Share

Hujan di mata Diandra

***

"Enak sekali Aluna mau dijadikan istri kedua, tidak bisa!" Bibi Melani-- Mama Aluna berkacak pinggang di depan pintu. Wanita bertubuh tambun dan tidak terlalu tinggi itu meringsek masuk sambil memasang wajah garang. "Heh, Bara ... Aluna itu hamil anak kamu, sudah seharusnya kamu bertanggung jawab. Enak sekali kamu bilang mau tetap menikahi Diandra sementara putriku jadi yang kedua. Saya tidak setuju!"

Kedua orang tua Bara saling tatap. Pak Basuki berdiri mendekati iparnya sambil berkata, "Jangan teriak-teriak. Tidak perlu pakai otot, Mel. Tenang saja, lagipula Dian pasti menolak ...."

"Alah, Mas Bas kan Bapaknya, tentulah membela Diandra," sela Bibi Melani sengit. "Harusnya Mas Bas sama Mbak Anis itu sedikit punya empati lah! Aluna itu keponakan kalian, tega-teganya kalian bikin dia jadi istri kedua. Kamu juga, Di ... apa kamu gak kasihan sama Aluna, hah? Dia itu sedang mengandung anak Bara, enak aja malah kamu yang jadi istri pertama. Aturan Aluna yang dia nikahi dulu, baru kamu. Kamu yang seharusnya jadi istri kedua!" Telunjuk Bibi Melani mengarah tepat di wajah Diandra yang kentara sekali sedang menahan emosi.

"Pokoknya saya tidak terima kalau Aluna diperlakukan seperti yang Bara katakan tadi. Dia itu punya hak penuh atas diri Bara. Ingat ya ... anak yang Aluna kandung itu calon cucu kalian berdua. Tega sekali sama calon cucu ...." Bibi Melani menggebu-gebu menghardik kedua orang tua Bara yang sejak tadi menunduk menyembunyikan wajahnya yang teramat malu atas tindakan putranya. "Kalau kamu masih kekeuh mau menjadikan Aluna istri kedua dan kemudian kamu ceraikan, saya tidak segan-segan bikin kamu malu dan dipecat dari pekerjaanmu. Ingat itu, Bara!"

Bara mengusap wajahnya kasar. Situasi yang rumit sedang mengepungnya malam ini. Rencana membujuk Diandra atas kebodohan yang sudah ia lakukan, gagal sudah karena tiba-tiba Bibi Melani datang tanpa basa-basi.

Belum usai Bibi Melani melampiaskan rasa marahnya, Aluna datang bersama Ayahnya dengan tergopoh-gopoh.

"Ya Allah, Ma ...," gerutu Pak Sunandar. "Kamu jangan bikin ribut di rumah Mas Bas, ayo pulang! Bara pasti menjelaskan semuanya pada Mas Bas dan Mbak Anis, kamu jangan ikut campur!"

"Diam ya, Yah!" bentak Bibi Melani. "Asal Ayah tau ya, Bara ini berencana mau menikahi Diandra dan Aluna hanya jadi istri kedua. Bahkan dia berencana menceraikan anak kita setelah dia melahirkan. Itu yang Ayah bilang menjelaskan, hah? Dia jelas-jelas sedang merendahkan anak kita! Dasar laki-laki serakah!"

Pak Sunandar menatap Bara marah. Kemarin sore pria itu berjanji akan menemui Pak Basuki dan Bu Anis untuk menjelaskan semua yang terjadi termasuk rencana pernikahannya dengan Diandra yang terpaksa harus batal. Namun malam ini, Pak Sunandar seperti tengah mendapatkan kejutan. "Benar begitu, Bara? Kamu berniat menikahi Aluna dan menceraikannya setelah dia melahirkan?" tanya Pak Sunandar ketus.

"Maaf, Pak. Tapi saya mencintai Diandra ...."

Bugh !!!

Bugh !!!

"Bara!" pekik Bu Gendhis, Ibu Bara.

"Ayah, cukup!" Aluna berlari mendekati Bara yang tersungkur di sudut sofa.

"Apa-apaan ini, jangan pakai kekerasan ya, saya bisa melaporkan anda ...." Pak Satya menghentikan ucapannya ketika kerah kemeja yang dia kenakan dicengkeram kuat oleh Pak Sunandar. "Laporkan! Sana laporkan! Kami juga bisa melaporkan tindakan Bara karena sudah memaksa Aluna berhubungan badan degannya selama ini. Saya tidak takut! Laporkan!" teriak Pak Sunandar marah.

"Kamu memaksa Aluna, Mas?" tanya Diandra penasaran. Tidak perduli pada tatapan mata tidak suka yang Aluna lontarkan untuknya.

Bara menggeleng. "Kami melakukan itu atas dasar sama-sama mau, Di. Aku gak memaksa."

"Kamu memaksaku, Mas! Kamu bilang Diandra terlalu kaku dan sok suci, itu sebabnya kamu mencari kenikmatan itu padaku. Kamu jangan pura-pura lupa ya, Mas, dasar brengsek! Bahkan kamu yang pesan hotel waktu itu." Aluna berbicara sambil menatap kedua mata Bara yang berkilat marah.

"Memaksa? Yang benar saja, Lun ...."

"Cukup, cukup!" sahut Diandra. "Saya rasa hubungan saya dan Mas Bara memang tidak bisa dilanjutkan, Om, Tante. Kalau Mas Bara menolak mengurus semua undangan yang terlanjur disebar, itu biar menjadi urusan saya. Saya menolak dinikahi Mas Bara. Sampai kapanpun!"

Ucapan Diandra membuat air mata Bata berjatuhan. Tiba-tiba saja ia menyesali semua yang sudah terjadi. Nafsu sesaat membuat semua mimpi indah yang sempat ia rajut bersama Diandra hancur berantakan.

"Ya, bagus," seloroh Bibi Melani. "Kamu juga harus tau diri, Dian. Gak baik memaksakan sesuatu yang memang bukan ditakdirkan untukmu. Biarkan Bara menikahi Aluna, kamu harus ngalah, Aluna itu hamil."

Diandra mengedikkan bahu tak acuh. "Kalau begitu, boleh aku minta tolong, Bibi? Tolong keluar dari rumah kami. Kami mau istirahat, capek."

Bibi Melani membuang muka, "Kamu ngusir?" Mata Bibi Melani melotot. "Gak punya aturan ya kamu!"

"Mas, bisa bicarakan rencana pernikahan kamu dan Aluna di rumah Bibi Melani saja? Kita sudah tidak ada urusan apapun, jadi tolong ... jangan merasa bersalah, aku baik-baik saja," ujar Diandra malas.

"Di, pikirkan baik-baik tawaranku. Aku mencintai kamu, Diandra. Hanya kamu satu-satunya wanita yang ingin aku nikahi ...."

Plak!

Aluna menampar pipi Bara dengan emosi yang menggebu-gebu. "Laki-laki brengsek!" hardiknya sarkas.

"Dia memang minta dihajar sampai mati, Lun. Minggir, biar Ayah habisi pria tidak bertanggung jawab itu. Ayah tidak terima kamu diperlakukan seperti lacur, Aluna!" Dada Pak Sunandar membusung. "Minggir, Aluna! Kamu dengar apa yang Ayah katakan, kan?"

"Sudah, sudah!" Pak Satya jengah dengan keributan yang diciptakan kedua orang tua Aluna di rumah Diandra. "Kita bicarakan langkah selanjutnya untuk Bara dan Aluna, tapi tidak disini. Kasihan Diandra, dia pasti terluka sekali dengan tindakan Bara yang bodoh. Minta maaf kamu pada Dian dan kedua orang tuanya, Bara!" titah Pak Satya pada Bara.

"Yah, aku masih ingin memperjuangkan Diandra," rengek Bara.

"Cukup, Bara! Kamu mau wajahmu babak belur karena Ayah hajar?"

Bara menggeleng lemah, "Pak, Bu ... saya sungguh minta maaf atas tindakan bodoh yang sudah saya perbuat. Andai Bapak dan Ibu masih mau menerima saya, saya berjanji akan membahagiakan Diandra. Dia tidak akan kekurangan kasih sayang dan cinta dari saya. Tolong dipertimbangkan lagi, Pak ... daripada Diandra malu karena gagal menikah, lebih baik dia terima jadi madu Aluna. Ya kan, Pak?"

Pak Satya mengusap wajahnya kasar mendengar ucapan Bara yang terdengar sangat keterlaluan. Sementara Bu Gendhis meringis melihat wajah Diandra yang melengos sambil berpura-pura memuntahkan isi perutnya.

"Tidak perlu merasa bersalah, toh Diandra bilang dia baik-baik saja," sahut Pak Basuki sambil terkekeh. "Melepas pria sepertimu tidak lantas membuat Diandra rugi. Justru saya bangga sekali karena Diandra membuang sampah pada tempatnya. Kamu dan Aluna memang cocok," sindir Pak Basuki pedas.

"Kalau bicara yang enak didengar dong, Mas Bas! Apa maksudnya bilang seperti itu? Mas Bas pikir Aluna itu tong sampah?" Lagi-lagi Bibi Melani mendelik kesal. "Lihat, Yah ... jangan diam saja! Aluna dihina sama Masmu, bela Aluna dong!"

Pak Sunandar menarik tangan Aluna dan berkata, "Saya tunggu kalian di rumah, sekarang juga!"

Pak Satya dan Bu Gendhis hanya bisa menunduk sembari menghela napas panjang. Karena kebodohan Bara, keduanya harus menerima menantu yang sedang berbadan dua.

Apa kata tetangga?

"Saya minta maaf atas nama Bara, Pak Bas," ujar Pak Satya.

Bu Gendhis memeluk Bu Anis dengan perasaan sedih. "Saya juga meminta maaf pada Bu Anis dan Pak Basuki, maaf karena kebodohan putra saya sudah merugikan dan membuat keluarga kalian malu. Kami berjanji akan mengatasi ini. Maaf, Bu Anis ...." Bu Anis mengangguk dan menepuk-nepuk punggung Bu Gendhis lembut.

"Mereka tidak jodoh, tidak perlu merasa bersalah," ucap Bu Anis bijak. "Setidaknya Bara mau bertanggung jawab pada Aluna, karena bagaimanapun Aluna sedang hamil anak Bara."

"Terima kasih, Bu Anis," sahut Pak Satya sungkan. "Kami pamit, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Diandra mencium punggung tangan Pak Satya dan Bu Gendhis bergantian.

"Kami minta maaf ya, Di. Tolong jangan anggap Mama orang asing. Telinga Mama kurang suka kalau kamu panggil ’Bu’," ujar Bu Gendhis sambil mengusap kepala Diandra.

Wanita yang kadung koyak hatinya itu hanya tersenyum tanpa memberikan respon mengangguk atau menggeleng. Tidak ada kewajiban baginya untuk memanggil Bu Gendhis dengan sebutan ’Mama’ seperti hari-hari yang lalu.

"Di, maaf ...."

"Aku tidak ingin mendengar apapun dari mulutmu, Mas. Cukup. Aku muak!" sela Diandra ketika Bara hendak mendekatinya. "Silahkan pergi, urusan kamu saat ini bukan denganku, tapi dengan Aluna."

Pak Satya mencengkeram bahu putranya dan memaksa Bara keluar dari rumah Diandra dengan membawa segudang penyesalan.

"Kukira Mas Bara itu pria setia, Bu," seloroh Diandra ketika Pak Basuki berjalan mendekati pintu dan menutupnya dari dalam setelah semua tamunya keluar. "Nyatanya dia malah menghadirkan calon bayi disaat pernikahan kami sudah di depan mata."

Bu Anis memeluk Diandra sambil mengusap matanya yang basah.

"Aku tidak yakin bisa baik-baik saja ...."

"Kamu pasti bisa, Nak," sela Bu Anis parau. "Gagal menikah bukanlah aib, Allah justru sedang menyelamatkan kamu dari pria seperti Bara. Ambil sisi positifnya, Nduk."

"Mendapati kenyataan bahwa calon suamiku menghamili sepupuku sendiri, apakah ada sisi positif yang bisa aku ambil, Bu?" Mata Diandra kembali menurunkan hujan. Rasanya tiada bosan ia menangis ketika mengingat rencana pernikahan yang sudah diimpikan sejak lama harus porak poranda karena kehamilan Aluna. Kamaluna Alundra. Sepupunya sendiri yang bahkan rumahnya hanya berjarak tiga rumah dari rumah-rumah tetangga. "Tidak adakah cobaan lain yang bisa Allah berikan padaku? Kenapa harus seperti ini ... kenapa harus rencana pernikahanku yang Tuhan hancurkan, Bu? Kenapa?!"

Bu Anis semakin mendekap erat tubuh Diandra. Pak Basuki yang melihat buah hatinya menangis hanya bisa memandang sambil menahan gemuruh di dalam dada. Andai sah-sah saja menghajar, tentulah wajah Bara sudah ia hancurkan malam ini juga.

"Jangan mencemooh Tuhan, Nduk!" Suara Pak Basuki semakin membuat bahu Diandra berguncang. "Bisa jadi apa yang kamu anggap baik adalah sesuatu yang sebenarnya buruk di mata Allah. Begitu pula sebaliknya," ucap Pak Basuki bijak. "Jika sebelum menikah saja Bara sudah berani menjamah tubuh wanita lain, lalu bagaimana jika kalian nanti sudah sah menjadi pasangan suami istri? Tidak menutup kemungkinan Bara akan melalukan kesalahan yang sama, Dian, dan itu tentu akan semakin menyakitimu."

Bu Anis melepas pelukannya dan membiarkan Pak Basuki mengambil alih kepala putrinya yang senantiasa menunduk menyembunyikan wajahnya yang berantakan karena air mata.

"Kamu berharga, Di, itu sebabnya Allah menunjukkan buruknya Bara sebelum kalian berdua menikah. Selalu ada hikmah di setiap kejadian, Nak, kamu harus bisa legowo."

Diandra mengangguk lemah, "Tapi dadaku sakit, Pak. Ini sakit sekali," adu Dian seraya menenggelamkan wajahnya di pelukan Sang Bapak.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Jessica
baru baca ud naik tensi Krn emosi ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status