Share

BAB 4

Author: Putri putri
last update Last Updated: 2022-11-17 15:49:09

Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Membiarkan embusan angin menyapa seluruh tubuh, berharap sedikit mampu mengurangi beban di hati. Namun, nyatanya beban itu masih sama mengimpit perasaan. 

Berhenti di jalanan yang cukup sepi, aku turun kemudian berteriak sepuasnya melampiaskan kecewa di dalam dada tanpa memedulikan orang lewat yang menatap aneh ke arahku.

“Mereka semua kejam. Egois. Tak pernah mengerti sedikit pun tentang perasaanku. Semua sama. Hanya memanfaatkan tenagaku saja.” Aku meracau tak karuan.

Puas, aku kembali melajukan motor masih tanpa tujuan yang pasti. Entah pada siapa akan kuadukan semua perih selain pada sepi yang semakin merambat sunyi. 

Pada akhirnya aku memutuskan ke rumah Linda sahabatku. Mungkin dia bisa membantu menyelesaikan masalah yang tengah kuhadapi. 

“Assalamu alaikum, Lin.” Aku mengetuk pintu sembari mengucap salam. 

“Waalaikum salam,” sahut suara perempuan dari arah dalam. 

Beberapa saat menunggu, akhirnya pintu terbuka. Sosok perempuan berwajah keibuan menyembul dari balik pintu. Dia melempar senyum menatapku. 

“Nak, Ve..., kapan pulang? Masuk sini,” ajak Ibunya Linda. 

“Tadi siang, Bu. Lindanya ada? “ tanyaku balik.

“Ada. Ayo masuk dulu. Biar Ibu panggil Linda,” ajaknya lagi. 

Aku menurut. Mengekori langkahnya masuk lalu duduk di sofa ruang tamu sementara dia masuk semakin ke dalam. 

Beberapa saat kemudian, Linda keluar menemuiku.

“Vera..., apa kabar? Kapan pulang?” cerocos Linda lalu menghambur memelukku. 

“Tadi siang, Lin,” jawabku setelah pelukan kami terurai. 

Dia mengernyitkan dahi menatap wajahku. “Kamu kenapa, Ve? Kok kusut begitu?” 

“Masa sih?” tanyaku balik. 

“Iya. Kamu ada masalah?” 

Selalu saja aku tak bisa menyembunyikan darinya. Kami memang sudah cukup lama berteman, jadi paham jika aku sedang dalam masalah. 

Akhirnya aku menceritakan tentang Rizal yang telah menikah dengan Ela. Juga tentang Bapak yang meminta aku membiayai resepsi pernikahan mereka. 

“Astaghfirulloh, kamu enggak bercanda kan, Ve?” Linda menggeleng pelan seolah tak percaya dengan ceritaku. 

“Beneran, Lin. Aku juga enggak nyangka mereka seperti itu,” jawabku. 

Perih itu kembali terasa setiap ingat kalau Mas Rizal telah mengkhianatiku. Tak sanggup rasanya membayangkan mereka memadu kasih. Sakit. 

“Terus sekarang kamu mau bagaimana?” tanya Linda beberapa saat kemudian. 

“Enggak tahu, Lin. Mungkin aku akan merebut Mas Rizal. Aku masih mencintainya,” jawabku. 

“Astaga! Kamu waras enggak sih? Masa iya merebut suami adik. Kaya enggak ada laki-laki lain saja!” umpat Linda. 

Aku diam. Yang dikatakan Linda benar, tapi apa iya aku harus pasrah? Rasanya tak rela mereka bahagia di atas deritaku. 

“Terus aku harus bagaimana?” Aku menghela nafas berat saking bingungnya. 

“Move on dong.... buat dirimu bahagia. Tunjukkan pada mereka kalau kamu bisa dapatkan yang lebih baik dari Rizal. Kamu pasti bisa!” saran Linda. 

Aku kembali terdiam memikirkan ucapan sahabatku. Namun, aku tak yakin akan bisa. Bagiku Mas Rizal laki-laki terbaik yang pernah kutemui. 

“Lalu bagaimana dengan uang yang diminta Bapak? Apa aku harus memberinya juga?” tanyaku lagi. 

“Jangan!” sambarnya cepat. “ Biarkan mereka yang memikirkannya. Lagian kenapa Bapak dan Ibumu malah mau menikahkan mereka sih!” 

“Ya enggak tahu, Lin,” sahutku asal. 

Tiba-tiba terdengar deru mesin motor berhenti di depan rumah. Aku melongok dari kaca jendela berusaha mencari tahu siapa yang datang. Namun, karena cahaya lampu yang temaram, aku tak bisa mengenali orang tersebut. 

“Assalamu alaikum,” 

Terdengar suara derit pintu di buka. Farhan-kakak Linda masuk, menatap heran ke arahku. 

“Kamu di sini, Ve? Apa kabar?” tanyanya sambil mengulurkan tangan. 

“Baik, Mas,” jawabku. 

Meski ragu, mau tak mau aku balas menjabat tangannya. Genggamannya terasa erat, hingga jantungku berdebar kencang. 

Bagaimana tidak? Dulu, sebelum aku kenal Mas Rizal, aku pernah memiliki rasa padanya. Namun, karena dia seperti tak membalas cintaku, aku memilih melupakannya. 

Setelah jabat tangan kami terlepas, Farhan beranjak masuk ke dalam. Namun, baru dua langkah berjalan, Linda sudah memanggilnya. 

“Mas, duduk dulu.  Ada yang mau aku omongin,” perintah Linda. 

Farhan membalikkan badan. Di terlihat bingung, tapi menurut saja. Dia duduk bersebelahan dengan adiknya. 

“Ada apa?” tanyanya. 

“Begini, Mas..., kami mau minta pendapatmu.” 

Tanpa meminta izin padaku, Linda menceritakan kandasnya kisah cintaku dengan Mas Rizal. Juga tentang aku yang lagi galau antara merebut kembali atau pasrah mengikhlaskan. 

“Ya mending cari yang lain aja. Emangnya laki-laki cuma Rizal doang? Kecuali kamu mau jadi pelakor untuk adikmu!” tegas Farhan. 

Aku tersentak kaget saat dia menyebut kata ‘pelakor’. Seumur hidup tak pernah ingin menjadi seperti itu. 

“Tu kan, Ve. Mending kamu lupain saja si Rizal itu. Cari yang lebih baik darinya,” ujar Linda. 

“Kalau Rizal beneran cinta kamu, pasti tak akan menikahi adikmu, Ve,” imbuh Farhan. 

Aku menundukkan pandangan, merasa malu karena telah berniat merebut kembali Mas Rizal. Mereka benar, aku harus melupakan Rizal. Untuk apa mengharapkan sesuatu yang sudah menjadi milik yang lain?

“Itu berarti aku tak perlu membalas pengkhianatan mereka?” tanyaku seperti orang bodoh. 

“Dendam itu tak baik, Ve. Dengan kamu bahagia saja mereka sudah terbalas. Jadi tak perlu sengaja membalas. Lebih baik kamu senengin hati. Syukur-syukur kamu sudah dapat pengganti Rizal sebelum resepsi pernikahan digelar. Tunjukkan pada mereka kalau kamu juga bisa bahagia!” Panjang lebar Farhan menasihati. Aku hanya mengangguk saja tanpa berkomentar. 

Kali ini hati mulai mantap untuk melupakan Rizal. Meski terasa berat, aku harus berjuang. Namun, untuk mencari penggantinya, mungkin akan sulit. Selama ini aku cenderung menjaga jarak dengan lelaki mana pun demi menjaga perasaan Rizal. 

Untuk sesaat hening terjadi antara kami. Sampai tiba-tiba Linda menceletuk, membuat aku dan Farhan sama-sama terperangah. 

“Bagaimana kalau kalian pacaran saja! Kan sama-sama singgle!” 

“Kamu ngomong apaan sih, Lin? Bercandanya enggak lucu tahu,” protesku. 

Cinta itu bukan sekedar bersama. Buat apa pacaran kalau tak saling cinta. Ujung-ujungnya kandas dan sama-sama merasa disakiti. 

“Aku enggak bercanda, Ve. Aku tahu kok kalau dulu kamu suka sama Mas Farhan. Iya kan?” ledeknya. 

Kontan saja aku terperanjat mendengar ucapan Linda. Sampai hati dia membuka masa lalu yang menyedihkan. Cinta tak terbalas itu menyakitkan. 

“Benar begitu, Ve?” 

Mas Farhan yang sedari tadi diam kini langsung mencecar membuatku salah tingkah. Mau jujur tentu saja malu. Mau bohong, Linda sudah kadung membongkar semuanya. Bagaimana ini? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   bahagia

    ****Menjelang siang aku dan Mas Farhan bertandang ke rumah Ibu.Sekalian saja menemui Ela sebab beberapa hari ini kami tak bertemu.Kami menghentikan mobil di halaman yang lumayan luas. Rumahdi hadapanku penampakannya masih sama persis dengan saat pertama kali datang.Di sinilah aku mulai tahu sejatinya diriku.Melangkah mendekati pintu, aku berteriak mengucap salam lalumemanggil Ela-adikku. Tak lama, sosok yang kusebut namanya menyembul dari balikpintu, memamerkan senyum khasnya.“Kamu sudah sehat, Mbak? Maaf belum sempat menjenguk,”ucapnya lalu mengajak kami masuk.Enggak apa-apa! Lagian aku juga sudah sehat kok! Buktinyasampai di sini.” Aku membalas dengan senyuman, lalu mengekori langkahnya dankami bertiga duduk di kursi tamu.“Ibu mana, La? Aku ingin ketemu,” tanyaku sesaat kemudian.“Bentar, Mbak!”Perempuan yang perutnya mulai buncit itu melangkah masuk danlekas kembali bersama Ibu. Aku langsung bangkit meraih tangan Ibu dan menciumtakdim.Meski selama ini Ibu sering berlaku tak

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   minta izin

    “Ve, kita balik ke rumah saja yuk! Aku enggak nyaman tinggalserumah sama Hana. Takut kalau dia menghasut lagi,” ajak Mas Farhan saat kamisedang berdua.“Iya juga sih, tapi bagaimana dengan tanggung jawab kitapada Bu Lili? Kalau dia yang ngurus semua usaha, takutnya malah sakit lagi.Kasihan,” sahutku penuh kekhawatiran.“Kita bayar orang saja. Kita hanya sesekali saja mengontrol.Sebulan sekali misal, kita bisa ke sini sekalian jenguk keluarga,” usulnyakemudian.Diam, aku mencoba menimbang usulan Mas Farhan. Sepertinyaini ide bagus. Kami bebas ke mana pun, sedangkan usaha tetap jalan.“Tapi siapa, Mas? Jaman sekarang susah cari orang yangbenar-benar bisa dipercaya,”Kami berdua saling tatap, bingung menentukan siapa yang kamipercaya. Hana jelas tidak mungkin. Meski dia keponakan Tante Lili, tetap sajaaku tak percaya, apalagi Hana sempat ingin menguasai harta Bu Lili.Rizal, lelaki itu juga enggak mungkin. Bisa-bisa tokobangkrut lantaran jarang buka. Lagian, dia selama ini dia juga jaran

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   HANA KEMBALI

    Selagi kami makan, terdengar bunyi pintu yang diketuk diiringi salam, suara lelaki yang sangat kukenal. “Itu suara Mas Farhan, Bu!” ucapku girang. “Kayaknya iya. Coba kamu lihat!” Tanpa menunggu lama, aku bangkit berdiri lalu setengah berlari menuju depan. Gegas kuputar anak kunci dan membuka pintu. Benar. Mas Farhan berdiri mematung persis di depanku. Aku menatap rindu pada lelaki yang sudah tiga hari tak menemani tidurku. “Kamu pucat, Ve ...” Lelaki itu menyentuh pipi lalu berpindah di kening, seolah begitu mengkhawatirkan keadaanku. “Iya!” sahutku lirih. Sebenarnya aku ingin memeluk menuntaskan rindu, tapi terbentur ego yang mendalam. Kecurigaannya yang berlebihan kembali terngiang di kepala. Beberapa saat kami terpaku dalam kebisuan. Sampai akhirnya Mas Farhan meraih jemari lalu bersimpuh di depanku. “Kamu mau maafin aku kan, Ve?” ucapnya penuh harap. Binar ketulusan terlihat jelas dari sorot mata sendunya, hingga mampu meluluhkan hati membunuh ego. “Iya, Mas! Aku sudah

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   NASIHAT

    Tiga hari setelah kembali dari rumah sakit, aku lebih sering menyendiri di kamar ketimbang berkumpul bersama Bu Lili dan Pak Herman. Banyak kuhabiskan waktu untuk merenung, menoleh pada setiap bait kenangan yang tercipta. Dalam sebuah rumah tangga, rasa saling menjadi suatu keharusan. Cemburu dan curiga itu wajar, tapi jika berlebihan, niscaya akan menghancurkan , menghempaskan mimpi yang tengah dibangun. Sampai detik ini Mas Farhan belum juga kembali, padahal aku butuh dia untuk bersandar. Benar, memang aku yang memintanya pergi, tapi hanya sekedar meluapkan emosi agar dia lekas menyadari kesalahan. Bukan untuk selamanya. Lamunan buyar tatkala terdengar derit pintu yang terbuka. Seorang perempuan paruh baya menyembul, lalu berjalan mendekat dam duduk di sebelahku. “Sampai kapan kamu mau seperti ini, Sayang?” Bu Lili melempar senyum, merapikan rambutku yang berantakan. “Entahlah, Bu! Aku benar-benar tak mnduga akan kehilangan bayiku,” sahutku perih. Dia tersenyum. Kembali dibela

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   mengusir benalu

    *** Tak butuh waktu lama, kami telah sampai di rumah. Pak Herman lebih dulu turun lalu membuka pintu samping, membantuku keluar dari mobil. Sepasang suami istri itu mengapit di kanan dan kiriku. Mungkin mereka khawatir aku masih lemas. Langkahku terhenti saat pandanganku menangkap dua sosok makhluk yang berdiri menyambut kami. Keduanya melempar senyum, tapi berupa senyum mengejek. Ya. Hana dan Ibunya berdiri di ambang pintu. Mungkin mereka mendengar deru mesin mobil sampai mereka ke luar. “Maaf, Bu! Aku pilang ke rumah nenek saja!” ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari Hana dan ibunya. “Loh ... kenapa?” Bu Lili mengernyit heran. “Aku tak mau serumah dengan iblis seperti mereka!” ucapku sembari mengacungkan jemari telunjuk lurus ke depan. Bu Lili mengarahkan pandangan mengikuti arah jari telunjukku. Barangkali mereka mendengar ucapanku, makanya mereka menghampiri. “Kalau mau ke rumah nenekmu, kenapa harus ke sini dulu? Apa sudah lupa jalan ke sana? Perlu aku antar?” Hana te

  • DIKHIANATI ADIK DAN CALON SUAMI   Bayiku .... tidak...

    Berkali-kali aku mengerjapkan mata berusaha mengumpulkan kesadaran. Lalu, kuedarkan pandangan ke sekeliling sebab merasa di tempat asing. Semuanya bernuansa putih bersih, jauh berbeda dengan kamarku yang didominasi warna pink. Diam, aku berusaha menajamkan ingatan kenapa sampai ada di sini. Terakhir kuingat pertengkaran dengan Mas Farhan, lalu aku terjatuh bersimbah darah. “Astaga! Bayiku!” Aku menjerit histeris. Belum sempat kukabarkan kehamilan, tapi semua telah terenggut. Padahal, aku ingin memberi kejutan untuk Mas Farhan. “Tenang, Ve!” Kurasakan kedua pundak ada yang memegangi. Pun suara Mas Farhan yang mencoba menenangkan. “Bayiku!” Aku semakin histeris sambil berusaha berontak. Namun, Mas Farhan mendekapku erat sampai aku kesulitan bernafas. Akhirnya kutumpahkan semua air mata di dada bidangnya. “Maafkan aku, Ve!” ucap Mas Farhan setengah berbisik.Suaranya terdengar parau. Seperti sedang merasakan sesal di dalam hati. Diam, aku tak mencoba menyahut kalimat Mas Farhan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status