Perempuan itu langsung melepaskan ponselnya dan memberikan senyum manisnya. Dia mengulurkan tangan untuk menyambut kedatangan Brian di sisinya. “Sini peluk. Kamu ‘kan udah janji.” Pelukan hangat itu belum dibalas oleh Brian. Lelaki itu meninggalkan kesan yang tidak biasa. Sehingga pelukan itu akhirnya lengang. “Bi …? Kamu nggak suka, ya?”Brian menoleh. “Nggak suka apa?”“Sama kedatangan aku?” Tangannya terlepas dari tubuh lelaki itu. “Aku ganggu banget, ya?” Lalu, perempuan itu bangkit dan meraih tas kecilnya. “Aku bal—”Brian meraih pergelangan tangannya. “Mi … sini deh. Duduk dulu.”Jena akhirnya duduk tanpa menoleh sedikit pun.“Aku bukannya nggak suka. Aku suka kok sama kedatangan kamu—”“Terus? Kok wajah kamu kayak nggak senang gitu?” Perempuan itu menoleh singkat, lalu kembali menatap lurus. Sepertinya masih marah, ya?Brian menahan senyumnya. “Nggak, Mi. Aku hanya … mikir kamu datang malam-malam ke sini, apa orang tua kamu nggak marah?”Lihat, kan? Perempuan itu kembali berdir
Semalaman dia menghabiskan beberapa botol wine untuk menangkan pikirannya, yang gundah gulana. Dia memilih meja paling pojok, yang jarang terlihat oleh beberapa pengunjung. Menatap seuntai kalung yang belum diberikannya pada perempuan itu. Alunan musik yang juga ikut mendebarkan dada itu menghentak-hentak. Seirama dengan gerakan beberapa orang yang sangat menikmati kehidupan mereka di sana. Namun, lelaki itu memilih untuk tidak bergabung. Karena memang dia hanya datang seorang diri.Sebuah elusan lembut terasa di pundaknya saat ia menunduk dalam. Membuatnya mendongak dan menatap tangan yang menjamah bagian dadanya. Gerakan tangan itu terhenti ketika dia menolak, “Saya tidak ingin diganggu. Kamu cari pengunjung lain saja.”Lalu, Brian meminum sisa wine yang tersisa sedikit itu. Sambil mensejajarkan botol-botol itu dengan rapih. Setidaknya ada tiga botol yang berhasil membuat kepalanya sedikit oleng. Lelaki itu tersenyum getir. Besok adalah hari pertemuan terakhirnya dengan perempuan
Wanita itu tertawa sinis. “Saya tidak akan merestui hubungan kalian.” Lalu, dia mendekat dengan telunjuknya yang mendorong dada Brian. “Tinggalkan Jena. Atau kamu akan lihat hidupnya menderita.” Suaranya terdengar pelan, namun penuh penekanan.Brian tidak mungkin mengorbankan Jena, kan? Tidak. Dia tidak ingin melihat perempuan itu menderita lebih banyak lagi. Jadi, mungkin dia akan mengambil jalan yang sedikit merusak egonya. Membuatnya memikirkannya berhari-hari. Dan akhirnya, Brian memutuskan untuk menyetujui proyek yang diberikan Pak Ajri di Kalimantan. Proyek yang menggabungkan beberapa perusahaan besar itu mungkin membutuhkan waktu lama. Paling cepat mungkin satu bulan, begitu yang didengar Brian. Meski satu bulan, tapi menurut Brian, waktu itu bisa membuat Jena menghapus perasaan padanya. Jadi, Brian mengambil proyek itu.Ada sekat yang membuat pernafasannya sedikit terganggu. Dia memandangi lekat-lekat walpaper yang dia nyalakan layarnya. Memandangi setiap inci wajah yang di
Langkah Jena terayun dengan wajah datarnya. Dan saat itu, Mbak Nurul menghampirinya. Mereka berjalan beriringan. Mbak Nurul sejenak menoleh ke belakang. “Kenapa dia?”Dia yang dimaksud Mbak Nurul sudah pasti Aran. Jadi, Jena hanya mengedikkan bahunya. Malas menjawab seputar lelaki itu.“Belum move on?” Mbak Nurul terkekeh pelan. “Kasian banget ya?”Jena memasang raut wajah tidak sukanya. Lalu, kini mereka memasuki divisi pemasaran. Dan Jena segera melangkah ke kubikelnya. Helaan nafasnya terdengar saat dia melihat tumpukan dokumen yang perlu direvisi. Jena tiba-tiba merasa energinya habis. Dia memanjangkan satu tangannya di atas desk, lalu meletakkan kepalanya di atas tangan. Suara lirihnya terdengar, “Bii …”***“Kenapa Lo nggak bilang semuanya ke Jena, sih?” Pertanyaan Riski entah mengapa terasa buntu di otaknya. Brian, hanya menatap nanar ponsel yang menampilkan foto keduanya. Senyuman manis perempuan itu begitu dia rindukan. Tapi, ada sebuah sekat yang membuat nafasnya kian sesak
Itu saja yang biasa dia lakukan. Selain mencoba menghubungi, karena lagi-lagi panggilannya ditolak. Jena menjadi kepikiran, apakah dia melakukan kesalahan? Dan akhirnya, kali ini dengan niatnya yang sudah diambang batas, dia berhasil menghubungi seseorang yang pergi dengan Brian ke Bogor. Jena berdiri di pagar pembatas sembari menyaksikan beberapa karyawan yang keluar masuk. [Halo? Kenapa, Je?]Jena tersenyum. Dia segera mengalihkan tatapnya pada gedung di hadapannya. “Mas, bisa kasih ke Brian nggak? Aku mau ngomong.”Terdengar helaan nafas panjang dari Riski, sebelum akhirnya terdengar suara yang sangat dia rindukan. [Halo, Mi? Maaf ya … aku nggak sempat ngabarin karena kita sibuk banget di sini. Tapi, sore ini langsung pulang kok.]“Sibuk banget sampai nggak bisa angkat telepon, ya kamu? Padahal aku rindu banget, lho!”Brian tertawa, namun tawanya tidak terdengar seperti biasanya. [Aku juga kok. Malah mungkin rinduku yang menggebu-gebu dari pada kamu.] Lalu, di sana Riski seperti
Kening Brian mengernyit dalam. Namun, dia bisa melihat bagaimana perempuan itu kembali mendongak dengan kedua alis terangkat.“Yayaya?”Brian tertawa lagi. Namun, segera dia setujui permintaan perempuan itu. “Bi …”Brian menghelan nafasnya. “Kamu kalau gemesin lagi, aku bawa ke KUA nih,”ancamnya. Itu ancaman, kah?Dan kali ini, Jena yang tertawa sembari melepas kedua tangan itu. “Kamu pake baju sana. Aku mau pulang.” Perempuan itu sudah duduk di sofa saat Brian bersiap memasuki kamar. “Bi …”***Tidak tahu apa yang menimpanya, sampai-sampai paginya dimulai dengan sangat buruk. Di sela-sela waktunya, dia berusaha untuk menyibukkan diri atau mungkin menemani Dian mengobrol seputar perkembangan pdkt nya dengan Iksan.Hari ini sudah terhitung hari ke tiga lelaki itu di Bogor. Belum selesai kah urusannya sampai-sampai dia belum mengunjungi Jena?Ah. Jena menjadi kepikiran lagi. Dia kemudian menarik diri dari meja yang dihuni oleh Mbak Nurul dan Dian. Untuk melangkah menuju rooftop, menc