Akad pun sudah dilaksanakan. Kini, Aku sudah resmi menjadi istri Zen.
Dengan ditemani anak buah pak Fandi, Aku bertolak ke rumah sakit dengan membawa uang beberapa juta, serta sebuah kartu debit dari pak Fandi yang berisi ratusan juta di dalamnya.Sedangkan Zen, Ia sedang menyelesaikan urusannya dalam pengambil alihan harta yang merupakan haknya. “Dari awal aja udah nampak alot, mudah-mudahan lancar,” gumamku berharap kebaikan untuk Zen.Aku turun dari mobil high MPV milik pak Fandi, tepat di lobi rumah sakit. Demi keamanan, Aku mengenakan masker atas permintaan Zen dan pak Fandi. Mereka mengatakan bahwa ketika sudah menjadi istri Zen, hidupku akan mulai tak tenang. Bisa jadi, Aku akan mulai diincar oleh anak buah Rima.“Saya akan parkir dulu, nanti Saya masuk. Atas nama siapa pasiennya?” tanya Ruslan, anak buah pak Fandi yang sebenarnya bukan sopir biasa, tapi sopir yang merangkap sebagai pengawal pribadi."Emmhh, tidak perlu merepotkan!"ucapku merasa tak enak hati."Saya ditugaskan oleh Pak Fandi untuk menjamin keselamatan Nona, " sahut Ruslan dengan tegas."Baiklah. Pasien atas nama Ibu Nur yang dirawat di ruang anggrek," jawabku pada akhirnya."Baik, nanti saya akan menyusul ke sana. "Aku anya mengganggukan kepala, kemudian Aku pun bergegas turun dari mobil dan memasuki lobby rumah sakit.Aku berjalan cukup tergesa. Pikiranku sudah dipenuhi tentang Mama. Aku ingin segera membayarkan biaya operasi agar penanganan bu Nur segera mendapatkan jadwal.Buggg..."Awww...!" Aku mengaduh karena berjalan hampir tak memperhatikan sekitarnya. Alhasil, Aku pun bertubrukan dengan seseorang."Maaf, Saya sedang buru-buru. Sekali lagi maaf ya Mbak! " suara bariton yang cukup ku kenal dalam beberapa hari ini membuatku terpekur dan tak bisa menjawab apapun."Mbak, maaf ya!" Ucapnya sekali lagi seraya mengibas-ngibaskan tangan kanannya di depan mataku."Eh, iya. Nggak apa-apa! " sahutku berusaha baik-baik saja."Kalau begitu saya permisi!" ucap Pak Rafli yang kini sudah melangkah menjauh dariku. Guru yang awalnya begitu ku hormati itu tak mengenali wajahku di balik masker.Aku masih terdiam karena kaget bertemu dengan Pak Rafli. Bahkan, pertemuan kami sangat dekat sehingga membuat diriku cukup ketakutan akan dikenali oleh Pak Rafli. Kakiku seperti dipaku dan tak bisa bergerak sama sekali.Tubuhku bergetar cukup hebat, sampai akhirnya Aku pun terduduk lemas di lantai rumah sakit. Dadaku kembang kempis, berusaha menahan sesak yang saat ini kurasakan. Keringat kini bercucuran, bahkan terasa begitu dingin.“Mbak, enggak apa-apa?” tanya seorang perawat yang tak sengaja lewat di sana.Aku tak mampu menjawab sedikit pun, malah air mata kini berderai dari kedua netraku.“Mbak!” panggil perawat itu lagi, sambil mencoba membawaki berdiri. Ia ingin mendudukkanku di kursi tunggu yang ada di ujung dalam lobi itu, namun Ia kewalahan.“Kenapa?”Akhirnya, ada beberapa orang yang melihat keadaanku saat ini, termasuk sekuriti yang ada di depan. Ia pun membantu sang perawat untuk membantuku duduk.“Mbak, minum!” titah salah satu perawat yang tadi bertugas di meja informasi. Ia pun menyodorkan satu botol air mineral 600 ml yang baru saja dibuka.Aku menerima botol minum itu, meneguknya tergesa sampai habis setengahnya. Aku berusaha mengumpulkan semua kekuatan.“Nona!” panggil Ruslan yang kini sudah berada di hadapanki.Aku mendongak. Netraku mendapati lelaki yang tadi mengantarku ke rumah sakit, kini ada dan mampu memberiku kekuatan.“Mas keluarganya?” tanya perawat yang tadi membantuku.“Iya,” sahut Ruslan membuat hatiku menghangat. Baru kali ini, selain dari Mama, ada seseorang yang mengaku sebagai keluarga. Meskipun Ia tahu bahwa pengakuan itu hanya untuk meredam pertanyaan lainnya.Setelah Ruslan mengakui bahwa Aku adalah keluarganya, akhirnya mereka yang awalnya mengerumuniku, bubar satu persatu. Perawat itu hanya memberi saran apabila Aku merasa ada yang salah dengan kondisiku, ia menyarankan untuk ke UGD saja."Nona... Nona bisa menemani Ibu Nona saja dulu. Biar saya yang akan mengurus semua administrasi nya, "ucapan Ruslan meyakinkan.Awalnya Aku menolak karena merasa tak enak hati, tapi mengingat akan ketakutanku jika harus bertemu lagi dengan Pak Rafli, ditambah badan yang terasa masih lemas, Aku pun menerima tawaran Ruslan tersebut.Setelah Ruslan mengantarkanku terlebih dahulu ke ruang rawat Mama, lelaki itu kembali pergi mengurusi administrasi untuk Mama."Mama!" Aku melihat gurat wajah Mama yang sedang terlelap. Tidurnya memang sangat lelap, mungkin dokter meresepkan obat agar Mama bisa beristirahat dengan cukup. Tidak seperti di rumah, Aku tidak pernah melihat mama tidur dengan tenang. Dia sering kali meringis kesakitan, dengan keringat yang terus bercucuran.Jika berada di sini, setidaknya Mama cukup istirahat meskipun belum menjalankan operasi."Lea sudah jadi istri orang, Ma. Mama harus sehat, biar Mama bisa menemani Lea. Lea juga sebentar lagi selesai sekolah. Doain Lea biar bisa membahagiakan Mama selalu! " ucapku lirih seraya memegang tangan Mama. Hingga akhirnya, Aku pun terlelap di samping brankar Mama.***“Mbak!" panggil seseorang sambil menepuk pundakku pelan."Ah, ya." Aku langsung bangun dan mengerjap, berusaha mengumpulkan nyawa yang masih terasa mengambang."Mbak, ibunya mau kami pindahkan dan persiapkan untuk pelaksanaan operasi. Kebetulan dokter dan waktunya tersedia, ditambah Ibu Nur harus segera melakukan operasi. Jadi, jam 7 dia akan melakukan operasi," cap perawat tersebut menjelaskan."Jam 07.00, Sus? " tanya Alea seolah tak percaya.Masalahnya, selama ini Aku tak berani walaupun hanya sekedar untuk membayangkan bahwa Mama akan dibawa ke meja operasi. Tapi sepertinya, impian itu akan segera menjadi nyata. Setidaknya, Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Mama."Ya! " jawabnya singkat membuatku langsung bangun dan berdiri."Mbak, sekarang jam berapa ya? " tanyaku."Masih jam 04.00, Mbak!" sahut perawat itu tanpa berhenti mengurusi Mama yang masih nampak terlelap."Oh, belum subuh ya? " tanyaku memastikan, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku pun mundur, memberikan ruang kepada perawat itu untuk mengurusi Mama.Tak lama, datang perawat lain yang membawa brankar Rumah Sakit, mendekat ke arah brankar yang ditempati oleh Mama." Mbak, bukannya nanti jam 07.00 ya?" Aku memang belum mengetahui bagaimana seseorang yang akan di operasi dipersiapkan. Aku tak tahu bagaimana prosedurnya."Kan mau pindah ruangan Mbak. Mau ke pindah ke VVIP. "Ucapan perawat itu membuat mulutku menganga. "pindah ke VVIP, Mbak?" tanyaku ingin memastikan pendengarannya."Iya. Ini kan permintaan dari keluarga, permintaan Mbak kan? " tanya perawat itu sekilas menoleh ke arahku.Aku tak banyak bicara lagi kepada sang perawat, justru Aku keluar dari ruangan perawatan Mama untuk mencari keberadaan Ruslan. Aku yakin jika Ruslan mengetahui banyak tentang kepindahan ruangan Mama."Alea!" Aku pun melirik ke arah sumber suara, saat langkahku di lorong rumah sakit ini.*Bersambung*"Mama!"Aku segera menghampiri Mama yang kini sudah membuka matanya."Ini lagi siap-siap mau ke mana?" tanya Mama nampak khawatir."Mama tenang aja, kita Cuma mau pindah kamar rawat, “ sahut ku pada akhirnya."Pindah kamar? Ini memang terlalu mahal kayanya," ungkap Mama sambil mengerutkan keningnya."Uangnya dari mana?" Mama menanyakan hal yang Aku takutkan. Ia sangat khawatir kepada ku. "Ayo kita pulang saja!" Ajak Mama lagi.Akan tetapi, obrolan kami terinterupsi dan terpotong karena Mama dipindahkan ke brankar yang baru."Ibu jangan terlalu banyak berpikir ya! Supaya nanti operasinya berjalan dengan lancar dan berhasil,"ucap perawat yang sedari tadi mengurusi Mama.“Operasi?” tanya Mama seraya menatapku penuh tanya. Tapi, perawat lebih dulu mendorong brankarnya, sehingga Ia tak memiliki kesempatan untuk bertanya lebih banyak.Aku mengikuti brankar Mama setelah mengambil satu kantong plastik
Aku terkejut melihat hal itu. Aku pun ketakutan dan tak ingin berlama-lama di sana.Namun sayang, ekor mata pak Rafli melihat keberadaanku yang tak menggunakan masker. Di sekolah, Aku memang pernah mengenakan kerudung saat acara maulid, sehingga tak sulit bagi pak Rafli untuk mengenaliku. Pak Rafli nampak mengatakan sesuatu kepadaku, namun hanya dengan gerakan bibir. Hanya saja, ketakutanku membuat gadis itu tak ingin tahu apa yang diucapkan oleh pak Rafli. Aku hanya ingin kabur dari sana dan tak terseret oleh kasus yang tak sempat Ia geluti. Aku hanya sempat mampir di sana, itu yang selalu Ia tekankan pada dirinya sendiri.“Mbak!”Suara bariton seseorang membuyarkan lamunan Alea yang mengiringi kepergian pak Rafli dan kedua polisi keluar lobi rumah sakit. Kehebohan yang mulai meredup, tak serta merta membuat hatiku kembali tenang.“Mbak!” panggil seseorang lagi. Kali ini, pundakku ditepuk cukup keras.“Iya.” Aku melirik dan men
“O-, masih bisa dicari.”“Tapi hanya bisa nerima dari golongan darah yang sama,” sangkalku. Aku merasa tak tenang saat mendengar hal itu.“Kalau enggak ada, Nona bisa mendonorkan darah Nona,” usul Ruslan membuat ku mengerutkan kening.“Golongan darah kami beda,” ucap ku membuat Ruslan yang kini mengerutkan keningnya.“Beda?” tanya Ruslan seraya menatap ku tak percaya.“Ya... bisa saja Aku samanya kaya Ayah. Kenapa jadi masalah?” ketus ku. Aku cukup kesal dengan Ruslan yang terlalu banyak bertanya.“Oh, enggak apa-apa, Nona. Permisi, saya mau carikan dulu kantong darahnya,” ucap Ruslan seraya berlalu pergi.Aku tak menjawab lagi, hanya menghembuskan nafas kasar, kemudian ku dudukkan bokong di kursi tunggu, tak jauh dari ruang operasi.Sudah hampir dua jam operasi dilakukan, namun tak ada tanda-tanda operasi akan berakhir. Bahkan, lampu yang berada di atas pintu ruang operasi pun masih berwarna merah.“Mb
“Apa, Pak?” tanya Zen semakin penasaran saat melihat keterdiaman pak Fandi.“Gay,” ucap pak Fandi pada akhirnya.“Appa?” pekik Zen setengah berteriak. “Biadab, dasar!” umpat Zen tepat di depan pak Fandi.“Masih mau diam?” tanya pak Fandi seraya menautkan alisnya.Zen menatap manik mata pak Fandi, sahabat almarhumah ibunya itu memang nampak tak suka kebohongan. “Betulkah ucapan Bapak?” tanya Zen lagi untuk lebih meyakinkan.“Nak Zen tahu dan kenal jelas siapa saya,” ucapnya lagi. Kemudian berlalu meninggalkan Zen yang masih mematung sendiri.Setelah tercenung beberapa saat, Zen pun akhirnya melangkahkan kakinya, mengikuti pak Fandi yang sudah berjalan terlebih dahulu.Zen duduk di sofa, tepat di samping pak Fandi.“Baiklah, Saya akan membacakan kembali surat wasiat harta yang sudah dituliskan oleh mendiang... mendiang bu Alisa. Saya hanya khawatir ada yang lupa dengan isinya,” ucap pak Fandi seraya menatap ke arah pak
“Zen mohon sudahi, Pa! Semua ini milik Zen dari almarhumah. Kenapa harus pindah tangan kepada Tante Rima? Zen merasa dirampok. Bukankah mempertahankan harta benda dari tangan perampok bisa mendapatkan pahala syahid?” ucap Zen seraya menaikkan satu sudut bibir nya.“Iya. Lanjutkan saja pak Fandi!” ucap Fatan pada akhirnya. Sungguh Ia merasa dipermalukan oleh Zen, meskipun di sisi hati lainnya Ia mengatakan bahwa ucapan Zen benar.“Enggak bisa, Pa...!” seru Rima dengan amarah yang mulai Ia perlihatkan, yang selama ini tertutupi oleh kepura-puraan.“Ssstt...!” Pak Fatan memberi isyarat agar istrinya diam dan tak menambah masalah.“Enggak. Jangan nyuruh Bunda diam sedangkan mulutnya anakmu itu kaya tempat sampah. Beraninya mengatakan saya perampok, padahal... “Plakkk...Tanpa sadar, Fatan menampar pipi Rima hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Semua orang yang berada di sana terdiam, tak pernah membayangkan bahwa pak Fatan y
“Anak kesayangan Papa, kelihatan aslinya,” celetuk Zen membuat pak Fatan menarik nafasnya dalam-dalam.“Dia hanya membela Papa,” sahut lelaki paruh baya yang menjadi penyebab lahirnya Zen ke dunia.“Apapun yang Aku katakan tak akan pernah didengar, jadi buat apa lagi Aku harus menunjukkan kebenaran. Biarlah, nanti juga akan terbuka siapa yang benar dan siapa yang salah,” sahut Zen tak ingin memperpanjang perdebatannya lagi dengan pak Fatan. Ibaratkan ceret yang tertutup, diisi air apapun ia tak akan mampu menampungnya. Berbeda jika tutupnya dibuka, maka air apapun akan masuk, terkecuali si pemilik memilah dan memilih air apa yang akan diterima ceret. Seperti itulah, pola pikir dan hati manusia.“Bukannya begitu Zen... ““Tolong dilanjut, Pak! Ini sudah hampir tengah malam. Kita semua tentu butuh istirahat.” Zen memotong ucapan pak Fatan yang Ia yakini hanya ucapan pembelaan saja.Pak Fatan menutup mulutnya kembali. Ia sadar betul bahwa Ze
Zen mengeratkan kepalan tangannya karena sakit hati dengan apa yang diucapkan oleh pak Fatan. Bahkan, Ia masih mengingat wajah sinis dan penuh kemenangan dari wajah Renisa.Zen merasakan ada telapak tangan yang menenangkan di pundaknya. Ia pun menoleh ke arah pak Fandi yang berusaha menenagkannya. “Saya sendirian, Pak. Saya sebatang kara,” lirih suara Zen, namun masih jelas terdengar di telinga pak Fandi.“Nak Zen tenang saja, ada Saya di pihak nak Zen. Juga... Jangan lupa, saat ini nak Zen sudah punya istri.”Zen tersenyum kecut, kemudian melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah itu lebih dulu.“Bapak lupa, Saya belum mengenal siapa istri Saya. Apa pernikahan ini juga akan berhasil atau tidak,” ucap Zen seraya terkekeh. “Sudahlah Pak, jangan terlalu menghibur Saya. Tapi... “ ucap Zen seraya menghentikkan langkahnya sesaat, menatap ke arah pak Fandi. “Saya mengucapkan banyak banyak terima kasih, Pak! Jasa Bapak sangat besar buat saya, dan Saya
Pletakkk...“Awww... “ keluhku saat sesuatu terasa menghujam di kening. Rasanya seperti palu godam yang mengayun ke arah kening.“Hahahahahaha... “ rasanya ada suara buto ijo yang terdengar begitu membahana, sangat dekat denganku.“Hey, bangun!” lirih suara Santi, teman satu bangku denganku seraya mencubit pahaku cukup keras. Sungguh berbanding terbalik dengan suaranya yang tak mungkin terdengar sampai ke depan kelas.“Awww... “ teriakku, membuat tawa seisi kelas kembali membahana.“Lea! Lea! Jangan karena kamu bisa mengerjakan semua soal, membuat Saya memaklumi kebiasaan barumu. Jangan tidur di kelas!” gelegar suara pak Yahya begitu memekakan telinga.“Ya ampun, Aku masih di kelas ya?” tanyaku begitu polosnya.“Huuuuuu... “ sorak membahana dari seisi kelas.“Mentang-mentang ini hari terakhir pemantapan, kamu seenaknya tidur di kelas, sedangkan Saya berpeluh banyak karena berupaya keras membuat kalian semua paha