Zen menarik pergelangan tanganku. Aku hanya mengikuti langkahnya dan tak ingin bertanya apapun.
Setelah kami berada di teras luar, ia pun menarik nafasnya panjang-panjang. “Dengar, aku tak mungkin mundur lagi. Kau bisa menyebutkan nama yang kau ingat? Maksudku, mungkin ada sekelebat ingatan yang lewat dan itu tentang nama Ayah kamu.” Zen menangkupkan kedua tangannya pertanda ia memohon atas hal ini.“Kalau sebagian catatan di sekolah sih, itu Fauzan. Jadi, ibu daftarin aku dengan nama Ayah Fauzan, tapi Aku enggak tahu Fauzan itu siapa. Aku enggak pernah ketemu, juga enggak ada di kartu keluarga.” Aku bersender ke tembok sambil berusaha mengingat sesuatu. "Enggak ada sedikitpun ingatan tentang... Ayah," ucapku lagi seraya melepas beban-beban berat.“Isshhh... “ Zen menyugar rambutnya dengan frustasi. Sepertinya Ia bingung apabila harus mundur.Selama ini, harta warisan ibunya dikuasai oleh Rima, ibu tiri yang selama ini memperlakukannya tak adil. Baru kali ini juga Ia sadar untuk melawan, tentunya setelah bertemu dengan seseorang yang membuka mata dan pikirannya.“Eh, kok di sini?” tanya pak penghulu yang ternyata ikut ke luar.“Pak penghulu, bisa kita ngobrol sebentar?” pinta Zen seraya mendekati lelaki bertubuh tinggi kurus itu.“Baik. Tapi, Saya mau ambil map dulu, tadi ketinggalan di mobil. Sebentar ya!” lelaki yang bertugas sebagai penghulu itu pun segera menjauh dari kami, menuju sebuah sedan putih yang Ia parkirkan di salah satu sudut pekarangan rumah.Zen terduduk sambil menunduk, Ia berpikir keras tentang apa yang harus Ia lakukan saat ini.Sedangkan Aku baru melihat bangunan mewah yang tadi Aku masuki. Rumah bergaya kastil itu membuat mulutku menganga dan mataku tak berkedip. Untuk kedua kalinya, Aku baru menyadari hal yang luar biasa ada di hadapanku, bahkan bersentuhan denganku.“Ada apa?”Tiba-tiba, pak penghulu sudah berada diantara kami. Ia pun ikut duduk di kursi salah satu sudut teras, yang sedari tadi diduduki oleh Zen.“Pak, calon istri saya tidak tahu ayahnya siapa. Kemungkinan, Ia anak... Emmh, maaf... Diluar nikah. Dia, tidak pernah tahu Ayahnya... “Pak penghulu pun melirik ke arahku yang kini menundukkan kepala. “Duduklah, Nak! Ceritakan yang benar, baru saya putuskan harus bagaimana. Masalah ini berkaitan dengan keabsahan pernikahan kalian, jadi tidak bisa main-main. Kalau Saya salah memutuskan, nanti Saya berdosa jika salah, atau membuat kalian berzina seumur hidup,” ucapnya panjang lebar.Aku pun mendudukkan bokong di salah satu kursi di sana. Aku menceritakan bahwa kemungkinan bahwa Aku adalah anak hasil zina. Hal ini diperkuat dengan ucapan-ucapan tetangga, meskipun Mama tak pernah mengatakan hal itu. “Mama tidak membenarkan ucapan tetangga, juga tidak pernah membantah. Saya pun tidak pernah tahu siapa dan bagaimana rupa Ayah.” Aku memainkan jari jemari tangan sendiri, menutupi gelisah di hati.“Apa Ibumu bisa hadir?” tanya pak penghulu lagi.Aku menggelengkan kepala dengan yakin, “Mama, masih kritis di rumah sakit. Harusnya, Ia dioperasi secepatnya.”“Baiklah, pernikahan akan kita laksanakan dengan wali hakim. Hanya saja, Saya meminta sumpah bahwa apa yang kalian ucapkan adalah kebenaran!”Aku pun segera menganggukkan kepala. Sedangkan Zen, Ia tak memiliki banyak waktu untuk menemukan perempuan lain untuk Ia nikahi dengan segera. Besok, akan diadakan penandatanganan penguasaan harta yang dialihkan kepada pak Fatan dan Rima, yang membuat Zen bertekad malam ini juga Ia harus mengambil hakku.“Terima kasih banyak, Pak. Mari kita laksanakan saat ini juga!” ajak Zen seraya berdiri.“Sebentar!” ucap pak penghulu yang kembali membuat langkah Zen terhenti.“Apa enggak ada baju yang lebih sopan untuk Mbak-nya? Maaf, tapi ini kan momen sakral, alangkah lebih baiknya dengan baju yang... layak,” ucap pak penghulu. Meskipun nampak tak enak hati, tapi Ia pun mengungkapkan unek-unek nya.“Pak, maaf bukannya saya enggak mau ngikutin saran, tapi rumah ini memang sangat besar dan seharusnya milik saya, tapi saya belum bisa jadi pemiliknya kalau Saya belum nikah. Jadi, Saya enggak bisa ngasih baju dari lemari manapun untuk istri Saya. Maaf!” ucap Zen lirih.“Emmhh, kebetulan saya bawa baju buat istri saya, masih baru. Kalau berkenan pakai, Saya ambilkan,” ungkapnya seraya menatap ke arah Zen, meminta persetujuan.“Kalau Bapak ikhlas, dengan senang hati Saya mau pakai. Saya juga enggak nyaman pake beginian,” ungkapku membuat kedua lelaki yang berada di dekatku mengerutkan kening.“Oh, ya sudah. Tunggu, saya ambilkan dulu. Sebentar!” ucap pak penghulu seraya berjalan menuju mobilnya.“Kamu... “Ucapan Zen terhenti saat Aku menatapnya. Ia pun hanya menggaruk tengkuknya, tak meneruskan ucapannya setelah melihat tatapan tajam dariku.Melihat Zen yang nampak salah tingkah, Aku pun kembali memalingkan pandangan dari Zen. Namun, tak disangka, Zen justru melanjutkan ucapannya yang sempat terhenti.“Kalau memang enggak nyaman, kenapa kamu pake pakaian begitu?” tanya Zen pada akhirnya.Aku menelan ludah saat mendengar pertanyaan Zen. “Itu... ““Ini!”Suara bariton pak penghulu menginterupsi obrolan kami. Lelaki uang sudah cukup berumur itu pun menyodorkan bingkisan kepadaku.Tanpa pikir panjang, Aku segera mengambilnya dari tangan pak penghulu. “Terima kasih banyak, Pak. Do’akan saya, Mudah-mudahan secepatnya bisa ganti.” Aku mengerti bahwa baju yang diberikan oleh pak penghuli, pasti hadiah untuk istrinya. Atau, bisa jadi pesanan istrinya.“Saya ikhlas,” sahut pang penghulu.Aku hanya menampilkan senyum sekilas, tanpa menjawab ucapannya. Aku sudah berjanji dalam hati, jika nanti sudah mendapatkan uang, Aku tidak akan melupakan kebaikan yang dilakukan oleh penghulu yang belum ku ketahui namanya.Tanpa ba bi bu, Aku langsung membuka paperbag dan bungkus plastik baju, kemudian kupakai dengan cara menumpuknya dengan baju yang ku kenakan.“Saya duluan ke dalam,” ucap pak penghulu tersebut, sepertinya karena tak enak harus melihatku mengenakan baju di hadapannya, meskipun tanpa melepas baju yang kupakai.Zen pun mengikuti langkah pak penghulu, meninggalkanku seorang diri di teras.Aku tak peduli. Setelah gamis cantik melekat di tubuhku, Aku pun mencari kran air untuk mencuci wajah. Aku yakin, saat ini wajah yang tadi sempat melakukan perawatan, menjadi kotor dan kusam.Untung saja, kran air berada tak jauh di teras. Aku pun membasuh wajah, memperkirakan bahwa wajah sudah bersih, kemudian mengenakan jilbab yang juga tersedia di dalam paperbag, lengkap dengan pernak-pernik nya.Setelah merasa cukup siap, Aku menarik nafas dalam-dalam, sebelum ku langkahkan kaki untuk kembali ke dalam rumah.“Mama, do’akan Lea biar dapat keputusan yang tepat. Semoga langkah Lea bisa membuat Mama bahagia,” ucapku pada diri sendiri, kemudian Aku pun kembali melangkahkan kaki.Kriettt...Aku mendorong daun pintu yang berukuran besar tersebut dengan sangat pelan. Sebenarnya, pintu itu pun tak benar-benar tertutup, tapi untuk melewatinya, tentu Aku harus tetap mendorongnya.Ruangan pertama hanya menempatkan sebuah meja bundar. Aku terus masuk ke dalam, dimana tadi Aku ikut berkumpul dengan orang-orang yang mungkin saja sebagai keluarga Zen.“Alea!”Zen memekik saat matanya menatapku yang kini berdiri di hadapan mereka. Semua mata pun tertuju padaku.*Bersambung*Akad pun sudah dilaksanakan. Kini, Aku sudah resmi menjadi istri Zen.Dengan ditemani anak buah pak Fandi, Aku bertolak ke rumah sakit dengan membawa uang beberapa juta, serta sebuah kartu debit dari pak Fandi yang berisi ratusan juta di dalamnya.Sedangkan Zen, Ia sedang menyelesaikan urusannya dalam pengambil alihan harta yang merupakan haknya. “Dari awal aja udah nampak alot, mudah-mudahan lancar,” gumamku berharap kebaikan untuk Zen.Aku turun dari mobil high MPV milik pak Fandi, tepat di lobi rumah sakit. Demi keamanan, Aku mengenakan masker atas permintaan Zen dan pak Fandi. Mereka mengatakan bahwa ketika sudah menjadi istri Zen, hidupku akan mulai tak tenang. Bisa jadi, Aku akan mulai diincar oleh anak buah Rima.“Saya akan parkir dulu, nanti Saya masuk. Atas nama siapa pasiennya?” tanya Ruslan, anak buah pak Fandi yang sebenarnya bukan sopir biasa, tapi sopir yang merangkap sebagai pengawal pribadi."Emmhh, tidak perlu merepotkan!"ucapku merasa tak enak hati."Saya ditugaskan
"Mama!"Aku segera menghampiri Mama yang kini sudah membuka matanya."Ini lagi siap-siap mau ke mana?" tanya Mama nampak khawatir."Mama tenang aja, kita Cuma mau pindah kamar rawat, “ sahut ku pada akhirnya."Pindah kamar? Ini memang terlalu mahal kayanya," ungkap Mama sambil mengerutkan keningnya."Uangnya dari mana?" Mama menanyakan hal yang Aku takutkan. Ia sangat khawatir kepada ku. "Ayo kita pulang saja!" Ajak Mama lagi.Akan tetapi, obrolan kami terinterupsi dan terpotong karena Mama dipindahkan ke brankar yang baru."Ibu jangan terlalu banyak berpikir ya! Supaya nanti operasinya berjalan dengan lancar dan berhasil,"ucap perawat yang sedari tadi mengurusi Mama.“Operasi?” tanya Mama seraya menatapku penuh tanya. Tapi, perawat lebih dulu mendorong brankarnya, sehingga Ia tak memiliki kesempatan untuk bertanya lebih banyak.Aku mengikuti brankar Mama setelah mengambil satu kantong plastik
Aku terkejut melihat hal itu. Aku pun ketakutan dan tak ingin berlama-lama di sana.Namun sayang, ekor mata pak Rafli melihat keberadaanku yang tak menggunakan masker. Di sekolah, Aku memang pernah mengenakan kerudung saat acara maulid, sehingga tak sulit bagi pak Rafli untuk mengenaliku. Pak Rafli nampak mengatakan sesuatu kepadaku, namun hanya dengan gerakan bibir. Hanya saja, ketakutanku membuat gadis itu tak ingin tahu apa yang diucapkan oleh pak Rafli. Aku hanya ingin kabur dari sana dan tak terseret oleh kasus yang tak sempat Ia geluti. Aku hanya sempat mampir di sana, itu yang selalu Ia tekankan pada dirinya sendiri.“Mbak!”Suara bariton seseorang membuyarkan lamunan Alea yang mengiringi kepergian pak Rafli dan kedua polisi keluar lobi rumah sakit. Kehebohan yang mulai meredup, tak serta merta membuat hatiku kembali tenang.“Mbak!” panggil seseorang lagi. Kali ini, pundakku ditepuk cukup keras.“Iya.” Aku melirik dan men
“O-, masih bisa dicari.”“Tapi hanya bisa nerima dari golongan darah yang sama,” sangkalku. Aku merasa tak tenang saat mendengar hal itu.“Kalau enggak ada, Nona bisa mendonorkan darah Nona,” usul Ruslan membuat ku mengerutkan kening.“Golongan darah kami beda,” ucap ku membuat Ruslan yang kini mengerutkan keningnya.“Beda?” tanya Ruslan seraya menatap ku tak percaya.“Ya... bisa saja Aku samanya kaya Ayah. Kenapa jadi masalah?” ketus ku. Aku cukup kesal dengan Ruslan yang terlalu banyak bertanya.“Oh, enggak apa-apa, Nona. Permisi, saya mau carikan dulu kantong darahnya,” ucap Ruslan seraya berlalu pergi.Aku tak menjawab lagi, hanya menghembuskan nafas kasar, kemudian ku dudukkan bokong di kursi tunggu, tak jauh dari ruang operasi.Sudah hampir dua jam operasi dilakukan, namun tak ada tanda-tanda operasi akan berakhir. Bahkan, lampu yang berada di atas pintu ruang operasi pun masih berwarna merah.“Mb
“Apa, Pak?” tanya Zen semakin penasaran saat melihat keterdiaman pak Fandi.“Gay,” ucap pak Fandi pada akhirnya.“Appa?” pekik Zen setengah berteriak. “Biadab, dasar!” umpat Zen tepat di depan pak Fandi.“Masih mau diam?” tanya pak Fandi seraya menautkan alisnya.Zen menatap manik mata pak Fandi, sahabat almarhumah ibunya itu memang nampak tak suka kebohongan. “Betulkah ucapan Bapak?” tanya Zen lagi untuk lebih meyakinkan.“Nak Zen tahu dan kenal jelas siapa saya,” ucapnya lagi. Kemudian berlalu meninggalkan Zen yang masih mematung sendiri.Setelah tercenung beberapa saat, Zen pun akhirnya melangkahkan kakinya, mengikuti pak Fandi yang sudah berjalan terlebih dahulu.Zen duduk di sofa, tepat di samping pak Fandi.“Baiklah, Saya akan membacakan kembali surat wasiat harta yang sudah dituliskan oleh mendiang... mendiang bu Alisa. Saya hanya khawatir ada yang lupa dengan isinya,” ucap pak Fandi seraya menatap ke arah pak
“Zen mohon sudahi, Pa! Semua ini milik Zen dari almarhumah. Kenapa harus pindah tangan kepada Tante Rima? Zen merasa dirampok. Bukankah mempertahankan harta benda dari tangan perampok bisa mendapatkan pahala syahid?” ucap Zen seraya menaikkan satu sudut bibir nya.“Iya. Lanjutkan saja pak Fandi!” ucap Fatan pada akhirnya. Sungguh Ia merasa dipermalukan oleh Zen, meskipun di sisi hati lainnya Ia mengatakan bahwa ucapan Zen benar.“Enggak bisa, Pa...!” seru Rima dengan amarah yang mulai Ia perlihatkan, yang selama ini tertutupi oleh kepura-puraan.“Ssstt...!” Pak Fatan memberi isyarat agar istrinya diam dan tak menambah masalah.“Enggak. Jangan nyuruh Bunda diam sedangkan mulutnya anakmu itu kaya tempat sampah. Beraninya mengatakan saya perampok, padahal... “Plakkk...Tanpa sadar, Fatan menampar pipi Rima hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Semua orang yang berada di sana terdiam, tak pernah membayangkan bahwa pak Fatan y
“Anak kesayangan Papa, kelihatan aslinya,” celetuk Zen membuat pak Fatan menarik nafasnya dalam-dalam.“Dia hanya membela Papa,” sahut lelaki paruh baya yang menjadi penyebab lahirnya Zen ke dunia.“Apapun yang Aku katakan tak akan pernah didengar, jadi buat apa lagi Aku harus menunjukkan kebenaran. Biarlah, nanti juga akan terbuka siapa yang benar dan siapa yang salah,” sahut Zen tak ingin memperpanjang perdebatannya lagi dengan pak Fatan. Ibaratkan ceret yang tertutup, diisi air apapun ia tak akan mampu menampungnya. Berbeda jika tutupnya dibuka, maka air apapun akan masuk, terkecuali si pemilik memilah dan memilih air apa yang akan diterima ceret. Seperti itulah, pola pikir dan hati manusia.“Bukannya begitu Zen... ““Tolong dilanjut, Pak! Ini sudah hampir tengah malam. Kita semua tentu butuh istirahat.” Zen memotong ucapan pak Fatan yang Ia yakini hanya ucapan pembelaan saja.Pak Fatan menutup mulutnya kembali. Ia sadar betul bahwa Ze
Zen mengeratkan kepalan tangannya karena sakit hati dengan apa yang diucapkan oleh pak Fatan. Bahkan, Ia masih mengingat wajah sinis dan penuh kemenangan dari wajah Renisa.Zen merasakan ada telapak tangan yang menenangkan di pundaknya. Ia pun menoleh ke arah pak Fandi yang berusaha menenagkannya. “Saya sendirian, Pak. Saya sebatang kara,” lirih suara Zen, namun masih jelas terdengar di telinga pak Fandi.“Nak Zen tenang saja, ada Saya di pihak nak Zen. Juga... Jangan lupa, saat ini nak Zen sudah punya istri.”Zen tersenyum kecut, kemudian melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah itu lebih dulu.“Bapak lupa, Saya belum mengenal siapa istri Saya. Apa pernikahan ini juga akan berhasil atau tidak,” ucap Zen seraya terkekeh. “Sudahlah Pak, jangan terlalu menghibur Saya. Tapi... “ ucap Zen seraya menghentikkan langkahnya sesaat, menatap ke arah pak Fandi. “Saya mengucapkan banyak banyak terima kasih, Pak! Jasa Bapak sangat besar buat saya, dan Saya