Dua orang perempuan dengan pakaian glamour sudah berdiri di ambang pintu. Aku tahu siapa mereka, Dewi dan Tante Lani---mamanya Dion. Helaan napas kuhembuskan peralahan ketika melihat sorot mata penuh kebencian itu terpancar dari dua pasang mata yang berada di ambang pintu sekarang.“Rupanya … anak sama ibu sama saja. Sama-sama gak punya malu. Gak sadar diri kalau mereka pungguk, bermimpi merindukan rembulan!” Tante Lani langsung bicara dengan wajah judes dan nada merendahkan. Lalu apa tadi? Ibu dan anak? Apakah dia orang yang membuat Ibu menangis kemarin? Aku berjanji, andai iya, maka aku sendiri yang akan membuatnya menyesal sudah membuat perempuan yang kucintai, kembali menumpahkan air mata. Perempuan yang mati-matian perasaannya kujaga. “Ahmm … selamat siang, Tante! Maaf tolong jaga bicaranya! Tante boleh merendahkanku, tetapi jangan sampai menghina Ibu.” Aku menatap tajam perempuan dengan bibir merah itu yang masih berdiri di ambang pintu. Aku dan dia sejenak beradu pandang, te
Pov Dewi Aku tersenyum, bahagia sekali rasanya melihat wajah Ayu yang tampak terpukul sekali oleh ucapan Tante Lani. Dia melangkah pergi meninggalkan rumah Dion seperti pecundang yang kalah perang. Beruntung, Tante Lani belum tahu jika Ayu sudah menjadi penulis terkenal. Bagi Tante Lani yang urusannya setiap hari berkecimpung dengan keuangan perusahaan, dia tak tak terlalu paham dunia entertain. Baginya, Ayu masih seorang remahan yang tak patut diperhitungkan. Namun, sialnya kenapa Om Subekti seperti mendukung hubungan Dion dengan Ayu. “Sudah! Sudah, Mam! Apa salahnya sih kalau anak kita dekat dengan Ayu! Papa lihat dia anak baik, bahkan dia sedang mulai belajar berwirausaha juga! Biasanya kalau orang punya kemauan seperti Ayu, dia akan telaten dengan keluarga dan sukses dengan karirnya!” Ck, kesal sekali aku. Dari awal, memang Om Subekti bahkan tak terlalu mempedulikan keberadaanku. Bahkan dia tak memuji ketika tahu aku menjadi bintang iklan. “Papa! Sudah deh, diam! Apa Papa pi
Pov Lani “Hmmm … menurut Dewi, Tan! Talkshow itu harusnya bintang tamunya satu saja! Jadi misal dia dipanggil ya gak apa, tapi Tante mintanya jangan bareng sama dia! Apalagi novel dia baru difilmkan katanya ‘kan? Jadi takutnya nanti fokus audience terpecah!” ucap Dewi padaku. Sepertinya ucapannya dia ada benarnya juga. Gimana kalau penonton malah fokus pada Peri Aksara dan bukan pada prestasiku yang membanggakan? Katanya novel dan filmnya tengah booming sekarang. Walau aku gak terlalu ngikutin, tapi dengar-dengar sih seperti itu. “Tante belum pernah sih kayak gini, dulu pernah diundang talk show juga memang Tante sama Om saja, gak ada bintang tamu lain! Bisa kepecah fokus audience, ya?” tukasku pun, setuju dengan pendapat Dewi. “Iya, Tante! Mending minta sama kru mereka buat ganti jadwal saja, Tante! Jadi jangan sampai ada dua bintang dalam satu panggung! Jadi nanti jatohnya gak fokus audiencenya!” Dewi kembali meyakinkanku. Dia memang selalu begitu, perhatian dan bisa diandalkan
Pov Lani Aku dan Dewi lekas keluar, Dion yang akan menyetir untuk kami. Dia tampak tengah berdiri di samping mobil dan menelpon seseorang. “Maaf ya, aku jadi gak bisa nganter! Kamu hati-hati, ya! Sampai ketemu di sana!” tukasnya. Namun gegas dia mematikan panggilan dan menatap ke arahku dan tersenyum penuh arti. “Nelpon siapa, Yon?” tanyaku. “Kejutan untuk Mama!” tukasnya singkat seraya tersenyum, sontak kedua alisku saling bertaut. Apa yang dia maksud kejutan untuk Mama? Sepanjang perjalanan, Dion lebih banyak diam. Dia tampak seperti tengah memikirkan sesuatu. Sedangkan aku yang duduk di belakang pun tak leluasa mengajak ngobrol Dewi yang memilih duduk di depan, di samping Dion. Hanya sesekali Dewi membahas terkait pekerjaannya dan kesibukannya saat ini. Suasana menjadi sedikit tak menyenangkan karena sikap Dion yang tampak setengah enggan. Fortuner putih yang dikendarai Dion sudah mulai memasuki jalanan bebas hambatan. Dipacunya kendaraan yang ditumpanginya dengan kecepatan m
Hari di mana jadwal talkshow pun akhirnya tiba. Awalnya Dion berjanji akan mengantarku, hanya saja tiba-tiba dia mengabarkan jika harus mengantar ibunya juga. Aku, pastinya harus paham dan mengerti. Aku dan Dion bukan siapa-siapa. Linggaku masih milik ibunya. Ah, kadang kangen manggil dia seperti dulu, Lingga. Hanya aku yang sering menyebutnya seperti itu. Padahal semua teman memanggilnya Dion.“Kamu jadinya pergi naik apa?” tanyanya dari seberang telepon. “Paling naik mobil online, Yon!” jawabku yang sudah rapi mengenakan pakaian terbaikku. Bukan yang mahal, hanya saja mengenakan yang memang pantas dipakai. “Maaf ya, aku jadi gak bisa nganter! Kamu hati-hati, ya! Sampai ketemu di sana!” tukasnya. “Oke, Yon! Makasih.” Aku menjawab dan tetap menenangkan hati. Pertama kalinya akan tampil di acara televisi membuat aku nervous luar biasa. Sebuah mobil sigra warna putih sesuai applikasi pun mendekat. Aku memastikan nomor polisinya sama dengan yang tertera pada applikasi. “Mbak Ayu?” K
"Wah, sepertinya Bu Lani ini sangat mengapresiasi pemuda-pemuda berprestasi. Terlihat sekali dari sikapnya yang sangat mengapresiasi Mbak Peri Aksara yang karyanya fenomenal ini! Hmmm … ngomong-ngomong, nih! Mas Dion ini ‘kan masih single, Mbak Peri Aksara juga statusnya single … apa ada kemungkinan Bu Lani punya rencana membentuk satu generasi yang penuh prestasi dengan menyatukan keduanya dalam mahligai rumah tangga? Eaaa!”Pertanyaan Mas Arkan Hakim pada Tante Lani, sontak membuat aku yang tengah meneguk teh yang kebetulan dihidangkan di sini, terbatuk-batuk. Kudengar kekehan dari Mas Arkan Hakim yang menggodaku. Tante Lani tampak sedikit kikuk, dia melirik ke arah Dewi, lalu tampak berpikir. Mungkin tengah merangkai jawaban yang akan dia sampaikan ke muka umum. Aku jadi penasaran, seperti apa jawabannya di depan umum? Akankah dia akan memberikan restu pada Dion setelah tahu siapa aku sebenarnya? “Wah, Mbak Ayu sampai segitunya … sepertinya memang sudah ada udang di balik kerupuk
“Pak Faqih sudah datang bersama keluarganya ke sini, meskipun sekadar bersilaturahmi pada Ibu, tetapi mereka baik, mereka tak mempermasalahkan status Ibu yang hanya penjual nasi uduk dan kamu yang hanya guru honorer! Mereka sangat menerima keluarga kita dengan baik, Yu … bahkan bulan depan, rencananya mereka mau datang dan melamar kamu secara resmi ke sini!” Deg!Hatiku seolah tertimpa bilahan kayu. Aku tak menyangka, diam-diam Pak Faqih rupanya intens mendekati Ibu. Kenapa juga, Ibu bisa memutuskan memberikan lampu hijau pada mereka padahal aku belum tentu setuju? Aku menatap Ibu tajam. Perempuan yang biasanya lembut dan penuh kasih itu, entah kenapa jadi begitu egois sekarang. “Ibu, Aku sudah membulatkan tekad. Aku tidak bisa menerima Pak Faqih. Bisa saja Aku paksakan buat nerima dia, tetapi itu hanya akan membuat perasaan dia luka.” Aku berucap lirih, tetapi pasti. Berharap Ibu bisa paham apa yang kurasakan sekarang. “Apa karena Dion?” Pertanyaan Ibu terlontar begitu saja. Aku
“Bibi saranin, uang itu kamu investasikan! Nanti kalau ada rampok malah bahaya!” tekan Bibi Inka seolah menakut-nakutiku. Eh, kok mainnya ngancam, ya? “Duh, mana ada Bibi … honornya film juga kecil dan belum cair. Ya, namanya juga aku masih pemula, belum punya nama. Dihargai seberapa juga aku ambil. Uangnya gak akan cukup buat investasi sebanyak itu, Bibi.” Aku memasang wajah serius. “Eh, masa, sih? Kamu jangan bohong, Yu! Bibi pernah baca artikel kalau honor novel yang diangkat ke layar lebar itu bisa sampai ratusan juta, loh!” Bibi Inka mendelik. Kenapa pula jadi dia yang maksa. Aku, tetap harus tenang dan tersenyum manis terhadapnya. “Beneran lah, Bibi! Sekarang saja kami malah jualan nasi uduk. Kalau pegang duit ratusan juta, ngapain lagi harus susah-susah seperti ini?” Aku menunjukkan pada sisa panci yang masih tertumpuk di ujung meja bekas jualan.Bibi Inka tampak cemberut, dia menoleh pada suaminya lalu tampak berbisik. Tak berapa lama dia berpamitan dengan raut wajah kece