Acara selesai. Keluarga Mas Farhan pamit pulang. Pun dengan Pak Herman, dia juga ikut berpamitan. “Nak Farhan, nanti kamu dan Vera temani Ibu cari rumah kontrakkan ya! Ibu mau tinggal di sini sampai kalian menikah,” ucap Bu Lily saat keluarga Mas Farhan hendak pergi. “Iya, Bu. Tapi nganterin mereka dulu ya sebentar,” sahut Mas Farhan sopan. “Aku ikut dong! Sekalian jalan-jalan,” rengek Linda. “Boleh,” Bu Lili tersenyum. “Ya sudah, sekalian saja berangkat bareng,” usul Ibu Mas Farhan. “Ayi, Ve!” “Sebentar, Bu!” Aku kembali masuk ke dalam, mengambil satu set perhiasan yang masih tergeletak di lantai lalu menyimpannya di kamar. Tanpa berganti pakaian, aku segera kembali bersama mereka. Setelah pamit pada Bapak dan Ibu, kami semua segera berangkat. Mas Farhan dan keluarganya, sementara aku ikut bersama Bu Lili dan suaminya. Sampai di rumah Mas Farhan, kami turun. Pak Herman langsung pulang karena ada urusan penting. Jadi, hanya kami berempat yang akan mencari kontrakkan. Aku, Bu
“Iya! Calon suamimu, Mbak! Dia sudah menipumu dengan memberi perhiasan imitasi. Dia cuma pura-pura kaya!” cibir Ela. Kualihkan pandangan pada Mas Farhan yang masih mengulum senyum tanpa berusaha berkilah. Bingung, aku berganti menatap Bu Lili yang sedari tadi asyik bengong. Dia hanya mengangkat kedua bahunya. “Bagaimana kalian tahu kalau ini palsu? Kenapa juga bisa ada di tangan Bapak?” Aku memberondong mereka dengan dua pertanyaan sekaligus. “Bapak sudah mengeceknya ke toko emas. Dan ternyata benar itu bukan asli. Bapak jadi malu kan!” keluh Bapak setengah membentak“Siapa yang suruh Bapak mengambil benda ini?” Kali ini aku balas membentak. Menurutku tak sopan jika Bapak mengambil benda pribadiku tanpa ijin apalagi sampai membawanya. “Bapakmu itu, Ve! Dia pasti berniat menjualnya. Tentu saja toko emas enggak mau beli. Makanya dia malu!” celetuk Linda yang sedari tadi diam. Masuk akal. Kalau cuma menanyakan keaslian seharusnya Bapak enggak perlu malu. “Benar begitu, Pak! Keterl
Dua hari ini aku tinggal di rumah kontrakkan bersama Bu Lily. Perempuan yang berstatus Ibu tiri itu bersikap baik padaku bahkan terkesan sayang. Kami disibukkan dengan pembahasan mengenai resepsi pernikahan. Dekor, rias, juga undangan kami bicarakan berdua. Walaupun baru kenal beberapa waktu lalu, kami cukup hangat. Kemarin kami sudah memesan gaun pengantin. Semula dia mengajak ke tempat temannya, tapi karena jarak yang terlalu jauh, akhirnya diputuskan memesan di tempat saudaranya Mas Farhan. Aku juga mengambil sebuah gaun untuk kupakai saat pernikahan Ela nanti. Bu Lili yang memilihkannya untukku. Soal biaya, dia yang bayar. Apa enggak enak coba?Pagi ini kami bersiap datang ke resepsi pernikahan Ela-adikku. Bu Lili membantuku memakai make up. Rupanya dia pemilik sebuah salon yang katanya lumayan terkenal. “Kamu cantik banget, Ve...” puji Bu Lili seusai mendandaniku. Aku memindai penampilan dari pantulan cermin. Berbalut dress brokat navy yang kontras dengan warna kulit, rambut
Tanpa terasa waktu sudah beranjak senja. Gemerlap pesta telah usai, tapi tamu undangan yang datang belum genap seribu orang padahal undangan yang ibu sebar lebih dari dua ribu. Tentu saja hidangan di atas meja masih menumpuk. Aku mengekori Ibu yang membopong kotak berisi amplop dari para tamu. Saat hendak masuk kamar ibu memanggilku. “Ve, ikut bantu menghitung ya biar cepat,” ajak Ibu. “Jangan! Nanti Mbak Vera malah nyelipin amplop ke tasnya,” protes Ela-adikku. Astaghfirulloh... begitu gila uangkah aku sampai Ela berpikiran seperti itu? Atau memang dia sendiri yang berlebihan? Saat kami masuk tadi, Bapak, Ela dan Rizal memang sudah menunggu di ruang tengah. “Kalian berempat saja! Aku mau mandi dulu! Gerah!” tolakku. Tanpa berkomentar, mereka berempat langsung masuk kamar Ibu lalu menutupnya rapat-rapat sedangkan aku mengambil handuk lalu beranjak ke belakang. Seusai mandi dan berganti pakaian, aku memilih ke depan menemui satu dua tamu yang baru sempat datang. Kebetulan ada t
POV. ELATerlahir sebagai anak kedua membuatku banjir kasih sayang. Bapak, Ibu juga Mbak Vera sangat perhatian denganku bahkan cenderung memanjakan. Sedikit pun tak terlintas dalam pikiran jika aku akan menjadi istri dari calon suami kakakku sendiri. Semua berawal saat aku kelas 3 SMP. Waktu itu Mbak Vera pulang bersama laki-laki yang dia kenalkan sebagai kekasihnya. Jujur, aku tertarik padanya karena menurutku dia lebih keren ketimbang teman-temanku. Namun aku berusaha membendung rasa itu karena sadar ini tak baik. Meski Mbak Vera merantau, Mas Rizal sering berkunjung ke rumah. Kadang mengobrol dengan Ibu dan Bapak, kadang juga aku yang menemaninya.Lambat laun, kami semakin akrab. Tak jarang dia mengajakku jalan. Dan yang membuatku senang, Mas Rizal sering memberiku oleh-oleh, kadang juga memberi uang jajan. Diam-diam kami menjalin asmara terlarang. Kami bersikap biasa jika ada Bapak dan Ibu, tapi berubah romantis saat mereka tak ada. Saking romantisnya sampai-sampai kami terjeb
**** “La, apa kamu sudah menelepon kakakmu?” tanya Ibu saat kami sedang berkumpul di depan TV. “Sudah, tapi dari kemarin nomornya tak bisa dihubungi,” jawabku. “Coba kamu hubungi lagi. Kami ingin tahu apa dia jadi pulang bulan ini,” perintah Bapak. Aku menurut. Beranjak ke dalam lalu segera kembali dengan ponsel di tangan. Gegas aku menghubungi Mbak Vera, tapi tak tersambung. “Nomornya enggak aktif, Pak!” ujarku setelah berkali-kali gagal menghubungi Mbak Vera. “Ya sudah besok saja kamu telepon lagi,” sahut Bapak. “Nanti kalau Vera pulang kita harus bagaimana, Pak?” tanya Ibu dengan wajah sedih. Kami semua diam. Hanya saling tatap karena tak tahu harus menjawab apa. Jika jujur, tentu Mbak Vera akan sangat marah. Dan aku tak mau kalau dia berhenti mengirim uang untukku. Panik, aku kembali menatap Bapak yang tampak berpikir keras. “Begini saja. Kalian pura-pura saja baru menikah karena terpaksa. Bilang kalau Ibunya Rizal sakit dan memaksa Rizal menikah sebelum dia meninggal,
Entah kenapa jantung ini berdetak lebih kencang saat mengingat seminggu lagi hari pernikahan tiba. Kadang gelisah tanpa sebab, kadang juga rindu yang teramat menggebu. Beginikah rasanya menjadi calon pengantin?Dua minggu tinggal bersama Bu Lili, aku semakin akrab dengannya. Makan, jalan, bahkan tidur pun kadang satu ranjang. Di sini aku menyimpulkan bahwa tak semua Ibu tiri jahat. “Ve... sudah siap belum?” teriak Bu Lili dari luar kamar. “Iya, Bu... sebentar,” sahutku. Hari ini kami akan ke rumah Ibu mengantar undangan. Sebenarnya aku malas ke sana, tapi karena Bu Lili terus memaksa, aku tak kuasa menolak. Durhaka katanya jika aku tak sowan Ibu sebelum menikah padahal dekat. Di depan cermin, aku mematut diri sejenak. Setelah itu langsung menyambar sling bag, Mengambil dua buah undangan lalu segera keluar kamar. “Yuk!” ajaknya. Kami berjalan beriringan keluar rumah. Setelah mengunci pintu, dengan mengendarai sepeda motor kami segera meluncur. Tak butuh waktu lama, kami sampai d
“Saya terima nikah dan kawinnya Vera Yunita Sari bin Herman untuk saya dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!” “Sah!” Dengan satu tarikan nafas Mas Farhan lantang mengucap ijab kabul. Suasana hening sesaat lalu berganti riuh tepuk tangan para tamu undangan. Aku mencium takdim punggung tangan Mas Farhan-lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku. Tak bisa dipungkiri bahwa Alloh maha membolak-balikkan hati. Contohnya aku sendiri. Lima tahun menjalin asmara dengan Rizal, kandas karena pengkhianatan dan dalam waktu singkat rasa itu pindah ke lain hati. “Selamat ya! Semoga menjadi keluarga yang samawa!” “Semoga cepat dapat momongan ya!” “Kalian berdua memang pasangan yang serasi!” Duduk di pelaminan, ucapan selamat dari para tamu undangan membanjiri. Pujian, sanjungan, dan segenap doa sesekali terucap dari sanak saudara dan sahabat. Dalam hati aku mengucap syukur karena pada akhirnya aku menemukan lelaki yang tepat untuk kujadikan imam. Waktu semakin beranjak siang