Share

BAB 2

Author: bibiar
last update Huling Na-update: 2023-05-04 13:26:26

AURAE

Aku memutar bola mataku kesal dan menghampiri polisi itu walau kepalaku terasa sudah akan meledak. Baru saja aku sampai di depannya dan akan mengeluarkan dompet, dia sudah berceloteh panjang lebar.

"Anda dikenai pasal 283, mengemudi secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi; juga dikenai Pasal 287 karena melanggar rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas; dan Anda juga dikenai pasal 295 yang berbunyi berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat. Sanksi pidana untuk pelanggaran pertama—"

"Berapa?" tanyaku langsung karena mendengar suaranya membuatku semakin pusing.

Dia mengernyit menatapku. "Maksud Anda?"

Aku mendengus kesal walau dahiku terus berdenyut bahkan aku bisa merasakan ada yang mengalir di pelipisku. Kutatap matanya dengan tajam sambil menyerahkan beberapa lembar uang padanya. "Cukup?"

Dia masih diam, tapi aku melihat rahangnya kaku, kuartikan itu sebagai 'kurang'. Aku mengeluarkan salah satu kartu debitku dan kuserahkan padanya. "Ini kartu ATM beserta pinnya. Tenang aja di dalamnya udah ada uang, kok. Anda tinggal memakainya. Saya sedang ada urusan penting," jawabku datar sambil mulai melangkah.

Tapi lenganku dicekalnya. Aku berbalik dengan jengah. "Kurang?" Kembali kukeluarkan salah satu kartu kredit padanya. "Ini ... biar puas!"

"Anda terlalu sombong!" desisan mengerikan itu tertangkap telingaku.

Aku menelan salivaku dengan susah payah. Mau tidak mau ada sedikit perasaan takut yang menyelinap saat melihat ekspresinya saat ini. Tapi kuatur ekspresiku agar terlihat biasa saja.

Kutepis tangannya dari lenganku dan balas menatapnya sama tajamnya. "Gue. Ada. Urusan. Penting. Sekarang biarin gue pergi. Gue pasti akan tanggung jawab nanti."

Dia mendengus. "Banyak pembohong lain seperti Anda. Akhirnya mereka melarikan diri."

Mataku melebar dan refleks tanganku terangkat disusul dengan bunyi 'PLAK' yang sangat keras. Aku mengatur napasku yang memburu karena amarah. Aku paling benci dibilang pembohong. Apa aku terlihat seperti pembohong yang akan melarikan diri begitu saja?

Kuserahkan dompet beserta isinya kepada polisi itu. Kulirik sekilas name tag-nya dan kutatap wajahnya yang masih memerah akibat tamparanku. "Pak polisi Gibran yang terhormat, saya serahkan segala kartu identitas saya sebagai jaminan. Sekarang saya hanya minta waktu sebentar untuk menemui—"

Aku memejamkan mata, tidak bisa melanjukan ucapanku. Hpku sedari tadi bergetar di sakuku, dan ketakutanku semakin menjadi saat kemungkinan terburuk melintas di pikiranku. Aku takut Mama akan memberitahukan kabar yang tidak baik.

Tanganku merogoh saku blazer dan mengambil hpku. Dengan tangan bergetar dan wajahku yang mungkin sudah seperti mayat hidup, kuberanikan diri menjawab panggilan yang memang dari Mama.

Kuembuskan napas pelan dan kutempelkan hp itu ke telingaku. Namun detik berikutnya suaraku tercekat, hp di genggamanku terlepas dan tubuhku limbung. Kepalaku semakin berdenyut nyeri, tanganku terangkat untuk menekan denyutan di seluruh kepalaku tapi aku tahu itu gagal. Dan akhirnya aku hanya mengerang dengan seluruh aliran darahku yang terasa berhenti.

Kakiku sudah tidak bisa menapak dan hal itu sukses membuat tubuhku luruh ke tanah. Ketakutanku selama ini terbukti. Aku terlambat datang untuk menyelamatkan kakakku. Dan itu semua karena ... polisi di depanku ini.

Bayangan-bayangan kematian yang baru beberapa tahun lalu kusaksikan kembali menghantuiku. Bahkan baru beberapa tahun lalu aku kehilangan satu-satunya laki-laki yang bisa menjagaku—papaku. Dan sekarang ditambah dengan kenyataan bahwa kakakku satu-satunya menyusul papa?

Aku ingin berteriak, tapi yang kulakukan malah menggigit bibir bawahku untuk menahan laju air mataku yang semakin deras. Tubuhku sudah sangat lemas bahkan aku tidak bisa menolak saat orang yang baru saja beradu mulut denganku mulai mengangkat tubuhku dengan perlahan. Entah apa yang terjadi setelah itu, aku tidak tahu. Yang aku ingat hanya tiba-tiba gelap menguasaiku.

***

Kutatap jenazah kakakku dengan sisa air mata yang sepertinya sudah mulai mengering. Lagi-lagi aku kehilangan anggota keluargaku. Aku tahu hal itu pasti akan terjadi, tetapi kenapa harus secepat ini? Dan selalu mendadak?

Tanganku terulur untuk mengusap wajah Mbak Dinna yang sudah pucat pasi. Perutnya yang beberapa jam lalu masih membuncit kini sudah tidak lagi, karena buah hatinya sudah lahir dengan selamat. Masih teringat jelas di ingatanku tentang percakapan kami tadi malam tentang mimpi-mimpinya bersama anaknya, tentang hidupnya yang katanya pasti akan lebih indah jika anak itu lahir. Tapi nyatanya ... hidupnya berakhir tepat saat kelahiran buah hatinya.

Ya Tuhan ... cobaan apa lagi ini?

Tubuhku mendekat padanya dan kupeluk tubuh kakakku dengan erat. Walau tangannya sudah tidak bisa membalas pelukanku seperti biasa, walau suaranya yang biasanya mencoba menenangkanku sekarang sudah tak terdengar, tapi aku ingin memeluk tubuh kaku dingin kakakku ini.

Isakan kencang keluar dari bibirku, ternyata dugaanku salah. Air mataku tidak habis juga dan sekarang malah membasahi pakaian putih yang kakakku kenakan.

"Aurae ... sudah, kita harus keluar. Jenazahnya harus diurus dulu." Suara Mama sedari tadi terdengar tapi aku belum juga bisa menerima kenyataan ini.

Semuanya terlalu cepat dan tiba-tiba. Haruskah aku jadi gila dulu agar segala sakit ini bisa hilang?

"Mbak Dinna ... kenapa pergi?" isakku.

Tanganku tidak juga lepas dari tubuh kakakku. Hanya dia yang selama ini menerima segala curahan dan keluh kesahku.

Suara gaduh di sekitarku membuatku menegakkan tubuhku, melihat para petugas medis menyuruh kami untuk keluar dari ruangan tersebut. Mama membantuku berjalan karena tubuhku yang sangat lemah. Tanganku terangkat untuk memegang dahiku yang sudah dibalut perban.

Tadi aku sempat pingsan dan yang membawaku kemari adalah seorang polisi yang sempat beradu mulut denganku. Mengingat orang itu, emosiku kembali naik. Ini semua gara-gara dia yang terlalu basa-basi, membuatku terlambat membawa Mbak Dinna ke rumah sakit.

Tanganku terkepal di sisi tubuhku dan napasku mulai tersengal saat mengingat hal itu.

Aku benci padanya. Sangat.

Entah kekuatan dari mana, tubuhku sudah berjalan cepat ke arah polisi yang sedari tadi duduk di ruang tunggu.

Tanganku terasa gatal, ingin sekali memberinya tamparan berkali-kali saat melihat wajahnya.

"Kenapa lo masih di sini?" desisku padanya.

Dia mencoba mendekat padaku, tapi aku mundur dengan cepat. Telunjukku terangkat dan terarah padanya. "Pergi dari sini!" teriakku.

Dia masih mencoba untuk mendekat, tapi amarahku benar-benar sudah pada puncaknya. "Saya minta maaf atas—"

"MAAF?!" teriakku tidak percaya. "Lo kira dengan maaf kakak gue bisa hidup lagi?!" isakan mulai terdengar lagi.

Ya Tuhan, rasanya masih sama seperti dulu, menyakitkan saat melihat orang yang kita sayangi pergi untuk selama-lamanya.

"Saya tidak tahu kalau—"

"Diam!" teriakku lagi.

Wajahnya sudah pias, dan aku tahu dia merasa bersalah. Tapi aku tidak butuh itu.

"Aurae...." Panggilan itu sanggup menyentakku.

"Jangan pernah panggil nama gue dengan mulut lo! Bawa semua isi dompet gue dan jangan pernah muncul di hadapan gue lagi. Selama-lamanya!!!"

Aku berteriak histeris, tapi kepalaku kembali berdenyut, membuat tubuhku kembali limbung. Teriakan Mama yang sepertinya menghampiriku masih bisa kudengar. Aku mengerang pelan saat dahiku menabrak sesuatu yang tajam. Kubuka mataku perlahan dan terkejut saat menyadari bahwa aku sudah jatuh dalam pelukan polisi ini.

Aku ingin berontak, tapi tangannya semakin erat memelukku.

"Kenapa lo seenaknya sendiri peluk orang? Nggak malu sama profesi?" aku ingin berteriak, tapi suaraku malah terdengar sangat lirih.

Pelukan itu semakin mengerat dan bisikannya di telingaku membuatku membeku.

"Karena kita memang sudah terikat sejak dulu, Aurae."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 12

    AURAEAku merasakan sentuhan ringan di pelipisku, membuat tidurku sedikit terganggu. Saat membuka mata, kulihat wajah Gibran sangat dekat. Dia mengecup pelipisku begitu lama."Gibran," gumamku.Tubuhnya kembali menegak, duduk di sampingku."Kamu baru pulang?" tanyaku pelan sembari berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Kulirik jam dinding dan menunjukkan pukul 3 dini hari. "Kamu belum tidur?"Daripada memikirkan yang tidak-tidak, rasa khawatirku mengalahkan segalanya. Tetapi setidaknya sekarang keadaan Gibran tidak seberantakan tadi sebelum berangkat."Udah tidur tadi, sebentar." Gibran tersenyum kecil."Di mana?" Aku bertanya penasaran. Kuteliti ekspresinya yang seperti menerawang."Re ... kamu bisa ikut aku?"Aku mengernyit. "Ke mana?"Gibran diam tapi tatapannya serius padaku. Maka aku mengangguk ragu dan tidak bertanya lagi. Aku bersiap sementara Gibran menyiapkan mobil terlebih dulu. Sebelum keluar kamar, kutatap Adara yang terlelap damai di atas tempat tidur. Aku memb

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 11

    AURAEAku masih ingat siang itu. Betapa jantungku berdetak sangat cepat dengan seluruh tubuh yang terasa nyeri. Ya, saat aku sedang dalam proses melahirkan anakku. Tidak ada Gibran di sampingku, itu membuatku sungguh kacau. Kukira aku tidak akan melahirkan saat itu juga, dan mencegah Gibran pulang demi menyelesaikan tugas terlebih dulu agar bisa menemaniku bersalin. Ternyata hal itu terjadi lebih cepat dari yang kukira. Seluruh tubuhku terasa remuk, tapi aku sepenuhnya berjuang.Semuanya tergantikan dengan senyum saat tanganku terasa hangat di genggaman seseorang. Aku membuka mata di tengah proses itu, berusaha melihat siapa yang menggenggam tanganku. Gibran di sana, dengan pakaian kerjanya, kepalanya yang berpeluh dan matanya yang memerah. Di atas semua kekhawatirannya akan diriku, dia masih bisa tersenyum, mengecup keningku berusaha membuat semuanya lebih baik. Dan aku merasakannya. Ternyata benar, pepatah yang sering kudengar tentang 'sebaik-baiknya suami adalah yang menemani istri

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 10

    GIBRAN"Aurae sedang tidak enak badan."Aku mengernyit mendengar ucapan Tante Elda. Ada rasa bersalah dan khawatir yang timbul saat mengetahui Aurae sedang sakit. Ditambah lagi beberapa bulan ini aku belum sempat mengunjungi bahkan mengabari Aurae. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin melihat bagaimana reaksinya saat dia tahu aku tidak mengabarinya. Apakah dia akan marah dan menganggapku tidak serius? Atau justru sebaliknya?Aku tersenyum kecut, tidak mungkin Aurae merasakan kehilangan, atau minimal ada yang kurang saat tidak mendengar kabarku. Dari dulu pun hanya aku yang merasa tidak lengkap tanpanya sedangkan dia mungkin malah merasa terganggu dengan kehadiranku.Aku menyesal dengan apa yang kulakukan, tidak mengabarinya beberapa bulan ini. Bagaimana mungkin aku begitu kekanakan seperti remaja yang ingin mengetes kekasihnya? Aku lelaki dewasa dan kelakuanku benar-benar tidak sesuai umurku. Seharusnya yang kulakukan adalah setia memberinya kabar, membuatnya yakin bahwa aku tidak main

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 9

    Aduh, Vin. Jangan malu-maluin Tante. Sekali aja nurut biar Tante nggak malu.Aku terus membatin. Sampai kemudian aku sampai di kamar Mama dan meletakkan Vino di box bayi. Mengamatinya sebentar, aku tersentak. Kenapa melihat Vino justru aku teringat seseorang?Aku menggeleng. Bukan. Ini pasti hanya perasaanku saja yang terlalu merindukan Daniel. Tidak mungkin ada kemiripan mereka berdua.Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar saja daripada semakin berkhayal tidak jelas. Belum juga kakiku sampai di ruang makan, pembicaraan Mama dan Gibran membuatku memutuskan untuk diam menunggu, mendengar lebih lanjut apa yang mereka bicarakan."Tante sudah tua, tapi Tante takut hal yang dulu terulang lagi. Makanya Tante minta kamu jaga Aurae. Kalau bisa secepatnya kamu lamar Aurae.""Iya, Tante. Aku usahakan malam ini berbicara dengannya. Aku janji menjaga Aurae. Aku hanya ingin menegakkan kebenaran sekaligus melindungi yang diincar orang itu."Apa lagi ini? Diincar? Siapa?"Ma," panggilku akhirnya, k

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 8

    AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 7

    "Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status