Hari ini hari keempat aku berada di rumah sakit ini. Beruntung seorang perawat bersedia membawaku pergi ke taman belakang rumah sakit saat kukatakan jika aku merasa bosan terus menerus berada di dalam kamar.
Perutku bahkan sudah terasa lebih baik daripada sebelumnya dan nanti siang dokter akan melakukan kunjungan guna memastikan jika bayiku benar-benar masih selamat. Ku usap lembut perutku yang tertutup piyama sambil menatap pemandangan danau angsa. Senyum manisku terukir kala melihat di depan sana sepasang angsa tengah melakukan tarian perkawinan. "Sangat indah," ujarku lirih. Angin sepoi-sepoi bahkan menerbangkan anak rambutku yang terlepas dari ikatan hingga menutupi sedikit wajahku. Ku beranikan diri menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Namun, gerakanku seketika terhenti saat mendengar suara dari belakang, "Nyonya, sekarang sudah jam 10. Dokter sebentar lagi akan datang. Jadi, sebaiknya kita segera kembali." "Baik. Terima kasih, Suster." Aku mengangguk paham. Ia lantas menarik kursi roda yang aku duduki, lalu membawaku pergi menyusuri koridor. Tidak terdengar sepatah katapun terucap, baik dari mulutku maupun mulut sang perawat, hanya suara derit roda ban yang terdengar beradu dengan lantai, juga suara hiruk pikuk aktivitas orang lain di sana. Namun, aku tidak perduli karena saat ini pikiranku terasa penuh dengan bagaimana nasibku ke depannya. Tanpa pekerjaan, tanpa rumah, dan tanpa uang sepeserpun di tangan. Aku bahkan tanpa sadar menggigit ujung jempol kananku saat tiba-tiba perutku terasa nyeri hebat. "Ada apa, Nyonya?" Aku terdiam. Keringat dingin tiba-tiba mengucur deras dari pori-pori. Aku bahkan bisa merasakan kurangnya aliran darah di wajah hingga terasa pucat bak mayat hidup. "Nyonya, Anda baik-baik saja?!" Perawat itu mendekat, suaranya terdengar panik. "S-sakit." Aku ingin menjawab dengan lantang apa yang aku rasakan. Namun, perutku benar-benar terasa diremas dengan kuat. "Nyonya, bertahanlah! Saya mohon!" Suaranya benar-benar terdengar khawatir. Namun, hanya itu yang bisa aku dengar saat merasakan sesuatu mengalir di antara kedua pahaku. Lalu kegelapan kembali merenggut kesadaranku bersama dengan teriakan panik dari semua orang yang melihat. *** Entah berapa lama aku tertidur. Karena saat aku membuka mata, ternyata lampu telah dinyalakan dan dari balik jendela terlihat jelas langit penuh bintang yang sangat indah, layaknya taburan berlian swarovski di sebuah gaun malam yang pastinya terlihat sangat elegan. "Ternyata aku pingsan," ucapku lirih sambil menghela napas pendek, lalu berusaha beringsut duduk dan seketika tercekat kala merasakan sesuatu mengganjal area pribadiku. "K-kenapa aku memakai diapers?" Aku merasa janggal sekaligus ketakutan. Takut dengan pemikiran buruk yang tiba-tiba singgah di benakku. Aku lantas memberanikan diri menyentuh perutku yang datar saat sebuah deheman seorang pria terdengar, membuat gerakan tanganku mengambang di udara. Aku bergegas menoleh dan sesosok pria keluar dari balik kegelapan. "Dia sudah tidak ada." Dia berkata santai sambil duduk di sofa yang menghadap ke arahku. "A-apa maksudmu?" tanyaku dengan nada tercekat. Wajahku bahkan tanpa sadar memucat. "Anakmu sudah tidak ada," ujarnya santai sambil bersedekap. Seolah-olah tidak perduli saat melihat raut terkejut yang aku perlihatkan. Ucapannya bak petir di siang bolong, menghancurkan sekaligus melenyapkan asa yang kumiliki serta harapan dari mendiang malaikat baik hati yang telah bersedia menampungku dan mendiang ibuku selama dua puluh tiga tahun. "J-jangan bercanda!" pintaku dengan suara bergetar menahan tangis. Aku berusaha terkekeh. Namun, justru air mata yang mengalir deras hingga membuat pandanganku terasa kabur. Ku usap kasar sambil menarik napas dalam-dalam saat mendengar tawa mengejek yang ia berikan. "Apa kamu merasa lucu dengan ini semua?!" tanyaku marah. Kutatap wajahnya nyalang. "Tidak," ujarnya sambil menggendik santai, seolah-olah ucapannya tidak menyakitiku sedikit pun, "tapi, memang itulah kenyataan yang harus kamu terima, Alisha. Mungkin ini karma buatmu. Karena itu kamu tidak bisa menjadi seorang ibu bagi anak yang lain." Pria itu bangkit berdiri, berjalan mendekati diriku bersama sorot penuh kebencian kembali ia perlihatkan. "J-jangan mendekat dan jangan macam-macam denganku! Jika tidak, aku akan berteriak biar semua dokter dan perawat datang, lalu menjebloskan dirimu ke penjara karena telah melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan padaku!" Aku berusaha mengancamnya. Namun, alih-alih takut, ia justru sedikit menjauh sambil terkekeh geli, seolah-olah ancamanku hanyalah sebuah lelucon. "Diam!" "Kenapa aku harus diam, Lizzy? Apa kamu tidak sadar jika ini semua adalah karma yang pantas kamu dapatkan? Kamu pantas mendapatkannya." Aku terdiam, semua dengung protes yang hendak aku sampaikan seketika tertelan kala mendengar ucapan penuh kesakitan yang ia lontarkan. Aku tidak mengerti, kenapa sorot mata serta ucapannya terasa ribuan kali lipat menyakitiku dibandingkan saat aku mendapati perselingkuhan suamiku juga saat mengetahui janinku tidak bisa di selamatkan. Sebenarnya siapa dia?Hari ini hari keempat aku berada di rumah sakit ini. Beruntung seorang perawat bersedia membawaku pergi ke taman belakang rumah sakit saat kukatakan jika aku merasa bosan terus menerus berada di dalam kamar. Perutku bahkan sudah terasa lebih baik daripada sebelumnya dan nanti siang dokter akan melakukan kunjungan guna memastikan jika bayiku benar-benar masih selamat. Ku usap lembut perutku yang tertutup piyama sambil menatap pemandangan danau angsa. Senyum manisku terukir kala melihat di depan sana sepasang angsa tengah melakukan tarian perkawinan. "Sangat indah," ujarku lirih. Angin sepoi-sepoi bahkan menerbangkan anak rambutku yang terlepas dari ikatan hingga menutupi sedikit wajahku. Ku beranikan diri menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Namun, gerakanku seketika terhenti saat mendengar suara dari belakang, "Nyonya, sekarang sudah jam 10. Dokter sebentar lagi akan datang. Jadi, sebaiknya kita segera kembali.""Baik. Terima
"Mati kamu wanita sialan!""Ya, Dia pantas mati! "Bunuh saja! Bunuh!""Sekalian hancurkan makam ibunya!""Ya ... ya! Hancurkan! Hancurkan!"Suara-suara sumbang terdengar tumpang tindih. "Tidak! Jangan lakukan itu! Jangan sentuh makam ibuku!" aku berteriak kencang, mencegah mereka bertindak anarki. Namun, mereka justru mendorongku dengan kuat hingga terjengkang ke belakang, bersamaan dengan ayunan palu mengenai bagian atas makam, "tidak!" Aku kembali menjerit pilu. Tanganku terulur ke depan, berharap bisa menyelamatkan satu-satunya hal yang tersisa dari wanita yang sangat berharga di hidupku. Akan tetapi, mereka justru tertawa terbahak-bahak kala benda itu terus terayun, menciptakan serpihan-serpihan debu beterbangan di udara, juga puing-puing berjatuhan ke tanah berumput hijau di kedua sisi. "Tidak ... tidak!" pekikku nyaring. Mataku terbuka, napasku terengah-engah. Kutatap nyalang sekitar hingga kudapati wa
"Sepertinya Dia sudah sadar?" Samar terdengar suara dengung di sekitar saat kelopak mataku perlahan terbuka. Silau! Tanganku perlahan terangkat ke atas guna menghalau sinar terang yang terasa menusuk. "Matikan lampunya! Jangan lupa panggil Dokter Raline. Katakan padanya jika pasien kamar 301 sudah sadarkan diri. Jangan lupa beritahu suami pasien agar segera datang. Oh ya, tadi Dia bilang mau ke mana?" "Katanya mau nyari sarapan sebentar, Dok." "Berarti deket dari sini. Jangan lupa langsung hubungi ya, Suster Ida!" "Siap, Dokter Anwar!" sahutnya, disusul derap langkah menjauh juga suara pintu digeser. Kemudian hening terdengar, hanya suara jarum jam yang berdetak, mengisi kekosongan ruangan. Sial! Kepalaku rasanya pening sekali. Aku mengernyit dan meringis lirih kala berusaha keras membuka mata. "Jangan memaksakan dirimu, Nyonya!" tegur seorang pr
Aku terus berlari menyusuri lorong, tidak perduli pada apapun lagi. Sayangnya tepat di belokan, langkahku harus terhenti saat mendapati sebuah jalan buntu. Aku pun memindai sekeliling, hingga menemukan sebuah pintu kecil dan bergegas masuk ke dalamnya yang ternyata adalah lemari loker khusus tempat penyimpanan alat-alat kebersihan. Aku berusaha mengatur napas sebisa mungkin agar tidak terdengar, bahkan aku bisa mendengar suara langkah kaki mereka di luar sana saat ketiganya mendekat. Aku lantas berusaha mengintip dari sela-sela ventilasi. "Dasar bodoh! Kenapa kamu bisa kehilangan wanita itu?!""A-aku hanya sedang membuka pintu. Tapi, ternyata Dia berhasil melarikan diri.""Dasar si cacat goblok! Cari Wanita itu sampai dapat! Jika tidak, Tuan Kennan akan marah besar dan nyawa kita bertiga akan menjadi gantinya, mengerti?!" Tangannya memukul kepala si pria kurus itu dengan kuat. Si pria kurus terlihat meminta maaf ber
"Please, jangan lakukan ini, Mas!" Aku memohon, berharap dirinya memiliki sedikit saja hati nurani. Tangisku bahkan pecah saat diseret paksa olehnya menuju area terdalam bangunan. Lenganku juga terasa kebas akibat kuatnya cengkraman dan aku yakin akan menimbulkan bekas. Sayangnya raut dingin itu tidak berubah sedikitpun, bahkan hingga dirinya mendorong tubuhku ke hadapan beberapa orang berpakaian putih khas tenaga medis yang hanya memperlihatkan raut datar melihat semua perlakuan yang Kennan berikan padaku, membuatku jatuh tersungkur di depan kaki ketiganya. Ringisan pelan lolos dari bibirku saat siku beradu dengan lantai, beruntung tangan kananku berhasil menekan lantai hingga perutku tidak langsung membentur area tersebut. Mungkin inilah yang dinamakan nurani seorang ibu yang ingin melindungi calon anaknya sehingga tanpa sadar diriku reflek melakukan hal tersebut. Namun, belum sempat diriku kembali menghiba, suaranya kembali terdengar, "Bawa dia dan p
Aku baru saja keluar dari dalam kamar mandi saat tiba-tiba saja sebuah gaun dilemparkan ke arahku. Aku kaget dan terpaksa menyambutnya. "Pakai baju ini!" ucap seorang pria yang mengenakan jas pas badan. "Apa ini, Mas?" Kukerutkan kening sambil mendekap gaun di dada juga menatap pria di depanku sedikit takut. Bahkan handuk yang aku kenakan tanpa sadar terlepas dari kepala, membuat rambut sepunggung milikku yang masih lembab terurai, jatuh dengan lembut bersamaan dengan handuk yang teronggok di belakang. Jantungku seketika berdetak kencang saat melihat raut tidak suka yang ia perlihatkan. Tubuhku bahkan tanpa sadar bergetar dan aku terpaksa menelan ludah gugup. "Bukankah sudah aku katakan, jangan pernah bertanya apapun karena kamu tidak pantas melakukannya!" Ucapannya terasa sangat menusuk, membuatku tanpa sadar bergerak mundur saat dirinya memangkas jarak. Aku berusaha menolak, "T-tapi—" "Pakai!" titahnya tegas, membuat