Share

Bab 3

Penulis: Putri Sabrina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-31 15:49:04

"Ini hadiah buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan kembali ponsel itu padaku.

"Hadiah? Kenapa Abang belikan ponsel semahal ini? Kan sayang uangnya. Lagi pula, Abang dapat uang dari mana untuk membeli ponsel sebagus ini?"

"Um... itu pemberian dari Bos, sayang. Dipakai ya, kan selama ini ponsel kamu sering mati tanpa sebab."

Pemberian dari Bos? Emang ada Bos pabrik sebaik itu? Aku hanya mengangguk dan menerima ponsel yang diberikan olehnya.

"Kamu suka gak?"

"Ya suka dong. Siapa yang gak suka sama ponsel ini," jawabku dengan campuran rasa senang dan bingung.

"Ya sudah, biar nanti pas video call sama Abang gak mati-mati lagi. Ponsel yang itu simpan saja," ucapnya.

Aku mengangguk, dan sempat-sempatnya tadi berpikir kalau Bang Yuda sebenarnya memang lelaki tajir yang sedang menyamar sebagai orang biasa. Hehe... maafkan Hanza, Bang. Apa pun keadaanmu, Hanza mencintaimu.

Namun, masih ada satu kejanggalan. Kenapa lelaki tadi bisa menyebut suamiku pemilik perusahaan? Apa dia lagi halu atau gimana? Kode diam dari suamiku juga belum jelas.

"Bang, ucapan lelaki tadi kok bisa gitu ya?" tanyaku, masih penasaran.

"Mungkin bosnya mirip Abang kali, terus namanya juga sama, makanya dia ngomong gitu."

"Terus, kode tadi? Apa Abang kenal sama dia?"

"Sengaja Abang beri kode itu, supaya dia diam saja. Kalau dia terus bicara, bisa-bisa orang-orang berpikir aneh lagi. Kenal? Siapa dia? Dia kan temannya Andi?"

Jawaban suamiku itu membuatku semakin bingung. Aku hanya mengangguk, meski kepalaku pening memikirkan semua ini.

"Memangnya kenapa? Kamu percaya sama omongan lelaki itu?" tanyanya lagi.

Aku hanya menggeleng sebagai jawaban.

---

"Hanza! Yuda! Bangun kalian! Pagi-pagi bukannya beberes malah enak-enakan tidur. Ingat! Kalian itu cuma numpang di sini!" Teriakan Ibu terdengar dari luar kamar.

Aku dan Bang Yuda yang sedang membereskan pakaian di lemari terkejut mendengar suara itu.

"Apa sih, Bu? Tadi kan aku sudah cuci piring. Bang Yuda juga sudah nyapu halaman depan dan belakang. Sekarang kami sedang sibuk membereskan kamar," jawabku kesal. Apa Ibu tidak melihatku bekerja tadi?

"Eh... kamu itu ya! Tuh, kamar mandi, dapur, semua ruangan ini belum dipel!" cerocos Ibu.

"Aku lagi sibuk, Bu. Ibu suruh saja Mbak Nita, lihat dia gak lagi ngapa-ngapain selain main ponsel dan nonton TV!" ucapku sambil menunjuk ke arah Mbak Nita yang berambut sebahu.

"Heh, aku ini lagi sibuk chatting sama Sania. Malam ini dia akan pulang, kamu tahu gak? Ya nggak dong, ponsel aja butut! Mana bisa chattingan dengan Sania!" jawab Mbak Nita dengan nada nge-gas.

Mbak, ponselku sekarang jauh lebih bagus dari ponselmu! kataku dalam hati.

Pantas saja tadi pagi-pagi sekali Ibu sudah pergi ke pasar, rupanya belanja untuk menyambut kedatangan Sania yang selama ini bekerja di Surabaya. Kenapa gak memberitahuku sih? Aku kan juga kakaknya, walaupun bukan kakak kandung.

"Sania mau pulang? Kenapa kalian diam saja tidak memberitahuku?" tanyaku sedikit kesal.

"Apa pentingnya memberitahu kamu? Memangnya mau disuguhi apa, hmm? Orang duit aja kalian gak punya," sungut Ibu.

"Iya, belum lagi palingan kamu minta oleh-oleh dari adikku," ketus Mbak Nita dengan tatapan mengejek.

Tanganku sesekali mengepal mendengar ucapan mereka. Mataku memanas menahan air mata yang hendak menetes.

"Cepat! Sebelum dia datang, ruangan harus bersih dan wangi! Setelah itu kamu masak, Ibu sudah belanja tadi pagi!" ketus Ibu sembari melengos pergi.

"Sayang, biar Abang saja. Hari ini libur kerja," ucap Bang Yuda sambil menghampiriku.

"Sudah, Hanza saja, Bang."

"Jangan, kasihan kamu. Abang saja, kamu istirahat di kamar."

"Kalian berdua! Malah debat, ayo cepat bersih-bersih! Oh iya, kamu yang katanya pemilik perusahaan itu. Perusahaan apa? Perusahaan halu? Ingin ketawa rasanya kalau ingat kejadian kemarin. Hahaha...," Ibu kembali bersuara dengan kata-katanya yang selalu menyakitkan hati.

Bang Yuda mengelus pundakku saat aku ingin melawan perkataan Ibu, memberi isyarat agar aku membiarkan saja ucapan Ibu itu.

"Sudah, ayo kita bekerja sama-sama," ucap Bang Yuda sambil membawaku ke area dapur.

Aku benar-benar heran, kok ada ya lelaki sebaik Bang Yuda? Dia dijadikan babu, dihina, tapi hatinya masih saja tulus.

---

"Ibu... aku pulang!" Terdengar suara Sania di luar sana, pas sekali semua makanan sudah aku hidangkan di meja makan. Aku ikut menghampiri Sania, menyambutnya di teras rumah.

"Sania! Ibu kangen banget tahu," ujar Ibu sambil berpelukan dengan putrinya.

"Iya, aku juga kangen sama Ibu, sama Mbak Nita juga," jawabnya, diikuti pelukan dari Mbak Nita. Mereka berpelukan hangat di depanku.

"Sania, apa kabar?" Aku menyapa adik sambungku itu ramah dan mencoba memeluknya. Namun, dia terlihat enggan membalas pelukanku.

"Baik, Mbak," jawabnya singkat tanpa menoleh padaku.

"Eh, ngomong-ngomong itu mobil siapa, San?" tanya Ibu sambil menunjuk mobil berwarna hitam yang terparkir di halaman rumah.

"Oh iya, Sania lupa. Sebentar ya, Bu!" ucapnya lalu pergi mendekati mobil itu.

Beberapa detik kemudian, keluar seorang lelaki berpakaian rapi. Mereka berjalan beriringan menuju teras rumah.

"Surprise! Aku bawakan calon mantu buat Ibu!" Sania begitu gembira mengabarkan hal itu pada Ibu. Ibu pun tersenyum senang sekali mendengarnya.

"Apa kabar, Bu? Perkenalkan, saya Alamsyah," sapanya sambil mencium tangan Ibu.

"Jadi... Nak Alam ini pacarnya Sania ya?" tanya Ibu.

Lelaki beralis tebal itu menoleh pada Sania, lalu ia mengangguk sembari tersenyum.

"Semoga kalian langgeng, ya," ucap Mbak Nita memberi restu.

"Aamiin...," balas Sania.

"Eh, ya sudah. Ayo kita makan dulu. Mbak Nita lho yang masakin. Katanya spesial buat menyambut kedatangan kamu!" ucap Ibu, penuh kebohongan.

Mataku membelalak mendengar Ibu berbohong seperti itu. Jadi anak sambung memang begitu sulitnya, padahal katanya tidak membeda-bedakan. Aku tersenyum kecut dan ikut bergabung dengan mereka, tak lupa memanggil suamiku agar dia ikut bergabung juga. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Ibu saat kami duduk satu meja makan.

Benar saja, saat kami duduk berdampingan, mata Ibu menatap tajam ke arahku dan Bang Yuda. Aku tidak peduli, walaupun sampai bola matanya keluar, aku akan tetap ikut makan di sini.

"Nak Alam, silakan dicicipi. Semoga kamu suka, ya?" ucap Ibu.

"Padahal tidak usah repot-repot, Bu," jawab Alam dengan ramah.

"Tidak apa-apa, ayo-ayo! Sania, ambilkan Alam piringnya," ucap Ibu.

"Pasti sukalah, ini semua kan aku yang masak," bisikku pelan, tapi percaya diri.

"Hanza!" Ibu mendesis padaku, tampaknya dia mendengar ucapanku karena aku duduk di sebelahnya. Tapi aku tidak ingin menghiraukannya.

Aku pun mengambil makan untukku dan Bang Yuda. Meskipun mata Ibu dan Mbak Nita tak henti-hentinya menatap kami dengan sinis, aku berpura-pura tidak melihatnya.

“Oh iya, Bu. Tahu nggak, kalau Mas Alam ini seorang pengusaha?” ujar Sania di tengah suara dentingan sendok dan piring yang beradu. Nada suaranya terdengar begitu bangga. Tentu saja, Ibu langsung tampak sangat antusias, terutama karena menyangkut masalah harta.

“Wah, bagus dong kalau begitu. Masa depan kamu nanti nggak bakal suram, sudah terjamin!” ucap Ibu, sambil melirik sinis ke arahku dan suamiku.

“Jelas dong, Bu. Biar hidupku nggak melarat kayak yang onoh,” sahut Sania sambil tertawa kecil. Ucapannya disambut dengan tawa terbahak-bahak dari Ibu dan Mbak Nita.

Tawa mereka terhenti seketika saat Alam tiba-tiba terbatuk.

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 35

    “Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan. Wajahnya cantik sekali, sehat, tidak ada kurang satu apa pun,” ujar Dokter. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu kedua pasangan Yuda dan Hanza. Setelah lamanya menanti selama sembilan bulan, akhirnya Hanza melahirkan seorang anak perempuan. Keluarga besar mereka ikut menemani persalinannya. Tak ada yang tak meneteskan air mata, semua terharu karena dapat menggendong cucu pertama mereka. Kehadirannya disambut begitu bahagia.“Alhamdulillah. Nak gadis. Kamu cantik sekali, Nak. Hidungmu mirip papamu dan wajahmu mirip ibumu. Jadi anak yang shalihah ya, Nak,” tutur Meli sembari menggendong dengan hati-hati bayi mungil itu. “Terima kasih, Dokter. Telah membantu proses persalinan istri saya.”“Sama-sama. Ini semua berkat do’a kalian dan pastinya ada campur tangan Allah yang melancarkan segalanya.” Dua hari kemudian, Hanza sudah berada di rumahnya. Setelah proses melahirkan di rumah sakit. “Ya Allah, gemes banget, Nyonya kecil ini,” Mbak Nani men

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 34

    Sepanjang perjalanan, Bu Ayu terus saja menepuk-nepuk pelan Sania agar ia tersadar dari pingsannya. Keluarga mereka begitu kacau. Sementara Nita, ia hanya menatap kosong, memikirkan Andi yang dipenjara.“Apa mau ke rumah sakit, Bu?” tanya sopir taksi. Ia melihat iba pada Sania.“Tidak usah, Pak. Kita pulang saja ke alamat tujuan,” ketus Bu Ayu.“Nita! Kamu malah bengong aja dari tadi! Bantu kek, biar Sania cepat sadar!” bentak Ayu membuat Nita terkesiap dari lamunannya.“Ya udah, sih! Nanti juga sadar sendiri!” timpal Nita kesal.“Kamu ini! Sama adik sendiri gak ada tolongnya!” “Ibu tuh! Yang pilih kasih! Si Sania itu udah kurang ajar sama aku sebagai kakaknya tahu gak, Bu? Tapi Ibu selalu saja belain dia walaupun dia salah! Selama ini aku berbaik hati pada dia karena dia adikku! Tapi, kalau ingat kelakuannya sama aku yang suka ngatain gak sopan kalau gak dikasih uang, rasanya aku akan berhenti peduli saja sama dia! Ibu aja yang urus sendiri!” Nita begitu marah. Tak peduli ada sopir

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 33

    “Semoga, kalian selalu bahagia ya, Nak. Tinggalkan yang membuat kalian tak nyaman.” Ghazi berujar.“Iya, Pa. Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkan Hanza dekat dengan mereka. Mereka bukan darah daging Hanza, juga tak pernah mempunyai hutang Budi,” balas Yuda. Sementara Hanza tidak berkomentar apa pun. Sepanjang perjalanan pulang, ia hanya menatap jalanan dengan lalu lalang kendaraan. Yuda dan Ghazi mengerti perasaannya, membiarkan Hanza dengan pikirannya sendiri. “Oh iya, Pa, mau menginap di rumah kami saja?”“Tidak perlu, Nak. Papa banyak pekerjaan juga di kantor.”“Papa tidak perlu bekerja lagi, biar semuanya aku yang handle, Pa.”“Selama badan Papa masih kuat dan sehat, Papa tidak mau mengandalkan hasil keringat anak Papa. Papa masih bisa mencari nafkah, Nak. Papa ingin menambah tabungan Papa untuk hari nanti saat Papa tak mampu untuk bekerja lagi.” Ucapan Ghazi membuat kedua pasangan itu tersentuh. Rasa kagumnya pada orang tuanya begitu dalam. Ghazi memang orang tua yang pa

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 32

    Hari ini adalah hari pernikahan Sania. Semua orang di rumah Bu Ayu, tampak sibuk dengan acara tersebut. Mereka bersiap-siap menunggu jemputan mobil yang akan membawanya ke gedung pernikahan. Sementara di rumah Alamsyah. Wanita paruh baya bersetelan rapi mengetuk pintu beberapa kali. Setelah pintu terbuka, wanita itu tersenyum begitu puas. “Maaf, ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya seorang pembantu.“Saya mau bertemu dengan tuan rumah ini. Ini penting, tolong sampaikan,” ucapnya. Pembantu mengangguk, lalu ia melangkah menuju ruang keluarga. Di mana ada Alamsyah dan ibunya yang juga sedang bersiap. “Permisi, Bu. Pak, ada tamu di luar,” ucapnya.“Suruh ke dalam saja, Bi. Nanti aku ke sana,” ucap Alam. “Baik, Pak.” Pembantu itu segera kembali ke luar mempersilakan masuk tamu wanita itu. Bi Ina, segera menyuguhkan air dan camilan di atas meja. Lalu ia kembali dengan pekerjaannya. Alamsyah dan Bu Sri, menghampiri wanita yang kini sedang menunggu di ruang tamu.“Maaf, Bu. Ada keperluan

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 31

    “Bang Andi. Besok akan dijemput polisi atas kasus yang telah ia perbuat.” “Syukurlah. Dia memang harus dapat pelajaran. Agar cepat sadar,” timpalku. Kini kami telah sampai di rumah. Para pelayan sepertinya sedang istirahat. Memang aku yang meliburkan mereka untuk hari ini. Begitu memasuki rumah, banyak sekali kado yang berjajar di ruang tamu. “Bang, dari siapa ini? Kok banyak sekali?”Bang Yuda tampak melihat satu persatu kado yang berbagai macam ukuran itu. “Dari karyawan kantor, Sayang. Mungkin mereka sengaja mengantarnya langsung ke rumah. Ada-ada saja mereka.”“Berterima kasihlah, Bang pada mereka,” ucapku. “Iya, Abang foto dulu. Habis itu kita kirim ke grup wa. Kita ucapkan terima kasih pada mereka semua.” Bang Yuda mengambil ponselnya lalu memotret kado-kado. “Ya sudah, Bang. Kita istirahat dulu. Rasanya lelah sekali, walaupun cuman duduk di kursi pelaminan,” ajakku. Kami berdua menaiki anak tangga menuju kamar. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur lalu kunyalakan AC. Lelahn

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 30

    Jujur, hari ini seluruh kebencian dan kekecewaanku pada Ibu lenyap begitu saja. Aku hanya ingin melepas rindu dengan Ibu setelah berapa lamanya kita tak bertemu. Ibu sudah meminta maaf padaku. Aku ikhlas memaafkannya. Aku mengangguk, lalu kembali memeluk erat wanita yang telah melahirkanku. Kini kami menjadi pusat perhatian banyak orang. Bang Yuda, dan Papa mertua begitu terkejut juga. Pak Sony juga tampaknya mengeluarkan air mata haru. “Ya sudah, Nak. Ini Papa sambungmu. Pak Sony namanya.”“Iya, Bu.” Aku mengecup takzim tangan Pak Sony yang kini menjadi Papa sambung. “Nak, kami turun dulu, ya? Kasihan orang lain mengantri,” ucap Ibu. “Iya, silakan, Pak, Bu. Selamat menikmati hidangan di sini,” balasku masih dengan suara bergetar.Mereka berdua turun dari pelaminan. Suasana kembali lagi seperti semula, aku lihat ibu sambungku terus saja memperhatikanku lalu mereka terlihat berbisik-bisik. Entahlah, mungkin mereka juga kaget ternyata Ibu kandungku masih hidup. “Sungguh, Abang masi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status