Share

MOTOR DIJUAL

Author: Putri putri
last update Last Updated: 2022-11-17 15:50:26

“Iya, Mas..., tapi itu dulu,” jawabku sembari menundukkan pandangan. 

Malu? Tentu saja! Ada kalanya kita harus jujur meski terkesan memalukan. Tak apa, toh ini hanya perasaan yang sudah terlewat. 

“Apa sekarang sudah enggak suka?” Mas Farhan menatapku penuh selidik, membuatku semakin salah tingkah. 

“Pasti masih, Mas! Yang namanya cinta pertama mana bisa dilupakan begitu saja,” sela Linda. 

Kontan saja aku terperangah. Linda kembali membuka rahasiaku. Aku langsung mencubit pinggulnya hingga dia mengaduh kesakitan. 

“Rasain! Salah siapa ember!” umpatku dalam hati. 

“Jadi aku cinta pertamamu, Ve? Kenapa enggak terus terang dari dulu? Kalau tahu begitu sudah kulamar kamu,” ucap Mas Farhan. 

Tercengang, aku mencoba mencerna kalimat Mas Farhan. Apa maksudnya dengan ‘kulamar’?

“Lamar sekarang saja, Mas! Kan sekarang Vera jomlo,” cicit Linda. 

Astaga! Punya teman kok kayak begini amat. Main celetuk tanpa dipikir dulu. 

“Memangnya Vera mau menerima kalau aku melamarnya?” tanya Mas Farhan pada Linda, tapi sambil melirik ke arahku. 

“Jawab dong, Ve! Jangan diam saja!” tekan Linda. 

Kali ini aku benar-benar tak bisa berkata apa-apa. Niat hati mau curhat karena habis dikhianati Mas Rizal, eh..., malah jadinya seperti ini. 

“Bagaimana, Ve? Mau enggak kalau kamu kujadikan istri?” cecar Mas Farhan. 

Sampai saat ini aku belum menemukan jawaban yang tepat. Biar bagaimanapun aku masih mencintai Mas Rizal, tapi jauh di lubuk hati cinta untuk Mas Farhan masih ada, meski hanya berupa kuncup yang layu.

“Gimana ya...,” ucapku ragu. 

“Terima saja, Ve! Mas Farhan baik kok! Dia belum pernah pacaran!” Linda memuji kakaknya setinggi langit. 

“Begini saja, Ve. Kita saling dekat saja dulu, nanti kalau kamu nyaman kita lanjutkan. Setidaknya aku ingin membantumu melupakan Rizal,” saran Mas Farhan. 

Diam, aku mencoba mempertimbangkan tawaran Mas Farhan. Menurutku ini ide yang lumayan, tapi aku takut melukai perasaan Farhan jika nanti aku tak berhasil menumbuhkan benih cinta yang telah mati. 

“Baiklah! Aku setuju usulanmu. Tapi jika nanti aku mengecewakanmu, kuharap kamu enggak membenciku, Mas.” 

Pada akhirnya aku menerima tawaran itu. Tak ada salahnya mencoba, toh, aku sekarang butuh seseorang untuk bersandar. 

“Oke!” Mas Farhan mendekatkan jari kelingking ke arahku. Aku menyambut lalu menautkan kelingking kami. 

“Yes! Akhirnya Vera kan jadi kakak iparku,” teriak Linda girang. 

Tersipu malu, aku menunduk menyembunyikan wajah yang terasa menghangat. Rasanya seperti sedang bermimpi. Benar-benar tak menyangka akan menjalani hubungan yang tak jelas ini. 

Setelah itu, kami bertiga melanjutkan obrolan. Saling bercerita kehidupan masing-masing, sesekali mengenang masa saat aku masih dekat dengan Farhan. 

Aku pamit pulang karena waktu sudah agak larut. Linda dan kakaknya mengantar, aku berboncengan dengan Linda, Mas Farhan naik motor sendirian. 

Di jalan, aku sempat mampir ke konter membeli ponsel. Kami juga saling tukar nomor karena ini memang nomor baru.

**** 

Pagi. Aku terjaga saat cahaya mentari yang menyilaukan menerobos masuk dari celah jendela. Tadi, seusai subuh aku tidur lagi. Rasanya malas berinteraksi dengan semua keluargaku karena selama ini mereka hanya memanfaatkan uangku saja.

Gegas aku bangkit lalu menuju ke kamar mandi. Hari ini rencananya aku mau ke rumah Linda lagi daripada di rumah harus bertemu Rizal dan Ela. Bukankah jika aku pergi akan lebih mudah untuk melupakan pengkhianatan mereka? 

Selesai mandi dan berpakaian aku langsung ke depan bersiap pergi ke rumah Linda. Namun, saat aku sampai di garasi motorku tidak ada. Aku kembali ke dapur mencari ibu untuk menanyakan perihal motorku. 

“Motorku kok enggak ada, Bu? Siapa yang pakai?” tanyaku pada Ibu yang sedang mencuci pakaian. 

“Tadi Bapak pergi, katanya ada keperluan,” sahut Ibu. 

“Oh..., ya sudah,” jawabku lalu kembali ke depan. 

Di rumah ini hanya ada satu motor, itu pun aku yang beli dari hasil jerih payahku merantau ke kota. Biasanya Ela yang pakai motor itu buat sekolah, tapi karena sekarang aku di rumah, tentu aku yang memakainya. 

Ela, biar saja. Buat apa memikirkan dia. Toh, dia sudah mengkhianati kebaikanku. 

Aku duduk di teras, menunggu Bapak pulang sembari memainkan ponsel, menghilangkan kebosanan. Setelah hampir setengah jam menunggu, akhirnya Bapak pulang, tapi berjalan kaki. 

“Kok jalan, Pak? Motornya mana?” Aku mengernyitkan kening, heran dengan Bapak. Jangan-jangan motornya mogok karena tak dirawat padahal selama ini aku mengirimkan uang khusus untuk biaya perawatan motor. 

“Iya, motornya Bapak jual,” jawab Bapak. 

Kontan saja aku terkejut mendengar pengakuan Bapak. Tega-teganya dia menjual motor hasil jerih payahku. Keterlaluan!

“Kok dijual sih, Pak! Itu motorku. Kenapa enggak minta izin dulu sama aku!” teriakku histeris. 

“Bapak butuh uang untuk resepsi adik kamu. Karena kamu enggak mau kasih uang, ya sudah Bapak jual motor saja,” akunya tanpa rasa bersalah. 

Tangan ini terkepal erat saking marahnya. Ela lagi Ela lagi. Kenapa untuk resepsinya aku yang harus berkorban? 

“Kenapa enggak minta sama Rizal saja sih? Dia kan suami Ela!” protesku. 

“Rizal proyeknya belum cair. Kalau sudah pasti akan memberi uang yang banyak!” jawab Bapak memamerkan menantunya. 

Aku tersentak kaget mendengar ucapan Bapak. Proyek? Sejak kapan Rizal menangani proyek? Seingatku dia pengangguran. Kalau jalan dan makan sama aku selalu aku yang biayai semuanya. 

Ah! Kenapa malah aku memikirkan Rizal. Mau seperti apa dia sekarang, aku tak peduli. Yang terpenting motorku harus balik. 

“Pokoknya Bapak harus ganti motorku!” tegasku menahan kesal. 

“Tenang saja, Rizal bakalan ganti kok, dia sekarang sukses, kemarin-kemarin dia sering bawa oleh-oleh kalau ke sini,” ungkap Bapak. 

Astaga! Jadi selama ini Rizal sering datang ke rumah. Pantas saja mereka menikah, rupanya sudah sering ketemu. 

Aku menggeleng pelan, tak menyangka mereka telah lama berhubungan. Dasar manusia tak ada akhlak! Pengkhianat!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rendrawaty Kahar
cari bahagia ssr ..gak usah baper mikirin orang
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Keluar aj sh dr rmh lu ngapain msh disana bikin emosi aja
goodnovel comment avatar
Satria izzet ilhami
astagfirullah... ini kelg kacau ya.. ya bapaknya, ibunya, juga adeknya. terlebih-lebih si bapak, kyk gak punya perasaan bgt. apa jgn2 si sulung bukan anak kandung ya... ? ... dah lah... balik lagi aja ke kota.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   bahagia

    ****Menjelang siang aku dan Mas Farhan bertandang ke rumah Ibu.Sekalian saja menemui Ela sebab beberapa hari ini kami tak bertemu.Kami menghentikan mobil di halaman yang lumayan luas. Rumahdi hadapanku penampakannya masih sama persis dengan saat pertama kali datang.Di sinilah aku mulai tahu sejatinya diriku.Melangkah mendekati pintu, aku berteriak mengucap salam lalumemanggil Ela-adikku. Tak lama, sosok yang kusebut namanya menyembul dari balikpintu, memamerkan senyum khasnya.“Kamu sudah sehat, Mbak? Maaf belum sempat menjenguk,”ucapnya lalu mengajak kami masuk.Enggak apa-apa! Lagian aku juga sudah sehat kok! Buktinyasampai di sini.” Aku membalas dengan senyuman, lalu mengekori langkahnya dankami bertiga duduk di kursi tamu.“Ibu mana, La? Aku ingin ketemu,” tanyaku sesaat kemudian.“Bentar, Mbak!”Perempuan yang perutnya mulai buncit itu melangkah masuk danlekas kembali bersama Ibu. Aku langsung bangkit meraih tangan Ibu dan menciumtakdim.Meski selama ini Ibu sering berlaku tak

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   minta izin

    “Ve, kita balik ke rumah saja yuk! Aku enggak nyaman tinggalserumah sama Hana. Takut kalau dia menghasut lagi,” ajak Mas Farhan saat kamisedang berdua.“Iya juga sih, tapi bagaimana dengan tanggung jawab kitapada Bu Lili? Kalau dia yang ngurus semua usaha, takutnya malah sakit lagi.Kasihan,” sahutku penuh kekhawatiran.“Kita bayar orang saja. Kita hanya sesekali saja mengontrol.Sebulan sekali misal, kita bisa ke sini sekalian jenguk keluarga,” usulnyakemudian.Diam, aku mencoba menimbang usulan Mas Farhan. Sepertinyaini ide bagus. Kami bebas ke mana pun, sedangkan usaha tetap jalan.“Tapi siapa, Mas? Jaman sekarang susah cari orang yangbenar-benar bisa dipercaya,”Kami berdua saling tatap, bingung menentukan siapa yang kamipercaya. Hana jelas tidak mungkin. Meski dia keponakan Tante Lili, tetap sajaaku tak percaya, apalagi Hana sempat ingin menguasai harta Bu Lili.Rizal, lelaki itu juga enggak mungkin. Bisa-bisa tokobangkrut lantaran jarang buka. Lagian, dia selama ini dia juga jaran

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   HANA KEMBALI

    Selagi kami makan, terdengar bunyi pintu yang diketuk diiringi salam, suara lelaki yang sangat kukenal. “Itu suara Mas Farhan, Bu!” ucapku girang. “Kayaknya iya. Coba kamu lihat!” Tanpa menunggu lama, aku bangkit berdiri lalu setengah berlari menuju depan. Gegas kuputar anak kunci dan membuka pintu. Benar. Mas Farhan berdiri mematung persis di depanku. Aku menatap rindu pada lelaki yang sudah tiga hari tak menemani tidurku. “Kamu pucat, Ve ...” Lelaki itu menyentuh pipi lalu berpindah di kening, seolah begitu mengkhawatirkan keadaanku. “Iya!” sahutku lirih. Sebenarnya aku ingin memeluk menuntaskan rindu, tapi terbentur ego yang mendalam. Kecurigaannya yang berlebihan kembali terngiang di kepala. Beberapa saat kami terpaku dalam kebisuan. Sampai akhirnya Mas Farhan meraih jemari lalu bersimpuh di depanku. “Kamu mau maafin aku kan, Ve?” ucapnya penuh harap. Binar ketulusan terlihat jelas dari sorot mata sendunya, hingga mampu meluluhkan hati membunuh ego. “Iya, Mas! Aku sudah

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   NASIHAT

    Tiga hari setelah kembali dari rumah sakit, aku lebih sering menyendiri di kamar ketimbang berkumpul bersama Bu Lili dan Pak Herman. Banyak kuhabiskan waktu untuk merenung, menoleh pada setiap bait kenangan yang tercipta. Dalam sebuah rumah tangga, rasa saling menjadi suatu keharusan. Cemburu dan curiga itu wajar, tapi jika berlebihan, niscaya akan menghancurkan , menghempaskan mimpi yang tengah dibangun. Sampai detik ini Mas Farhan belum juga kembali, padahal aku butuh dia untuk bersandar. Benar, memang aku yang memintanya pergi, tapi hanya sekedar meluapkan emosi agar dia lekas menyadari kesalahan. Bukan untuk selamanya. Lamunan buyar tatkala terdengar derit pintu yang terbuka. Seorang perempuan paruh baya menyembul, lalu berjalan mendekat dam duduk di sebelahku. “Sampai kapan kamu mau seperti ini, Sayang?” Bu Lili melempar senyum, merapikan rambutku yang berantakan. “Entahlah, Bu! Aku benar-benar tak mnduga akan kehilangan bayiku,” sahutku perih. Dia tersenyum. Kembali dibela

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   mengusir benalu

    *** Tak butuh waktu lama, kami telah sampai di rumah. Pak Herman lebih dulu turun lalu membuka pintu samping, membantuku keluar dari mobil. Sepasang suami istri itu mengapit di kanan dan kiriku. Mungkin mereka khawatir aku masih lemas. Langkahku terhenti saat pandanganku menangkap dua sosok makhluk yang berdiri menyambut kami. Keduanya melempar senyum, tapi berupa senyum mengejek. Ya. Hana dan Ibunya berdiri di ambang pintu. Mungkin mereka mendengar deru mesin mobil sampai mereka ke luar. “Maaf, Bu! Aku pilang ke rumah nenek saja!” ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari Hana dan ibunya. “Loh ... kenapa?” Bu Lili mengernyit heran. “Aku tak mau serumah dengan iblis seperti mereka!” ucapku sembari mengacungkan jemari telunjuk lurus ke depan. Bu Lili mengarahkan pandangan mengikuti arah jari telunjukku. Barangkali mereka mendengar ucapanku, makanya mereka menghampiri. “Kalau mau ke rumah nenekmu, kenapa harus ke sini dulu? Apa sudah lupa jalan ke sana? Perlu aku antar?” Hana te

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   Bayiku .... tidak...

    Berkali-kali aku mengerjapkan mata berusaha mengumpulkan kesadaran. Lalu, kuedarkan pandangan ke sekeliling sebab merasa di tempat asing. Semuanya bernuansa putih bersih, jauh berbeda dengan kamarku yang didominasi warna pink. Diam, aku berusaha menajamkan ingatan kenapa sampai ada di sini. Terakhir kuingat pertengkaran dengan Mas Farhan, lalu aku terjatuh bersimbah darah. “Astaga! Bayiku!” Aku menjerit histeris. Belum sempat kukabarkan kehamilan, tapi semua telah terenggut. Padahal, aku ingin memberi kejutan untuk Mas Farhan. “Tenang, Ve!” Kurasakan kedua pundak ada yang memegangi. Pun suara Mas Farhan yang mencoba menenangkan. “Bayiku!” Aku semakin histeris sambil berusaha berontak. Namun, Mas Farhan mendekapku erat sampai aku kesulitan bernafas. Akhirnya kutumpahkan semua air mata di dada bidangnya. “Maafkan aku, Ve!” ucap Mas Farhan setengah berbisik.Suaranya terdengar parau. Seperti sedang merasakan sesal di dalam hati. Diam, aku tak mencoba menyahut kalimat Mas Farhan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status