Home / Romansa / DIBUANG SUAMI, DIRATUKAN AKTOR TERNAMA / Aku Mohon, Jangan Lakukan Itu, Mas!

Share

Aku Mohon, Jangan Lakukan Itu, Mas!

last update Last Updated: 2025-06-06 02:28:21

"Please, jangan lakukan ini, Mas!" Aku memohon, berharap dirinya memiliki sedikit saja hati nurani. Tangisku bahkan pecah saat diseret paksa olehnya menuju area terdalam bangunan. Lenganku juga terasa kebas akibat kuatnya cengkraman dan aku yakin akan menimbulkan bekas.

Sayangnya raut dingin itu tidak berubah sedikitpun, bahkan hingga dirinya mendorong tubuhku ke hadapan beberapa orang berpakaian putih khas tenaga medis yang hanya memperlihatkan raut datar melihat semua perlakuan yang Kennan berikan padaku, membuatku jatuh tersungkur di depan kaki ketiganya.

Ringisan pelan lolos dari bibirku saat siku beradu dengan lantai, beruntung tangan kananku berhasil menekan lantai hingga perutku tidak langsung membentur area tersebut. Mungkin inilah yang dinamakan nurani seorang ibu yang ingin melindungi calon anaknya sehingga tanpa sadar diriku reflek melakukan hal tersebut. Namun, belum sempat diriku kembali menghiba, suaranya kembali terdengar, "Bawa dia dan pastikan semuanya selesai tepat waktu."

Aku terbelalak dan belum sempat merespon, ketiga orang tersebut sudah menarikku agar bangkit berdiri, lalu menarikku dengan kuat agar pergi mengikuti mereka.

"Mas! Mas Kennan, please jangan lakukan ini! Dia darah dagingmu, Mas!" Aku memalingkan wajah, menatapnya dengan air mata berderai, berharap pria itu berubah pikiran meskipun aku yakin hal itu mustahil terjadi.

"Mas!" Teriakanku bahkan teredam oleh pintu yang tertutup. Meskipun aku masih bisa melihat dirinya dari kaca yang ada di bagian atas pintu, masih berharap dirinya berubah pikiran. Namun, justru pemandangan menjijikkan yang harus aku terima, membuat mataku terbelalak dan akhirnya sadar jika aku selamanya hanyalah seseorang yang tidak pernah berarti baginya.

Kedua petugas pria telah melepaskan pegangan tangan mereka di tubuhku. Namun, tersisa seorang petugas wanita yang kini ikut masuk ke dalam sebuah ruangan sempit, di mana kulihat terdapat sebuah lemari kaca berisi pakaian berwarna hijau.

"Pakai!" Tangannya menyodorkan selembar kain itu padaku, setelah sebelumnya mengambil dari dalam lemari.

"Ini ... apa?" Aku berusaha mengulur waktu sambil memeluk tubuhku yang bergetar hebat karena harus melawan rasa takut.

"Kamu akan segera menjalani operasi. Jadi, kamu harus berganti pakaian segera." Meskipun wajahnya terlihat garang. Namun, dirinya bersedia menjelaskan.

"Tapi, kenapa aku harus melakukannya? Aku tidak sedang sakit ataupun mempunyai riwayat penyakit apapun yang bisa membuatku harus menjalani operasi yang kamu maksudkan," ujarku dengan suara bergetar.

"Jangan berpura-pura tidak mengerti, Nyonya?" ujarnya tidak sabaran.

"A-aku tidak—" Aku menggeleng.

"Tuan meminta kami menggugurkan kandungan Nyonya."

Walaupun aku tahu dan yakin dirinya akan mengatakan hal tersebut. Namun, tetap saja hal tersebut laksana petir di siang bolong bagiku. Bahkan aku yakin jika saat ini wajahku pucat pasi, karena aku tidak bisa merasakan aliran darah di sana.

"Ayo ikut saya, Nyonya," ujarnya lagi, menyadarkan diriku dari sebuah lamunan.

"Tapi, aku—"

"Anda sudah siap, Nyonya," ujarnya, memotong ucapanku.

Aku terhenyak, tidak sadar sejak kapan baju yang aku kenakan berganti dengan kain hijau tersebut, lengkap dengan penutup kepala. Namun, aliran dingin udara yang mengenai sela punggung yang terbuka, membuatku sadar jika ini semua nyata.

"Bagaimana kamu bisa melakukannya?" tuduhku sengit. Aku benar-benar tidak terima perlakuan ini.

"Saya hanya sedang menjalankan tugas, Nyonya. Jadi, saya mohon kerjasamanya." Dia kembali berujar sambil membaringkan diriku paksa di atas brankar, lalu mendorong benda tersebut ke arah pintu keluar yang terbuka tiba-tiba.

"Kapan jadwal operasi?" Sebuah suara cempreng yang teramat aku kenali terdengar, membuatku mendongak ke atas dan sosok tersebut terlihat dengan jelas.

Dia balas menatapku dengan seringai sinis. "Halo, lama tidak bertemu, Anak Babu!" Kedua tangannya bersedekap di dada, hingga membuat gaun V neck yang ia kenakan terlihat seolah-olah tidak mampu menampung dada besarnya yang menyembul keluar.

"Sandra?" tanyaku sedikit kaget. Aku memang yakin yang kulihat sebelumnya adalah dirinya. Namun, aku benar-benar tidak menyangka jika dirinya berada di sini dan lebih tercekat lagi saat melihat siapa yang baru saja datang, lalu bergegas memeluknya mesra.

"Mas," panggilnya lembut sambil menggelayut manja.

"Iya, Bee." Suara lembut pria itu membuatku kembali terhenyak akan fakta bertubi-tubi yang aku terima. Terlebih saat dirinya mengecup puncak kepala wanita ular itu di depanku tanpa raut bersalah sedikitpun.

Di situ aku percaya jika aku memang hanyalah seorang pengganti. Aku berusaha tegar. Namun, air mataku justru kembali menetes berbarengan dengan tawa miris terdengar. Aku merasa ini semua sungguh sebuah ironi.

Potongan demi potongan peristiwa manis selama kami bersama bahkan saling muncul silih berganti bak sebuah kaleidoskop dan hal itu bukannya membuatku senang. Namun, justru miris karena semua tatapan penuh cinta, juga panggilan mesra yang ia berikan setiap kali kami menghabiskan malam indah berdua, ternyata hanyalah sebuah kamuflase semata.

Aku bahkan tidak mendengar isi percakapan mereka, juga enggan melihat kembali pemandangan menjijikkan yang kedua orang itu suguhkan.

"Kenapa kamu tega melakukan ini, Mas?"

Semua suara yang semula aku dengar, seketika lenyap digantikan hening yang menusuk tulang.

"Apa yang tengah berusaha kamu katakan, Alisha?" Kelembutan yang ia perlihatkan sebelumnya, seketika berubah menjadi suara lirih yang sarat akan penekanan juga rasa muak yang enggan ia tutupi.

Aku yang semula menunduk, perlahan mengangkat pandangan, menatap wajah yang dulu sempat aku puja. Namun, kini hanya tersisa rasa sakit yang menyiksa. "Kenapa Mas ingin melenyapkan janin ini? Bukankah Dia calon anakmu?"

"Karena kamu tidak pantas menjadi ibu dari anakku." Tangannya tiba-tiba mencengkram leherku, membuatku sesak sehingga harus memukul lengannya berulang kali.

"Mas—" Aku sadar tidak mampu melawannya, sehingga hanya mampu menghiba, berharap dirinya memberikan sedikit saja belas kasih. Namun, saat melihat tatapan jijik itu kembali, aku sadar jika aku tidak pernah ada di hatinya sedikitpun.

Lantas aku pun memejamkan mata, pasrah menerima nasib. Namun, tiba-tiba saja dirinya melepaskan cengkraman, membuatku terbatuk-batuk sekaligus lega. Aku pun dengan rakus berusaha mengisi paru-paru yang terasa kosong.

"Tanda tangani ini!"

"A-apa ini?" Kupegangi leher yang terasa sakit sambil menatapnya nanar.

"Kamu masih bisa membaca, bukan?!" Bukan Kennan yang bicara, melainkan Sandra, "jadi cepetan tanda tangan!"

"Mas—"

"Heh! Kamu denger aku ngomong 'kan?!" Sandra marah, ia merasa diabaikan.

Ku tatap wanita itu cepat. "Aku lagi ngomong sama suami aku. Jadi, orang luar tidak berhak ikut campur," ujarku berdesis, menahan diri untuk tidak menjambak rambut panjang bergelombang miliknya, juga mencakar wajah sombongnya yang full make-up itu.

"Mas—" rengeknya manja, membuatku berdecih sinis, menyaksikan kepura-puraan di depan mata, "tolongin aku dong!" Tangannya bahkan tidak segan bergelayut manja di lengan kiri suamiku.

Entah mengapa aku masih berharap dirinya menolak. Namun, pria itu justru menenangkan gadisnya.

Ah, mikir apa aku? Tidak mungkin dia mampu mengabaikan permintaan wanita itu. Terlebih demi diriku yang tidak mempunyai arti di hidupnya.

"Tanda tangan, gugurkan kandunganmu. Lalu, akan kuberikan kompensasi yang layak!"

Aku terpaksa mengangguk sambil mengusap air mata yang lagi-lagi mendesak turun. "Baik. Aku mengerti," ujarku dengan suara serak. Lalu, bergegas meraih map yang disodorkan.

Kububuhkan tanda tangan di kolom yang ia minta, hanya untuk menerima sebuah tawa bahagia dari bibir mereka berdua.

Tepat ketika aku baru saja selesai melakukannya, ia lantas berkata, "Bawa Dia pergi!"

Ketiganya menurut. Brankar ku pun didorong kembali menuju pintu keluar. Aku bahkan sempat melihat untuk yang terakhir kali adegan mesra yang mereka lakukan. Namun, daripada mengutuk perbuatan mereka, aku merasa lebih baik memikirkan cara untuk keluar dari tempat ini.

Di ujung lorong, salah seorang pria di sana berkata ingin ke toilet sebentar, sementara si wanita akan menyiapkan semua perlengkapan operasi, sehingga hanya tersisa diriku dengan seorang pria berbadan kurus yang terlihat susah payah mendorong brankar milikku.

Saat kami tiba di depan sebuah pintu, di mana samar tercium aroma amis dan busuk, pria itu menghentikan laju brankar dan berjalan ke arah depan, melewati diriku.

"Sekarang saatnya," gumamku lirih saat mendengar suara kunci dibuka. Perlahan aku pun turun dari atas brankar, berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara sedikitpun. Namun, karena terlalu mengkhawatirkan pria di belakang sana, tanpa sadar diriku menabrak sebuah kardus, membuatku memejamkan mata sesaat, "oh shit!"

Bersamaan dengan suara pria itu mengutuk perbuatanku, "Hey, jangan lari!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIBUANG SUAMI, DIRATUKAN AKTOR TERNAMA   DSDAT-8

    Baik Alisha maupun Richard sama-sama menegang, merasa gugup seolah-olah takut kepergok, terlebih Alisha yang kini sudah pucat pasi juga berkeringat dingin, merasa takut sekaligus kebingungan harus berbuat apa. Richard menyadari ketakutan yang Alisha tunjukkan. Ia lantas menghela napas pendek sebelum meraih tangan kiri Alisha yang bergetar. Alisha tersentak kaget, ia menoleh cepat pada Richard dengan sorot bertanya. "Kamu sembunyi di kamar dulu. Nanti aku beritahu jika sudah aman," ujar Richard menjelaskan dan bergegas menarik tangan Alisha agar berjalan mengikutinya. Alisha yang terkejut, tentu saja tidak sempat menolak. Begitu dirinya tersadar, ia justru telah berada di dalam kamar yang penuh dengan aura maskulin dengan seprai abu-abu gradasi hitam juga dinding dicat warna kelabu yang sebahagian dibiarkan berwarna putih, tampak polos tanpa hiasan apapun termasuk photo. Alisha memindai sekeliling ruangan. Ia tanpa sadar berjalan men

  • DIBUANG SUAMI, DIRATUKAN AKTOR TERNAMA   DSADT-7

    Mobil yang membawa Alisha dan Richard akhirnya tiba di basement. Richard lantas mengajak Alisha naik ke atas menggunakan lift dan begitu tiba di tempat tujuan, ia perlahan membuka pintu dan menyilakan Alisha masuk, baru setelahnya ikut serta. "Duduklah!" titahnya berusaha santai saat melihat Alisha celingukan memindai sekeliling ruangan dengan sorot takjub, "biar kita bisa segera membicarakan perihal apa saja tugasmu setiap hari."Alisha berbalik, menyelipkan sebagian anak rambut ke balik telinga kiri. "Terima kasih, Mas," sahutnya kikuk, tanpa sadar merasa malu dan terpesona kala menatap balik wajah Richard yang tidak tertutup masker dan topi. Ia lantas duduk di sofa saat melihat tangan dan tatapan Richard memaksanya menurut. Begitu Alisha duduk, Richard pun mengikuti, duduk di seberang. Hening tercipta seolah-olah keduanya tengah menilai satu sama lain. "Anu—" Keduanya seketika tegang, lalu terkekeh bersamaan, merasa sangat lucu dengan momen

  • DIBUANG SUAMI, DIRATUKAN AKTOR TERNAMA   Sebuah Tawaran Pekerjaan

    Alisha duduk di ruang tunggu depan, terlihat kebingungan karena ponsel maupun uang tidak ia miliki saat ini. Sementara dirinya tidak tahu harus pergi ke mana. "Kenapa kamu masih di sini? Bukannya kamu bilang mau pulang?" tanya Richard tiba-tiba, bahkan Alisha tidak mendengar suara derap langkah pria itu yang tiba-tiba saja telah berada di depannya. Alisha yang semula menundukkan kepala, lantas mendongak hingga dirinya bisa melihat penampilan Richard lengkap dengan masker hitam dan topi pet warna senada, serta jaket hoodie berwarna abu-abu tua terpasang erat, membungkus tubuh atletis yang sempat Alisha lihat sebelumnya. Alisha tercekat. Ia menelan ludah. "Aku gak punya rumah. Jadi, aku gak tau harus pulang ke mana?""Hah! Tidak punya rumah?" Richard membeo, "bukannya kamu sudah bersuami? Kenapa kamu tidak pulang ke rumah suamimu saja?' Ia berusaha terdengar santai, meskipun hatinya tidak mampu memungkiri jika kini tengah terluka oleh ucapannya s

  • DIBUANG SUAMI, DIRATUKAN AKTOR TERNAMA   DSDAT-5

    "Dia bukan suami saya, Sus!" sahut Alisha tegas. Dirinya kesal karena mendapatkan tuduhan seperti itu. Terlebih saat mengingat tingkah pria menyebalkan yang justru menatapnya datar. "Eh, masa?! Bukannya—" Suster itu menatap Alisha dan Richard bergantian dengan raut heran. Tatkala melihat tatapan yang Richard berikan, ia pun segera berdehem, "baiklah. Ibu sudah bisa pulang sekarang. Permisi!" Ia mengangguk kecil, lalu bergegas berlalu meninggalkan keduanya. "Kamu bisa pergi sekarang juga karena aku sudah sembuh dan tidak perlu lagi kamu awasi seperti itu," celetuk Alisha ketus. Dirinya kesal. Namun, sadar jika pria di depannya itulah sang dewa penolong, sehingga dirinya tetap berusaha menahan diri dari keinginan untuk menjambak pria yang ia anggap sangat menyebalkan. "Apa kita sedang bernegosiasi?" Richard justru menyahut datar, kepalanya ia miringkan sedikit, "lalu, apa kamu sedang menghalu?" Alisha mendelik. Emosi yang

  • DIBUANG SUAMI, DIRATUKAN AKTOR TERNAMA   DSDAT-4

    Alisha akhirnya membuka mata keesokan harinya. Wanita itu merasakan sedikit perih. Ia lantas menoleh dan mendapati jarum infus kembali terpasang di punggung tangan kanan juga selang oksigen terpasang di hidung. Lalu menoleh ke sekeliling ruangan dan menyadari jika dirinya masih berada di tempat yang sama. "Apa kamu tidak berniat untuk keluar dari rumah sakit, sehingga membuat drama jelek seperti ini?!" Teguran sarkas terdengar, membuat Alisha menoleh dan mendapati seorang pria tampan yang kemarin malam menemaninya, kini tengah duduk di sofa, bersandar dengan gayanya yang arogan. Masker tidak terpasang di wajahnya, sehingga Alisha bisa melihat bibir tipis berwarna coklat itu tengah menyunggingkan senyum sinis. Pria itu bahkan menatapnya tajam. Terlihat kesal sekaligus gemas. "Siapa Kamu?" Alih-alih menjawab pertanyaan, Alisha justru balik bertanya. Ia perlahan beringsut duduk dan bersender dengan bantal sebagai penopang. "Kamu tidak per

  • DIBUANG SUAMI, DIRATUKAN AKTOR TERNAMA   DSDAT-3

    Richard duduk di balkon kamarnya bersama sebatang rokok yang ia jepit di antara jari telunjuk dan jari tengah. Meskipun di ufuk timur terlihat samar semburat Oranye pertanda pagi hampir menjelang, dirinya tidak perduli. Terlebih setelah perdebatan, tepatnya tudingan sang bunda beberapa saat yang lalu. Angin lembut bahkan mempermainkan rambut sebahunya yang kali ini ia biarkan tergerai, hingga menutupi sebagian rambut. Sesekali terlihat asap putih membumbung tinggi ke angkasa bersamaan dengan jatuhnya abu rokok ke lantai, tepat di samping kaki kanannya yang telanjang. Richard bahkan seolah-olah tidak merasakan udara dingin, meskipun kulitnya terasa meremang. Percakapan antara dirinya dan sang bunda kembali terngiang, juga pembelaan diri yang ia berikan. Meskipun sang bunda terlihat tidak percaya, terlihat dari sorot sengit yang ia berikan. Namun, Richard terus berusaha meyakinkan. "Pokoknya mama gak bakal menerima wanita itu lagi! Sudah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status