LOGINBukan karena cowok itu jelek.
Itu Reza—anak laki-laki di kelas 2D SMP Nusantara yang duduk satu meja dengannya saat lomba cerdas cermat. Reza yang pernah meminjamkan pensil mekaniknya waktu pensil Ziva patah. Reza yang dia suka diam-diam selama satu tahun penuh tanpa pernah berani bicara lebih dari sekadar, “Boleh pinjam penghapus?” Reza, cinta pertamanya. Tapi Reza menatapnya dengan kosong. “Kenapa dia harus tampan begini sih?” Ziva menghela napas pelan saat pintu depan rumahnya terbuka "Silakan diminum, Mas Reza," ucap Ziva lembut, menyodorkan segelas lemon tea. Reza tidak menjawab. Ia hanya mengangguk seadanya tanpa menatap mata Ziva. Lalu… diam. Kenapa rasanya seperti sedang duduk di samping patung lilin? Ziva tersenyum canggung, menatap sendok dan garpu di hadapannya, berusaha tetap tenang meski hatinya mulai sesak oleh sikap tak bersahabat itu. Tapi berbeda dengan kegugupan dan nostalgia yang menyergap Ziva, Reza hanya mengangguk sopan. Seolah… mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Semenjak melihat Reza masuk, ada sesuatu dalam diri Ziva yang terasa bergetar. Namun yang ia dapatkan justru sikap acuh dan dingin, bahkan ketika keluarga mereka sudah duduk berbincang hangat di meja makan. "Reza, Ziva ini sedang dalam proses jadi dokter spesialis. Hebat, ya? Kamu nggak penasaran ngobrol?" tanya ibunya Reza sambil tertawa ringan, mencoba membuka suasana. Ziva menoleh dengan malu-malu. Namun Reza hanya menyendok nasi dan berkata pelan, "Oh." Tanpa melirik sedikit pun. Lia, berusaha mencairkan suasana dengan tertawa tipis, tapi Ziva tahu… semua orang bisa merasakan kecanggungan di antara mereka. Ziva tersenyum kaku selama jamuan, tertawa palsu saat ayah Reza bercerita, dan berkali-kali pura-pura ke dapur hanya untuk mengambil napas. Reza... sejak awal datang, ia sudah tidak tampak antusias. Tatapannya kosong, bicaranya seperlunya, dan tubuhnya seperti sedang duduk paksa. “Aku nggak berharap dia jatuh cinta. Tapi... setidaknya menghargai?” batin Ziva getir. Dan saat semua orang mulai larut dalam obrolan, Ziva hanya bisa duduk diam di samping pria itu. Ia mencoba memulai obrolan lagi, dengan pertanyaan ringan, "Kamu kerja di mana, Mas Reza?" "Di Jakarta." Jawaban pendek. Singkat. Sama seperti semangatnya malam ini. Ziva mengangguk pelan, menahan napas dan rasa kecewa. Sementara Reza diam-diam mengetik sesuatu di ponselnya di bawah meja. Ia bahkan sempat melirik ke jam tangan—dua kali. "Dia ingin segera pergi," pikir Ziva. Dan entah kenapa… hatinya terasa hampa. Bukankah ini harusnya awal dari sesuatu yang manis? Tapi yang ia rasakan justru seperti... Bertepuk sebelah tangan bahkan sebelum memulai. 🌸🌸🌸🌸🌸 Setelah makan malam usai, Ziva menarik napas lega saat melihat pintu balkon terbuka. Reza ada di sana. Ziva menyusul dengan langkah ringan, padahal jantungnya berdebar tidak karuan. Angin malam berembus lembut, menyingkap sebagian rambutnya. Ia berdiri di samping Reza, menjaga jarak, tapi cukup dekat untuk mulai berbicara. “Setidaknya kami bisa ngobrol berdua. Siapa tahu, dia nggak seburuk itu,” batin Ziva saat melangkah ke balkon lantai dua rumahnya. Di sana, Reza sudah berdiri menyandarkan badan di pagar besi balkon, menatap ke arah lampu-lampu jalanan yang temaram. “Eh, kamu juga butuh udara segar ya?” sapa Ziva sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. Reza menoleh singkat. “Iya.” Lalu kembali menatap ke luar. Datar. Lagi. Ziva berdiri di sampingnya, menjaga jarak sopan. Suasana hening sejenak. Hanya terdengar suara jangkrik dan dentingan sendok dari ruang makan di bawah sana. Akhirnya Ziva memulai. “Aku nggak tahu kita bakal dijodohkan.” Reza mengangguk pelan. “Aku juga baru tahu dua hari lalu. Dan jujur... aku nggak niat datang ke acara ini.” Ziva menoleh, hatinya sedikit mencelos. “Oh... tapi kamu datang juga.” “Iya, karena Papa maksa. Kalau nggak, aku udah di tempat lain sekarang.” Nada suaranya ringan, seolah tanpa beban. Tapi setiap kata itu menghantam hati Ziva seperti serpihan kaca. Ziva menarik napas, tetap mencoba tersenyum. “Kamu nggak suka dijodohin?” Reza mengangkat alis, lalu berkata pelan namun jelas, “Aku udah punya seseorang. Dan hubungan kami nggak main-main.” Deg. Ziva membeku sejenak. Ia pura-pura tersenyum sambil menunduk. Tapi hatinya rasanya seperti dicekik dari dalam. “Oh...” “Kamu sendiri, punya seseorang?” tanya Reza tiba-tiba. Ziva menoleh. “Punya. Punya karier yang lagi aku perjuangkan.” Senyumnya miris. Reza tertawa kecil. “Oke.” Tepat ketika suasana mulai agak cair, suara Lia terdengar dari dalam. “Ziva, Reza! Sini dulu, Mama mau kasih kabar baik!” Mereka saling menoleh dan masuk kembali ke dalam. Di ruang tamu, semua orang sudah duduk kembali, wajah-wajah bahagia dan penuh harap. Lia berdiri di tengah ruangan dengan senyum lebar. “Kita semua udah sepakat. Kalian akan menikah dalam tiga hari lagi. Kami akan siapkan yang terbaik, karena waktunya mepet.” Ziva tertegun. “Apa?”Sejak kejadian cemburu di kantor kemarin, Reza pikir badai hormon Ziva sudah berlalu.Ternyata… dia salah besar.Sore itu, mereka baru aja pulang dari belanja kebutuhan rumah. Cuaca adem, langit cerah suasana yang harusnya tenang. Tapi begitu masuk apartemen, suasana langsung berubah 180 derajat.Ziva yang tadi masih tertawa di mobil, kini berdiri di depan pintu sambil menghela napas panjang.“Reza…”“Hmm?”“Kenapa sih kamu gak pernah ngerti aku?”Reza langsung berhenti di tempat.“Hah? Aku salah apa lagi?”Ziva melirik pelan, matanya sedikit berair. “Kamu tuh… tadi di jalan, aku bilang pengen es krim rasa stroberi, tapi kamu malah beli yang cokelat.”Reza menatap kantong belanja di tangannya. “Tapi… kamu bilang ‘apa aja boleh, asal dingin’.”“Itu kode, Reza!” seru Ziva, mulai gemas. “Aku tuh pengen kamu peka!”Reza mengedip beberapa kali, bingung antara minta maaf atau ketawa.“Maaf, Ziv. Aku… gak peka.”Ziva menghela napas dramatis. “Ya udah, aku capek ngomong. Aku cuma pengen dime
Hari itu, setelah selesai jadwal di rumah sakit, Ziva duduk sebentar di ruang istirahat dokter. Rambutnya diikat rapi, tapi wajahnya sedikit pucat karena kelelahan. Meski sudah dua bulan kehamilannya berjalan lancar, rasa mual dan cepat lelah masih sering datang tiba-tiba. Ia menatap ponselnya yang baru saja berbunyi—pesan dari Reza.[Aku gak bisa anterin kamu pulang hari ini, kamu pulang sendiri bisa?"][Masih siang, aku males sendirian di apartemen][Terus kamu mau kemana setelah ini][Kayaknya mau nyamperin kamu]Setelah berpamitan pada rekan kerjanya, Ziva pun langsung berangkat menuju perusahaan Reza.Begitu tiba di lobby gedung megah itu, semua orang seolah langsung tahu siapa dia. Resepsionis menyapa dengan ramah.“Selamat siang, Bu Ziva. Mau langsung ke lantai 15?”Ziva tersenyum, “Iya"Sampai di lantai 15, suasana kantor terasa tenang dan profesional. Beberapa staf menatap penasaran, dan beberapa lainnya berbisik pelan, “Eh, itu istrinya Pak Reza, kan?”Ziva berjalan dengan l
Reza menggaruk kepala, bingung. “Tapi udah malem banget, Ziv. Aku takut kamu kecewa kalau aku keluar, terus nggak dapet juga.”Ziva menatapnya lama, lalu menunduk. Bibirnya bergetar kecil, lalu tiba-tiba air matanya menetes begitu saja.“Reza… kamu nggak ngerti, ya?” suaranya pecah. “Aku tuh cuma pengen dimengerti. Aku capek banget hari ini. Pengen makan yang aku mau, tapi kamu malah bilang 'Nanti .”Reza langsung panik, duduk di sebelahnya. “Eh, eh, jangan nangis dong… Aku nggak bermaksud begitu, sumpah.”Tapi Ziva justru menunduk makin dalam, bahunya bergetar. “Aku ngerasa kayak… semua yang aku pengen itu repot buat kamu.”Reza menghela napas panjang, lalu mengusap pipinya pelan. “Sayang, denger aku ya. Aku nggak ngerasa repot sama kamu, sedikit pun. Aku cuma takut kamu makin kecewa kalo aku gagal dapetin satenya. Tapi kalau kamu mau, aku cari sekarang juga.”Ziva menatapnya dengan mata merah dan hidung yang memerah. "Gak terpaksa kan?”Reza tersenyum kecil. “Enggak. Demi kamu dan d
Setelah malam yang ramai dan penuh tawa itu, akhirnya satu per satu anggota keluarga pamit pulang.Suasana apartemen yang tadinya riuh seketika berubah hening.Ziva dan Reza berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan.Begitu pintu tertutup, keduanya menghela napas bersamaan.“Akhirnya…” “...sunyi lagi,” kata Ziva, hampir bersamaan dengan Reza.Mereka berdua saling pandang lalu tertawa kecil. Tapi tawa itu langsung berubah jadi tatapan bingung saat Ziva melangkah ke dapur.“Reza…”“Hm?”“Kulkas kita… kenapa… kayaknya… mau meledak?”Reza langsung ikut melihat, dan benar saja — kulkas mereka kini penuh sesak.Kotak makanan tertata rapat, ada wadah besar berisi sayur rebus, ikan kukus, susu ibu hamil, jus segar, sampai ramuan herbal berwarna aneh yang aromanya menusuk hidung.“Astaga… ini mereka sempat belanja sebanyak ini pas kita makan malam?”“Kayaknya iya…”“Aku yakin ini bukan kulkas kita lagi, tapi kulkas umum untuk program gizi nasional,” gumam Reza sambil menatap penuh hera
Di dalam apartemen, suasana langsung ramai.Mamah Lia langsung ke dapur tanpa izin, Mamah Indri sibuk menata bantal, Papah Adrian nyalain TV, dan Kakek malah duduk santai sambil berkata,“Nah, ini baru rumah tangga! Ada aroma keluarga.”Ziva cuma bisa saling pandang dengan Reza dan terkekeh pelan.“Aku rasa apartemen kita baru aja diserbu pasukan cinta keluarga.”“Pasukan cinta… dengan volume suara lima kali lipat dari normal,” balas Reza sambil terkekeh.Meja makan apartemen malam itu terlihat seperti sedang menggelar pesta kecil.Piring, mangkuk, dan aroma masakan memenuhi ruangan.Semua tampak sibuk kecuali satu orang, Ziva.“Ziva, duduk aja, jangan berdiri! Nanti capek!”“Iya, sayang, biar Mamah aja yang ambilin.”“Eh, jangan pegang piring panas, nanti tangannya kepanasan. Aduh, kasihan calon cucu Kakek.”Ziva sampai bingung mau napas di mana.Dia duduk manis di kursi tengah, sementara seluruh keluarga sibuk melayaninya seperti dia baru aja naik tahta jadi ratu hamil pertama di d
Pagi itu, Ziva duduk di kursi ruang tunggu dengan wajah tegang. Sementara Reza… sibuk mondar-mandir seperti orang yang kehilangan kunci rumah.Padahal bukan dia yang mau diperiksa.“Kenapa sih kamu yang panik?” tanya Ziva heran. “Ya gimana nggak panik? Ini pertama kalinya aku ikut hal-hal kayak begini, tau,” jawab Reza dengan ekspresi serius tapi lucu.Ziva menahan tawa. Ia tahu Reza gugup, tapi melihat suaminya yang biasanya santai kini gelisah sendiri… rasanya menggemaskan.Beberapa menit kemudian, perawat memanggil, “Ibu Ziva, silakan masuk.”Reza spontan berdiri lebih dulu.“Iya, saya Ziva—eh maksudnya, saya suaminya Ziva!” katanya terbata.Perawat menahan senyum. Ziva menatapnya, setengah malu, setengah ingin ketawa.“Aduh, malu banget sumpah…” gumamnya sambil menepuk dahi.Begitu masuk ruang pemeriksaan, Reza langsung kaku. Matanya menatap alat-alat di ruangan seolah itu mesin dari film sci-fi.“Sayang, ini alatnya kayak mesin pembuat roti ya?” tanyanya polos. “Astaga, Reza,”







