Jena menyetujui. Sesaat wajahnya menunduk untuk melihat pop-up notifikasi pesan dari Brian. Lelaki itu menanyakan keberadaannya.Perempuan itu memilih untuk mengabaikan. Dia melanjutkan makannya tanpa harus memikirkan hal apa yang akan dia katakan jika bertemu lelaki itu nanti.“Yang gue sebelnya tuh pas Dian ngasih hasil ngonten produk baru dan desain terbaru kita. Masa langsung dimaki-maki gitu?” Mbak Nurul menatap layar ponselnya sesaat sebelum mendongak. “Je … Lo sibuk?”“Nggak.” Tangannya terus mencolek sedikit demi sedikit es krim berwarna pink itu. “Kenapa?”“Brian nanyain.” Mata Mbak Nurul memicing. “Kalian lagi marahan?” Dia bisa langsung menebak ketika Jena salah tingkah. Dia berdecak sambil menggeleng, “Bukannya malam itu dia datang nolongin Lo? Kok bisa, sih?”Jena sadar bahwa bagaimanapun dia menghindar, perempuan dewasa di hadapannya tidak bisa dikelabui. “Gue nggak bisa ceritain semuanya. Yang intinya adalah … gue malu setiap ketemu sama dia.”Kening Mbak Nurul semakin
“Mereka pasti udah biasa jadiin kamu bahan bully. Iya, kan?”tebak Brian yang langsung disetujui. “Tapi, kenapa?”Jena terdiam beberapa saat. Bingung haru menjelaskan semuanya dari mana. Tapi, “Kamu dengar semua cacian mereka?”“Dengar, tapi masih nggak ngerti.”Jena menghela nafasnya. “Dulu, ayahku pernah terjerat kasus. Dia difitnah melakukan penggelapan dana perusahaan. Perusahaan itu masih dalam naungan PT. Eier.” Dia menunduk saat mengingat nama perusahaan itu. “Tapi, karena dia memiliki seorang sahabat yang cukup berpengaruh, akhirnya ayahku dibebaskan dari tuduhan itu.”Brian mengangguk-ngangguk. “Jadi, apa hubungannya? Bukannya ayahmu nggak terbukti bersalah?”Perempuan itu menyetujui. “Seharusnya begitu. Tapi, ada statement yang mengatakan bahwa ayahku tetap bersalah. Dia hanya diringankan karena sahabatnya. Sehingga, sampai sekarang, ayahku tetap diolok-olok oleh sebagian orang.”Brian berdecak, sesaat terkekeh sambil menggeleng. “Aneh banget kelakuan anomali,”celetuknya.Men
Jena mengusap lengan Mbak Nurul. Takut-takut Mbak Nurul kelepasan lalu mengeluarkan sumpah serapahnya. Bi Cima mendelik tajam sambil bersedekap. “Lho, memang benar adanya! Jena terlalu keras, makanya—”“Makanya dia berkhianat sama sahabat pacarnya sendiri?!”potong Mbak Nurul. Tidak lama kemudian, seseorang menarik Mbak Nurul dari belakang. Membawanya jauh dari keributan. Yang Jena lihat, dia adalah suami Mbak Nurul.Dan kini Jena tinggal sendiri. “Jena, bibi sarankan … gimana kalau kamu ngikut biro jodoh aja? Kasian kamu kalau nggak laku-laku.” Seorang Bibi yang lain mendekati, Bibi Ima. Tangannya menepis rambut Jena dari bahunya. “Rumor keluargamu nggak akan berakhir. Nggak kasian sama ayahmu yang terus dimaki-maki?”Dapat Jena rasakan rahangnya mengeras. “Jangan bawa-bawa ayahku!”Bibi Cima dan Bibi Ima tertawa mengejek. “Kasihan sekali kamu! Makanya, jangan terlahir dari orang yang bermasalah.” Bibi Cima kembali bersuara.Pelupuk matanya sudah memanas. Dia sudah menggigit kuat-k
Dia mulai melangkah, membelah beberapa kerumunan yang baru terbuat saat dia baru saja sampai. Kali ini sepertinya dia harus membanggakan dirinya karena bisa berjalan dengan tenang di tengah beberapa kicauan yang tidak penting.Dia berhasil berjalan menuju sepesang pengantin yang tengah menjadi satu-satunya objek saat ini. Melangkah bebas dengan begitu berani dan anggun. “Selamat, ya …”ucapnya sambil memeluk Sasha. Mereka berpelukan erat. Dan dia bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan Sasha. “Lo harus cepet nyusul, yaa …”balas Sasha saat Jena beralih ke Aran.Jena menghela nafasnya. Mungkin dia mempertimbangkan saran Mbak Nurul untuk menyiapkan air aki. Tapi, bukankah menunjukkan kalau dia sudah berdamai dengan keadaan adalah yang terbaik? Sehingga kini, dia memilih menjabat tangan Aran yang sedari tadi mengambang di udara. “Selamat, ya ..”lirihnya.Setelahnya, Jena berjalan pergi karena antrean semakin panjang. Dia berjalan menuju Mbak Nurul yang melambaikan tangannya sambil te
Dia menghela nafas. Ini sudah kesekian kalinya. Oh, di mana kah lelaki itu? Kenapa sedari siang tadi kabarnya bagai ditelan bumi? Pintu kamarnya berderit, membuatnya harus menoleh. Dia temukan ayahnya yang berjalan ke arahnya dengan senyuman manis. “Wah. Cantik sekali. Anak siapa, sih?”Jena menghela nafasnya. Membuat ayahnya mengkerutkan dahi. “Ada apa? Kok mukanya ditekuk begitu? Nanti jelek, lho.”Jena menoleh. “Yah, apa aku nggak usah datang, ya?”tanyanya. “Mood ku lagi nggak bagus. Nanti memperkeruh suasana. Apalagi, sebagian dari mereka mulutnya pada cerewet.”“Ayah mengerti perasaan kamu. Kamu begini bukan karena patah hati, kan? Tapi, karena Aran memiliki dua bibi yang mulutnya cerewet?” Ayah menghembuskan nafas pelan. “Nak, sesulit apapun, dan bagaimana pun juga … Sasha itu sahabat kamu. Ya … meski dia sudah mencabik-cabik hubungan kamu.”Jena terdiam. Dia kembali menatap layar ponselnya yang kini berada di genggamannya. “Brian.” Dan saat itu, Jena langsung menoleh. “Dia l
Perempuan itu menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangan. Seandainya dia diberi kekuatan untuk menghilang pada waktu-waktu tertentu, mungkin akan dia lakukan. Namun, sayangnya tidak begitu.Jena akhirnya mendongak. Dia memandangi tumpukan berkas yang sedang digeser oleh seseorang. Lalu, dia mendapati wajah Mbak Nurul mendekat. “Lo nggak apa-apa?”bisiknya. “Gue perhatiin dari tadi Lo kayak lemas gitu …”Jena bingung dengan kekalutannya sendiri. Hingga hembusan nafas gusarnya terdengar saat dia memperbaiki posisi duduknya. “Ya … mungkin begitu.”“Kenapa?” Mbak Nurul segera meraih kursi Dian tatkala si empu sedang pergi. “Apa ada hubungannya sama Aran?”Jena menghela nafas.“Lo masih mikirin dia?”tanya Mbak Nurul yang segera dijawab dengan gelengan. “Terus?”Jena menoleh, dia menatap Mbak Nurul yang menunggu jawabannya. “Mbak, gimana perasaan Lo saat Lo tahu bahwa Lo dikhianati sama sahabat Lo sendiri selama dua tahun?”“ANJENG! Kalau gue jadi Lo, gue datang ke acaranya bawa air aki