Share

BAB 6

GIBRAN

"Aurae..."

Aku memanggilnya, bukan berniat untuk sok pahlawan karena hadir di saat dia begitu terpuruk. Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentaknya. Aku terlalu khawatir hingga tidak sadar berteriak bergitu keras di hadapannya.

Tapi sekarang, melihat matanya yang menitikkan air mata, rasa bersalahku benar-benar menguar. Aku menghela napas panjang saat melihatnya mendongak padaku. Perlahan aku menurunkan badanku, berjongkok di depannya dan meraih tangannya dengan pelan.

Dia tidak menolak, mungkin terlalu shock dengan apa yang mamanya katakan tadi. Aku pun sampai sekarang tidak percaya bahwa Aurae bisa mengatakan hal itu. Dia mengejekku, merendahkanku dan juga keluargaku. Walau mendengarnya membuatku sakit hati, tapi aku mencoba untuk menutupi semuanya dengan keyakinan bahwa Aurae hanya emosi sesaat.

Dia gadis yang baik. Aku yakin itu.

Aku mencoba tersenyum padanya yang masih terlihat kurang fokus. Kubantu dia berdiri perlahan dan membimbingnya untuk duduk di sofa ruang tamu. Kutatap sekeliling dan mendesah lega. Tante Elda memang sudah meninggalkan ruang tamu setelah mengucapkan kalimat yang sanggup membuat Aurae begitu terpuruk seperti sekarang.

Aku berjongkok di depannya yang duduk di sofa. Sedikit mendongak, kutatap wajahnya yang pucat. Tanganku kembali terulur untuk menghapus jejak air mata di pipinya. Tapi hal itu justru membuatnya semakin terisak.

"Kenapa?" tanyaku khawatir saat tubuhnya mulai bergetar. Wajahnya dia tutup dengan kedua tangannya.

Mendengar isakannya membuatku ikut merasakan sakit hatinya. Aku tahu seberapa sakit membuat orang kecewa terhadap kita. Karena aku sering melakukannya, setidaknya dulu. Sebelum aku tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini.

"Kenapa lo harus datang ke keluarga gue?"

Ucapan lirih di tengah isakan itu membuatku tertegun. Aku melihat Aurae menatapku tajam dengan matanya yang basah. "KENAPA?" dia berteriak dan semakin histeris.

Aku meraih kedua tangannya dan meremasnya pelan, mencoba menenangkannya karena aku tahu dia selalu menatapku dengan satu jenis pandangan: benci. Dan aku mencoba mencairkan sedikit hatinya yang sedingin es.

"Gue jelas-jelas nggak mau dijodohkan dengan siapa pun. Gue benci dengan kebanyakan laki-laki. Gue hanya ingin bersama Mama sampai kapan pun. Tapi lo datang dan merusak semuanya. Memangnya lo siapa sampai bisa membujuk Mama supaya membolehkan lo menikahi gue?!"

Jadi Tante Elda sudah memberitahu Aurae?

Aku tetap diam mendengar ucapannya yang penuh luapan emosi. Menunggunya sedikit tenang. Tangisnya masih terdengar, tapi tatapan kebenciannya sama sekali tidak pernah lepas dariku. Seakan dia ingin menunjukkan dengan seluruh tekadnya, bahwa dia tidak ingin melihatku.

Aku berdehem setelah dia tidak mengatakan apa-apa lagi. "Aku ... minta maaf. Aku nggak akan memaksamu untuk menikah denganku. Aku akan bicara sama Tante Elda," kataku menenangkannya.

Biarlah, kebahagiaannya lebih penting daripada kebahagiaanku. Aku tidak ingin memaksanya, aku tidak ingin membuatnya terbebani dengan pernikahan kami nantinya. Setelah itu, aku akan kembali dengan pekerjaan dan kesendirianku. Sebenarnya sumber semangatku hingga bisa bertahan sampai saat ini, sendirian, adalah gadis yang kini di depanku, menangis karenaku, dan sangat membenciku.

Aku merasakan tanganku tiba-tiba kosong, Aurae menarik tangannya dari genggamanku. Dia kembali menutupi wajahnya dan menggumamkan kata 'Mama' berkali-kali dengan suara yang sangat serak. Aku tahu dia sangat menyayangi Tante Elda. Tidak ada lagi keluarganya yang tersisa, hanya mamanya. Dan niatku sebenarnya ... ingin melindunginya, melindungi keluarganya yang mungkin belum mengerti bahwa kejahatan masih mengintai mereka.

Hanya aku yang tahu, walau aku belum bisa menjamin mereka akan selamat di tanganku, tapi aku berusaha, setidaknya aku bisa melindungi Aurae dari dekat. Mengantisipasi bahaya yang suatu hari nanti pasti akan terjadi.

"Nggak akan bisa," lirih Aurae lagi. Dia masih menutup wajahnya. "Di samping itu semua ... gue nggak mau mengecewakan Mama."

Aku kembali menghapus air matanya, memaksanya menatapku. Walaupun aku yakin, bukan aku yang dia butuhkan saat ini. Bahkan harusnya aku tahu diri untuk tidak menemuinya lagi.

"Kalau begitu aku akan pergi. Menghilang dari keluarga kamu. Menghindari kamu, mama kamu, dan semua kerabat kamu," kataku tenang.

Padahal dalam hati aku mengerang frustrasi karena ucapanku tadi. Bagaimana mungkin aku setenang itu, seakan tanpa beban mengatakan aku akan menghilang darinya?

Sedangkan setengah duniaku sudah terpaut padanya, semenjak dulu.

"Lo mau mengecewakan Mama dan almarhum Papa? Bukannya kalian sudah berjanji untuk memindahalihkan gue ke tangan lo? Dan gue tahu dalangnya siapa di sini," katanya sinis, menatapku dengan seringai mengejek.

Ya Tuhan, apa maksudnya?

Aku dan kedua orang tuanya memang pernah membuat sebuah janji dan kesepakatan. Tapi itu tidak terlalu mendesak-artinya tidak harus dipenuhi. Dan dulu aku memang pernah mengatakan pada kedua orang tuanya, bahwa aku menyayangi anak gadis bungsu mereka. Tapi reaksi mereka di luar dugaanku. Mereka tertawa, tidak percaya dengan perasaanku yang mereka anggap angin lalu yang berembus di tengah tumbuhnya aku sebagai seorang remaja.

"Lo harusnya sadar, sampai kapan pun gue nggak akan pernah menerima apalagi mencintai lo, bahkan seujung kuku," geramnya, telak. Tepat mengenai perasaanku yang kini sedikit tersinggung dengan ucapannya.

Tapi perasaan tersinggung itu lama kelamaan melebur, tergantikan dengan sesuatu yang lebih pekat. Bahkan aku merasa asupan oksigen di sekitarku berkurang. Aku berusaha menenangkan degup jantungku yang meliar. Aku mendongak untuk kembali menatap matanya.

Egoku yang sedikit terusik memaksaku untuk membuatnya tahu, tentang semuanya. Bahwa yang dia tuduhkan padaku adalah suatu kesalahan besar.

"Aku nggak semiskin yang kamu bilang, asal kamu tau," kataku pelan, menatap matanya.

Walau aku sebenarnya ingin mendesis di depan wajahnya, tapi aku tidak bisa. Aku tidak mau membuatnya kembali ketakutan. Aurae dibesarkan dengan kasih sayang penuh dan sifatnya sangat manja. Membentak hanya membuatnya bertambah takut dan menghindar.

"Pekerjaanku memang tidak bisa dibandingkan denganmu. Tapi aku punya cukup uang untuk menghidupi kamu dan anak-anak kita nantinya."

"Siapa yang bilang mau punya anak sama lo?" selanya sinis. Aku mengabaikan kalimat menohok yang selalu tepat sasaran.

Aku memejamkan mata sejenak, meredam rasa kesal dan segala yang bertumpuk di dalam sana. Kucoba singkirkan rasa kesal itu pelan-pelan agar Aurae bisa mengerti dan menerima semua ucapanku.

"Aku belum membeli rumah karena kerjaku berpindah-pindah. Tapi beberapa bulan lagi aku ditetapkan di sini. Setelah itu, aku akan membeli rumah. Juga mobil, kalau kamu minta. Yang kedua...." aku menghela napas panjang sebelum menjelaskan tentang keluargaku.

Aku tahu tadi yang kuucapkan adalah suatu kesombongan. Tapi aku hanya ingin membuat Aurae tahu cara menghargai seseorang, tidak hanya menilai apa yang terlihat.

"Aku bukan anak haram atau anak yang dibuang seperti tuduhanmu tadi. Aku cuma korban broken home," lanjutku dengan nada yang sedikit bergetar.

Setiap mengingat keluargaku, akan memancing satu kesedihan dan juga kekecewaan yang terasa mencekam. Kisah keluargaku terlalu sulit untuk kujabarkan dengan kata-kata.

"Kalau kita nggak bisa menolak permintaan Mama kamu dan kita akhirnya menikah, aku janji nggak akan menyentuhmu lebih, kalau kamu nggak mau. Aku nggak akan memaksamu. Aku akan menunggu semua mimpimu tercapai, aku tidak ingin menjadi batu sandungan dalam usahamu meraih cita-cita. Anggap saja aku nggak ada kalau perlu. Yang terpenting kamu nyaman. Yang terpenting aku bisa melindungi kamu." Aku melihatnya terkejut dengan ucapanku. Tapi aku hanya tersenyum dan melanjutkan, "Aku tahu kamu belum mencintaiku. Aku sadar, maka dari itu izinkan aku untuk selalu berusaha sampai kamu bisa menerimaku. Aku hanya perlu kamu membiarkanku berusaha."

Aku melihatnya kembali tercekat, tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Air matanya berhenti tepat saat itu dan bibirnya bergerak pelan seakan ingin mengungkapkan sesuatu. Tapi selanjutnya, dia kembali diam dan menatapku dengan tatapan yang biasanya.

"Karena aku...." Suaraku terasa terhambat di tenggorokan. Ini adalah pertama kalinya aku akan mengungkapkan perasaanku kepada seorang perempuan. Sedari dulu tidak pernah. Dan entah kenapa memang sangat gugup. "Aku ... mencintaimu," lirihku.

Tiba-tiba aku mendengar tawa sinis darinya, membuatku menatapnya bingung.

"Laki-laki memang terlalu mudah mengatakan kata bullshit itu. Nggak ada cinta yang tulus antara lawan jenis, hanya pemanfaatan. Sebaiknya lo teliti dulu hati lo, kita baru bertemu beberapa kali dan lo bilang cinta sama gue?" dia kembali tertawa. "Sekarang gue semakin yakin, nggak ada laki-laki yang bukan banci. Secepat itu mengatakan omong kosong. Apalagi lo, nikahin gue cuma dengan modal cinta? Lo kira gue mau?"

Lagi, dia sanggup menyulut emosiku. Kenapa Aurae keras kepala sekali. Dia selalu memukul rata apa yang dia lihat. Tidak bisa mengamati sesuatu dari sisi lain.

"Aku menikahimu bukan hanya karena cinta, Aurae," desisku sambil menatapnya dalam.

Dia pasti mengira bahwa kami hanya bertemu beberapa kali. Nyatanya, aku sudah sering bertemu dengannya. Berpuluh kali, bahkan lebih. Tak terhitung. Hanya dia yang tidak pernah menyadari kehadiranku.

Tapi untuk sekarang, dengan caranya yang masih sama dalam menatapku, aku memang harus menyembunyikannya terlebih dulu.

Bukan hanya karena cinta, tapi lebih dari itu. Tanggung jawab. Aku bertanggung jawab penuh atas keluargamu, karena apa yang keluargaku lakukan padamu di masa lalu dan mungkin ... suatu saat nanti pun masih akan mengintaimu. Dia berbahaya, Aurae. Dan aku hanya ingin menjagamu, itu saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status