LOGIN
“Apa! Dijodohkan?”
Ziva membalikkan badan dengan cepat, masih mengenakan jas dokter putih yang sedikit kusut. Wajahnya yang kelelahan usai berjibaku belasan jam di rumah sakit, kini berubah tegang dan syok. Matanya menatap wanita paruh baya yang duduk santai di meja makan—Lia, Mamanya. Wanita yang selalu tampil elegan dalam balutan blus krem dan celana kain, kini memandang Ziva dengan tatapan lembut namun menyimpan kekuatan yang tak bisa ditawar. “Mama…” "Mama nggak bercanda kan barusan?” Lia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil tersenyum tipis. “Kamu sudah 25 tahun, Ziv. Kerja siang malam, pulang ke rumah cuma buat tidur. Apa kamu pikir Mama tidak khawatir?” Ziva melempar jasnya ke sofa, napasnya berat. “Aku dokter bedah saraf, Mah. Aku punya tanggung jawab yang besar. Hidupku bukan cuma soal pasangan.” “Ziva, kamu pikir Mama main-main? Semua sepupu kamu sudah menikah!" seru Mama, wajahnya memerah karena emosi, sementara tangannya sibuk menatap layar ponsel yang pastinya balasan chat dari teman teman arisan mama. “Dan justru karena itu kamu butuh seseorang di sampingmu,” jawab Lia pelan, namun dengan nada yang tegas. “Seseorang yang bisa kamu ajak pulang dan tempat ternyaman. Kamu terlalu mandiri, Ziv. Terlalu keras.” “Mama, aku capek. Tolong, jangan bahas ini sekarang,” ucap Ziva, berusaha tetap tenang, meskipun suaranya mulai bergetar karena lelah dan frustasi. “Tidak bisa! Justru sekarang saatnya! Besok malam kita dinner dengan keluarga Reza. Dan kamu harus hadir. Titik!” Suara Lia naik satu oktaf. Ziva memejamkan mata. “Mama bahkan belum tanya aku setuju atau tidak...” “Siapa namanya?” “Reza. Reza Firnander.” Ziva terdiam sejenak. Nama itu terasa tidak asing asing. “Dan dia... tahu tentang ini?” Lia menghela napas sebelum menjawab, “Belum. Keluarganya yang mengatur semua. Mereka bilang... akan menyampaikan ke Reza nanti malam saat makan malam keluarga.” Ziva memutar tubuhnya cepat. “Jadi dia bahkan tidak tahu aku siapa? Dan aku juga tidak tahu dia siapa? Ini bahkan lebih buruk dari blind date!” “Ziv... Dia bukan sembarang orang. Reza itu CEO perusahaan teknologi besar, dia juga lulusan Jerman, pekerja keras. Keluarganya orang baik. Mereka bilang dia belum mendapatkan calon.” “Lalu kenapa harus aku?” Nada suara Ziva nyaris bergetar. “Kenapa aku yang harus jadi bagian dari hidupnya? Kenapa bukan wanita lain yang juga nggak punya hidup?” Lia bangkit dari kursi, mendekat dan meraih bahu putrinya. “Karena kamu satu dari sedikit wanita yang bisa berdiri sejajar dengannya.” Ziva menepis pelan tangan ibunya. “Atau karena kalian menganggap ini seperti merger perusahaan. Perjanjian antar dua keluarga. Aku bukan proyek yang bisa dikompromikan, Mah.” Lia menunduk, kali ini wajahnya sedikit muram. “Ziv... Mama tahu kamu masih menyimpan luka. Tapi tidak semua pria akan menyakitimu seperti ayahmu dulu.” Ziva terdiam. Kata ‘ayah’ selalu berhasil membuat dadanya sesak. Ia menelan air liur. “Aku tidak bisa... bukan sekarang.” Ziva berjalan menuju tangga, lebih baik tidur daripada harus memikirkan hal yang membuatnya ruwet . “Ziva! Kalau kamu tidak datang, Mama yang akan datang ke rumah sakit dan bikin malu kamu di depan pasien-pasien kamu!” Ziva berhenti di tangga. Menoleh. “Mama keterlaluan.” “Mama hanya ingin kamu bahagia.” 🌸🌸🌸🌸🌸 Sore itu, Ziva berdiri di depan cermin seperti tentara yang akan masuk medan perang. Bulu matanya sudah lentik sempurna, alis diukir simetris, dan bibir merah nude dengan garis bibir rapi. Tapi jantungnya berdetak kayak pasien yang ketinggalan dosis beta blocker. “Ngapain juga aku dandan setengah mati buat Dinner yang nggak aku undang?” gerutunya, sambil menarik napas panjang. Tapi suara Lia dari lantai bawah memanggil dengan nada penuh ancaman manis. “Zivaaa! Keluarga Reza udah dateng, sayang. Cepet turun sebelum Mama live TikTok-in kamu!” Ziva meringis. Ancaman paling ampuh. Ia turun dengan langkah lambat penuh beban moral. Ruang tamu sudah disulap seperti showroom majalah interior. Taplak meja baru. Vas bunga palsu dari Jepang. Kue-kue mahal di piring kristal yang biasanya Cuma dipakai kalau Lia ribut sama tetangga. Di sana duduk sepasang suami istri paruh baya, yang wajahnya hangat dan sopan. Sang ibu mengenakan setelan simple warna mocca, dan ayahnya mengenakan batik. Mereka tampak... baik. Terlalu baik. “Ini Ziva, anak saya. Dia dokter. Sibuk banget. Tapi hari ini bisa cuti, demi Reza.” Lia memperkenalkan dengan suara super palsu yang bikin Ziva pengen masuk kulkas. Ziva tersenyum tipis. “Selamat datang, Tante, Om. Maaf telat turun. Saya tadi… menyiram hati yang belum siap dijodohkan.” Tersenyum canggung di balas senyuman manis indri Ia duduk dengan anggun, mengaduk teh sambil tersenyum palsu. “Reza-nya mana ya, Tante? Biar saya scanning dulu dengan mata batin.” Tante Indri tersipu. “Lagi parkir mobil. Tadi sempat nyasar ke kompleks sebelah. Maklum, anaknya agak… pelupa.” Ziva tertawa kecil. “Pelupa? Wah cocok. Saya suka pria yang nggak ingat mantan.” Lima belas menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Ziva melirik jam tangannya yang harganya cukup buat DP rumah "Ma, aku mulai curiga ini bukan jodoh. Ini prank.” Di momen itu... Dari balik pintu, terdengar suara: "Permisi” Ziva menoleh. Dan dia nyaris menjatuhkan cangkir tehnya. Bukan karena cowok itu jelek.“Minum dulu, biar tenang,” katanya sambil meletakkan gelas di meja.Ziva menerima gelas itu dan meneguk pelan. “Terima kasih,” ucapnya, suaranya masih pelan tapi lebih tenang daripada tadi.Reza duduk di sampingnya, menatap wajah Ziva yang terlihat lelah namun mulai pulih.“Besok kamu ada rencana apa?” tanyanya pelan sambil membuka roti isi miliknya.Ziva berpikir sebentar. “Hmm… awalnya aku mau ke butik bayi, cari perlengkapan tambahan. Tapi kayaknya istirahat di rumah aja dulu deh. Hari ini udah cukup drama.”Nada suaranya diselipi senyum tipis, meskipun matanya masih menyimpan sisa takut.Reza mengangguk. “Setuju. Aku juga udah bilang ke orang rumah buat gak ganggu kamu dulu. Kalau kamu mau belanja, aku yang handle. Tapi kalau kamu bosan di rumah, besok sore aku ajak kamu jalan-jalan, gimana?”Ziva menatap Reza, alisnya terangkat. “Jalan-jalan kemana?”“Ke tempat yang gak ada orang nyerang kamu pakai pisau,” jawab Reza dengan nada datar tapi mata berkilat geli.Ziva mendengus pelan
Pisau itu mengenai meja — suara cling! tajam terdengar saat ujungnya menghantam permukaan kaca.Keduanya terengah-engah. Ziva memanfaatkan momen itu untuk menepis tangan Clara, membuat pisau itu terlepas dan jatuh ke lantai.Clara masih mencoba meraih, tapi suara pintu terbuka keras menghentikan segalanya.“Bu Ziva!” suara seorang petugas keamanan memecah kepanikan.Clara terpaku. Napasnya kacau. Ia melihat ke arah Ziva — wajah yang masih terengah, keringat menetes di pelipis.Beberapa orang langsung berlari masuk. Dua di antaranya berusaha menarik tubuh Clara dari belakang, sementara pegawai lain memegangi Ziva yang mulai kehilangan keseimbangan.“Lepas! Lepasin gue!!” Clara berteriak, masih berusaha mendekat.Pisau di tangannya bergoyang, hampir terlepas, sampai seorang pegawai laki-laki berhasil merebutnya“Lepasin aku!” Clara menjerit keras, matanya liar. “Dia harus bayar! Semua orang harus tahu siapa dia sebenarnya!!”Pisau nyaris jatuh, tapi Clara masih berusaha menarik diri.Zi
“Eh, Mbak, tolong ambilin top coat di meja belakang ya,” pinta pegawai utama yang menjadi atasan langsungnya.Clara langsung mengangguk cepat. “Iya, sebentar.”Ia melangkah ke belakang ruangan, tapi langkahnya terasa berat.Begitu sampai di sudut ruangan, napasnya mulai memburu.Tangannya mengepal kuat.“Ziva…” gumamnya pelan. “Bahkan di tempat baru pun, kamu masih ada di depanku. Tapi kali ini, aku gak akan diam aja.”Ia menatap bayangan wajahnya di cermin kecil di dinding.Sorot matanya kini berbeda — dingin, tajam, dan menyimpan niat yang tidak bisa ditebak.Clara berdiri diam di meja kerja, menyiapkan alat-alat nail art yang berkilau di bawah cahaya lampu. Pisau kecil pembersih kutikula, gunting kuku, pinset, jarum halus untuk desain detail—semuanya tertata rapi di nampan logam perak.Namun di matanya, alat-alat itu seperti senjata.Ia mengusap permukaannya dengan kain basah, gerakannya pelan, presisi, dan… sedikit terlalu lama.Senyumnya tipis—terlalu tipis untuk disebut ramah.Z
Begitu melangkah masuk ke Luna’s Nail & Spa, Ziva langsung disambut oleh aroma bunga mawar dan melati yang menenangkan.Tempat itu tampak mewah lantainya mengilap, dindingnya penuh cermin besar, dan di setiap sudutnya tercium wangi lembut lilin aromaterapi.“Selamat datang, Ibu Ziva,” sapa resepsionis dengan ramah sambil membungkuk kecil.“Ibu mau perawatan kuku seperti biasa?”Ziva tersenyum anggun, satu tangan menepuk tasnya pelan.“Hari ini aku pengen yang beda. Aku lagi hamil, jadi harus tampil lebih… berkarisma gitu.”Resepsionis menahan tawa kecil, lalu mengangguk sopan.“Tentu, Bu. Silakan ke ruang VIP. Nanti tim desain kami bantu pilihkan motif terbaik.”Ziva berjalan melewati deretan kursi pelanggan lain, langkahnya ringan, sepatu flat-nya berkilau setiap kali terkena cahaya lampu gantung kristal.Beberapa orang sempat melirik bukan karena sombong, tapi karena pesona Ziva memang menonjol tanpa usaha.Begitu duduk di kursi empuk warna pastel, seorang desainer kuku datang mem
“Bayi dan ibunya meninggal secara misterius setelah proses persalinan di salah satu klinik swasta.”Musik dramatis video itu terdengar sayup, disertai foto hitam putih seorang ibu muda dengan senyum lembut, bersama bayi mungil yang baru lahir.Keterangan video menyebutkan bahwa penyebab pasti belum diketahui — entah karena kelalaian, atau gangguan medis yang belum terdeteksi.Ziva menatap layar lama, matanya pelan-pelan redup.“Ya Tuhan… segampang itu nyawa hilang,” gumamnya lirih, nada suaranya berubah lembut dan sendu.Ia menggulir kolom komentar, membaca berbagai reaksi netizen sebagian marah, sebagian sedih, sebagian lainnya malah nyinyir tanpa empati.“Kadang orang lupa… yang dilihat cuma hasil, bukan perjuangan,” katanya pelan, lebih pada dirinya sendiri.Terapis yang tadi sibuk memijat berhenti sebentar, menatap wajah Ziva di cermin.“Ada apa, Bu?” tanyanya hati-hati.Ziva tersenyum lemah. “Ah, gak apa-apa. Cuma lihat berita gak enak. Tentang ibu yang kehilangan nyawa waktu la
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar apartemen mereka, memantul lembut di lantai marmer.Ziva sibuk menata rambutnya di depan cermin, sementara Reza berdiri di belakangnya sambil menggulung lengan kemejanya.“Rambut kamu tambah panjang ya,” kata Reza tiba-tiba, suaranya hangat.Ziva menatap pantulan mereka di cermin, tersenyum kecil. “Iya, makanya hari ini aku mau creambath. Udah kayak rumput kering nih.”Reza tersenyum, langkahnya pelan mendekat.“Tetep cantik, kok. Ziva mendengus manja, pura-pura sibuk mengambil tasnya.“Udah, aku berangkat sendiri aja ya. Aku pengen me time, gak mau ada yang ganggu.”Reza menatapnya lembut, tidak menahan.“Yaudah, silakan. Kamu butuh waktu buat diri kamu sendiri juga, Sayang.”Ia sempat membantu Ziva memakaikan jaket panjangnya.“Cuma satu syarat.”Ziva menatap curiga. “Apa?”“Kalau udah kelar, kabarin aku. Aku jemput. Deal?”Ziva tersenyum kecil, pura-pura berpikir lama sebelum akhirnya mengangguk.“Deal. Tapi aku bakal lama.”“Gak mas







