Share

6. Dia Ditangkap

"Mama!"

Aku segera menghampiri Mama yang kini sudah membuka matanya.

"Ini lagi siap-siap mau ke mana?" tanya Mama nampak khawatir.

"Mama tenang aja, kita Cuma mau pindah kamar rawat, “ sahut ku pada akhirnya.

"Pindah kamar? Ini memang terlalu mahal kayanya," ungkap Mama sambil mengerutkan keningnya.

"Uangnya dari mana?" Mama menanyakan hal yang Aku takutkan. Ia sangat khawatir kepada ku. "Ayo kita pulang saja!" Ajak Mama lagi.

Akan tetapi, obrolan kami terinterupsi dan terpotong karena Mama dipindahkan ke brankar yang baru.

"Ibu jangan terlalu banyak berpikir ya! Supaya nanti operasinya berjalan dengan lancar dan berhasil,

"ucap perawat yang sedari tadi mengurusi Mama.

“Operasi?” tanya Mama seraya menatapku penuh tanya. Tapi, perawat lebih dulu mendorong brankarnya, sehingga Ia tak memiliki kesempatan untuk bertanya lebih banyak.

Aku mengikuti brankar Mama setelah mengambil satu kantong plastik miliknya. Kami ke rumah sakit tidak membawa apapun selain sebuah kantong plastik yang dibawakan oleh Pak RT, berisi baju-baju milik Mama.

“Alea! Alea!” panggil Mama yang merasa semakin khawatir.

“Sudah, Bu! Jangan banyak pikiran ya. Administrasi nya sudah dibayarkan, ibu tinggal menjalankan operasi dan harus siap lahir batin.” Tutur perawat yang kini sedang mendorong brankar Mama.

Meskipun kekhawatirannya bertambah tinggi, Mama pun kini terdiam tak lagi mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Semoga setelah berada di ruangan baru, Mama tak berusaha untuk mencecarku lagi. Mama pasti takut jika uang yang ku peroleh dari hal yang tidak halal.

Setelah berada di ruang VVIP, Mama mengedarkan pandangannya. Ia pun merasa kaget karena ruangan yang ia tempati saat ini mirip dengan ruangan hotel berbintang yang sering ia saksikan di televisi. Hal ini sangat berbanding jauh dengan ruangan yang tadi kami tempati, meskipun ruangan yang tadi kami tempati juga lebih bagus daripada ruangan di rumah.

“Alea, gimana kamu bisa bayar ruangan ini?” tanya Mama. Bahkan, saat ini pun Ia tak merasakan sakit yang setiap hari menggerogotinya.

“Ma, Alea harus shalat dulu ya! Udah adzan subuh. Alea mau ke mushalla, di sini enggak ada mukena. Nanti, Alea bantu Ibu shalat juga, ” ucap ku yang tak dapat disanggah Mama.

Sebenarnya, niat ku hanya ingin menghindari pertanyaan dari Mama saja, karena untuk mukena ada milik Mama di kantong.

“Tolong bantu Mama dulu ya, Mama mau shalat duluan. Nanti habis Mama shalat, baru kamu ke mushalla. Mama takut Mama meninggal duluan,” pinta Mama.

“Husss, Mama jangan bilang begitu!” ucapku, meskipun raga ini tetap saja melaksanakan titahnya.

Mama memang selalu menjaga shalatnya. Meskipun dalam keadaan sakit, Ia tetap melaksanakan shalat meskipun sambil tidur. Alasannya, karena Ia tak sanggup berdiri maupun duduk.

“Bu, nanti jam tujuh Ibu akan operasi. Ibu juga sudah puasa dari semalam, udah cukup untuk tindakan.”

“Dari mana kamu dapat uangnya, Nak?” tanya Mama dengan lembut.

Aku menatap manik mata Mama yang menuntut banyak jawab. “Dari yang halal, Ma. Nanti kita bicara lagi, Aku mau shalat dulu. Takut keburu habis waktunya,” ucap ku seraya mencium tangan Mama, kemudian beralih ke keningnya. Aku mengucapkan salam dan pergi meninggalkan Mama. Aku takut akan ada banyak pertanyaan lain yang harus ku jawab dengan hati-hati. Khawatir menjadi sumber pikiran Mama, dan mempengaruhi jalannya operasi.

Aku sengaja berlama-lama di mushalla, berada di sana sampai jam enam pagi. Menunggu Mama diurusi agar tak sempat bertanya banyak hal lagi kepadaku.

Benar saja, sesampainya di sana, Aku mendapati Mama sudah didorong menuju ruang operasi. Aku pun bernafas lega, kemudian mengikuti brankar Mama agak jauh. Aku tetap khawatir jika Mama masih sadar dan kembali bertanya. Jadi, Aku memilih mengikuti dari jarak jauh.

Ku percepat langkah saat melihat ruangan yang berdaun pintu dua, di atasnya dipasangi seperti lampu sirine. Aku berpikir jika itu adalah ruangan operasi yang dimaksud.

“Ma!” panggil ku seraya berlari. “Tunggu, Sus!” pinta ku karena tak mendapati kedua perawat yang mendorong brankar Mama berhenti.

“Saya mau ketemu Mama saya dulu!” pintaku seraya mendekati Mama.

“Maaf, pasien sudah dalam pengaruh bius. Silakan keluarga menunggu di luar!” sahut perawat yang mendorong brankar tersebut, tanpa menghentikan langkahnya.

Ada kecewa karena kebodohanku sendiri. Bagaimana bisa Aku meninggalkan Mama sebelum Ia dibius, hanya karena takut dicecar pertanyaan. “Mama, tadi Mama nyariin Alea enggak?” tanya ku berurai air mata, seraya menatap daun pintu yang sudah tertutup rapat.

“Maafin, Lea!” tangisku pun pecah beriringan dengan rasa sesal.

“Permisi!” ucap dua orang tenaga kesehatan yang sudah menggunakan APD lengkap. Keberadaan ku yang benar-benar berada di depan pintu hampir tak berjarak lah, yang membuatku menghalangi jalan seseorang untuk masuk ke ruang operasi.

“Dokter ya? Tolong selamatkan Ibu saya ya Dok!” pintaku memohon. Padahal, Aku tak tahu apakah orang yang berada di hadapanku adalah seorang dokter atau bukan.

“Kami akan berusaha semaksimal mungkin, Mbak berdoa saja!” ucapnya penuh kesabaran.

“Baik, Dok.”

“Jadi, bisa saya permisi?” tanyanya lagi membuat ku tersadar bahwa Aku telah menghalangi jalan.

“Ah, iya. Silakan!”

Aku pun segera beranjak dari tempat berdiri, memberikan jalan kepada dua tenaga kesehatan tersebut memasuki ruangan tindakan operasi.

Aku duduk di kursi tunggu, menundukkan pandanganku. Berpikir dan berdzikir demi keselamatan sang Ibu.

“Minum!”

Seseorang menyodorkan air mineral botol kemasan 600 ml. Aku pun mendongak dan mendapati Ruslan kini tengah berdiri di depanku.

“Terima kasih,” sahutku seraya menerima botol air mineral tersebut, membukanya kemudian meneguknya sampai habis setengah botol.

“Yang bayar rumah sakit dan... “

“Pak Zen. Beliau yang bayar,” potong Ruslan yang sudah mengerti kemana arah pembicaraanku.

“Tapi kartunya... “

“Itu disimpan saja, Nona. Untuk bekal,” ucapnya lagi.

“Oh iya, ini sarapannya!” Ruslan pun menyodorkan bingkisan lain kepadaku, seraya duduk di sampingku. “Tuan Zen belum bisa ke sini. Urusan rumah dan urusan kantornya cukup genting,” ucapnya lagi tanpa diminta.

Aku pun menganggukkan kepala, memaklumi apa yang harus dilakukan Zen. Lagipula, siapa Aku? Dibayarkan untuk pengobatan Mama saja Aku sudah sangat bersyukur.

Aku menerima bingkisan itu. Jujur saja, meskipun hatiku sedang kacau, tapi Aku merasakan perut sangat lapar dan melilit. Apalagi, Aku memiliki riwayat penyakit gerd.

“Pak Ruslan enggak makan?” tanya ku karena Ruslan tak membuka kotak apapun.

“Saya sudah sarapan.”

Aku hanya mengangguk saja dan segera melahap makanan itu sampai tandas. Setelah selesai, Aku pun permisi untuk mencari wastafel.

Aku berjalan menuju ruang operasi. Namun, Ia dikejutkan dengan keberadaan dua orang polisi yang mendorong seorang lelaki dengan tangan terikat ke belakang.

Aku memperhatikan kejadian itu dengan seksama, sampai di satu sisi, Aku jelas melihat siapa lelaki yang ditangkap polisi di rumah sakit ini.

“Pak Rafli!” gumam ku lirih.

*Bersambung*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status