Share

BAB 5

AURAE

Suara itu tidak kuhiraukan. Tapi sebuah pelukan kuterima, aku sudah hafal pelukan ini. Siapa lagi kalau bukan Tiwi—sahabatku. Aku tidak malu jika harus menangis di depannya. Dia sudah seperti saudaraku.

"Jangan kebanyakan nangis, Re."

Tapi aku tetap menangis. Sejak kematian Mbak Dinna yang mendadak, aku seakan kehilangan penopang hidup. Setidaknya setelah kehilangan papa, kesedihanku bisa kucurahkan kepada kakakku. Tapi saat kakakku juga ikut pergi, aku sudah tidak punya siapa-siapa. Kepada Mama, jelas itu hanya membuatnya bertambah sedih.

"Lo terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini," ucap Tiwi sambil melepas pelukannya saat tangisku sudah reda.

Aku mengusap wajahku pelan. Aku tidak ingin Mama tahu bahwa aku selalu menangis sendirian. Biar hanya aku yang menanggung.

"Muka gue nggak sembap kan, Wi?" tanyaku gusar.

Tiwi tertawa pelan dan mencubit pipiku. "Lo tuh ya. Habis nangis pasti yang ditanyain muka. Belepotan tuh make up lo."

Mataku melebar. Cepat-cepat kuraih satu cermin di meja dan meneliti wajahku yang memang sudah belepotan. Aku menggeram pelan dan membersihkan wajahku dengan tisu. Suara tawa di sebelahku masih tidak kuhiraukan. Tiwi pasti mengira aku sudah kembali seperti biasa. Tapi nyatanya, aku juga berusaha menyembunyikan semua darinya.

"Udah sore, gue pulang dulu ya. Oh ya, di luar ada yang nunggu lo." Tiwi mengedipkan sebelah matanya padaku.

Tanganku yang sedang membersihkan wajah terhenti, mengenyit karena tidak mengerti dengan ucapan Tiwi. "Siapa?"

"Lihat aja."

Setelah mengucapkan itu, dia beranjak dan keluar ruanganku. Aku yang masih bingung memutuskan untuk memberesi barang-barangku sebelum melangkah ke pintu. Aku berjalan pelan melewati lorong, tapi langkahku terhenti saat aku merasa ada yang mengikutiku.

Aku berbalik dengan cepat, dan seketika kaget melihat laki-laki yang menjadi sumber kemarahanku sedari kemarin, sekarang kembali kutatap di depan mata. Dia mengulas senyum kecil. Tubuhnya yang masih terbalut seragam polisi membuatku mendengus.

"Lo kerja yang bener, bukan malah nguntitin gue. Jadi polisi kok malah kerjaannya berkeliaran di kantor gue."

Aku kembali melangkah, kali ini lebih cepat dan langsung masuk ke dalam lift. Sialnya, dia juga berhasil menahan pintu lift hingga dia tetap bisa berada di sampingku. Untung saja banyak orang, membuatnya tidak bisa berkata apa-apa. Tapi saat pintu lift kembali terbuka, suaranya kembali terdengar.

"Aku jemput kamu. Tadi Mama kamu—"

"Gue nggak peduli. Gue bisa pulang sendiri," ucapku sambil berjalan keluar lift, melewati lobby, mulai melangkah ke pelataran kantor.

"Aurae, kamu nggak bawa mobil. Ikut aku aja."

Aku berhenti tepat saat itu, kukepalkan tanganku kuat-kuat. "Gue bisa naik taksi," ujarku datar tanpa berbalik padanya.

"Tapi kamu—"

"Diam!"

Tepat saat itu, aku mendengar dia menggeram pelan. Tanpa kusadari, tanganku sudah melayang tepat ke ulu hatinya. Tiba-tiba saja aku sudah berhadapan dengannya, melihatnya yang sedang meringis sambil berusaha tersenyum padaku.

"Nggak apa-apa 'kan kalau naik mobil polisi lagi seperti tadi pagi?" tanyanya pelan.

Aku tahu dia menahan sakit.

Tapi mengingat tadi pagi ... aku kembali mendongak menatap laki-laki itu yang masih menunggu jawabanku. Aku mengingat jelas kerja sama yang batal karena keterlambatanku. Dan itu semua karena polisi ini.

Mama menyuruhku berangkat bersama laki-laki ini, dan dengan keterpaksaan, aku menururti Mama. Tapi kedatangannya sangat terlambat. Dan dia penyebab kenapa penanam saham terbesar membatalkan kontrak dengan perusahaanku.

Aku mengatur napasku yang mulai memburu. Tanpa memedulikannya lagi, aku berjalan cepat melewati pelataran dan berdiri di trotoar, menunggu kendaraan sepi agar bisa menyeberang jalan. Suara itu masih setia di belakangku, hingga membuat telingaku panas. Kulirik kanan kiri, melihat sedikit celah untuk menyeberang, aku memutuskan untuk melangkah ke tengah jalan karena tidak tahan dengan bujukan laki-laki di belakangku.

"Aurae, itu ada—"

Aku menulikan telingaku, memantapkan kakiku untuk terus berjalan tanpa menoleh kanan kiri. Tapi sekuat apa pun aku mencoba tidak mendengar suaranya, justru suara melengking lain tertangkap pendengaranku. Dan belum sempat kusadari, saat aku menoleh ke samping kananku, aku melihat sebuah motor berkecepatan tinggi meluncur ke arahku dalam jarak beberapa meter. Tidak menunggu lama, tubuhku yang memang hanya membeku sedari tadi tiba-tiba tertarik begitu kuat ke belakang. Aku memejamkan mata saat merasakan sebuah tangan memeluk pinggangku begitu erat, kemudian teriakan orang-orang yang mungkin melihat kejadian tadi. Disusul dengan geraman mengerikan dari orang yang tadi menolongku.

"Aku bilang juga apa?!"

Aku tersentak mendengar teriakan itu. Kubuka mataku perlahan dan menyadari bahwa aku sudah sampai di trotoar dengan posisi duduk, bersandar pada laki-laki berseragam polisi yang sedari tadi tidak kuhiraukan.

"Kamu nggak usah egois, Aurae! Kalau tadi kamu kenapa-kenapa, gimana? Makanya dengarkan kalau orang ngomong. Aku udah bicara baik-baik sama kamu malah kamu dengan angkuhnya tidak memedulikanku!!!"

Aku kembali berjengit, menatap matanya yang biasanya tersenyum kini terlihat sangat tajam dan menakutkan. Bahkan tangannya yang masih memeluk pinggangku, menahan agar aku tidak jatuh ke belakang, terasa mengerat.

Aku menunduk dalam-dalam. Perih tiba-tiba terasa di lututku. Aku menatap kakiku yang hanya mengenakan rok di atas lutut. Terlihat jelas luka di lututku akibat serempetan tadi dan sakitnya baru terasa sekarang.

"Kamu dengar aku, Aurae?! Hargai orang berbicara! Jangan merasa benar sendiri!"

Aku memejamkan mata dengan tubuh yang mulai bergetar pelan. Aku tidak suka dibentak. Seumur-umur, orang tuaku tidak pernah membentakku. Mereka selalu menasihatiku dengan lembut.

Dan mendengar bentakannya yang menakutkan membuatku tambah membencinya.

Kuangkat kepalaku dengan mataku yang mulai terasa panas. Menatap matanya, membalas tatapan tajamnya. Kudesiskan perasaanku padanya, rasa benciku padanya.

"Gue sangat membenci lo!"

***

"Aurae udah pulang?"

Aku tersenyum lemah dan memeluk Mama sesampainya di ruang tamu. Hampir setiap hari Mama selalu menungguku pulang di ruang tamu. Dan aku akan selalu memeluknya setiap hari.

"Kamu nggak apa-apa, Sayang?"

Aku menggeleng mendengar pertanyaan Mama. Kueratkan pelukanku, masih merasa takut dengan bentakan tadi. Tidak pernah sekalipun aku mendengar ada orang berbicara padaku dengan nada yang begitu tinggi dan tatapan yang begitu menakutkan seperti apa yang laki-laki tadi lakukan padaku.

"Kamu pulang sama Gibran, kan?"

Aku hanya mengangguk. Aku memang tetap pulang dengan laki-laki itu, karena tidak ingin Mama berprasangka aneh-aneh. Tentu saja di dalam mobil, aku tetap diam. Kekesalan, kekecewaan dan ketakutanku masih menumpuk.

"Kenapa nggak disuruh masuk rumah?"

Aku menggeleng, membuat Mama terkekeh.

"Dari tadi kamu cuma ngangguk sama geleng aja, Re. Kecapekan ya?"

Aku tersenyum dan melepas pelukanku, menatap wajah Mama yang masih selembut dulu, walau ada beberapa kerut tanda usianya semakin bertambah.

"Kamu udah lumayan dekat ya dengan Gibran? Syukurlah kalau begitu. Dia kan calon suami kamu, Re."

Aku mengerjap beberapa kali, menajamkan ingatanku tentang urutan kata yang baru saja Mama ucapkan.

Calon ... suami?

Maksudnya?

Aku kembali dilanda kecemasan saat melihat Mama tersenyum. Aku takut tidak bisa menolak permintaan Mama dan malah harus mengorbankan hatiku. Mana yang harus kupilih? Aku tidak mau kembali jatuh seperti dulu. Aku sudah nyaman dengan hidup yang seperti ini. Hanya dengan Mama. Tanpa ada laki-laki, tanpa statusku yang berubah menjadi 'menikah'. Aku tidak mau.

"Kamu belum tahu, Re? Dulu Gibran itu udah memintamu sama Papa dan Mama, untuk menikahi kamu."

Penjelasan itu semakin menohokku. Jadi ... apa ini artinya aku dijadikan bahan lempar sana sini?

Diminta?

"Aku nggak mau, Ma," geramku. Mengingat ucapan Mama tadi jelas menunjukkan bahwa laki-laki itu memanfaatkanku, memanfaatkan hartaku.

"Kenapa, Re?" Mama terlihat khawatir dengan jawabanku.

Aku tersenyum sinis. Mengingat kendaraan yang selama ini dia pakai untuk mengantar jemputku. Kentara sekali dia tidak punya kendaraan apa-apa.

"Dia miskin, Ma," ucapku mantap.

Mama menatapku terkejut, tapi aku tidak peduli.

"Dan dia juga orang nggak jelas asal-usulnya. Siapa orang tuanya, Ma? Nggak punya, kan? Jangan-jangan dia anak yang dibuang. Orang tuanya aja nggak bener, apalagi anaknya. Mama kok bisa punya pikiran aku akan aman di tangan laki-laki yang tiba-tiba datang ke keluarga kita?"

"Aurae...."

Sekarang giliran aku yang tertegun. Belum pernah aku mendengar Mama memanggilku sesedih itu. Bahkan aku bisa melihat air mata sudah menggenang di pelupuk mata Mama. Tapi aku masih diam, tidak tahu harus apa. Aku tidak tahu apa kesalahanku.

"Kenapa sifatmu seperti ini, Re? Siapa yang mengajari?"

Aku menelan salivaku dengan susah payah. Hatiku ikut tersayat melihat air mata Mama kini sudah mulai mengalir. Aku ingin memeluk Mama lagi, tapi ucapan Mama selanjutnya memancing satu tetes air mataku luruh.

"Mama kecewa dengan sifat kamu. Mama merasa gagal mendidik kamu."

Mama kecewa....

Itu adalah hal yang paling tidak kuinginkan.

Apalagi Mama merasa gagal mendidikku. Ya Tuhan, maafkan aku.

Tubuhku kembali luruh, duduk di lantai dengan tatapan nanar. Sekarang, apa lagi yang bisa kulakukan? Semua sudah hancur. Citaku-citaku membahagiakan Mama terasa hancur saat Mama mengucapkan 'gagal mendidikku'.

Apa aku seburuk itu?

Dalam tatapanku yang tidak terfokus apa pun, aku mendengar seseorang memanggilku.

"Aurae...."

Dengan gerakan kaku, kepalaku mendongak dan melihat dia lagi.

Laki-laki yang baru saja kucemooh, tapi tetap bisa mengulas senyum untukku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status