“Kamu adalah milikku!” suara itu kembali menggema di telinga Jenia.
Jenia membulalangkan matanya, ia tidak mengerti apa maksud perkataannya. Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa dia membeli Jenia, sedangkan Jenia sendiri tidak pernah memberikan diri dan hidupnya kepada orang lain.
“Kamu bohong, kamu mau uang ‘kan? Aku akan memberikan uang yang kamu mau, aku pasti akan memberikannya, tetapi izinkan aku untuk pulang. Aku harus pulang!” pinta Jenia.
Pria itu menarik Jenia dan memelintir tangan Jenia kebelakang. Jenia merintih kesakitan. Ia mendekatkan wajahnya dekat dengan wajah gadis itu.
“Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dari tempat ini sampai kamu memberikan anak untukku!” bisiknya dengan nada yang tegas.
Jenia merintih kesakitan, tetapi ia masih dapat mendengarkan suara bisikan pria bertopeng itu. Jenia membuka matanya dengan lebar. Bagaimana bisa Jenia memberikan dia seorang anak sedangkan ia sama sekali tidak kenal dengan pria di hadapannya itu?
Sejenak Jenia berpikir apakah pria itu adalah salah satu pelanggan di toko roti tempat ia bekerja yang selama ini tergila-gila padanya dan ingin menikahinya, tetapi dengan cara pemaksaan dan cara yang salah seperti ini.
Jenia mengembus napas kasar, merasa dirinya saat ini tengah ditindas karena cinta yang mungkin ia tolak.
“Apa kamu pria yang mencintaiku?” cetus Jenia tanpa merasa malu, menanyakan hal cinta pada pria yang menyakiti tangannya saat ini.
Pria itu melepaskan tangan Jenia, kemudian ia melempar tubuh Jenia hingga terjatuh ke atas ranjang. Mata Jenia membulalak tak percaya dengan sikap kasar yang ditunjukkan pria bertopeng itu padanya.
“Jangan pernah membicarakan cinta kepadaku, kamu hanya gadis murahan tidak akan pantas mendapatkan rasa cinta dariku, mengerti!” hardiknya.
Napas Jenia kembali naik turun, seakan ia tengah berlatih akrobatik dan mengeluarkan semua emosi di dalam dirinya saat ini.
Jika dia bukan salah seorang pria yang cintanya ditolak oleh Jenia, lalu siapa dia sehingga dia meminta seorang anak dari Jenia.
“Ingat, jangan kecewakan aku dengan sikapmu ini, Jenia. Aku sudah mengeluarkan uang banyak untukmu, jadilah gadis yang baik dan penurut!” tukas Marvin menekan pipi Jenia dengan satu tangannya. Suara itu benar-benar terdengar menyeramkan membuat bulu kuduknya bergidik merinding.
Jenia merasa kesakitan, matanya berlinang. Jenia tidak dapat berkata apapun. Namun, Jenia dapat menangkap secara langsung sorot mata merah di balik topeng itu. Penuh harap dan penuh kemarahan.
Pria itu melepaskan tangannya dari wajah Jenia, kemudian ia menepuk pipi Jenia yang berjejak merah, lalu beranjak meninggalkan tempat itu.
“Apa maksud perkataanmu? Aku tidak pernah menghabiskan uangmu, bahkan aku tidak pernah kenal denganmu!” dalam ketakutannya, Jenia berusaha memberanikan diri mengatakan hal yang ia anggap benar.
Ya, Jenia memang tidak pernah pacaran. Selama ini ia berusaha untuk menghindar dari para pria yang sekiranya bersikap baik kepadanya. Jenia tidak pernah ingin jatuh cinta maupun sebaliknya. Bahkan Jenia tidak pernah dapat traktiran dari teman pria di kampusnya maupun teman di tempat kerjanya, bagaimana bisa Jenia membuat pria itu mengeluarkan uang banyak?
“Dasar bodoh! Bahkan kamu tidak bisa mencerna kata-kataku dengan baik!”
“Iya, aku memang bodoh, tetapi kamu lah yang lebih bodoh. Kamu telah salah menangkap orang! Aku bukan gadis matre yang menghabiskan uang seorang pria, apalagi pria sepertimu yang sama sekali tidak aku kenali. Bahkan ini adalah kali pertama kita bertemu,” Jenia kembali berdiri.
“Beraninya kamu mengatakan aku bodoh?” sontak tangan Marvin yang kekar mencekik leher Jenia, sehingga Jenia merasa sulit untuk bernapas.
Mata Jenia memerah karena tangan itu bisa saja merenggut nyawanya kali ini,seperti yang ada di film-film yang pernah Jenia tonton bersama dengan Cherry sahabatnya.
Melihat mata Jenia yang berlinang dan gadis itu merengek kesakitan, dengan suara lirih Jenia meminta dilepaskan. Marvin mulai sadar akan dirinya, ia melepaskan tangannya dan kembali mendorong Jenia hingga jatuh ke bibir ranjang. Semua orang yang berada di ruangan itu merasa tegang dengan sikap Marvin yang tak memberi ampun pada gadis lemah itu, tetapi mereka hanya bisa diam dan menunduk, enggan memberikan komentar atas apa yang dilakukan Marvin.
“Jangan berani-berani membangkang di wilayahku, kamu hanya perlu berada di sini hingga anakku nanti lahir!” tandas Marvin tegas.
“Bagaimana aku bisa hamil, sedangkan aku belum menikah dan aku tidak pernah melakukan hubungan itu dengan lelaki manapun!” Jenia terus menjawab apa yang Marvin katakan. Bibirnya sungguh tidak bisa berhenti menjawab setiap ucapan Marvin.
Marvin mendekati Jenia yang masih terbaring di atas tempat tidur. Jenia memalingkan wajahnya dari pria bertopeng itu. Jenia merasa takut memandang pada sorot mata yang penuh kemarahan padanya. Entah apa salah Jenia sebelumnya.
“Apa kamu sudah melupakan apa yang kita lakukan semalam? Kamu begitu bersemangat semalam, bagaimana bisa kamu melupakan secepat itu. Oh ya, Mungkin saja di dalam tubuhmu ini sudah ada benihku yang tertanam di sini!” bisik Marvin sembari mengelus perut Jenia yang masih datar.
Jenia berusaha untuk menyingkirkan tangan Marvin dari sana. Namun, ia tidak mampu karena Marvin begitu kuat menghimpitnya.
Jenia tidak lagi bisa berkata-kata. Pikirannya seakan kosong. Sulit bagi Jenia untuk kembali berkata-kata. Hingga pria bertopeng itu pergi meninggalkannya dan kembali menguncinya di dalam kamar itu.
Air mata Jenia mulai menetes dari sudut mata. Hatinya benar-benar merasa pilu dengan perlakuan dan sikap kasar pria bertopeng itu. Bahkan dengan beraninya pria itu telah menyentuh tubuhnya dan merenggut kehormatan yang selama ini selalu ia jaga.
Jenia meringkuk di atas ranjang sembari menangis menumpaskan kekesalannya. Ia merasa dirinya sudah gagal menjaga apa yang selama ini diamanatkan oleh orang tuanya selama ini.
Hu…hu…hu…
Jenia tidak henti berpikir dengan apa yang dikatakan oleh pria bertopeng itu. semua ini seakan seperti mimpi buruk bagi Jenia. Mahkota yang selama ini dilindunginya di rampas oleh pria yang tidak ia kenali dan menganggap Jenia seolah dia adalah barang yang baru saja di beli.
Suara raungan tangisan Jenia begitu terdengar hebat hingga ke depan pintu kamar di mana Marvin masih berdiri di sana sembari menatap pada anak buahnya.
“Kalian harus menjaganya dengan ketat, ingat! Jangan pernah membukakan pintu ini selain kalian memberikan makan padanya!”
“Baik Bos Ma…”
“Panggil aku Mr. M!” sanggah Marvin memotong sahutan anak buanya.
“Baik, Mr.M,” sahut mereka yang berada di sana penuh hormat.
Marvin meninggalkan vila itu, sedangkan Jenia masih meringkuk dan menangis di atas ranjang. Bantal yang ia pakai untuk menyandarkan kepalanya sudah ikut basah karena air mata yang tidak henti mengalir sejak pria bertopeng itu mengatakan perihal tentang semalam.
“Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku berada di sini? Siapa yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi padaku saat ini?” rengek Jenia.
“Mama, Papa, maafkan aku, aku tidak pernah ingin berada dalam keadaan ini? Jika Mama dan Papa memiliki hutang kepada pria itu, kenapa kalian harus mengorbankan diriku? Aku tidak ingin berakhir seperti ini?” rengek Jenia dan menduga akan hal buruk yang telah dilakukan oleh kedua orang tuanya.
Jenia teringat akan novel-novel yang pernah ia baca, di mana seorang ayah memiliki hutang yang banyak dan mereka tidak mampu membayar hutang itu, sehingga harus mengorbankan anak gadisnya untuk membayarkan hutang itu.
“A… apa yang ada di pikiranku saat ini? Papa dan Mama tiriku tidak akan mungkin melakukan hal ini kepadaku? Aku yakin, meskipun mereka selalu keras kepadaku, mereka pasti sangat menyayangiku!” ucap Jenia menghapus air matanya dan pikiran buruk terhadap kedua orang tua yang mungkin saja mereka sedang panic menantikan kedatangan Jenia.
Jenia kembali ingat dengan sahabatnya Cherry, Cherry lah orang terakhir yang Jenia temui saat malam itu. Jenia sangat ingin berbicara dengan Cherry. Namun, ia tidak dapat menemukan alat untuk menghubungi Cherry.
Jenia kembali menangis. Langit di luar pun tampak seperti hendak runtuh, gelap segelap kehidupan Jenia saat ini. Rintik hujannya seakan mewakili air mata kesedihan yang dirasakan olehnya saat ini.
“Ma, maafkan Jenia, Ma. Jenia tidak bisa menjaga diri Jenia dengan baik-baik. Jenia sudah menghancurkan kehormatan yang Jenia punya. Jenia tidak tahu mengapa semua ini terjadi di dalam hidup Jenia,” rengek Jenia lagi menyebut sang Mama yang sudah tenang di sisi Tuhannya. Tangisnya kembali pecah, saat ia sudah berusaha untuk menghentikan air mata itu.
Jenia tidak mampu menahan kesedihan di dalam dirinya kali ini, mendapati dirinya yang sudah tidak virgin sebelum menikah, membuat Jenia semakin terpukul. Jenia masih dapat mendengarkan dengan jelas dalam ingatannya ketika pria bertopeng itu mengatakan bahwa ia sudah mengeluarkan uang banyak untuk dirinya.
“Apa Cherry menjualku pada pria bertopeng ini?” tiba-tiba pikiran buruk Jenia mulai meracuni pikirannya lagi. Kali ini pikirannya mengarah pada Cherry. Banyak pertanyaan yang masih belum ia temukan jawabannya.
“Tapi kenapa? Kenapa Cherry melakukan hal ini kepadaku? Apa salahku?” rengek Jenia lagi.
“Apa aku pernah menyakiti Cherry, sehingga ia menjualku kepada pria kaya?” Jenia terus bertanya-tanya.
Ia benar-benar tidak habis pikir atas apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Jika memang Cherry menjual Jenia, lantas apa kesalahan yang dilakukan Jenia, sehingga Cherry melakukan hal itu padanya?
Jenia tidak mampu untuk menghentikan tangisannya. Ia merasa dirinya kali ini benar-benar malang. Malang yang tak dapat ditolak dan untung yang tak dapat ia raih.
“Ah… Kenapa dunia ini tidak adil kepadaku? Apa salahku hingga kalian memperlakukan aku seperti ini? Aku bukan wanita yang liar sehingga kalian harus memenjarakanku seperti ini?” pekik Jenia melemparkan barang-barang yang ada di dalam kamar itu.
Jenia merasa sangat frustasi dengan apa yang terjadi padanya saat ini, membuatnya tidak bisa berhenti menahan emosinya.
Semua barang yang ada di sana terus ia lempari ke pintu, berharap para pengawal itu akan datang dan membukakan pintu untuknya.
Harapan Jenia pun terwujud, pintu kamar itu terbuka, pria bertopeng itu masuk ke dalam kamar Jenia. Ia berdiri di depan pintu sembari menatap ruangan yang berantakan di sekelilingnya karena ulah Jenia.
“Tuan, tolong lepaskan aku!” rengek Jenia memohon pada pria bertopeng di hadapannya.
“Kamu dengarkan perkataanku ini, aku adalah Mr. M, aku tidak akan melepaskan atau mengembalikan barang yang telah aku beli. Ingat satu hal ini, kamu hanya perlu tinggal di sini dan melahirkan anak untukku!” tegasnya.
“Aku tidak mau!” Jenia membalas ucapan pria itu dengan tidak kalah tegas.
“Kamu, beraninya kamu melawanku!” hardik Marvin mendorong Jenia hingga Jenia terjatuh ke lantai dan tidak sadarkan diri karena kepalanya berbenturan dengan dinding.
Marvin memijat pipi dekat telinganya, kemudian ia meminta anak buahnya untuk mengangkat Jenia ke atas tempat tidur. Ia pun pergi tanpa rasa bersalah sedikitpun karena telah membuat Jenia pinsan tidak sadarkan diri.
“Siapa suruh menjadi wanita yang membangkang!” ucapnya meninggalkan ruangan itu.
*** Bersambung ***
Di tempat lain, Cherry tengah menunggu kedatangan seseorang di dekat halte bus. Ia berdiri cukup lama sembari terus menatap pada layar ponselnya. Terik mentari yang memanas, semakin terasa membakar api semangat Cherry untuk membawa barang bawaannya pergi. Cherry sudah memesan sebuah tiket bus yang akan mengantarkan ia ke suatu tempat. “Jo!” Cherry memeluk pria bertubuh tinggi tegap yang baru saja turun dari mobil merahnya. Pria itu mengusap punggung Cherry. Seakan ia tidak merelakan Cherry untuk pergi dengan membawa beban banyak di dekatnya. “Cher, apa kamu yakin akan meninggalkan aku sendiri di sini?” pria bermata sayu nan teduh itu mempertanyakan kepergian Cherry kali ini. “Maafkan aku, Jo. Aku harus pergi, karena ayah dan ibuku saat ini sedang sakit, mereka memerlukan aku!” “Tapi, kamu pasti akan kembali, ‘kan, Cher, demi aku?” tanya Jonathan Alexandria yang merupakan kekasih Cherry. Dari mata yang teduh itu terlihat jelas, betapa i
Dahi Jenia mengerenyit, kepalanya masih terasa begitu sakit karena benturan keras yang disebabkan oleh pria bertopeng itu. Jenia menguatkan tubuhnya untuk duduk dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Menatap pada jendela, langit di luar sana sudah mulai gelap, hujanpun sudah mulai reda. Bahkan lampu kamar itu pun menyala begitu menyilaukan mata. Jenia sadar bahwa ia masih berada di tempat yang sama, di Vila di mana Jenia sendiri tidak tahu dengan jelas di mana posisi vila itu. “Ternyata aku tidak sedang bermimpi. Ini adalah kenyataan pahit yang harus aku telan, tapi, sampai kapan aku terkurung di sini?” tanya Jenia pada dirinya sendiri. Ia terus memikirkan cara untuk dapat keluar dari ruangan itu. Jenia memijat pelipisnya yang masih terasa sakit. Seakan tidak dapat menemukan cara karena begitu banyaknya pengawal di luar sana, Jenia kembali menangis, kali ini ia benar-benar merasa hidupnya akan berakhir begitu saja di tempat yang sangat asing bagi
“Tanda tangani kontrak ini, atau kamu akan menyesal!” geram pria itu mencekik Jenia penuh amarah. “Tidak! Aku tidak akan menandatanganinya!” Jenia keras kepala, menolak untuk menandatangani surat kontrak yang ada di atas ranjangnya. “Huh, ternyata kamu memanglah gadis yang amat keras kepala. Kamu terlalu egois, sehingga kamu tidak memikirkan keluargamu yang berada di Jakarta akan hidup menderita karenamu!” Jenia membulatkan matanya mendengarkan ucapan pria itu yang merembet kepada keluarganya. Mungkinkah dia mengenal keluarga Jenia? ataukah ini hanya sekadar ancama belaka? “Kamu tidak kenal siapa keluargaku!” ucap Jenia dengan bangga dengan suaranya yang ia paksakan. Cekikan itu semakin kuat membuat Jenia merasa kesulitan untuk bernapas. Jenia merasa suaranya tercekat. “Pikirkanlah baik-baik, jika kamu tidak ingin tanda tangani perjanjian ini, maka bersiaplah mengucapkan selamat tinggal kepada ayah tercintamu, aku bisa membuatnya mati
Jenia sudah memikirkan dengan matang cara untuk keluar dari vila itu. Ia tidak akan peduli dengan hasil yang akan ia capai. Namun, Jenia percaya diri, bahwa ia bisa terbebas dari genggaman pria bertopeng itu meskipun ia harus mempertaruhkan nyawanya. “Aku pasti bisa menjalankan rencanaku ini,” ucapnya yakin meskipun ada sedikit kegetiran di dalam hatinya. Jenia tersenyum memandang pada langit yang mulai kelam. Seharian ini pria bertopeng itu tidak mendatanginya, membuat ia merasa sedikit lega dan dapat memulihkan kesehatannya setelah kemarin ia harus menahan rasa sakit yang diberikan oleh pria kejam itu. Jenia menatap vas bunga berbahan kaca yang ada di atas lemari kayu dekat kamar mandi. Jenia mengelus vas bunga itu dengan senyum penuh harapan. “Vas bunga yang sangat cantik, aku harap kamu sangat berguna di dalam kehidupanku ini!” tukas Jenia tidak luput pandangannya dari memandangi vas bunga dan mengelus benda yang ada di hadapannya itu.
Jenia mengandalkan segala kepandaiannya kali ini. Ia tidak bisa terus berlari sedangkan para pengawal itu terus saja mengejarnya, lagi pula, Jenia tidak tahu jalan mana yang harus ia telusuri agar terbebas dari tempat gelap dan dipenuhi pepohonan itu. Di hadapan Jenia ada sebuah pohon yang menjulang tinggi dan begitu banyak dahan di pohon yang bisa Jenia andalkan kali ini. Jenia tersenyum senang, seakan kepintarannya memberikan keberuntungan padanya. Ia tidak peduli dengan kemungkinan-kemungkinan binatang yang ada di atas pohon itu. Jenia berusaha untuk memanjat pohon itu setingginya, hingga para pengawal yang terus saja mengejarnya tidak dapat menemukan keberadaannya. Dari atas pohon, Jenia bisa mendengarkan suara para pengawal yang masih mengejarnya dan mencari-cari keberadaannya. Ia meneguk salivanya ketika seokor ular putih berada di dekatnya. Ia berusaha untuk tetap diam dan tenang, saat ular pohon menjulur melewati tubuhnya. Rasa
“Apa maksud ucapanmu itu?” tanya Jenia dengan nada yang mulai meninggi. Jonathan meneguk salivanya, jakunnya turun naik mendengarkan suara Jenia yang bernada tinggi dan memekakan telinganya. Sepertinya kali ini ia telah salah dalam berkata sehingga memancing kemarahan gadis yang tengah terpuruk di belakangnya saat ini. “Maaf, aku hanya bercanda saja, aku tidak bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya!” Jonathan berusaha untuk meyakinkan Jenia dengan menggeleng-gelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia adalah pria yang baik-baik. “Kenapa kalian para pria selalu saja seenaknya dalam bicara? Bukankah kamu tahu apa yang kamu katakan barusan itu adalah salah satu pelecehan terhadap wanita?” “Tolong, jangan berpikir seperti itu tentangku, aku sungguh-sungguh, sama sekali tidak bermaksud seperti itu, aku hanya bercanda saja,” gagap Jonathan. “Dalam situasi seperti ini, kamu masih bisa membuat guyonan kepadaku?” “Baiklah, aku minta maaf! Aku menga
Marvin tengah dirawat oleh seorang Dokter karena luka akibat vas bunga itu begitu dalam. Sedangkan Ferdinand mondar-mandir di luar ruangan menantikan Dokter keluar dari dalam dan memberikan kabar padanya. “Dasar bodoh! Kenapa kalian bisa melepaskan gadis itu begitu begitu saja!” berang Marvin pada salah seorang pengawal yang bertugas untuk menjaga Jenia. Tangan Ferdinand tidak hentinya menampar dan memukuli wajah pria di hadapannya itu, dengan kekesalan yang mendalam dan amarah yang memuncak. “Aku tidak mau tahu, sekarang kalian cari gadis itu sampai dapat dan pastikan kalian membawanya kembali ke hadapanku!” tegas Ferdinand. Pengawal itu pergi setelah mendapatkan perintah dari Ferdinand. Ferdinand begitu merasa kesal. Bagaimana tidak, ia merasa takut jika saja Marvin bangun dan mempertanyakan keberadaan gadis itu. Marvin pasti akan marah besar padanya dan membatalkan semua kerja sama yang sudah ada di depan mata karena gadis itu. Ferdin
Jonathan merasa tubuhnya begitu ringan kali ini, padahal dengan jelas semalam ia tidur sembari mendekap Jenia. Ia tidak bisa merasakan keberadaan gadis yang semalam menggigil kedinginan di dalam dekapannya. Jonathan membuka matanya ia segera membetulkan posisi duduknya. Jenia sudah tidak ada di dekatnya. Ia menatap ke sekitar, Jenia sudah tidak ada di dalam ruangan itu. Jonathan berdiri dan mencari Jenia keluar. Berharap gadis itu masih berada di dalam apartemennya. “Gadis itu sudah pergi, dia pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku!” pikirnya sembari memukul-mukul kepalanya. Jonathan merasa bersalah pada Jenia, karena gadis itu baru saja keluar dari masalahnya dan kini ia memberikan masalah baru pada Jenia. “Bodoh… bodoh… bodoh!” ucap Jonathan mengatai dirinya sendiri. Jenia pasti tidak akan menerima alasannya hingga ia harus mendekap Jenia semalaman. Jonathan tidak bisa berpikir lain, selain memikirkan tanggapan Jenia kepadanya.