Share

DAS 4. Hampir

Zen menarik pergelangan tanganku. Aku hanya mengikuti langkahnya dan tak ingin bertanya apapun.

Setelah kami berada di teras luar, ia pun menarik nafasnya panjang-panjang. “Dengar, aku tak mungkin mundur lagi. Kau bisa menyebutkan nama yang kau ingat? Maksudku, mungkin ada sekelebat ingatan yang lewat dan itu tentang nama Ayah kamu.” Zen menangkupkan kedua tangannya pertanda ia memohon atas hal ini.

“Kalau sebagian catatan di sekolah sih, itu Fauzan. Jadi, ibu daftarin aku dengan nama Ayah Fauzan, tapi Aku enggak tahu Fauzan itu siapa. Aku enggak pernah ketemu, juga enggak ada di kartu keluarga.” Aku bersender ke tembok sambil berusaha mengingat sesuatu. "Enggak ada sedikitpun ingatan tentang... Ayah," ucapku lagi seraya melepas beban-beban berat.

“Isshhh... “ Zen menyugar rambutnya dengan frustasi. Sepertinya Ia bingung apabila harus mundur.

Selama ini, harta warisan ibunya dikuasai oleh Rima, ibu tiri yang selama ini memperlakukannya tak adil. Baru kali ini juga Ia sadar untuk melawan, tentunya setelah bertemu dengan seseorang yang membuka mata dan pikirannya.

“Eh, kok di sini?” tanya pak penghulu yang ternyata ikut ke luar.

“Pak penghulu, bisa kita ngobrol sebentar?” pinta Zen seraya mendekati lelaki bertubuh tinggi kurus itu.

“Baik. Tapi, Saya mau ambil map dulu, tadi ketinggalan di mobil. Sebentar ya!” lelaki yang bertugas sebagai penghulu itu pun segera menjauh dari kami, menuju sebuah sedan putih yang Ia parkirkan di salah satu sudut pekarangan rumah.

Zen terduduk sambil menunduk, Ia berpikir keras tentang apa yang harus Ia lakukan saat ini.

Sedangkan Aku baru melihat bangunan mewah yang tadi Aku masuki. Rumah bergaya kastil itu membuat mulutku menganga dan mataku tak berkedip. Untuk kedua kalinya, Aku baru menyadari hal yang luar biasa ada di hadapanku, bahkan bersentuhan denganku.

“Ada apa?”

Tiba-tiba, pak penghulu sudah berada diantara kami. Ia pun ikut duduk di kursi salah satu sudut teras, yang sedari tadi diduduki oleh Zen.

“Pak, calon istri saya tidak tahu ayahnya siapa. Kemungkinan, Ia anak... Emmh, maaf... Diluar nikah. Dia, tidak pernah tahu Ayahnya... “

Pak penghulu pun melirik ke arahku yang kini menundukkan kepala. “Duduklah, Nak! Ceritakan yang benar, baru saya putuskan harus bagaimana. Masalah ini berkaitan dengan keabsahan pernikahan kalian, jadi tidak bisa main-main. Kalau Saya salah memutuskan, nanti Saya berdosa jika salah, atau membuat kalian berzina seumur hidup,” ucapnya panjang lebar.

Aku pun mendudukkan bokong di salah satu kursi di sana. Aku menceritakan bahwa kemungkinan bahwa Aku adalah anak hasil zina. Hal ini diperkuat dengan ucapan-ucapan tetangga, meskipun Mama tak pernah mengatakan hal itu. “Mama tidak membenarkan ucapan tetangga, juga tidak pernah membantah. Saya pun tidak pernah tahu siapa dan bagaimana rupa Ayah.” Aku memainkan jari jemari tangan sendiri, menutupi gelisah di hati.

“Apa Ibumu bisa hadir?” tanya pak penghulu lagi.

Aku menggelengkan kepala dengan yakin, “Mama, masih kritis di rumah sakit. Harusnya, Ia dioperasi secepatnya.”

“Baiklah, pernikahan akan kita laksanakan dengan wali hakim. Hanya saja, Saya meminta sumpah bahwa apa yang kalian ucapkan adalah kebenaran!”

Aku pun segera menganggukkan kepala. Sedangkan Zen, Ia tak memiliki banyak waktu untuk menemukan perempuan lain untuk Ia nikahi dengan segera. Besok, akan diadakan penandatanganan penguasaan harta yang dialihkan kepada pak Fatan dan Rima, yang membuat Zen bertekad malam ini juga Ia harus mengambil hakku.

“Terima kasih banyak, Pak. Mari kita laksanakan saat ini juga!” ajak Zen seraya berdiri.

“Sebentar!” ucap pak penghulu yang kembali membuat langkah Zen terhenti.

“Apa enggak ada baju yang lebih sopan untuk Mbak-nya? Maaf, tapi ini kan momen sakral, alangkah lebih baiknya dengan baju yang... layak,” ucap pak penghulu. Meskipun nampak tak enak hati, tapi Ia pun mengungkapkan unek-unek nya.

“Pak, maaf bukannya saya enggak mau ngikutin saran, tapi rumah ini memang sangat besar dan seharusnya milik saya, tapi saya belum bisa jadi pemiliknya kalau Saya belum nikah. Jadi, Saya enggak bisa ngasih baju dari lemari manapun untuk istri Saya. Maaf!” ucap Zen lirih.

“Emmhh, kebetulan saya bawa baju buat istri saya, masih baru. Kalau berkenan pakai, Saya ambilkan,” ungkapnya seraya menatap ke arah Zen, meminta persetujuan.

“Kalau Bapak ikhlas, dengan senang hati Saya mau pakai. Saya juga enggak nyaman pake beginian,” ungkapku membuat kedua lelaki yang berada di dekatku mengerutkan kening.

“Oh, ya sudah. Tunggu, saya ambilkan dulu. Sebentar!” ucap pak penghulu seraya berjalan menuju mobilnya.

“Kamu... “

Ucapan Zen terhenti saat Aku menatapnya. Ia pun hanya menggaruk tengkuknya, tak meneruskan ucapannya setelah melihat tatapan tajam dariku.

Melihat Zen yang nampak salah tingkah, Aku pun kembali memalingkan pandangan dari Zen. Namun, tak disangka, Zen justru melanjutkan ucapannya yang sempat terhenti.

“Kalau memang enggak nyaman, kenapa kamu pake pakaian begitu?” tanya Zen pada akhirnya.

Aku menelan ludah saat mendengar pertanyaan Zen. “Itu... “

“Ini!”

Suara bariton pak penghulu menginterupsi obrolan kami. Lelaki uang sudah cukup berumur itu pun menyodorkan bingkisan kepadaku.

Tanpa pikir panjang, Aku segera mengambilnya dari tangan pak penghulu. “Terima kasih banyak, Pak. Do’akan saya, Mudah-mudahan secepatnya bisa ganti.” Aku mengerti bahwa baju yang diberikan oleh pak penghuli, pasti hadiah untuk istrinya. Atau, bisa jadi pesanan istrinya.

“Saya ikhlas,” sahut pang penghulu.

Aku hanya menampilkan senyum sekilas, tanpa menjawab ucapannya. Aku sudah berjanji dalam hati, jika nanti sudah mendapatkan uang, Aku tidak akan melupakan kebaikan yang dilakukan oleh penghulu yang belum ku ketahui namanya.

Tanpa ba bi bu, Aku langsung membuka paperbag dan bungkus plastik baju, kemudian kupakai dengan cara menumpuknya dengan baju yang ku kenakan.

“Saya duluan ke dalam,” ucap pak penghulu tersebut, sepertinya karena tak enak harus melihatku mengenakan baju di hadapannya, meskipun tanpa melepas baju yang kupakai.

Zen pun mengikuti langkah pak penghulu, meninggalkanku seorang diri di teras.

Aku tak peduli. Setelah gamis cantik melekat di tubuhku, Aku pun mencari kran air untuk mencuci wajah. Aku yakin, saat ini wajah yang tadi sempat melakukan perawatan, menjadi kotor dan kusam.

Untung saja, kran air berada tak jauh di teras. Aku pun membasuh wajah, memperkirakan bahwa wajah sudah bersih, kemudian mengenakan jilbab yang juga tersedia di dalam paperbag, lengkap dengan pernak-pernik nya.

Setelah merasa cukup siap, Aku menarik nafas dalam-dalam, sebelum ku langkahkan kaki untuk kembali ke dalam rumah.

“Mama, do’akan Lea biar dapat keputusan yang tepat. Semoga langkah Lea bisa membuat Mama bahagia,” ucapku pada diri sendiri, kemudian Aku pun kembali melangkahkan kaki.

Kriettt...

Aku mendorong daun pintu yang berukuran besar tersebut dengan sangat pelan. Sebenarnya, pintu itu pun tak benar-benar tertutup, tapi untuk melewatinya, tentu Aku harus tetap mendorongnya.

Ruangan pertama hanya menempatkan sebuah meja bundar. Aku terus masuk ke dalam, dimana tadi Aku ikut berkumpul dengan orang-orang yang mungkin saja sebagai keluarga Zen.

“Alea!”

Zen memekik saat matanya menatapku yang kini berdiri di hadapan mereka. Semua mata pun tertuju padaku.

*Bersambung*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status