Share

BAB 2

AURAE

Aku memutar bola mataku kesal dan menghampiri polisi itu walau kepalaku terasa sudah akan meledak. Baru saja aku sampai di depannya dan akan mengeluarkan dompet, dia sudah berceloteh panjang lebar.

"Anda dikenai pasal 283, mengemudi secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi; juga dikenai Pasal 287 karena melanggar rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas; dan Anda juga dikenai pasal 295 yang berbunyi berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat. Sanksi pidana untuk pelanggaran pertama—"

"Berapa?" tanyaku langsung karena mendengar suaranya membuatku semakin pusing.

Dia mengernyit menatapku. "Maksud Anda?"

Aku mendengus kesal walau dahiku terus berdenyut bahkan aku bisa merasakan ada yang mengalir di pelipisku. Kutatap matanya dengan tajam sambil menyerahkan beberapa lembar uang padanya. "Cukup?"

Dia masih diam, tapi aku melihat rahangnya kaku, kuartikan itu sebagai 'kurang'. Aku mengeluarkan salah satu kartu debitku dan kuserahkan padanya. "Ini kartu ATM beserta pinnya. Tenang aja di dalamnya udah ada uang, kok. Anda tinggal memakainya. Saya sedang ada urusan penting," jawabku datar sambil mulai melangkah.

Tapi lenganku dicekalnya. Aku berbalik dengan jengah. "Kurang?" Kembali kukeluarkan salah satu kartu kredit padanya. "Ini ... biar puas!"

"Anda terlalu sombong!" desisan mengerikan itu tertangkap telingaku.

Aku menelan salivaku dengan susah payah. Mau tidak mau ada sedikit perasaan takut yang menyelinap saat melihat ekspresinya saat ini. Tapi kuatur ekspresiku agar terlihat biasa saja.

Kutepis tangannya dari lenganku dan balas menatapnya sama tajamnya. "Gue. Ada. Urusan. Penting. Sekarang biarin gue pergi. Gue pasti akan tanggung jawab nanti."

Dia mendengus. "Banyak pembohong lain seperti Anda. Akhirnya mereka melarikan diri."

Mataku melebar dan refleks tanganku terangkat disusul dengan bunyi 'PLAK' yang sangat keras. Aku mengatur napasku yang memburu karena amarah. Aku paling benci dibilang pembohong. Apa aku terlihat seperti pembohong yang akan melarikan diri begitu saja?

Kuserahkan dompet beserta isinya kepada polisi itu. Kulirik sekilas name tag-nya dan kutatap wajahnya yang masih memerah akibat tamparanku. "Pak polisi Gibran yang terhormat, saya serahkan segala kartu identitas saya sebagai jaminan. Sekarang saya hanya minta waktu sebentar untuk menemui—"

Aku memejamkan mata, tidak bisa melanjukan ucapanku. Hpku sedari tadi bergetar di sakuku, dan ketakutanku semakin menjadi saat kemungkinan terburuk melintas di pikiranku. Aku takut Mama akan memberitahukan kabar yang tidak baik.

Tanganku merogoh saku blazer dan mengambil hpku. Dengan tangan bergetar dan wajahku yang mungkin sudah seperti mayat hidup, kuberanikan diri menjawab panggilan yang memang dari Mama.

Kuembuskan napas pelan dan kutempelkan hp itu ke telingaku. Namun detik berikutnya suaraku tercekat, hp di genggamanku terlepas dan tubuhku limbung. Kepalaku semakin berdenyut nyeri, tanganku terangkat untuk menekan denyutan di seluruh kepalaku tapi aku tahu itu gagal. Dan akhirnya aku hanya mengerang dengan seluruh aliran darahku yang terasa berhenti.

Kakiku sudah tidak bisa menapak dan hal itu sukses membuat tubuhku luruh ke tanah. Ketakutanku selama ini terbukti. Aku terlambat datang untuk menyelamatkan kakakku. Dan itu semua karena ... polisi di depanku ini.

Bayangan-bayangan kematian yang baru beberapa tahun lalu kusaksikan kembali menghantuiku. Bahkan baru beberapa tahun lalu aku kehilangan satu-satunya laki-laki yang bisa menjagaku—papaku. Dan sekarang ditambah dengan kenyataan bahwa kakakku satu-satunya menyusul papa?

Aku ingin berteriak, tapi yang kulakukan malah menggigit bibir bawahku untuk menahan laju air mataku yang semakin deras. Tubuhku sudah sangat lemas bahkan aku tidak bisa menolak saat orang yang baru saja beradu mulut denganku mulai mengangkat tubuhku dengan perlahan. Entah apa yang terjadi setelah itu, aku tidak tahu. Yang aku ingat hanya tiba-tiba gelap menguasaiku.

***

Kutatap jenazah kakakku dengan sisa air mata yang sepertinya sudah mulai mengering. Lagi-lagi aku kehilangan anggota keluargaku. Aku tahu hal itu pasti akan terjadi, tetapi kenapa harus secepat ini? Dan selalu mendadak?

Tanganku terulur untuk mengusap wajah Mbak Dinna yang sudah pucat pasi. Perutnya yang beberapa jam lalu masih membuncit kini sudah tidak lagi, karena buah hatinya sudah lahir dengan selamat. Masih teringat jelas di ingatanku tentang percakapan kami tadi malam tentang mimpi-mimpinya bersama anaknya, tentang hidupnya yang katanya pasti akan lebih indah jika anak itu lahir. Tapi nyatanya ... hidupnya berakhir tepat saat kelahiran buah hatinya.

Ya Tuhan ... cobaan apa lagi ini?

Tubuhku mendekat padanya dan kupeluk tubuh kakakku dengan erat. Walau tangannya sudah tidak bisa membalas pelukanku seperti biasa, walau suaranya yang biasanya mencoba menenangkanku sekarang sudah tak terdengar, tapi aku ingin memeluk tubuh kaku dingin kakakku ini.

Isakan kencang keluar dari bibirku, ternyata dugaanku salah. Air mataku tidak habis juga dan sekarang malah membasahi pakaian putih yang kakakku kenakan.

"Aurae ... sudah, kita harus keluar. Jenazahnya harus diurus dulu." Suara Mama sedari tadi terdengar tapi aku belum juga bisa menerima kenyataan ini.

Semuanya terlalu cepat dan tiba-tiba. Haruskah aku jadi gila dulu agar segala sakit ini bisa hilang?

"Mbak Dinna ... kenapa pergi?" isakku.

Tanganku tidak juga lepas dari tubuh kakakku. Hanya dia yang selama ini menerima segala curahan dan keluh kesahku.

Suara gaduh di sekitarku membuatku menegakkan tubuhku, melihat para petugas medis menyuruh kami untuk keluar dari ruangan tersebut. Mama membantuku berjalan karena tubuhku yang sangat lemah. Tanganku terangkat untuk memegang dahiku yang sudah dibalut perban.

Tadi aku sempat pingsan dan yang membawaku kemari adalah seorang polisi yang sempat beradu mulut denganku. Mengingat orang itu, emosiku kembali naik. Ini semua gara-gara dia yang terlalu basa-basi, membuatku terlambat membawa Mbak Dinna ke rumah sakit.

Tanganku terkepal di sisi tubuhku dan napasku mulai tersengal saat mengingat hal itu.

Aku benci padanya. Sangat.

Entah kekuatan dari mana, tubuhku sudah berjalan cepat ke arah polisi yang sedari tadi duduk di ruang tunggu.

Tanganku terasa gatal, ingin sekali memberinya tamparan berkali-kali saat melihat wajahnya.

"Kenapa lo masih di sini?" desisku padanya.

Dia mencoba mendekat padaku, tapi aku mundur dengan cepat. Telunjukku terangkat dan terarah padanya. "Pergi dari sini!" teriakku.

Dia masih mencoba untuk mendekat, tapi amarahku benar-benar sudah pada puncaknya. "Saya minta maaf atas—"

"MAAF?!" teriakku tidak percaya. "Lo kira dengan maaf kakak gue bisa hidup lagi?!" isakan mulai terdengar lagi.

Ya Tuhan, rasanya masih sama seperti dulu, menyakitkan saat melihat orang yang kita sayangi pergi untuk selama-lamanya.

"Saya tidak tahu kalau—"

"Diam!" teriakku lagi.

Wajahnya sudah pias, dan aku tahu dia merasa bersalah. Tapi aku tidak butuh itu.

"Aurae...." Panggilan itu sanggup menyentakku.

"Jangan pernah panggil nama gue dengan mulut lo! Bawa semua isi dompet gue dan jangan pernah muncul di hadapan gue lagi. Selama-lamanya!!!"

Aku berteriak histeris, tapi kepalaku kembali berdenyut, membuat tubuhku kembali limbung. Teriakan Mama yang sepertinya menghampiriku masih bisa kudengar. Aku mengerang pelan saat dahiku menabrak sesuatu yang tajam. Kubuka mataku perlahan dan terkejut saat menyadari bahwa aku sudah jatuh dalam pelukan polisi ini.

Aku ingin berontak, tapi tangannya semakin erat memelukku.

"Kenapa lo seenaknya sendiri peluk orang? Nggak malu sama profesi?" aku ingin berteriak, tapi suaraku malah terdengar sangat lirih.

Pelukan itu semakin mengerat dan bisikannya di telingaku membuatku membeku.

"Karena kita memang sudah terikat sejak dulu, Aurae."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status