Share

Bab 7

Penulis: Flower Lidia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-31 21:24:53

“Pisah kamar?” tanyanya pelan, nada suaranya datar. Tidak menyindir. Tidak marah. Hanya... butuh kejelasan.

Reza akhirnya menatapnya, tajam tapi tak punya emosi.

“Aku pikir, ini bukan pernikahan sungguhan,” katanya tenang. “Kita berdua tahu alasannya."

Ziva tersenyum kecil, getir. “Oh, tentu. Karena ini cuma perjodohan demi menyenangkan keluarga. Aku ingat.”

Reza mengangguk singkat. “Jadi... sebaiknya kita tetap menjaga batas. Kamar utama untukku, kamar tamu untukmu.”

Ziva melangkah pelan menuju koper yang tadi ia tinggalkan di dekat sofa. Ia tidak langsung menjawab. Bahkan tidak menatap Reza lagi.

Tapi di dalam hati?

“Pisah kamar? Sok cool amat. Lu kira gue ngarep tidur sekasur juga? Hell no. Gue lebih milih tidur sama guling daripada tidur sama manusia es kayak kamu.”

🌸🌸🌸🌸🌸

Ziva masuk dan menutup pintu pelan. Kamar tamu itu… terlalu mewah untuk disebut "tamu", tapi terlalu asing untuk disebut "rumah". Furniturnya elegan, semuanya rapi dan wangi lavender. Tapi tetap saja, rasanya… hambar.

Ziva mendengus pelan. Dia mulai melepas sepatu hak tingginya, lalu nyeker keliling kamar.

 “Bantal bulu angsa, selimut dari Jepang, bahkan ada mesin penghangat lantai. Tapi tetap aja... lebih hangat pelukan mama.”

Dia berdiri dan mulai membuka koper. Tangannya cekatan mencari piyama favorit—kaos putih longgar dan celana kotak-kotak yang udah luntur warnanya. Gaya CEO? Nggak perlu. Yang penting nyaman.

“Nikah. Katanya manis kayak madu. Lah ini aku dapatnya kayak... wedang jahe basi. Anget-anget tapi nyelekit.”

“Kalau aku tahu begini, aku bawa boneka beruang buat nemenin tidur,” katanya pada dirinya sendiri, tertawa hambar.

Sebelum berganti baju, Ziva sempat berdiri di depan cermin. Riasannya sudah luntur, bulu matanya miring sebelah. Tapi justru saat melihat wajah lelahnya sendiri, Ziva tersenyum kecil.

“Aku kuat, kok,” bisiknya pelan. “Nggak semua istri harus langsung sekamar kan? Lagian... ranjangnya juga empuk.”

Ia tertawa lagi, kali ini lebih tulus.

Ziva Develop, anak tunggal tanpa ayah, dokter glamor, dan sekarang istri dari Reza Firnander, pria yang bahkan tak ingin berbagi selimut dengannya.

Duduklah ia di pinggir ranjang, membuka ponselnya dan mengetik cepat:

Ziva: “Kay, dia minta pisah ranjang.”

Kayla: “APA?! Kamu abis akad nikah loh!!”

 Ziva: “Tenang aja. Kasurnya gede, AC-nya dingin. Gue tetep menang.”

Kayla belum sempat membalas, Ziva sudah mematikan ponselnya dan rebahan.

Tapi baru dua menit berbaring, ia berguling lagi. “Tapi kenapa gue kayak dilempar ke kamar tahanan VIP sih?” gumamnya pelan.

Ziva menaruh kopernya di sudut kamar. Lalu berdiri, menatap sekeliling.

“Dindingnya marmer, tempat tidur king size, lemari besar… Yah, kalau terus kayak gini, jangan-jangan gue betah sendiri.”

Tapi begitu dia membuka lemari…

“Astaga naga…” bisiknya kaget.

Di dalam lemari ada piyama sutra warna champagne, terlipat rapi, lengkap dengan label bertuliskan: Ziva Nuraisya. Bahkan sudah tersedia sandal bulu halus dan satu set perawatan malam.

Ziva menyipit. “Ini udah disiapin? Dari kapan? Masa iya mereka mikir sampai sedetail ini? Jangan-jangan…”

Ia mengambil piyama itu, menimang-nimang, lalu mendesah.

“Dari luar aja, nikahnya kayak darurat. Tapi ternyata fasilitasnya kayak honeymoon versi VIP. Tapi ya… minus pengantin pria.”

Tiba-tiba…

Tok tok tok.

Ziva menoleh. Pintu sedikit terbuka, dan kepala Reza nongol dengan ekspresi datar.

“Air panas kamar ini sudah aku setting jam tujuh malam. Kalau kamu butuh selimut tambahan, ada di lemari atas.”

Ziva mengangguk, manis. “Baik, Tuan Rumah. Terima kasih atas sambutan apartemenmu yang sangat… dingin.”

Reza mengerjap. “Dingin?”

Ziva tersenyum palsu. “Ya. Dingin”

Reza mengedikan bahunya seolah tidak peduli dengan apa yang di ucapkan Ziva.

Pintu menutup.

Begitu dia menoleh ke kasur…

 “Astagaaaa… Ini kasur lebih empuk dari hati tulus ku.”

Telepon berdering...

Ziva terkejut, mamanya tiba-tiba menelepon “Astaga... jangan bilang Mama mau nanyain hal sensitif lagi malam-malam begini.”

Dengan pasrah, Ziva tekan accept call.

Mama (di seberang telepon):

“Zivaaa! Gimana rasanya malam pertama, hah? Udah senyum-senyum belum tuh sama suami?”

Ziva terbatuk pura-pura.

“Eh... hehe... iya Mam. Ini... lagi di kamar kok. Suasana romantis... cahaya lampu agak temaram, kayak di film.”

(Aslinya: lampu kamar LED putih 18 watt nyala terang benderang.)

“Mama bahagia banget kamu udah nikah, akhirnyaaa! Tapi inget ya, Ziv. Rumah tangga itu kayak tanaman. Harus disiram tiap hari, bukan Cuma air... tapi perhatian.”

“Iya Mam... siap, akan aku siram pakai... eh, perhatian. Bukan air cucian beras.”

Lia tertawa geli “Kamu tuh masih aja suka becanda. Mama serius. Jangan gengsi, ya! Malam ini peluk Reza. Pegang tangannya. Tatap matanya. Bilang kalau kamu siap jadi istrinya.”

Ziva melihat ke arah pintu kamarnya.

Sunyi. Jangankan pegangan tangan, suara napas Reza aja nggak terdengar.

Karena... dia di kamar sebelah.

Ziva bergumam dalam hati “Peluk? Tatap? Lah ini ranjang aja dua kilometer jauhnya dari ranjang dia.”

“Iya Mam, nanti kalau udah waktunya... Ziva pasti lakukan. Sekarang kan masih adaptasi.”

“Udah dulu ya ma, aku udah ngantuk”

“Bayyy”

Telepon berakhir. Ziva merebahkan tubuh nya, kantuk berat mulai menyerang, matanya perlahan menutup dan semuanya menjadi gelap.

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 100

    Jam menunjukkan pukul 11 lewat sepuluh malam.Ziva yang baru saja selesai mencuci muka tiba-tiba bersuara manja dari kamar. “Rezaaa…”“Iya sayangku?”“Aku pengen bubur kacang hijau Mang Dani…”Reza yang sedang rebahan langsung menoleh, setengah kaget.“Sekarang?”“Iya. Aku kebayang banget rasanya, apalagi santannya yang gurih. Harus Mang Dani ya, jangan yang lain.”Reza menatap istrinya yang kini memegang perut kecilnya sambil manyun.Dalam hati, dia cuma bisa bergumam pelan, 'Mang Dani jam segini udah pasti pulang tidur, Sayang…'Tapi Reza ingat pesan bijak dari Pak Guntur, satpam apartemen:'Kalau istri ngidam, jangan banyak mikir. Jalan aja. Kalau dia tenang, hidup bapak aman.'Dengan langkah pelan tapi pasrah, Reza berdiri.“Oke, tunggu di sini ya. Aku beliin.”“Yang Mang Dani, Reza. Aku bisa tau kalau bukan.”“Iya, iya, yang Mang Dani.”Reza akhirnya keliling pakai mobil, muter lima blok, dan seperti dugaannya —gerobak Mang Dani sudah tutup.Yang ada cuma satu tukang bubur lain

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 99

    Sejak kejadian cemburu di kantor kemarin, Reza pikir badai hormon Ziva sudah berlalu.Ternyata… dia salah besar.Sore itu, mereka baru aja pulang dari belanja kebutuhan rumah. Cuaca adem, langit cerah suasana yang harusnya tenang. Tapi begitu masuk apartemen, suasana langsung berubah 180 derajat.Ziva yang tadi masih tertawa di mobil, kini berdiri di depan pintu sambil menghela napas panjang.“Reza…”“Hmm?”“Kenapa sih kamu gak pernah ngerti aku?”Reza langsung berhenti di tempat.“Hah? Aku salah apa lagi?”Ziva melirik pelan, matanya sedikit berair. “Kamu tuh… tadi di jalan, aku bilang pengen es krim rasa stroberi, tapi kamu malah beli yang cokelat.”Reza menatap kantong belanja di tangannya. “Tapi… kamu bilang ‘apa aja boleh, asal dingin’.”“Itu kode, Reza!” seru Ziva, mulai gemas. “Aku tuh pengen kamu peka!”Reza mengedip beberapa kali, bingung antara minta maaf atau ketawa.“Maaf, Ziv. Aku… gak peka.”Ziva menghela napas dramatis. “Ya udah, aku capek ngomong. Aku cuma pengen dime

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 98

    Hari itu, setelah selesai jadwal di rumah sakit, Ziva duduk sebentar di ruang istirahat dokter. Rambutnya diikat rapi, tapi wajahnya sedikit pucat karena kelelahan. Meski sudah dua bulan kehamilannya berjalan lancar, rasa mual dan cepat lelah masih sering datang tiba-tiba. Ia menatap ponselnya yang baru saja berbunyi—pesan dari Reza.[Aku gak bisa anterin kamu pulang hari ini, kamu pulang sendiri bisa?"][Masih siang, aku males sendirian di apartemen][Terus kamu mau kemana setelah ini][Kayaknya mau nyamperin kamu]Setelah berpamitan pada rekan kerjanya, Ziva pun langsung berangkat menuju perusahaan Reza.Begitu tiba di lobby gedung megah itu, semua orang seolah langsung tahu siapa dia. Resepsionis menyapa dengan ramah.“Selamat siang, Bu Ziva. Mau langsung ke lantai 15?”Ziva tersenyum, “Iya"Sampai di lantai 15, suasana kantor terasa tenang dan profesional. Beberapa staf menatap penasaran, dan beberapa lainnya berbisik pelan, “Eh, itu istrinya Pak Reza, kan?”Ziva berjalan dengan l

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 97

    Reza menggaruk kepala, bingung. “Tapi udah malem banget, Ziv. Aku takut kamu kecewa kalau aku keluar, terus nggak dapet juga.”Ziva menatapnya lama, lalu menunduk. Bibirnya bergetar kecil, lalu tiba-tiba air matanya menetes begitu saja.“Reza… kamu nggak ngerti, ya?” suaranya pecah. “Aku tuh cuma pengen dimengerti. Aku capek banget hari ini. Pengen makan yang aku mau, tapi kamu malah bilang 'Nanti .”Reza langsung panik, duduk di sebelahnya. “Eh, eh, jangan nangis dong… Aku nggak bermaksud begitu, sumpah.”Tapi Ziva justru menunduk makin dalam, bahunya bergetar. “Aku ngerasa kayak… semua yang aku pengen itu repot buat kamu.”Reza menghela napas panjang, lalu mengusap pipinya pelan. “Sayang, denger aku ya. Aku nggak ngerasa repot sama kamu, sedikit pun. Aku cuma takut kamu makin kecewa kalo aku gagal dapetin satenya. Tapi kalau kamu mau, aku cari sekarang juga.”Ziva menatapnya dengan mata merah dan hidung yang memerah. "Gak terpaksa kan?”Reza tersenyum kecil. “Enggak. Demi kamu dan d

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 96

    Setelah malam yang ramai dan penuh tawa itu, akhirnya satu per satu anggota keluarga pamit pulang.Suasana apartemen yang tadinya riuh seketika berubah hening.Ziva dan Reza berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan.Begitu pintu tertutup, keduanya menghela napas bersamaan.“Akhirnya…” “...sunyi lagi,” kata Ziva, hampir bersamaan dengan Reza.Mereka berdua saling pandang lalu tertawa kecil. Tapi tawa itu langsung berubah jadi tatapan bingung saat Ziva melangkah ke dapur.“Reza…”“Hm?”“Kulkas kita… kenapa… kayaknya… mau meledak?”Reza langsung ikut melihat, dan benar saja — kulkas mereka kini penuh sesak.Kotak makanan tertata rapat, ada wadah besar berisi sayur rebus, ikan kukus, susu ibu hamil, jus segar, sampai ramuan herbal berwarna aneh yang aromanya menusuk hidung.“Astaga… ini mereka sempat belanja sebanyak ini pas kita makan malam?”“Kayaknya iya…”“Aku yakin ini bukan kulkas kita lagi, tapi kulkas umum untuk program gizi nasional,” gumam Reza sambil menatap penuh hera

  • DIJODOHKAN MAMA   Bab 95

    Di dalam apartemen, suasana langsung ramai.Mamah Lia langsung ke dapur tanpa izin, Mamah Indri sibuk menata bantal, Papah Adrian nyalain TV, dan Kakek malah duduk santai sambil berkata,“Nah, ini baru rumah tangga! Ada aroma keluarga.”Ziva cuma bisa saling pandang dengan Reza dan terkekeh pelan.“Aku rasa apartemen kita baru aja diserbu pasukan cinta keluarga.”“Pasukan cinta… dengan volume suara lima kali lipat dari normal,” balas Reza sambil terkekeh.Meja makan apartemen malam itu terlihat seperti sedang menggelar pesta kecil.Piring, mangkuk, dan aroma masakan memenuhi ruangan.Semua tampak sibuk kecuali satu orang, Ziva.“Ziva, duduk aja, jangan berdiri! Nanti capek!”“Iya, sayang, biar Mamah aja yang ambilin.”“Eh, jangan pegang piring panas, nanti tangannya kepanasan. Aduh, kasihan calon cucu Kakek.”Ziva sampai bingung mau napas di mana.Dia duduk manis di kursi tengah, sementara seluruh keluarga sibuk melayaninya seperti dia baru aja naik tahta jadi ratu hamil pertama di d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status