Share

DIJODOHKAN DENGAN POLISI
DIJODOHKAN DENGAN POLISI
Author: bibiar

BAB 1

AURAE

Aku mondar-mandir di gedung pertemuan untuk mengawasi kinerja pegawai-pegawaiku. Mereka juga terlihat sibuk dengan bagian mereka sendiri untuk mendekor ruangan menjadi sedemikian rupa. Besok adalah hari pertama penggalangan dana untuk amal dan bazar murah produk perusahaanku. Biasanya aku menyisihkan beberapa produk perusahaan dengan setengah harga sekadar untuk hadiah di hari-hari tertentu. Tentu saja besok adalah hari spesial, yaitu hari lahirnya almarhum Papa. Jenis produkku memang dari mentah, setengah jadi sampai barang jadi. Tapi untuk acara besok, kebanyakan yang datang adalah konsumen maka dari itu aku hanya menyediakan barang jadi saja.

Aku melangkah dengan cepat mengecek kembali beberapa makrame yang sebenarnya sudah dicek oleh pegawai. Tanganku bergerak cepat memeriksa satu per satu sulaman, rajutan di tas dan beberapa hiasan dinding. Beberapa kriya kayu dan keramik pun kuperiksa. Kupegang lengan sebuah kursi yang terlihat kokoh dari kayu yang jelas unggul. Tanganku mengusap di sana dan tersenyum puas.

Perfect!

Tatapanku tertuju pada salah satu tempat pengecekan kriya tekstil lain, berbagai permainan tradisional anak-anak ada di sana. Kakiku kembali melangkah dengan cepat ke tempat pengecekan benda-benda untuk dekorasi dan pajangan, awalnya aku ingin melewati pengecekan di sana. Tapi saat mataku menangkap satu hal yang janggal aku langsung mendekat.

Kuambil salah satu guci dari kumpulan benda keramik lainnya. Kuamati guci itu dan langsung menatap tajam salah satu pegawaiku.

"Kamu sudah periksa guci ini?" desisku yang membuat gadis muda di depanku menciut.

"I-iya sudah, Bu."

Aku mendekat padanya dan menunjukkan salah satu sisi guci padanya. "Lihat ini?" desisku lagi. Dia mengangguk. "Begini lolos pengecekan?"

Dia menggeleng.

"Terus kenapa ada di meja ini?!" teriakku sambil membanting guci yang sudah retak itu jadi semakin retak.

"Kembalikan ke belakang, ganti yang baru!" perintahku dan langsung berbalik ke salah satu tempat yang tadi sempat kulewati.

Aku takut ada kesalahan lagi seperti tadi. Dan benar saja, saat aku mengecek beberapa permainan anak kecil, banyak yang tidak terbungkus dengan rapi dan pengemasannya sangat berantakan.

"Kenapa bungkusnya plastik tipis begini? Sobek di mana-mana! Ini untuk anak kecil. Harus higienis, tidak boleh terbuka. Banyak kuman!" gertakku. Melihat orang di depanku hanya menunduk, aku berteriak kesal, "Kamu kembalikan ke bagian pengemasan!"

Aku menghentakkan kaki dan kembali melangkah, berniat menuju ruanganku tapi mataku kembali menangkap sesuatu yang salah, dan ini lebih parah!

Aku memejamkan mata untuk mengatur emosiku. Tapi aku tidak bisa, sudah terlalu banyak kesalahan yang kutemukan dan itu membuatku tidak habis pikir dengan kinerja mereka. Bukankah aku sudah menetapkan tes dan persyaratan yang sangat sulit untuk masuk ke perusahaan ini? Kenapa masih banyak juga pegawai yang teledor?

"Ini kain warna apa?!" teriakku yang mampu membuat orang di depanku terlonjak kaget. Laki-laki yang kuyakin pegawai baru itu menatapku dengan takut. "Kamu tahu? Ini ... pure white! Kenapa banyak noda begini?! Kamu ambil di mana? Bukan di gudang penyimpanan?"

"Sa-saya ambil di gedung 5AD, Bu."

Mataku melebar mendengar ucapannya. Bagaimana mungkin dia mengambil di gedung yang berisi produk gagal itu?

"Balikin semuanya ke 5AD. Kamu tanya ke petugas di mana seharusnya kamu ambil!"

"Iya, Bu."

Aku berpindah ke tengah ruangan dan menepukkan kedua tanganku beberapa kali, menyuruh semua pegawai berkumpul. Dengan cepat, mereka sudah berdiri di depanku. Kuatur napasku yang memburu karena amarahku.

"Saya hanya ingin menyampaikan, tetaplah bekerja dengan baik. Jangan mentang-mentang besok hanya bazar murah kalian jadi teledor seperti ini!" ucapku datar. Mereka hanya menunduk tanpa berkata apa-apa. "Kalian tidak ada yang mendengarkan saya?!"

Pegawaiku malah saling sikut satu dengan lainnya, membuatku menyuruh mereka bubar saja. Percuma, di saat seperti ini malah mereka membuatku pusing. Aku memijit pelipisku yang berdenyut sedari tadi. Saat aku akan duduk di salah satu kursi, terdengar bantingan yang sangat keras, membuatku menoleh dengan cepat ke sumber suara. Dan aku mengerang saat melihat pajangan ukiran dinding yang berukuran cukup besar terbanting ke lantai dan pecah berkeping-keping.

"Ma-maaf, Bu." Orang itu gemetar di atas tumpuannya yang cukup tinggi karena tadi memasang di dinding. Dia terlihat sangat ketakutan.

Baru saja aku akan berdiri dan menghampirinya, seseorang menahanku. "Udah, Re."

Aku menatap Tiwi—sahabat sekaligus sekretarisku—dengan tidak percaya. Apa dia bilang? Sudah? Sudah hancur, begitu maksudnya?

Aku kembali mengerang saat denyutan di kepalaku semakin terasa. Rasanya kepalaku mau pecah saja. Akhir-akhir ini ada saja yang membuat emosiku tidak terkendali.

"Duduk dulu. Lo mau sakit lagi seperti minggu lalu?" ujarnya sambil menuntunku duduk dan memberiku air mineral.

"Mereka kerja nggak becus. Giliran gue marahin pasti ngedumel bilang gue jahat, lah. Kejam, lah. Memangnya gue marah tanpa alasan? Gue marah karena kerja mereka nggak bener, Wi."

Kurasakan usapan di bahuku. "Tapi lo juga harus sabar menghadapi mereka. Justru kalau lo marah terus, mereka cuma takut dan tertekan, akhirnya hasilnya juga nggak memuaskan."

Aku menghela napas pelan dan menempelkan keningku di meja. Hari ini entah mengapa rasanya sangat menjengkelkan. Sepertinya perasaanku memang sedang tidak baik-baik saja. Ada yang mengganjal tapi aku tidak tahu apa.

"Lo ada masalah?"

Pertanyaan Tiwi belum juga kurespon. Beberapa lama kemudian aku kembali mengangkat kepalaku dan menatap Tiwi dengan tatapan cemas. "Gue nggak tahu ada apa. Tapi perasaan gue nggak enak, Wi."

"Semoga cuma perasaan lo aja ya, Re. Jangan banyak pikiran, takutnya lo sakit lagi."

Aku hanya mengangguk lemah. Kembali kuamati sekitar dan sedikit menyesal atas apa yang terjadi tadi. Aku tidak bisa mengontrol emosiku.

Terdengar dering hp dari meja seberang, itu hpku. Baru saja aku akan beranjak, Tiwi mencegahku.

"Biar gue aja yang ambil."

Aku mengangguk saat Tiwi mengambilkan hpku. Dia kemudian menyerahkan hp padaku dan terpampanglah nomor Mama di sana. Aku segera menjawab panggilan itu.

Belum sempat aku berkata apa-apa, suara Mama terlebih dulu terdengar dan kalimatnya sanggup membuatku langsung berdiri dan berlari keluar ruangan. Aku terus berlari tanpa memedulikan para karyawanku yang menyapaku atau bahkan melihatku dengan tanda tanya. Ucapan Mama terus terngiang di pikiranku.

"Mbak Dinna mau melahirkan. Nggak ada yang mengantar ke rumah sakit."

Di dalam mobil, aku terus berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk pada kakakku. Cukup hidupnya menderita selama ini karena hamil diperkosa. Tidak terasa air mataku sudah menetes. Kejadian buruk di masa lalu mulai memenuhi pikiranku, membuatku beberapa kali hampir menabrak kendaraan lain.

Dan suara aneh yang sangat kukenal terdengar. Aku melirik kaca spion dan melihat mobil polisi sedang mengejarku. Aku tergagap, bagaimana ini?

Refleks, kakiku menginjak gas dengan tekanan penuh dan hal itu malah membuatku semakin tidak bisa mengendalikan mobil. Jantungku berpacu dengan cepat seiring dengan suara sirine mobil polisi yang semakin terdengar jelas di telingaku.

Denyutan di kepalaku juga sialnya tiba-tiba terasa, membuatku mengerang kesakitan. Suara klakson yang sangat keras membuatku menatap ke depan, ternyata aku mengambil jalur yang salah. Dan saat aku akan membanting setir ke kiri, pandanganku memburam. Bukan karena air mata yang sedari tadi tidak berhenti mengalir, tapi karena keadaanku yang benar-benar kacau. Pikiranku sudah tidak bisa terfokus pada apa pun. Dan aku membiarkan saja saat mobilku dengan mulusnya menabrak pohon besar di sisi jalan.

Aku hanya mengikuti arah benturan itu, terdorong ke depan dan dahiku terasa sangat sakit akibat terbentur setir.

Kubiarkan posisiku tetap seperti itu. Tenggelam dalam setir. Tangisku sudah berhenti karena keputusasaan. Tubuhku serasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Ketukan di kaca mobil pun tidak kuindahkan.

Selanjutnya aku bisa mendengar suara seperti benda pecah di sebelahku. Belum sempat kusadari, kepalaku yang sedari tadi terkulai lemas, disentuh oleh seseorang. Kepalaku sudah terangkat dari setir tapi pandanganku masih buram. Saat aku berusaha menahan nyeri di kepala dan juga dahiku, aku bisa melihat dengan jelas seorang laki-laki berseragam polisi sedang menatapku dengan raut terkejut. Aku tidak memikirkan hal itu dan mengenyahkan tangan polisi itu dari wajahku.

Dia terlihat masih membeku, sebelum aku menginterupsi kegiatannya yang sedari tadi mengamatiku seakan aku adalah buronan.

"Saya ada urusan penting," kataku singkat dan berusaha keluar dari mobil.

Tapi badanku malah sempoyongan dan sebuah tangan melingkar di bahuku. Aku menepis tangan itu dengan cepat lalu berusaha berjalan.

"Anda mau ke mana?"

Pertanyaan itu sanggup membuat langkahku terhenti. Aku membalikkan badanku dan menatap polisi muda itu dengan datar.

"Saya sedang ada urusan."

"Anda harus bertanggung jawab atas kelalaian Anda mengemudikan mobil di jalan raya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status