Di tempat lain, Cherry tengah menunggu kedatangan seseorang di dekat halte bus. Ia berdiri cukup lama sembari terus menatap pada layar ponselnya.
Terik mentari yang memanas, semakin terasa membakar api semangat Cherry untuk membawa barang bawaannya pergi. Cherry sudah memesan sebuah tiket bus yang akan mengantarkan ia ke suatu tempat.
“Jo!” Cherry memeluk pria bertubuh tinggi tegap yang baru saja turun dari mobil merahnya.
Pria itu mengusap punggung Cherry. Seakan ia tidak merelakan Cherry untuk pergi dengan membawa beban banyak di dekatnya.
“Cher, apa kamu yakin akan meninggalkan aku sendiri di sini?” pria bermata sayu nan teduh itu mempertanyakan kepergian Cherry kali ini.
“Maafkan aku, Jo. Aku harus pergi, karena ayah dan ibuku saat ini sedang sakit, mereka memerlukan aku!”
“Tapi, kamu pasti akan kembali, ‘kan, Cher, demi aku?” tanya Jonathan Alexandria yang merupakan kekasih Cherry. Dari mata yang teduh itu terlihat jelas, betapa ia merasa sedih karena sang kekasih akan kembali ke daerah asalnya dan meninggalkannya.
“Aku pasti akan kembali, Jo. Kamu bersedia menunggu kedatanganku, ‘kan?” tanya Cherry.
“Iya, aku akan menantikan kedatanganmu kembali.”
“Jika aku tidak kembali, berjanjilah satu hal untukku!”
“Apa?”
“Aku ingin kamu datang dan melamarku!”
“Cherry, aku akan melakukannya untukmu!” Jonathan memberikan kecupan terakhir sebelum sang kekasih masuk ke dalam bus yang sudah terparkir di belakang Cherry saat ini.
Cherry beranjak meninggalkan Jonathan, tetapi Cherry berbalik badan dan kembali berdiri di hadapan Jonathan. Wajahnya tampak tersenyum, seakan tidak ada beban untuk meninggalkan sang kekasihnya selama ini.
“Jo, aku tidak ingin menyakitimu, apa yang aku katakan padamu barusan hanya bercanda. Kita tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan hubungan kita saat ini. Mungkin aku tidak akan kembali lagi ke sini, karena aku sudah dijodohkan oleh kedua orang tuaku!”
Setelah mengatakan hal itu, Cherry berlari dengan membawa barang-barangnya menuju bus sambil tersenyum penuh kemenangan.
Sementara itu, Jonathan hanya diam terpaku. Ia tidak percaya janji yang baru saja ia ucapkan sudah pupus begitu saja dengan kepergian sang kekasih yang selama ini memiliki hubungan dengannya.
Terlebih sang kekasih yang selama ini ia percaya telah memutuskan tali harapan Jonathan untuk melanjutkan hubungannya ke tahap yang lebih serius.
Jonathan merasa sesak dengan pengakuan Cherry saat ini. Namun, ia tidak bisa mendapatkan jawaban dari Cherry karena Cherry telah pergi bersama dengan bus yang membawanya.
Ponsel Jonathan berdering membuyarkan lamunannya. Satu panggilan dari rekan kerja sekaligus sahabat terbaiknya bernama Marvin terpampang jelas di layar kaca ponselnya.
“Kamu sedang apa, Jo?” pertanyaan itu serasa meledek Jonathan karena ia saat ini sedang merasa sedih ditinggalkan sang kekasih yang pergi dan memutuskan hubungan dengannya secara sepihak.
“Jo!” suara di telinga Jo terdengar meneriakinya. Jo menjauhkan ponsel itu dari telinganya.
“Ada apa?” tanya Jonathan, “aku masih bisa mendengarkanmu, Vin!” sahutnya lagi.
“Sepertinya rapat kali ini akan kita lakukan di vila pribadiku yang ada di bandung, apa kamu tidak keberatan untuk datang ke sini?”
“Kenapa tidak di Jakarta saja?”
“Ada urusan yang tidak bisa aku tinggalkan di sini! Aku sedang memantau keadaan pabrik, sekaligus aku merasa membutuhkan waktu untuk berlibur,”
“Lalu, bagaimana dengan pengurus yang lain?”
“Ferdinand sudah berada di sini menemaniku, ingat, besok malam kamu harus datang!”
“Besok malam? Kenapa kalian tidak bisa membiarkan aku tenang sebentar saja karena aku sedang patah hati?” keluhnya.
“Jika begitu, ini adalah waktu yang sangat tepat untukmu menenangkan diri. Aku punya dua vila pribadi di sana, datanglah ke Vila yang kedua. Aku akan mengirimkan alamatnya kepadamu!”
“Aku ada satu permintaan!”
“Apa? Sebutkan saja!”
“Sediakan anggur yang bisa menghilangkan rasa sakit di dalam hatiku ini!” tutur Jonathan.
“Aku akan menyediakan gudang anggur jika kamu memerlukannya, jangan mengulur waktu, datanglah besok, jangan sampai terlambat. Rapat akan kita mulai dari jam Sembilan malam!”
“Baiklah!”
Jonathan segera memutuskan panggilan telpon dengan sahabatnya, Marvin. Hatinya kembali merasa sakit dengan kepergian Cherry juga pemutusan hubungan secara sepihak dari gadis yang selama ini bersamanya.
“Huh, sepertinya sudah nasibku seperti ini. Ditinggalkan saat aku sedang sayang-sayangnya!”
Jonathan kembali berjalan menghampiri mobilnya, kemudian ia melajukan kendaraannya. Jonathan berpikir untuk menyusul Cherry dan mencegah Cherry pergi, tetapi Jonathan sendiri tidak tahu kemana ia harus pergi.
Selama ini Cherry selalu menutup diri tentang keluarganya, membuat Jonathan kesulitan sendiri kemana ia harus mencari keberadaan Cherry.
***
Sementara itu, di dalam bus, Cherry mengetik beberapa digit nomer dan memanggilnya. Ia menaruh ponsel itu di telinganya.
“Aku sudah melakukan seperti yang kamu inginkan, aku ingin uang itu sekarang juga! Karena aku sudah berada di atas bus untuk meninggalkan kota ini!” ucap Cherry pada si penelpon.
Cukup lama Cherry terdiam, kemudian Cherry melihat layar kaca ponselnya. Di sana ada pemberitahuan pesan M-banking di mana saldonya bertambah sebesar lima puluh ribu dolar.
Cherry tersenyum senang dengan apa yang ia terima kali ini. Bukan nominal yang sedikit yang Cherry terima saat ini.
“Terima kasih, aku sangat senang bekerja sama denganmu!” Cherry kemudian menutup panggilan telponnya.
Dengan senyuman bahagia karena mendapatkan uang dengan nominal tidak sedikit, Cherry dapat membayangkan betapa bahagianya ia saat ini. Selain dapat melunasi hutang keluarganya demi biaya kuliahnya selama di Malaysia, Cherry juga dapat hidup dengan layak di tempat lain yang akan membuatnya lebih bahagia dengan uang yang ia dapatkan saat ini.
“Terima kasih, Jenia. Karena bantuanmu keluargaku bisa hidup lebih tenang tanpa adanya gangguan dari rentenir dan debt collector.” Cherry tersenyum senang sembari menghapus foto-foto kebersamaannya dengan Jenia yang berada di akun media social yang pernah ia unggah.
“Aku terlalu iri kepadamu, kamu adalah wanita yang sok suci, selama ini kamu selalu berpura-pura bersikap baik padaku, padahal aku yakin kamu selalu menghinaku di belakang, sama seperti anak-anak lain di sekolah kita dahulu. Aku tidak bisa menerima kebaikan yang selalu kamu berikan kepadaku, karena aku sangat yakin, kebaikanmu itu hanyalah palsu!” ucap Cherry tersenyum sinis.
Tangannya terus menghapus foto-foto kebersamaannya dengan Jenia. Cherry merasa kesal dengan Jenia yang selalu hidup bahagia dan terlihat tanpa beban.
“Kamu selalu bersikap seolah kamu tidak memiliki masalah bukan? Kamu selalu bersikap seolah kamu adalah wanita yang paling suci dengan melarangku untuk pergi ke bar dan minum-minum bersama dengan teman priaku, kamu selalu bersikap seolah kamu adalah wanita lugu yang selalu menolak teman-temanku yang ingin berkencan denganmu, sekarang kamu harus rasakan pahitnya dunia ini, kamu harus rasakan air mata yang tidak pernah kamu rasakan sebelum ini, Jenia.”
Rasa benci yang tidak beralasan itu membuat Cherry semakin ingin menyiksa Jenia, tanpa mengotori tangannya sendiri. Begitu banyak foto-foto di dalam memori ponsel Cherry saat ini. Sepanjang perjalanan ia menghapus satu persatu fotonya bersama Jenia yang selalu menemani hari-harinya.
“Bye … Bye … Jenia sayang, penderitaan sudah berada di depan matamu, senyumanmu yang begitu polos itu benar-benar sangat memuakkan untukku. Kamu memang sahabat yang terbaik, karenamu aku bisa merasakan bahagia di dalam hidupku, bahagia mendapatkan uang yang banyak dalam hitungan detik saja!”
Cherry benar-benar sangat membenci semua kebaikan yang pernah Jenia lakukan padanya. Cherry selalu menganggap kebaikan dan ketulusan Jenia hanyalah palsu belaka. Ia tidak percaya dengan orang yang selalu baik dan selalu mendukungnya untuk berbuat kebaikan.
Bagi Cherry, seseorang yang terlalu baik adalah musuh besar dalam hidupnya. Cherry selalu merasa tidak suka karena kebaikan Jenia, Jenia selalu dikagumi dan dicintai oleh lawan jenisnya.
Ponselnya kembali berdering membuyarkan lamunan tentang Jenia. Cherry kembali menaruh ponsel itu di telinganya.
“Kamu memang hebat! Lakukan saja semaumu, jangan pernah hubungi aku lagi, aku sudah memutus hubungan dengan kalian semua, termasuk dia, oke!” Cherry memutuskan panggilannya dan tersenyum sinis menatap layar ponselnya.
***Bersambung***
Jenia menyentak tubuh Jonathan ke dinding. Jonathan terpaku dengan sikap yang ditunjukkan Jenia kepadanya. Ia tidak menyangka gadis itu begitu kuat dan terpancar aura kemarahan darinya“Apa rahasia yang kamu ketahui tentang Cherry?” tanya Jenia lagi dengan nada memaksa.“Rahasia apa? Aku tidak tahu apa-apa,” sahut Jonathan kaget dengan sikap Jenia yang tiba-tiba bersikeras ingin mengetahui sesuatu darinya.“Ah, aku benar-benar merasa gila sekarang. Bagaimana mungkin aku berada di sini, sedangkan aku tidak tahu di mana keberadaan Cherry saat ini,” keluh Jenia.“Je, aku benar-benar bingung, sebenarnya apa hubunganmu dengan Cherry? Maksudku, saat itu kamu enggan untuk menjawab pertanyaanku yang menanyakan hubungan antara kamu dengan Cherry, tetapi sekarang kamu yang ingin membahas ini,”sahut Jonathan.Jenia membuka matanya dengan lebar. Apa yang dikatakan Jonathan memang benar. Selama ini Jenia ber
Pintu terbuka lebar, begitupun dengan netra hitam pekat yang berdiri di hadapan Jenia saat ini. Matanya tidak berkedip sedetikpun melihat keberadaan Jenia di hadapannya saat ini.“Siapa ya?” tanya Jenia lagi.“Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya pria itu segera masuk ke dalam rumah meskipun Jenia belum memberikan ia aba-aba untuk masuk.“Tunggu dulu, kamu siapa?” tanya Jenia kemudian ia menutup pintu.“Kamu pasti sudah lupa padaku, tetapi aku masih ingat dengan jelas siapa kamu,” ujarnya duduk di atas sofa dengan kaki bersilang.“Hmm ….” Jenia berusaha mengingat kembali sosok yang ada di hadapannya saat ini. Ingatan Jenia sangatlah buruk, ia tidak bisa mengingat sosok yang baru sekali ia temui.“Hai, Dave!” sapa Jonathan yang baru saja keluar dari dapur dengan apron yang masih melekat di tubuhnya.“Hai, Jo. Aku tidak sedang mengganggu kalian berdua k
Jenia berusaha untuk menghindari sosok pria yang terus melangkah mendekatinya. Semakin dekat, membuat Jenia dapat melihat dengan jelas sosok pria bertopeng di hadapannya saat ini. Dua bulan sudah berlalu. Namun, dalam tempo yang singkat itu masih belum bisa membuat Jenia lupa pada sosok pria bertopeng di hadapannya saat ini. Pria angkuh yang selalu memperlakukannya secara kasar selama dua hari berada di sebuah Vila yang Jenia sendiri tidak ingat dengan pasti di mana Vila itu berada. Pria yang selalu menyodorkan surat kontrak agar Jenia bersedia hamil dan melahirkan anak untuknya, tetapi Jenia tidak memiliki hak atas anak yang dikandungnya, dialah pria itu. “Mr.M!” risik Jenia terus berjalan mundur sedangkan pria itu semakin melangkah cepat mendekati Jenia. “Kamu masih ingat padaku gadis nakal?” suara itu menggelegar di telinga Jenia, membuat bulu remang Jenia bergidik merinding mendengarkannya. Suara itu begitu menakutkan di telinga Jen
saJenia menyeka air matanya. Penuturan sang kakak membuat dirinya terasa semakin lemah. Hati siapa yang tidak merasa sedih dengan pertanyaan yang ia sodorkan? Jenia beranjak, membelakangi Erlina yang masih duduk menantikan jawabannya. Ia berniat untuk meninggalkan Erlina tanpa memberikan jawaban, tetapi Jenia mengurungkan niatnya. Jenia kembali duduk, menghadap pada kakak yang selama ini selalu ia anggap baik, tetapi sejak saat ini, Jenia merasa ragu dengan sikap yang ia tunjukkan saat ini. “Kak, apa kakak bukan seorang wanita? Kenapa kakak mempertanyakan hal ini kepadaku?” tanya Jenia. Kali ini, gentian Erlina yang terdiam mendengarkan pertanyaan Jenia. Tidak ada kegentaran sama sekali di wajah Jenia. “Bukankah kakak sendiri tahu apa yang benar dan apa yang salah di dunia ini? Selama ini aku selalu kagum pada kakak yang rajin mengikuti kegiatan keagamaan, bahkan dari yang aku lihat, setiap malam kakak selalu membaca kitab,” tutur Jenia.
Jenia kembali mengemasi barang-barangnya dan bersiap-siap untuk pergi meninggalkan tempatnya saat ini. Jonathan hanya bisa memandang tanpa bisa berkata apa-apa lagi.Bukan karena Jonathan tidak berusaha untuk menahan Jenia untuk tetap berada di tempatnya sementara waktu, tetapi Jenia terus bersikeras untuk mencari tempat tinggal lain.“Je, jika kamu bersedia, kamu bisa tinggal di sini,” ucap Jonathan mengulang ucapan yang sudah pernah ia katakan sebelumnya.“Jonathan, bagaimana bisa seorang wanita dan pria yang belum menikah tinggal bersama? Kita ini berada di sebuah Negara yang taat akan hokum,” Jenia beralasan.“Ya, aku tahu, tetapi jika kamu mau untuk tinggal di sini, aku bisa tinggal di tempat yang lain,” ucap Jonathan berusaha untuk membuat Jenia mengerti.“Bagaimana bisa aku tinggal di rumah ini, sedangkan pemiliknya harus terusir karena aku?” tutur Jenia lagi.Bagaimanapun Jonathan sudah
“Apa kita harus ke rumah sakit?” tanya Jonathan bersiap untuk melajukan kendaraannya.“Seharusnya aku yang mengatakan hal itu kepadamu, kamu terluka dan wajahmu juga memar!” ucap Jenia menunduk merasa bersalah karena telah menjadi penyebab luka di wajah Jonathan.“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku, karena aku begitu khawatir melihat kamu jatuh tersungkur karena pria banci itu,” geram Jonathan mengingat kejadian beberapa menit lalu.“Aku tidak apa-apa, hanya merasa sakit sedikit saja! Sebaiknya kita ke rumah sakit untuk mengobati lukamu ini,” ucap Jenia.“Tidak, aku tidak akan ke rumah sakit hanya karena luka kecil ini.” Jonathan bersikeras untuk tidak ke rumah sakit, “lama sekali temanmu datang membawakan barang-barangmu,”sambung Jonathan.Jenia hanya diam tidak menjawab, karena Jenia sendiri tidak tahu kenapa Dion begitu lama membawakan koper miliknya. Tidak lama mereka men