Jena meraihnya. Tapi, belum bergerak memakai karena lelaki itu masih di sana. Memandanginya lekat-lekat. Jena jadi gugup sendiri. “Kenapa?”tanya nya sambil memeluk tubuhnya sendiri. Takut-takut kalau lelaki itu gegabah.Perempuan itu segera menepis saat tangan itu menyentuh pundaknya. Namun, tidak saat lelaki itu meletakkan kepalanya di sela leher jenjangnya. Saat itu, Jena kembali merasakan jantungnya terhentak-hentak. Aliran darahnya abnormal. Dia … begitu gugup.Tangan itu menepis lagi, oh rupanya dia masih sadar. Dia masih menepis sebuah pergerakan yang—lelaki itu menciumi lehernya beberapa kali. Menciumi pundaknya. Hingga membuat Jena tanpa sadar mendesis sembari menutup matanya rapat. Di mana kesadarannya yang tadi? Apakah mendadak hilang? Tidak lagi menepis. Tidak lagi menolak. Bahkan pegangan di handuknya yang semula rapat menjadi renggang. Dia menerima semua ciuman yang kini mendarat di telinganya. Membuat tubuhnya sedikit menggeliat. Jena … begitu lupa diri.Jena pikir, mer
Brian berdecak pelan. “Sebentar.” Namun, baru selangkah saja, bel apartemennya berbunyi. Sehingga kini, Brian dan Jena saling melempar pandang.Jena panik. Dia bingung akan bersembunyi di mana. Tidak mungkin di balik sofa, kan? Di tengah kekalutan itu, Brian segera menarik tangannya. Membawanya masuk ke dalam kamarnya. “Kamu tunggu di sini, ya?” Dan Jena mengangguk.Setelah memastikan bahwa tidak ada barang Jena di sana, Brian segera membuka pintunya. Dan, “Hai! Sori banget ganggu malam-malam begini …” Yap! Mbak Nurul. Perempuan itu segera melangkah masuk tanpa menunggu Brian mempersilahkannya masuk. Dia segera duduk di sofa.Dia mendelik tajam pada Brian yang kini mendekat sambil memunguti kemejanya yang basah. “Ngapain Lo nggak pake baju?”tanya Mbak Nurul dengan kernyitan di dahinya.Brian melihat tubuh bagian perutnya yang sangat seksi. “Gue kehujanan.” Bareng Jena. Dia segera melangkah ke arah pantry dan membuatkan teh hangat untuk Mbak Nurul. “Gue ke sini nggak lama, sih. Cuma
Hujan menjadi saksi bisu rasa bahagia keduanya saat melewati jalan bersama. Di mana tawa bahagia yang kedengaran receh keluar dari bibir si perempuan. Sedangkan, lelaki itu menanggapinya dengan senyum manisnya. Jena merentangkan satu telapak tangannya di atas kepala Brian. “Biar adil, aku takut kamu sakit.” Dia tidak tahu kalau ucapannya barusan menggelitik isi dada lelaki itu. Keduanya melangkah bersamaan, menginjak air bersama, dan akhirnya mereka telah sampai pada tujuan mereka.Brian masih mendengar tawa bahagia itu tatkala mobil telah keluar dari parkiran. Dia menoleh singkat, “Kamu bahagia banget. Berarti aku berhasil bikin kamu bahagia?”Perempuan itu menghentikan aksi mengibas kemejanya. Dia menoleh, dan saat itu mereka bertatapan. “Iya, aku bahagia banget. Rasanya kayak impian waktu kecil tuh terlaksana.” Lalu, dia tertawa.Brian tersenyum simpul. Bunyi notifikasi dari ponselnya terdengar. Karena sadar tidak mungkin dia mengendarai sambil bermain ponsel, dia pun menoleh pa
“Hotel aja, gimana?” Setelahnya, Brian tertawa kecil saat mata itu melotot tajam. “Nggak lucu tau, Bi!” Sisa tawanya masih terdengar. “Iya, iya. Ke bioskop?” Dia meneleng untuk bisa melihat wajah yang tadinya cemberut. Rupanya reaksi perempuan itu di luar ekspektasi Brian, dia mengangguk antusias dengan senyum cantiknya. “Mauuu … aku sayang kamu deh, Bi.” Bahkan, Brian mendapatkan pipinya dielus. “Ciumnya mana?” Setelah mengucapkan itu, Brian mendapatkan kecupan ringan di bibirnya. Dia tersenyum bahagia. Mereka telah sampai di mobil Brian, dan Brian segera membukakan pintu untuknya. Lalu, seperti biasa, lelaki itu memutari mobilnya untuk segera duduk di samping perempuan itu. Brian, mendapati mata itu memandangi setiap pergerakannya. Dia memberikan senyum manisnya sambil menyalakan mesin mobil. “Kenapa? Kok natap aku kayak gitu?”tanya Brian sambil mengelus puncak kepala Jena. “Bisa nggak, kita kayak gini terus?”tanya Jena sambil menyanggah dagunya dengan tangannya. Dia masi
Selepas obrolan siang itu, dan setelah pekerjaannya selesai, Jena memutuskan untuk segera pulang. Dia sudah membereskan desk nya, dan meraih tas kerjanya. Melewati Mbak Nurul yang masih berkutat dengan dokumennya.“Wiii … tumben,”celetuk Mbak Nurul.Jena tertawa kecil. Pasalnya baru kali ini dia memecahkan rekornya sendiri. Dia adalah pekerja yang terbiasa pulang malam. Baru kali ini dia pulang di pukul empat sore. “Iya nih, gue duluan, ya?”“Mau kencan, yaa?”tanya Mbak Nurul sambil memainkan kedua alisnya. “Iya, kan? Sama Iksan?”Jena mengibaskan tangannya. “Nggak. Nggak kencan sama siapapun. Gue cuma mau pulang, terus istirahat.”Mbak Nurul mengangguk pelan, “Iya deh. Gue mau lanjutin kerja gue dulu. Bye!”“Bye!”Jena berhasil melewati beberapa divisi dan turun menggunakan elevator. Baru saja pintu elevator terbuka, dari sini Jena melihat Brian tengah mengobrol dengan Pak Ajri di lobi. Pak Ajri tersenyum pada Jena. “Wiii … mau jalan, ya?”Jena mengibaskan tangannya. “Nggak, Pak. Sa
Jena menoleh pada Brian. Dia tidak ambil pusing atas kepergian Riski dengan perasaan kesalnya. Keningnya mengernyit tajam, “Jenoy? Kok jelek banget, sih?”Brian melepaskan tawanya. “Jelek gimana?”Jena melanjutkan jalannya. “Nggak ada yang lebih bagus apa? Jidatku nggak jenong lho, Bi …” Tangan Brian terulur untuk membuka pintu ruang arsip. Tentu saja sisa tawanya masih terdengar. “Terus? Jenay?”Jena mendelik sini. “Aku bukan jablay.”Dan Brian kembali tertawa. Dia tidak peduli oleh beberapa karyawan yang tengah sibuk menata beberapa berkas di dalam rak. Langkahnya tetap mengikuti ke mana arah perempuan itu berjalan. “Terus apa dong?” Brian menjentikkan jarinya, sesaat membuat perempuan itu menoleh. “Umi? Kan kamu panggil aku ‘Bi’. Iya, kan, Mi?”“Kalau putus berasa jadi janda,”balas Jena.“Ya nggak apa-apa. Janda ketemu duda. Wiiii … senggol dong!” Astaga! Brian sampai tidak menyadari tingkahnya membuat karyawan lain cekikikan.“Ah, terserah!” Perempuan itu melangkah keluar dengan