Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari arah pintu. “Ziva…?”Ziva hampir menjatuhkan buku itu dari tangannya. Ia menoleh kaget, dan matanya membelalak—ibunya sendiri sudah berdiri di ambang pintu ruang tamu. Ibu Ziva.“Ma…?” Ziva tercekat. Ia buru-buru menutup buku itu, panik. Tanpa berpikir panjang, ia menyelipkan buku hijau tua itu ke dalam tasnya, berusaha agar tidak terlihat mencurigakan.Ibu Ziva masuk sambil tersenyum lembut. “Kamu kok sendirian? Mama Indri lagi masak ya? Tadi Mama langsung disuruh masuk sama satpam, katanya kamu ada di sini.”Ziva tersenyum canggung, mencoba menutupi kepanikannya. “Iya, Ma… Mama Indri lagi di dapur. Aku tadi lagi lihat-lihat ruang tamu aja.”“Oh…” ibunya mengangguk sambil menepuk bahu Ziva, lalu duduk di sampingnya. “Kebetulan Mama juga kangen sama Mama Indri. Sekalian nyusul kamu ke sini.”Ziva mengangguk, tapi hatinya masih berdegup kencang. Tasnya ia rapatkan ke sisi tubuhnya, seolah menyembunyikan sesuatu yang tak boleh diketahui siapapun.D
Hari Minggu mestinya jadi hari paling santai. Ziva bahkan sudah merencanakan banyak hal: sarapan bersama, belanja ke supermarket, lalu pulang dan nonton film sambil rebahan di sofa.Namun pagi itu, rencana hancur begitu saja.Reza berdiri di depan lemari, memilih kemeja dan jas rapi. Wajahnya tampak dingin, meski ia berusaha tersenyum.“Aku ada urusan, jangan tunggu aku makan siang.”Ziva yang masih memegang cangkir kopi terdiam sejenak. “Hari Minggu juga ada urusan? Urusan apa sih?” tanyanya, mencoba terdengar santai.“Ada yang mendesak. Bisnis.” jawab Reza singkat. Ia tidak menatap Ziva terlalu lama, seperti sengaja menghindari.Ziva mengangguk pelan, lalu pura-pura tersenyum. “Yaudah, hati-hati. Jangan kerja terus, nanti aku saingi bisnis kamu pake toko kue deh,” candanya, meski hatinya terasa berat.Reza hanya menghela napas kecil, lalu pergi begitu saja.Padahal, kenyataannya bukan urusan bisnis. Begitu keluar dari apartemen, Reza langsung menyalakan ponselnya. Ada belasan pesan
Ziva menggeleng cepat. “Bukan begitu. Memang benar aku ke pameran, Dio kebetulan ada di sana. Dia… ya, dia ikut nemenin karena—”Reza mengangkat tangan, menghentikan penjelasan itu. “Karena aku nggak bisa nemenin kamu?”Ziva terdiam. Hatinya mencelos.Reza tertawa pendek, getir. “Jadi setiap kali aku sibuk, orang lain yang ngisi posisi aku? Itu maksudmu?”“Reza, jangan gitu…” Ziva mendekat, suaranya lirih. “Aku nggak pernah mikirin Dio seperti itu. Aku cuma… aku cuma mau lihat pameran, dan aku pikir nggak ada salahnya kalau ditemenin—”“—oleh laki-laki lain,” potong Reza cepat. Tatapannya menusuk. “Kamu sadar nggak, Ziva? Foto ini bisa ditafsir macem-macem. Kalau orang luar lihat, mereka bakal pikir kamu selingkuh. Istriku selingkuh.”Kata-kata itu membuat wajah Ziva memanas. Ia menggigit bibir, menahan rasa sakit sekaligus malu.Ketegangan makin memuncak.Tiba-tiba… Tring! Tring!Suara dering ponsel memecah atmosfer. Reza spontan melirik layar. Dalam sepersekian detik, wajahnya beru
Setelah lebih dari satu jam berkeliling, Ziva menyadari sesuatu—waktu terasa lebih cepat saat ia ditemani. Ia tertawa lebih sering, dan sesekali melupakan kekecewaan terhadap Reza. Namun, begitu langkahnya melambat di depan lukisan terakhir, rasa itu kembali menyelinap.Seharusnya di momen ini, suaminya yang berdiri di sampingnya. Bukan Dio.Dio seakan bisa membaca pikirannya. “Ziv,” panggilnya pelan.“Hm?”“Kamu nggak apa-apa? Dari tadi aku lihat kamu ketawa, tapi… matamu kadang keliatan sendu.”Ziva tersenyum tipis, lalu menggeleng. “Aku baik-baik aja. Cuma… mungkin agak capek.”Dio mengangguk, tak ingin memaksa. “Kalau gitu, mau aku antar ke rumah sakit nanti?”“Tidak usah, Dio. Aku bisa kesana sendiri.” Ziva buru-buru menolak. Ia tahu kalau menerima tawaran itu, hatinya bisa semakin bimbang.Dio menatapnya sejenak, lalu hanya tersenyum. “Baiklah. Tapi aku tetep jalan bareng sampai keluar gedung, oke?”Ziva akhirnya mengangguk. Meski ia menolak, ia tidak bisa menyangkal bahwa kehad
Ziva hanya bisa menghela napas panjang. Sejujurnya ia ingin protes lebih keras, tapi percuma saja kalau Reza sudah beralasan.Akhirnya, dengan sedikit kesal, ia memutuskan tetap pergi sendiri.Di PameranGedung pameran itu ramai oleh pengunjung. Lampu-lampu temaram berpadu dengan sorotan spotlight yang menyoroti benda-benda pameran, mulai dari karya seni, desain modern, sampai teknologi terbaru.Ziva berjalan sendirian, tangannya menggenggam tas kecil. Wajahnya tetap antusias, meski di dalam hati ia merasa sedikit sepi.“Kalau aja Reza ikut, pasti lebih seru,” gumamnya lirih.Ketika ia sedang sibuk memperhatikan salah satu lukisan abstrak, sebuah suara familiar terdengar di sampingnya.“Ziva?”Suara itu membuatnya menoleh cepat. Dan benar saja, Dio berdiri di belakangnya dengan ekspresi kaget bercampur senang. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengan, rambutnya agak berantakan tapi tetap terlihat rapi.“Dio?” Ziva ikut terkejut. “Kamu juga ke sini?”Dio mengangguk san
Pertanyaan itu membuat Reza sedikit tegang. Namun ia cepat menutupi dengan tawa kecil. “Aku… hmm, keluar sebentar. Ada urusan kerjaan. Meeting mendadak, gitu.”“Meeting mendadak tengah malam?” Ziva menaikkan satu alisnya.Reza menggaruk tengkuk, pura-pura santai. “Ya, kan kerjaanku fleksibel. Kadang klien maunya ketemu jam berapa aja. Lagi pula aku nggak mau ganggu kamu tidur, jadi aku nggak bilang.”Ziva menatap tajam, mencoba membaca ekspresi Reza. Tapi pria itu cukup lihai menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya.“Hm. Baiklah.” Ziva akhirnya berdiri, berjalan ke dapur, tapi dengan nada menggoda ia menambahkan, “Kalau ternyata kamu diam-diam kerja jadi supir ojol tengah malam, bilang aja, biar aku pesen lewat aplikasinya.”Reza nyaris tersedak air minum yang baru saja dituangnya. “Hei! Aku ini tampan banget untuk jadi ojol, Ziv.”Ziva mengangguk serius. “Iya sih, nanti customer bisa salah fokus, lupa bayar.”Mereka berdua saling melempar tatapan sekilas, dan suasana canggung s