Share

DIBUANG LAKI-LAKI PECUNDANG DINIKAHI ANAK SULTAN
DIBUANG LAKI-LAKI PECUNDANG DINIKAHI ANAK SULTAN
Author: Triyani Soeyatno

BAB 1. KEDATANGAN BU TATA

"Alhamdulillah Ibu sudah sampai. Gimana kabarnya, Bu, sehat?" tanyaku pada ibu mertua dengan ramah dan hangat. Kuci-um punggung tangan perempuan paruh baya itu dengan takzim, kemudian memeluknya dengan perasaan rindu karena kami memang sudah cukup lama tidak bertemu. Kalau tidak salah, terakhir bertemu saat kami mudik lebaran tahun lalu.

Tapi, kulihat ada yang aneh dari sikap perempuan yang telah melahirkan suamiku itu. Raut wajah Bu Tata terlihat dingin, dan saat aku memeluknya tadi beliau pun seakan terpaksa.

"Alhamdulillah sehat," jawab Bu Tata singkat. Aku berusaha untuk tetap tersenyum, namun dalam hati tak urung jadi timbul tanda tanya.

"Ada apa dengan Ibu mertuaku, kenapa sikapnya jadi seperti ini? Apa aku membuat kesalahan? Ah sudahlah, aku tidak boleh suudzon, mungkin Ibu hanya kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh," ucapku dalam hati.

Meskipun susah payah aku tetap berusaha untuk berpikir positif.

"Silahkan masuk, Bu. Mita nyamper Mas Bagus dulu ya, sebentar." Bu Tata hanya mengangguk tanpa senyum sama sekali. Aku lihat dia juga tidak terlalu mempedulikan ucapan dan sambutanku tadi, seperti ada yang sedang dipikirkan.

Mas Bagus dan ibunya memang baru saja sampai di Bekasi siang ini. Mas Bagus menjemput ibunya yang tinggal di Solo atas permintaan ibunya yang entah kenapa tiba-tiba ingin tinggal bersama kami. Padahal selama ini Bu Tata dan kedua anak perempuannya tinggal di Solo, tempat dimana suamiku berserta kedua adiknya dilahirkan.

Sebenarnya aku juga ingin ikut menjemput mertuaku ke Solo. Tapi Mas Bagus melarang dan mengatakan kalau aku cukup menunggu di rumah supaya tidak kelelahan, karena jarak Bekasi-Solo yang memang lumayan jauh. Akhirnya aku hanya bisa mengikuti apa yang di katakan oleh suamiku.

Aku berjalan ke depan menghampiri mobil kami yang telah terparkir di garasi. Laki-laki yang sudah lima tahun menjadi imamku itu belum juga turun dari mobil. Entah sedang apa dia di dalam.

Setelah aku mengetuk jendela mobil beberapa kali, akhirnya Mas Bagus turun dari mobil. Tapi kulihat wajah suamiku terlihat lesu dan tidak bersemangat, mungkin karena kelelahan dan kurang tidur.

"Sehat, Mas?" tanyaku sambil menci-um punggung tangan Mas Bagus.

"Iya sayang, kamu juga baik-baik saja 'kan di rumah?" Mas Bagus berucap sambil mengecup keningku.

"Alhamdulillah, aku baik. Ayo kita masuk, Mas pasti capek."

"Sebentar sayang, Mas turunin koper dulu." Mas Bagus membuka bagasi mobil, lalu aku membantunya menurunkan koper-koper yang berada di dalam bagasi. Ada tiga buah koper di sana, salah satunya koper milik suamiku, sedangkan dua koper besar lainnya pasti milik mertuaku. Berarti benar kalau ibu mertuaku akan tinggal di sini bersama kami, di rumah peninggalan mendiang orang tuaku.

Sebelumnya aku tidak keberatan sama sekali dengan keinginan ibu Mas Bagus. Apalagi sekarang aku dan Mas Bagus hanya tinggal berdua saja di rumah besar ini. Karena beberapa bulan yang lalu ibuku sudah pergi menghadap ilahi.

Sebelumnya aku merasa senang mertuaku mau tinggal di sini. Aku tidak akan merasa kesepian lagi, apalagi saat Mas Bagus sedang bekerja shift malam.

Tapi, jujur sekarang aku merasa ragu atas keputusanku kemarin. Melihat sikap Bu Tata barusan, membuatku kembali dihantui perasaan galau. Entah kenapa mertuaku jadi seperti itu, padahal dulu beliau sangat baik dan sayang padaku.

Kuhembuskan nafas panjang, mencoba untuk mengusir perasaan yang mulai merasa tidak nyaman.

"Kenapa sayang?" tanya Mas Bagus, dia meneliti wajahku. Mungkinkah terlihat jelas di wajahku apa yang tersirat di hati ini?

"Gak apa-apa, Mas." Aku berusaha tersenyum dan menyembunyikan kegelisahan di dalam hati. Berharap apa yang kupikirkan saat ini tidaklah benar.

Setelah menurunkan koper, kami berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Aku membawa koper Mas Bagus, sedangkan Mas Bagus membawa dua koper milik ibunya.

"Mas, mau mandi dulu atau mau langsung makan? Aku sudah masak makanan kesukaan Mas Bagus," tanyaku saat kami sudah berada di dalam kamar. Sedangkan ibu mertuaku tadi sudah diantar oleh Mas Bagus ke kamar tamu.

"Mandi dulu, sayang, biar seger. Nanti habis mandi, kita makan sama-sama," sahut Mas Bagus, kemudian dia masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamar kami.

Setelah menyiapkan pakaian Mas Bagus dan meletakkannya di atas kasur. Aku beranjak keluar dari kamar menuju dapur dan langsung menata masakan di atas meja makan.

Termenung sendirian menunggu suami dan mertuaku di meja makan. Untungnya tak lama kemudian Mas Bagus dan mertuaku datang menghampiri dengan penampilan yang sudah lebih fresh karena baru saja selesai mandi.

Keduanya langsung duduk di kursi yang kosong. Dengan sigap aku langsung menyiapkan piring dan mengambilkan nasi untuk suami dan mertuaku.

"Mari, silahkan, Bu." Suaraku memecah keheningan yang tercipta diantara kami. Aku menyodorkan lauk pauk pada mertuaku, berharap dia akan bersikap ramah seperti dulu.

"Ayo, Bu, dimakan. Semua masakan ini menantu Ibu yang masak." Mas Bagus ikut menimpali dan tersenyum padaku. Aku pun ikut tersenyum menyembunyikan perasaan yang kian gelisah. Apalagi Bu Tata hanya diam saja dan tidak menyahut sedikitpun, tapi dia langsung mengambil lauk pauk yang kusodorkan kemudian langsung memakan masakanku tanpa bicara apapun.

Aku melirik Mas Bagus, mau bertanya tapi sungkan, apalagi mertuaku baru saja sampai. Aku takut Bu Tata akan tersinggung kemudian marah padaku. Mungkin nanti saja setelah kami berada di kamar, aku akan menanyakannya pada suamiku perihal sikap ibunya yang tak seperti biasanya ini.

Akhirnya kami makan dalam diam. Setelah menyelesaikan makannya, kulihat Bu Tata mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah.

"Rumah sebesar ini tapi sayang kok sepi banget, ndak ada suara anak-anak jadi kesannya suram."

Ucapan Bu Tata berhasil membuatku mengentikan tangan yang akan menyuap nasi ke dalam mulut. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat ini. Sakit ... bahkan sangat sakit. Bagai belati yang langsung menembus ke jantung. Bahkan kini air mataku sudah menganak sungai tanpa bisa kucegah.

"Bu ...." Mas Bagus menatap ibunya dengan pandangan memohon, kemudian dia bangun dan memelukku yang kini mulai terisak dan memutuskan menyudahi makan.

"Memang benar 'kan? Rumah kalau ndak ada anak itu suram, ndak ada kebahagiaan." Kembali Bu Tata mengeluarkan kalimat yang membuat hatiku sebagai pejuang garis dua semakin terluka.

"Cukup, Bu, jangan teruskan. Bukankah Ibu tahu kami sudah berusaha. Tapi mau bagaimana lagi, Tuhan memang belum memberi kami kepercayaan. Kita masih diminta untuk bersabar."

"Sabar, sabar terus, mau sampai kapan? Setahun lagi, dua tahun, tiga tahun, ndak pasti toh? Atau kamu mau nunggu Ibu mati dulu, baru mau menuruti permintaan Ibu?"

"Maafkan Bagus, Bu. Bagus benar-benar nggak bisa memenuhi permintaan Ibu. Tapi kalau Ibu setuju, kami akan mengambil anak asuh. Bukankah banyak anak yang kurang beruntung karena nggak punya orang tua. Kami bisa mengambil salah satu dari mereka." Mas Bagus berusaha memberi pengertian pada ibunya.

"Ibu ndak mau cucu yang ndak ada pertalian darah dengan kita. Ibu mau cucu dari darah daging kamu. Titik." Mendengar ucapan Bu Tata, aku semakin tak bisa berkata apa-apa, selain makin terisak merasakan luka hati yang semakin dalam.

"Bu, tolong mengerti Bagus. Bagus nggak mau menyakiti Mita, Bagus sangat mencintai Mita. Ibu 'kan masih bisa punya cucu dari Sekar dan Gendis." Mas Bagus memohon dengan mata yang mulai berkaca-kaca, masih sambil memelukku.

"Ya, ndak bisa. Kamu itu satu-satunya anak laki-laki Ibu. Jadi harus ada anak yang akan menjadi penerus keluarga kita. Kalau anak Sekar dan Gendis, mereka akan menjadi penerus dari keluarga suaminya. Pokoknya Ibu ndak mau tahu, kamu harus mengabulkan permintaan Ibu. Kalau ndak ... kamu tahu apa yang akan Ibu lakukan." Bu Tata berucap dengan lantang, kemudian perempuan paruh baya itu berdiri dan meninggalkan aku dan Mas Bagus.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status