Share

DAS 5. Lea sudah menjadi istri, Ma!

Akad pun sudah dilaksanakan. Kini, Aku sudah resmi menjadi istri Zen.

Dengan ditemani anak buah pak Fandi, Aku bertolak ke rumah sakit dengan membawa uang beberapa juta, serta sebuah kartu debit dari pak Fandi yang berisi ratusan juta di dalamnya.

Sedangkan Zen, Ia sedang menyelesaikan urusannya dalam pengambil alihan harta yang merupakan haknya. “Dari awal aja udah nampak alot, mudah-mudahan lancar,” gumamku berharap kebaikan untuk Zen.

Aku turun dari mobil high MPV milik pak Fandi, tepat di lobi rumah sakit. Demi keamanan, Aku mengenakan masker atas permintaan Zen dan pak Fandi. Mereka mengatakan bahwa ketika sudah menjadi istri Zen, hidupku akan mulai tak tenang. Bisa jadi, Aku akan mulai diincar oleh anak buah Rima.

“Saya akan parkir dulu, nanti Saya masuk. Atas nama siapa pasiennya?” tanya Ruslan, anak buah pak Fandi yang sebenarnya bukan sopir biasa, tapi sopir yang merangkap sebagai pengawal pribadi.

"Emmhh, tidak perlu merepotkan!"ucapku merasa tak enak hati.

"Saya ditugaskan oleh Pak Fandi untuk menjamin keselamatan Nona, " sahut Ruslan dengan tegas.

"Baiklah. Pasien atas nama Ibu Nur yang dirawat di ruang anggrek," jawabku pada akhirnya.

"Baik, nanti saya akan menyusul ke sana. "

Aku anya mengganggukan kepala, kemudian Aku pun bergegas turun dari mobil dan memasuki lobby rumah sakit.

Aku berjalan cukup tergesa. Pikiranku sudah dipenuhi tentang Mama. Aku ingin segera membayarkan biaya operasi agar penanganan bu Nur segera mendapatkan jadwal.

Buggg...

"Awww...!" Aku mengaduh karena berjalan hampir tak memperhatikan sekitarnya. Alhasil, Aku pun bertubrukan dengan seseorang.

"Maaf, Saya sedang buru-buru. Sekali lagi maaf ya Mbak! " suara bariton yang cukup ku kenal dalam beberapa hari ini membuatku terpekur dan tak bisa menjawab apapun.

"Mbak, maaf ya!" Ucapnya sekali lagi seraya mengibas-ngibaskan tangan kanannya di depan mataku.

"Eh, iya. Nggak apa-apa! " sahutku berusaha baik-baik saja.

"Kalau begitu saya permisi!" ucap Pak Rafli yang kini sudah melangkah menjauh dariku. Guru yang awalnya begitu ku hormati itu tak mengenali wajahku di balik masker.

Aku masih terdiam karena kaget bertemu dengan Pak Rafli. Bahkan, pertemuan kami sangat dekat sehingga membuat diriku cukup ketakutan akan dikenali oleh Pak Rafli. Kakiku seperti dipaku dan tak bisa bergerak sama sekali.

Tubuhku bergetar cukup hebat, sampai akhirnya Aku pun terduduk lemas di lantai rumah sakit. Dadaku kembang kempis, berusaha menahan sesak yang saat ini kurasakan. Keringat kini bercucuran, bahkan terasa begitu dingin.

“Mbak, enggak apa-apa?” tanya seorang perawat yang tak sengaja lewat di sana.

Aku tak mampu menjawab sedikit pun, malah air mata kini berderai dari kedua netraku.

“Mbak!” panggil perawat itu lagi, sambil mencoba membawaki berdiri. Ia ingin mendudukkanku di kursi tunggu yang ada di ujung dalam lobi itu, namun Ia kewalahan.

“Kenapa?”

Akhirnya, ada beberapa orang yang melihat keadaanku saat ini, termasuk sekuriti yang ada di depan. Ia pun membantu sang perawat untuk membantuku duduk.

“Mbak, minum!” titah salah satu perawat yang tadi bertugas di meja informasi. Ia pun menyodorkan satu botol air mineral 600 ml yang baru saja dibuka.

Aku menerima botol minum itu, meneguknya tergesa sampai habis setengahnya. Aku berusaha mengumpulkan semua kekuatan.

“Nona!” panggil Ruslan yang kini sudah berada di hadapanki.

Aku mendongak. Netraku mendapati lelaki yang tadi mengantarku ke rumah sakit, kini ada dan mampu memberiku kekuatan.

“Mas keluarganya?” tanya perawat yang tadi membantuku.

“Iya,” sahut Ruslan membuat hatiku menghangat. Baru kali ini, selain dari Mama, ada seseorang yang mengaku sebagai keluarga. Meskipun Ia tahu bahwa pengakuan itu hanya untuk meredam pertanyaan lainnya.

Setelah Ruslan mengakui bahwa Aku adalah keluarganya, akhirnya mereka yang awalnya mengerumuniku, bubar satu persatu. Perawat itu hanya memberi saran apabila Aku merasa ada yang salah dengan kondisiku, ia menyarankan untuk ke UGD saja.

"Nona... Nona bisa menemani Ibu Nona saja dulu. Biar saya yang akan mengurus semua administrasi nya, "ucapan Ruslan meyakinkan.

Awalnya Aku menolak karena merasa tak enak hati, tapi mengingat akan ketakutanku jika harus bertemu lagi dengan Pak Rafli, ditambah badan yang terasa masih lemas, Aku pun menerima tawaran Ruslan tersebut.

Setelah Ruslan mengantarkanku terlebih dahulu ke ruang rawat Mama, lelaki itu kembali pergi mengurusi administrasi untuk Mama.

"Mama!" Aku melihat gurat wajah Mama yang sedang terlelap. Tidurnya memang sangat lelap, mungkin dokter meresepkan obat agar Mama bisa beristirahat dengan cukup. Tidak seperti di rumah, Aku tidak pernah melihat mama tidur dengan tenang. Dia sering kali meringis kesakitan, dengan keringat yang terus bercucuran.

Jika berada di sini, setidaknya Mama cukup istirahat meskipun belum menjalankan operasi.

"Lea sudah jadi istri orang, Ma. Mama harus sehat, biar Mama bisa menemani Lea. Lea juga sebentar lagi selesai sekolah. Doain Lea biar bisa membahagiakan Mama selalu! " ucapku lirih seraya memegang tangan Mama. Hingga akhirnya, Aku pun terlelap di samping brankar Mama.

***

“Mbak!" panggil seseorang sambil menepuk pundakku pelan.

"Ah, ya." Aku langsung bangun dan mengerjap, berusaha mengumpulkan nyawa yang masih terasa mengambang.

"Mbak, ibunya mau kami pindahkan dan persiapkan untuk pelaksanaan operasi. Kebetulan dokter dan waktunya tersedia, ditambah Ibu Nur harus segera melakukan operasi. Jadi, jam 7 dia akan melakukan operasi," cap perawat tersebut menjelaskan.

"Jam 07.00, Sus? " tanya Alea seolah tak percaya.

Masalahnya, selama ini Aku tak berani walaupun hanya sekedar untuk membayangkan bahwa Mama akan dibawa ke meja operasi. Tapi sepertinya, impian itu akan segera menjadi nyata. Setidaknya, Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Mama.

"Ya! " jawabnya singkat membuatku langsung bangun dan berdiri.

"Mbak, sekarang jam berapa ya? " tanyaku.

"Masih jam 04.00, Mbak!" sahut perawat itu tanpa berhenti mengurusi Mama yang masih nampak terlelap.

"Oh, belum subuh ya? " tanyaku memastikan, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku pun mundur, memberikan ruang kepada perawat itu untuk mengurusi Mama.

Tak lama, datang perawat lain yang membawa brankar Rumah Sakit, mendekat ke arah brankar yang ditempati oleh Mama.

" Mbak, bukannya nanti jam 07.00 ya?" Aku memang belum mengetahui bagaimana seseorang yang akan di operasi dipersiapkan. Aku tak tahu bagaimana prosedurnya.

"Kan mau pindah ruangan Mbak. Mau ke pindah ke VVIP. "

Ucapan perawat itu membuat mulutku menganga. "pindah ke VVIP, Mbak?" tanyaku ingin memastikan pendengarannya.

"Iya. Ini kan permintaan dari keluarga, permintaan Mbak kan? " tanya perawat itu sekilas menoleh ke arahku.

Aku tak banyak bicara lagi kepada sang perawat, justru Aku keluar dari ruangan perawatan Mama untuk mencari keberadaan Ruslan. Aku yakin jika Ruslan mengetahui banyak tentang kepindahan ruangan Mama.

"Alea!" Aku pun melirik ke arah sumber suara, saat langkahku di lorong rumah sakit ini.

*Bersambung*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status