Share

Apa Salahku?

“Kamu adalah milikku!” suara itu kembali menggema di telinga Jenia.

Jenia membulalangkan matanya, ia tidak mengerti apa maksud perkataannya. Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa dia membeli Jenia, sedangkan Jenia sendiri tidak pernah memberikan diri dan hidupnya kepada orang lain.

“Kamu bohong, kamu mau uang ‘kan? Aku akan memberikan uang yang kamu mau, aku pasti akan memberikannya, tetapi izinkan aku untuk pulang. Aku harus pulang!” pinta Jenia.

Pria itu menarik Jenia dan memelintir tangan Jenia kebelakang. Jenia merintih kesakitan. Ia mendekatkan wajahnya dekat dengan wajah gadis itu.

“Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dari tempat ini sampai kamu memberikan anak untukku!” bisiknya dengan nada yang tegas.

Jenia merintih kesakitan, tetapi ia masih dapat mendengarkan suara bisikan pria bertopeng itu. Jenia membuka matanya dengan lebar. Bagaimana bisa Jenia memberikan dia seorang anak sedangkan ia sama sekali tidak kenal dengan pria di hadapannya itu?

Sejenak Jenia berpikir apakah pria itu adalah salah satu pelanggan di toko roti tempat ia bekerja yang selama ini tergila-gila padanya dan ingin menikahinya, tetapi dengan cara pemaksaan dan cara yang salah seperti ini.

Jenia mengembus napas kasar, merasa dirinya saat ini tengah ditindas karena cinta yang mungkin ia tolak.

“Apa kamu pria yang mencintaiku?” cetus Jenia tanpa merasa malu, menanyakan hal cinta pada pria yang menyakiti tangannya saat ini.

Pria itu melepaskan tangan Jenia, kemudian ia melempar tubuh Jenia hingga terjatuh ke atas ranjang. Mata Jenia membulalak tak percaya dengan sikap kasar yang ditunjukkan pria bertopeng itu padanya.

“Jangan pernah membicarakan cinta kepadaku, kamu hanya gadis murahan tidak akan pantas mendapatkan rasa cinta dariku, mengerti!” hardiknya.

Napas Jenia kembali naik turun, seakan ia tengah berlatih akrobatik dan mengeluarkan semua emosi di dalam dirinya saat ini.

Jika dia bukan salah seorang pria yang cintanya ditolak oleh Jenia, lalu siapa dia sehingga dia meminta seorang anak dari Jenia.

“Ingat, jangan kecewakan aku dengan sikapmu ini, Jenia. Aku sudah mengeluarkan uang banyak untukmu, jadilah gadis yang baik dan penurut!” tukas Marvin menekan pipi Jenia dengan satu tangannya. Suara itu benar-benar terdengar menyeramkan membuat bulu kuduknya bergidik merinding.

Jenia merasa kesakitan, matanya berlinang. Jenia tidak dapat berkata apapun. Namun, Jenia dapat menangkap secara langsung sorot mata merah di balik topeng itu. Penuh harap dan penuh kemarahan.

Pria itu melepaskan tangannya dari wajah Jenia, kemudian ia menepuk pipi Jenia yang berjejak merah, lalu beranjak meninggalkan tempat itu.

“Apa maksud perkataanmu? Aku tidak pernah menghabiskan uangmu, bahkan aku tidak pernah kenal denganmu!” dalam ketakutannya, Jenia  berusaha memberanikan diri mengatakan hal yang ia anggap benar.

Ya, Jenia memang tidak pernah pacaran. Selama ini ia berusaha untuk menghindar dari para pria yang sekiranya bersikap baik kepadanya. Jenia tidak pernah ingin jatuh cinta maupun sebaliknya. Bahkan Jenia tidak pernah dapat traktiran dari teman pria di kampusnya maupun teman di tempat kerjanya, bagaimana bisa Jenia membuat pria itu mengeluarkan uang banyak?

“Dasar bodoh! Bahkan kamu tidak bisa mencerna kata-kataku dengan baik!”

“Iya, aku memang bodoh, tetapi kamu lah yang lebih bodoh. Kamu telah salah menangkap orang! Aku bukan gadis matre yang menghabiskan uang seorang pria, apalagi pria sepertimu yang sama sekali tidak aku kenali. Bahkan ini adalah kali pertama kita bertemu,” Jenia kembali berdiri.

“Beraninya kamu mengatakan aku bodoh?” sontak tangan Marvin yang kekar mencekik leher Jenia, sehingga Jenia merasa sulit untuk bernapas.

Mata Jenia memerah karena tangan itu bisa saja merenggut nyawanya kali ini,seperti yang ada di film-film yang pernah Jenia tonton bersama dengan Cherry sahabatnya.

Melihat mata Jenia yang berlinang dan gadis itu merengek kesakitan, dengan suara lirih Jenia meminta dilepaskan. Marvin mulai sadar akan dirinya, ia melepaskan tangannya dan kembali mendorong Jenia hingga jatuh ke bibir ranjang. Semua orang yang berada di ruangan itu  merasa tegang dengan sikap Marvin yang tak memberi ampun pada gadis lemah itu, tetapi mereka hanya bisa diam dan menunduk, enggan memberikan komentar atas apa yang dilakukan Marvin.

“Jangan berani-berani membangkang di wilayahku, kamu hanya perlu berada di sini hingga anakku nanti lahir!” tandas Marvin tegas.

“Bagaimana aku bisa hamil, sedangkan aku belum menikah dan aku tidak pernah melakukan hubungan itu dengan lelaki manapun!” Jenia terus menjawab apa yang Marvin katakan. Bibirnya sungguh tidak bisa berhenti menjawab setiap ucapan Marvin.

Marvin mendekati Jenia yang masih terbaring di atas tempat tidur. Jenia memalingkan wajahnya dari pria bertopeng itu. Jenia merasa takut memandang pada sorot mata yang penuh kemarahan padanya. Entah apa salah Jenia sebelumnya.

“Apa kamu sudah melupakan apa yang kita lakukan semalam? Kamu begitu bersemangat semalam, bagaimana bisa kamu melupakan secepat itu. Oh ya, Mungkin saja di dalam tubuhmu ini sudah ada benihku yang tertanam di sini!” bisik Marvin sembari mengelus perut Jenia yang masih datar.

Jenia berusaha untuk menyingkirkan tangan Marvin dari sana. Namun, ia tidak mampu karena Marvin begitu kuat menghimpitnya.

Jenia tidak lagi bisa berkata-kata. Pikirannya seakan kosong. Sulit bagi Jenia untuk kembali berkata-kata. Hingga pria bertopeng itu pergi meninggalkannya dan kembali menguncinya di dalam kamar itu.

Air mata Jenia mulai menetes dari sudut mata. Hatinya benar-benar merasa pilu dengan perlakuan dan sikap kasar pria bertopeng itu. Bahkan dengan beraninya pria itu telah menyentuh tubuhnya dan merenggut kehormatan yang selama ini selalu ia jaga.

 Jenia meringkuk di atas ranjang sembari menangis menumpaskan kekesalannya. Ia merasa dirinya sudah gagal menjaga apa yang selama ini diamanatkan oleh orang tuanya selama ini.

Hu…hu…hu…

Jenia tidak henti berpikir dengan apa yang dikatakan oleh pria bertopeng itu. semua ini seakan seperti mimpi buruk bagi Jenia. Mahkota yang selama ini dilindunginya di rampas oleh pria yang tidak ia kenali dan menganggap Jenia seolah dia adalah barang yang baru saja di beli.

Suara raungan tangisan Jenia begitu terdengar hebat hingga ke depan pintu kamar di mana Marvin masih berdiri di sana sembari menatap pada anak buahnya.

“Kalian harus menjaganya dengan ketat, ingat! Jangan pernah membukakan pintu ini selain kalian memberikan makan padanya!”

“Baik Bos Ma…”

“Panggil aku Mr. M!” sanggah Marvin memotong sahutan anak buanya.

“Baik, Mr.M,” sahut mereka yang berada di sana penuh hormat.

Marvin meninggalkan vila itu, sedangkan Jenia masih meringkuk dan menangis di atas ranjang. Bantal yang ia pakai untuk menyandarkan kepalanya sudah ikut basah karena air mata yang tidak henti mengalir sejak pria bertopeng itu mengatakan perihal tentang semalam.

“Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku berada di sini? Siapa yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi padaku saat ini?” rengek Jenia.

“Mama, Papa, maafkan aku, aku tidak pernah ingin berada dalam keadaan ini? Jika Mama dan Papa memiliki hutang kepada pria itu, kenapa kalian harus mengorbankan diriku? Aku tidak ingin berakhir seperti ini?” rengek Jenia dan menduga akan hal buruk yang telah dilakukan oleh kedua orang tuanya.

Jenia teringat akan novel-novel yang pernah ia baca, di mana seorang ayah memiliki hutang yang banyak dan mereka tidak mampu membayar hutang itu, sehingga harus mengorbankan anak gadisnya untuk membayarkan hutang itu.

“A… apa yang ada di pikiranku saat ini? Papa dan Mama tiriku tidak akan mungkin melakukan hal ini kepadaku? Aku yakin, meskipun mereka selalu keras kepadaku, mereka pasti sangat  menyayangiku!” ucap Jenia menghapus air matanya dan pikiran buruk terhadap kedua orang tua yang mungkin saja mereka sedang panic menantikan kedatangan Jenia.

Jenia kembali ingat dengan sahabatnya Cherry, Cherry lah orang terakhir yang Jenia temui saat malam itu. Jenia sangat ingin berbicara dengan Cherry. Namun, ia tidak dapat menemukan alat untuk menghubungi Cherry.

Jenia kembali menangis. Langit di luar pun tampak seperti hendak runtuh, gelap segelap kehidupan Jenia saat ini. Rintik hujannya seakan mewakili air mata kesedihan yang dirasakan olehnya saat ini.

“Ma, maafkan Jenia, Ma. Jenia tidak bisa menjaga diri Jenia dengan baik-baik. Jenia sudah menghancurkan kehormatan yang Jenia punya. Jenia tidak tahu mengapa semua ini terjadi di dalam hidup Jenia,” rengek Jenia lagi menyebut sang Mama yang sudah tenang di sisi Tuhannya. Tangisnya kembali pecah, saat ia sudah berusaha untuk menghentikan air mata itu.

Jenia tidak mampu menahan kesedihan di dalam dirinya kali ini, mendapati dirinya yang sudah tidak virgin sebelum menikah, membuat Jenia semakin terpukul. Jenia masih dapat mendengarkan dengan jelas dalam ingatannya ketika pria bertopeng itu mengatakan bahwa ia sudah mengeluarkan uang banyak untuk dirinya.

“Apa Cherry menjualku pada pria bertopeng ini?” tiba-tiba pikiran buruk Jenia mulai meracuni pikirannya lagi. Kali ini pikirannya mengarah pada Cherry. Banyak pertanyaan yang masih belum ia temukan jawabannya.

“Tapi kenapa? Kenapa Cherry melakukan hal ini kepadaku? Apa salahku?” rengek Jenia lagi.

“Apa aku pernah menyakiti Cherry, sehingga ia menjualku kepada pria kaya?” Jenia terus bertanya-tanya.

Ia benar-benar tidak habis pikir atas apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Jika memang Cherry menjual Jenia, lantas apa kesalahan yang dilakukan Jenia, sehingga Cherry melakukan hal itu padanya?

Jenia tidak mampu untuk menghentikan tangisannya. Ia merasa dirinya kali ini benar-benar malang. Malang yang tak dapat ditolak dan untung yang tak dapat ia raih.

“Ah… Kenapa dunia ini tidak adil kepadaku? Apa salahku hingga kalian memperlakukan aku seperti ini? Aku bukan wanita yang liar sehingga kalian harus memenjarakanku seperti ini?” pekik Jenia melemparkan barang-barang yang ada di dalam kamar itu.

Jenia merasa sangat frustasi dengan apa yang terjadi padanya saat ini, membuatnya tidak bisa berhenti menahan emosinya.

Semua barang yang ada di sana terus ia lempari ke pintu, berharap para pengawal itu akan datang dan membukakan pintu untuknya.

Harapan Jenia pun terwujud, pintu kamar itu terbuka, pria bertopeng itu masuk ke dalam kamar Jenia. Ia berdiri di depan pintu sembari menatap ruangan yang berantakan di sekelilingnya karena ulah Jenia.

“Tuan, tolong lepaskan aku!” rengek Jenia memohon pada pria bertopeng di hadapannya.

“Kamu dengarkan perkataanku ini, aku adalah Mr. M, aku tidak akan melepaskan atau mengembalikan barang yang telah aku beli. Ingat satu hal ini, kamu hanya perlu tinggal di sini dan melahirkan anak untukku!” tegasnya.

“Aku tidak mau!” Jenia membalas ucapan pria itu dengan tidak kalah tegas.

“Kamu, beraninya kamu melawanku!” hardik Marvin mendorong Jenia hingga Jenia terjatuh ke lantai dan tidak sadarkan diri karena kepalanya berbenturan dengan dinding.

Marvin memijat pipi dekat telinganya, kemudian ia meminta anak buahnya untuk mengangkat Jenia ke atas tempat tidur. Ia pun pergi tanpa rasa bersalah sedikitpun karena telah membuat Jenia pinsan tidak sadarkan diri.

“Siapa suruh menjadi wanita yang membangkang!” ucapnya meninggalkan ruangan itu.

*** Bersambung ***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tha Bundanya Difasandika
Sabar ya Je😭😭
goodnovel comment avatar
Thietha
Apa yang terjadi pada Jenia dan Jonathan?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status