로그인“Pisah kamar?” tanyanya pelan, nada suaranya datar. Tidak menyindir. Tidak marah. Hanya... butuh kejelasan.
Reza akhirnya menatapnya, tajam tapi tak punya emosi. “Aku pikir, ini bukan pernikahan sungguhan,” katanya tenang. “Kita berdua tahu alasannya." Ziva tersenyum kecil, getir. “Oh, tentu. Karena ini cuma perjodohan demi menyenangkan keluarga. Aku ingat.” Reza mengangguk singkat. “Jadi... sebaiknya kita tetap menjaga batas. Kamar utama untukku, kamar tamu untukmu.” Ziva melangkah pelan menuju koper yang tadi ia tinggalkan di dekat sofa. Ia tidak langsung menjawab. Bahkan tidak menatap Reza lagi. Tapi di dalam hati? “Pisah kamar? Sok cool amat. Lu kira gue ngarep tidur sekasur juga? Hell no. Gue lebih milih tidur sama guling daripada tidur sama manusia es kayak kamu.” 🌸🌸🌸🌸🌸 Ziva masuk dan menutup pintu pelan. Kamar tamu itu… terlalu mewah untuk disebut "tamu", tapi terlalu asing untuk disebut "rumah". Furniturnya elegan, semuanya rapi dan wangi lavender. Tapi tetap saja, rasanya… hambar. Ziva mendengus pelan. Dia mulai melepas sepatu hak tingginya, lalu nyeker keliling kamar. “Bantal bulu angsa, selimut dari Jepang, bahkan ada mesin penghangat lantai. Tapi tetap aja... lebih hangat pelukan mama.” Dia berdiri dan mulai membuka koper. Tangannya cekatan mencari piyama favorit—kaos putih longgar dan celana kotak-kotak yang udah luntur warnanya. Gaya CEO? Nggak perlu. Yang penting nyaman. “Nikah. Katanya manis kayak madu. Lah ini aku dapatnya kayak... wedang jahe basi. Anget-anget tapi nyelekit.” “Kalau aku tahu begini, aku bawa boneka beruang buat nemenin tidur,” katanya pada dirinya sendiri, tertawa hambar. Sebelum berganti baju, Ziva sempat berdiri di depan cermin. Riasannya sudah luntur, bulu matanya miring sebelah. Tapi justru saat melihat wajah lelahnya sendiri, Ziva tersenyum kecil. “Aku kuat, kok,” bisiknya pelan. “Nggak semua istri harus langsung sekamar kan? Lagian... ranjangnya juga empuk.” Ia tertawa lagi, kali ini lebih tulus. Ziva Develop, anak tunggal tanpa ayah, dokter glamor, dan sekarang istri dari Reza Firnander, pria yang bahkan tak ingin berbagi selimut dengannya. Duduklah ia di pinggir ranjang, membuka ponselnya dan mengetik cepat: Ziva: “Kay, dia minta pisah ranjang.” Kayla: “APA?! Kamu abis akad nikah loh!!” Ziva: “Tenang aja. Kasurnya gede, AC-nya dingin. Gue tetep menang.” Kayla belum sempat membalas, Ziva sudah mematikan ponselnya dan rebahan. Tapi baru dua menit berbaring, ia berguling lagi. “Tapi kenapa gue kayak dilempar ke kamar tahanan VIP sih?” gumamnya pelan. Ziva menaruh kopernya di sudut kamar. Lalu berdiri, menatap sekeliling. “Dindingnya marmer, tempat tidur king size, lemari besar… Yah, kalau terus kayak gini, jangan-jangan gue betah sendiri.” Tapi begitu dia membuka lemari… “Astaga naga…” bisiknya kaget. Di dalam lemari ada piyama sutra warna champagne, terlipat rapi, lengkap dengan label bertuliskan: Ziva Nuraisya. Bahkan sudah tersedia sandal bulu halus dan satu set perawatan malam. Ziva menyipit. “Ini udah disiapin? Dari kapan? Masa iya mereka mikir sampai sedetail ini? Jangan-jangan…” Ia mengambil piyama itu, menimang-nimang, lalu mendesah. “Dari luar aja, nikahnya kayak darurat. Tapi ternyata fasilitasnya kayak honeymoon versi VIP. Tapi ya… minus pengantin pria.” Tiba-tiba… Tok tok tok. Ziva menoleh. Pintu sedikit terbuka, dan kepala Reza nongol dengan ekspresi datar. “Air panas kamar ini sudah aku setting jam tujuh malam. Kalau kamu butuh selimut tambahan, ada di lemari atas.” Ziva mengangguk, manis. “Baik, Tuan Rumah. Terima kasih atas sambutan apartemenmu yang sangat… dingin.” Reza mengerjap. “Dingin?” Ziva tersenyum palsu. “Ya. Dingin” Reza mengedikan bahunya seolah tidak peduli dengan apa yang di ucapkan Ziva. Pintu menutup. Begitu dia menoleh ke kasur… “Astagaaaa… Ini kasur lebih empuk dari hati tulus ku.” Telepon berdering... Ziva terkejut, mamanya tiba-tiba menelepon “Astaga... jangan bilang Mama mau nanyain hal sensitif lagi malam-malam begini.” Dengan pasrah, Ziva tekan accept call. Mama (di seberang telepon): “Zivaaa! Gimana rasanya malam pertama, hah? Udah senyum-senyum belum tuh sama suami?” Ziva terbatuk pura-pura. “Eh... hehe... iya Mam. Ini... lagi di kamar kok. Suasana romantis... cahaya lampu agak temaram, kayak di film.” (Aslinya: lampu kamar LED putih 18 watt nyala terang benderang.) “Mama bahagia banget kamu udah nikah, akhirnyaaa! Tapi inget ya, Ziv. Rumah tangga itu kayak tanaman. Harus disiram tiap hari, bukan Cuma air... tapi perhatian.” “Iya Mam... siap, akan aku siram pakai... eh, perhatian. Bukan air cucian beras.” Lia tertawa geli “Kamu tuh masih aja suka becanda. Mama serius. Jangan gengsi, ya! Malam ini peluk Reza. Pegang tangannya. Tatap matanya. Bilang kalau kamu siap jadi istrinya.” Ziva melihat ke arah pintu kamarnya. Sunyi. Jangankan pegangan tangan, suara napas Reza aja nggak terdengar. Karena... dia di kamar sebelah. Ziva bergumam dalam hati “Peluk? Tatap? Lah ini ranjang aja dua kilometer jauhnya dari ranjang dia.” “Iya Mam, nanti kalau udah waktunya... Ziva pasti lakukan. Sekarang kan masih adaptasi.” “Udah dulu ya ma, aku udah ngantuk” “Bayyy” Telepon berakhir. Ziva merebahkan tubuh nya, kantuk berat mulai menyerang, matanya perlahan menutup dan semuanya menjadi gelap.“Minum dulu, biar tenang,” katanya sambil meletakkan gelas di meja.Ziva menerima gelas itu dan meneguk pelan. “Terima kasih,” ucapnya, suaranya masih pelan tapi lebih tenang daripada tadi.Reza duduk di sampingnya, menatap wajah Ziva yang terlihat lelah namun mulai pulih.“Besok kamu ada rencana apa?” tanyanya pelan sambil membuka roti isi miliknya.Ziva berpikir sebentar. “Hmm… awalnya aku mau ke butik bayi, cari perlengkapan tambahan. Tapi kayaknya istirahat di rumah aja dulu deh. Hari ini udah cukup drama.”Nada suaranya diselipi senyum tipis, meskipun matanya masih menyimpan sisa takut.Reza mengangguk. “Setuju. Aku juga udah bilang ke orang rumah buat gak ganggu kamu dulu. Kalau kamu mau belanja, aku yang handle. Tapi kalau kamu bosan di rumah, besok sore aku ajak kamu jalan-jalan, gimana?”Ziva menatap Reza, alisnya terangkat. “Jalan-jalan kemana?”“Ke tempat yang gak ada orang nyerang kamu pakai pisau,” jawab Reza dengan nada datar tapi mata berkilat geli.Ziva mendengus pelan
Pisau itu mengenai meja — suara cling! tajam terdengar saat ujungnya menghantam permukaan kaca.Keduanya terengah-engah. Ziva memanfaatkan momen itu untuk menepis tangan Clara, membuat pisau itu terlepas dan jatuh ke lantai.Clara masih mencoba meraih, tapi suara pintu terbuka keras menghentikan segalanya.“Bu Ziva!” suara seorang petugas keamanan memecah kepanikan.Clara terpaku. Napasnya kacau. Ia melihat ke arah Ziva — wajah yang masih terengah, keringat menetes di pelipis.Beberapa orang langsung berlari masuk. Dua di antaranya berusaha menarik tubuh Clara dari belakang, sementara pegawai lain memegangi Ziva yang mulai kehilangan keseimbangan.“Lepas! Lepasin gue!!” Clara berteriak, masih berusaha mendekat.Pisau di tangannya bergoyang, hampir terlepas, sampai seorang pegawai laki-laki berhasil merebutnya“Lepasin aku!” Clara menjerit keras, matanya liar. “Dia harus bayar! Semua orang harus tahu siapa dia sebenarnya!!”Pisau nyaris jatuh, tapi Clara masih berusaha menarik diri.Zi
“Eh, Mbak, tolong ambilin top coat di meja belakang ya,” pinta pegawai utama yang menjadi atasan langsungnya.Clara langsung mengangguk cepat. “Iya, sebentar.”Ia melangkah ke belakang ruangan, tapi langkahnya terasa berat.Begitu sampai di sudut ruangan, napasnya mulai memburu.Tangannya mengepal kuat.“Ziva…” gumamnya pelan. “Bahkan di tempat baru pun, kamu masih ada di depanku. Tapi kali ini, aku gak akan diam aja.”Ia menatap bayangan wajahnya di cermin kecil di dinding.Sorot matanya kini berbeda — dingin, tajam, dan menyimpan niat yang tidak bisa ditebak.Clara berdiri diam di meja kerja, menyiapkan alat-alat nail art yang berkilau di bawah cahaya lampu. Pisau kecil pembersih kutikula, gunting kuku, pinset, jarum halus untuk desain detail—semuanya tertata rapi di nampan logam perak.Namun di matanya, alat-alat itu seperti senjata.Ia mengusap permukaannya dengan kain basah, gerakannya pelan, presisi, dan… sedikit terlalu lama.Senyumnya tipis—terlalu tipis untuk disebut ramah.Z
Begitu melangkah masuk ke Luna’s Nail & Spa, Ziva langsung disambut oleh aroma bunga mawar dan melati yang menenangkan.Tempat itu tampak mewah lantainya mengilap, dindingnya penuh cermin besar, dan di setiap sudutnya tercium wangi lembut lilin aromaterapi.“Selamat datang, Ibu Ziva,” sapa resepsionis dengan ramah sambil membungkuk kecil.“Ibu mau perawatan kuku seperti biasa?”Ziva tersenyum anggun, satu tangan menepuk tasnya pelan.“Hari ini aku pengen yang beda. Aku lagi hamil, jadi harus tampil lebih… berkarisma gitu.”Resepsionis menahan tawa kecil, lalu mengangguk sopan.“Tentu, Bu. Silakan ke ruang VIP. Nanti tim desain kami bantu pilihkan motif terbaik.”Ziva berjalan melewati deretan kursi pelanggan lain, langkahnya ringan, sepatu flat-nya berkilau setiap kali terkena cahaya lampu gantung kristal.Beberapa orang sempat melirik bukan karena sombong, tapi karena pesona Ziva memang menonjol tanpa usaha.Begitu duduk di kursi empuk warna pastel, seorang desainer kuku datang mem
“Bayi dan ibunya meninggal secara misterius setelah proses persalinan di salah satu klinik swasta.”Musik dramatis video itu terdengar sayup, disertai foto hitam putih seorang ibu muda dengan senyum lembut, bersama bayi mungil yang baru lahir.Keterangan video menyebutkan bahwa penyebab pasti belum diketahui — entah karena kelalaian, atau gangguan medis yang belum terdeteksi.Ziva menatap layar lama, matanya pelan-pelan redup.“Ya Tuhan… segampang itu nyawa hilang,” gumamnya lirih, nada suaranya berubah lembut dan sendu.Ia menggulir kolom komentar, membaca berbagai reaksi netizen sebagian marah, sebagian sedih, sebagian lainnya malah nyinyir tanpa empati.“Kadang orang lupa… yang dilihat cuma hasil, bukan perjuangan,” katanya pelan, lebih pada dirinya sendiri.Terapis yang tadi sibuk memijat berhenti sebentar, menatap wajah Ziva di cermin.“Ada apa, Bu?” tanyanya hati-hati.Ziva tersenyum lemah. “Ah, gak apa-apa. Cuma lihat berita gak enak. Tentang ibu yang kehilangan nyawa waktu la
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar apartemen mereka, memantul lembut di lantai marmer.Ziva sibuk menata rambutnya di depan cermin, sementara Reza berdiri di belakangnya sambil menggulung lengan kemejanya.“Rambut kamu tambah panjang ya,” kata Reza tiba-tiba, suaranya hangat.Ziva menatap pantulan mereka di cermin, tersenyum kecil. “Iya, makanya hari ini aku mau creambath. Udah kayak rumput kering nih.”Reza tersenyum, langkahnya pelan mendekat.“Tetep cantik, kok. Ziva mendengus manja, pura-pura sibuk mengambil tasnya.“Udah, aku berangkat sendiri aja ya. Aku pengen me time, gak mau ada yang ganggu.”Reza menatapnya lembut, tidak menahan.“Yaudah, silakan. Kamu butuh waktu buat diri kamu sendiri juga, Sayang.”Ia sempat membantu Ziva memakaikan jaket panjangnya.“Cuma satu syarat.”Ziva menatap curiga. “Apa?”“Kalau udah kelar, kabarin aku. Aku jemput. Deal?”Ziva tersenyum kecil, pura-pura berpikir lama sebelum akhirnya mengangguk.“Deal. Tapi aku bakal lama.”“Gak mas







