dengan Al. Dua orang itu sepertinya punya hubungan rumit. Suami istri tapi kesannya jauh dari itu. Dalam pikiran Lisa, Serena adalah sasaran yang bisa mengacaukan konsentrasi Alterio dan yang lainnya.Maka ketika dia berhasil merebut senjata Felix. Benda itu langsung terarah pada Serena."Mati kau!" Letusan peluru terdengar. Serena ditarik menghindar. Gadis itu terkejut, dia pun menoleh. Serena langsung syok mendengar tembakan kembali terdengar. Lisa ambruk di tanah, dengan Beita menekan lengann
Awalnya Serena memang berniat tidur. Tapi kemudian dia terjaga dan sulit memejamkan mata kembali. Kejadian hari itu, meski Al dan pamannya menunjukkan sikap bahwa semua baik-baik saja.Tetap saja Serena merasa terganggu. Dia tidak tahu bagaimana suasana di luar sana. Apa mereka masih menuduhnya sebagai pembunuh?Melihat ekspresi Al yang tenang macam biasa. Serena menduga kalau pria itu telah temukan jalan keluarnya. Namun Serena tetap tidak tenang.Pada akhirnya dia meraih jaket Al, memakainya lalu berjalan keluar kamar. Suasana The Palace sepi. Serena pikir sebab mereka pergi dinas bersama Al.Langkah Serena menuntunnya menuju rumah pohon. Tempat yang akhirnya Al bangun sedemikian rupa. Ada tangga yang memungkinkan Serena tak perlu memanjat kalau sedang malas.Dalam hitungan detik, dia sudah berdiri di atas rumah pohonnya. Ada lantai papan yang disediakan jika Serena ingin selonjoran di sana.Semua terlihat menyenangkan. Serena sesaat menutup mata. Dia nikmati semilir angin malam yan
"Tidurlah."Alterio mengusap punggung Serena yang terbaring di atas dadanya. Mereka sudah pulang dari mansion Alexander dua jam lalu.Keduanya menolak saat diminta untuk menginap. Alterio menjawab dengan santai kalau kewajibannya sebagai menantu keluarga Alexander setidaknya sudah dia penuhi.Jadi perkara menginap atau tidak akan diurus lain kali. Nandito tak bisa mencegah Alterio, terlebih pria itu berujar masih punya masalah yang harus diurus.Dari ekspresi Al, Nandito langsung tahu kalau persoalan yang harus dibereskan Al adalah perkara Thalia."Enggak bisa.""Masih mikirin Thalia. Dia sudah mati. Langsung dikubur tadi.""Ngapain mikirin mayat. Serem.""Lalu?" Al sejatinya sangat terganggu dengan tingkah Serena yang mendadak jadi kelinci imut yang menggemaskan.Serena yang biasanya tantrum kalau dia sentuh, kini tiba-tiba jadi pasrah. Diam saja saat pria itu menariknya dalam pelukan."Terima kasih buat dua triliun itu."Akhirnya Serena tahu kalau Al adalah orang yang membantu keuan
Ekspresi Elle berubah tegang. Sama halnya dengan Nandito. Bedanya pria itu dengan cepat bisa mengendalikan diri."Bukan hal besar. Hanya saja dulu ibumu sangat baik pada tantemu. Tapi dia justru berlaku buruk padamu. Om jadi malu."Serena mengulas. Dia sangat senang sikap Nandito tak berubah padanya. Meski di luaran sana banyak orang blak-blakan mencacinya."Kapan kamu datang? Kenapa tidak kasih tahu. Datang sama Lalita atau Sergie? Atau sama suamimu?"Pertanyaan beruntun Nandito berikan. Pria itu aslinya sangat cemas dengan pemberitaan soal Serena. Takut Serena terpengaruh lantas tak mampu bertahan."Aku datang sama Lalita. Sergie lagi ada urusan. Tahu sendirilah."Nandito tersenyum merespon jawaban Serena. Sang keponakan sengaja tak menjawab soalan seputar suaminya."Turunlah makan sebentar lagi. Tante siapkan makan malam." Elle pilih menghindar dari situasi yang menyudutkan dirinya. Serena mengangguk, tidak merespon berlebihan. Setelahnya suasana hening menyelimuti ruangan dengan
Kejadiannya persis seperti Nereida. Serena merekam dengan apik di benaknya. Seperti apa ibunya saat terjatuh dari tangga, lalu berhenti dengan kepala terus mengucurkan darah.Akibatnya, tak lama kemudian Nereida meninggal. Serena mematung di tempatnya berdiri, menyaksikan beberapa orang mulai berdatangan memberi pertolongan pada Thalia.Jiwa Serena serasa terhisap kembali ke masa itu. Saat dia menangis histeris saat Lalita dan Sergie mencoba menyelamatkan ibunya. Namun gagal."Ibu, mereka sudah mendapat balasannya. Ibu bisa tenang di sana.""Dia yang mendorongnya!" Suara itu membuat Serena tersadar. Saat itu Serena merasa ada tangan yang menyentuh bahunya. Lalita ada di sana. Jelas untuk melindunginya."Jangan sembarangan menuduh. Memangnya kamu lihat kejadiannya?" Seru yang lain. Tubuh Thalia sudah diangkut menuju rumah sakit. Yang tersisa di sana tinggal staf umum RD. Kenapa disebut umum, sebab mereka murni karyawan biasa.Kalau mereka merangkap anggota Black Diamond. Mana berani
Paras Serena berubah pucat begitu dia ditarik ke atas. Al sungguh berniat ingin membunuhnya. Jantungnya serasa lepas dari tempatnya. Pun dengan tubuhnya mendadak kaku, tidak bisa bergerak. Ditambah dia sempat sesak napas. Al sempat terbahak sebelum memeluk erat tubuh Serena yang terasa dingin. "Mati aku, mati aku," gumam Serena tiada henti. "Belum," kata Al singkat. Serena lekas mendorong tubuh sang suami menjauh. Dia duduk selonjor dengan tubuh terasa lemas. Keadaannya lumayan membaik saat Jeff mengulurkan air untuk Serena minum. Rona merah lekas mewarnai paras sosok yang kecantikannya Jeff akui di atas rata-rata. Pantas saja si kutub utara sampai meleleh karenanya. Premium punya dan pasti limited edition alias langka. "Kau keterlaluan!" Maki Serena seketika. Tapi yang dimaki cuma diam saja. Tidak membantah atau membela diri. Al bergeming memandang Serena yang mengomel panjang lebar, tak peduli tempat. Bahkan Jeff sampai geleng kepala melihat tingkah Serena. Dalam keadaan bi
"Edgar Martinez punya putra? Tidak masuk akal!" Max berkomentar sambil memasukkan cairan hijau bening ke tabung reaksi berisi cairan berwarna transparan.Desis lirih terdengar sebagai reaksi pertemuan antara dua cairan beda jenis itu. Max menunggu sejenak, mengamati perubahannya sebelum tersenyum tipis.Tangan dan otaknya benar-benar jenius. Dari proses awal sudah terlihat kalau percobaannya bakal berhasil. Perhatian Max kembali teralihkan ketika dia memandang berkas kesehatan Edgar yang tergeletak di meja. Dia amati tulisan di dalamnya, kemudian dia membuat panggilan.Max bicara dengan seseorang di ujung sana. "Jadwalkan pemeriksaan ulang untuk Edgar Martinez. Komplit."Awalnya Max tidak tertarik dengan urusan Edgar. Mengingat pria itu cukup merepotkan Al selama ini. Jadi Max juga menaruh rasa tidak suka pada pria itu.Namun melihat kejanggalan dalam laporan kesehatan Edgar, hatinya tergerak untuk mencari tahu. Bagaimanapun Max punya basic dokter, yang mana tugasnya menolong tanpa p
Max menerima panggilan dengan dahi berkerut dalam. Tidak pernah dia duga kalau Edgar akan menghubunginya. "Siapa?" Paul bertanya. Tangannya selalu sibuk dengan benda persegi pipih nan canggih. Kalau tidak tablet ya laptop."Edgar, dia bilang ingin bertemu. Urusan apa ya?" Max jarang bersentuhan dengan dunia luar. Dia benar-benar suka mengurung diri di lab.Berkutat dengan rumus, formula dan berbagai percobaan. Entah berhasil atau tidak, Max tidak peduli. Yang penting dia nyaman dengan dunianya. Soal hasil pikir nanti."Apa dia berubah pikiran mau menjodohkanmu dengan Vasti, setelah Al menolak terus-terusan. Siapa tahu dia berminat dengan pembunuh tanpa rasa sakit." Paul mulai memprovokasi."Kalau dia berani melakukannya, akan kuhabisi dia dengan racun terbaruku. Tidak terdeteksi.""Pantas namanya Invinsible."Max membusungkan dada, jumawa dengan pencapaiannya. Dua pria itu berhenti berbincang ketika Al keluar dengan Serena setengah terpejam dalam gendongan sang suami."Sudah lebih ba