Share

15. Bab 15

DIKIRA MISKIN 15

"Dek, Mas Berangkat, ya?" Kata Mas Yudi, kemudian mengulurkan tangannya, aku meriah dan menciumnya. Setelah itu ia beralih pada Sasya yang masih tertidur lelap.

Hari masih pagi saat Mas Yudi berangkat ke kota. Ya, meski kami tinggal di rumah Ibu, namun Mas Yudi tetap ke kota untuk mengurus resto kami, meski sudah ada Alvin, orang kepercayaannya. Bukannya tidak percaya namun ia harus tetap memastikan kalau usaha kami itu berjalan dengan baik. Yah, setidaknya tiga hari sekali Mas Yudi ke sana.

"Mau pesan dibelikan apa nanti?" Tanya Mas Yudi saat hendak keluar kamar.

"Terserah kamu saja, Mas," jawabku tersenyum.

Mas Yudi juga berpamitan pada Ibu.

"Sebenarnya kamu ini sering-sering ke kota ada keperluan apa, Nak?" Tanya Ibu usai Mas Yudi bersalaman dengannya.

"Aku ada urusan pekerjaan, Bu, do'akan saja agar urusanku lancar ya, Bu," kata Mas Yudi.

"Ya, Nak, Ibu pasti mendo'akan yang terbaik untuk kamu, hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan," kata Ibu dengan memeluk anak lelakinya itu. Aku terenyuh melihatnya, dari dulu baru kali ini aku melihat Ibu mendo'akan untuk Mas Yudi. 

Dulu, jangankan dido'akan, yang ada sumpah serapah yang keluar dari mulut Ibu. Untung saja saat kami pamit akan merantau Ibu bilang, JANGAN PULANG SEBELUM KAMU SUKSES, meski Ibu mengucapkan dengan nada marah, namun ucapan seorang Ibu tetaplah do'a. Terbukti ucapan itu menjadi nyata sekarang.

"Aku cuma sebentar, Bu, nanti juga pulang, tapi, kalau terpaksa, menginap nggak apa-apa, kan?" Kata Mas Yudi seraya melepas pelukan ibunya.

"Nggak apa-apa, Nak, yang penting kamu pulang dengan selamat nanti," kata Ibu tersenyum.

"Aku titip Ibu, ya, Dek," kata Mas Yudi kini beralih menatapku.

"Ya, Mas," 

"Kamu nggak perlu bilang, pun, Antika pasti merawat dan menjaga Ibu dengan baik. Dia ini memang menantu idaman pokoknya," ucap Ibu dengan senyum mengembang seraya menepuk pundakku.

"Terima kasih ya, Dek, kalau begitu Mas berangkat." Mas Yudi keluar.

Aku dan Ibu mengantar Mas Yudi sampai di depan pintu, dan baru masuk kembali setelah ia menghilang dari pandangan.

_______

Matahari sudah mulai naik, aku sudah selesai memandikan Sasya dan menyuapinya. Sementara Ibu sedang menonton acara favoritnya di televisi.

"Kamu nggak masak, Tik?" Tiba-tiba Mbak Ranti datang, namun kali ini ia datang sendiri, tidak membawa pasukan atau keluarga ajaibnya. Tanpa basa-basi, ia langsung membuka tudung saji di atas meja. Matanya melebar  saat melihat tidak ada makanan di sana. Aku tadi hanya masak khusus untuk Sasya. Padahal ia sudah membawa piring untuk membawa makanan.

"Nanti sore, Mbak," jawabku dengan malas.

"Kok nanti sore, memangnya pagi ini kalian tidak sarapan?"

"Hari ini aku dan Ibu puasa," 

"Puasa apa? Sunah? Ya Ampun, Tik, sok-sokan pakai puasa sunah segala. Kamu puasa sepanjang hari juga nggak akan bisa kaya. Eh, tapi, benar juga, sih, kalau kamu rajin puasa, biar irit sehingga cepet kaya, ha ha." Mbak Ranti tertawa lebar.

"Ada apa lagi, Ran? Kan sudah Ibu bilang jangan minta makanan setiap hari sama Antika, kasihan," Ibu datang mendekat mendengar suara Mbak Ranti yang tertawa dengan keras.

"Eh, Ibu, Antika bilang kalau kalian puasa. Puasa apa? Ibu, kan sedang sakit, nggak usahlah pakai puasa segala," ucap Mbak Ranti.

"Antika puasa karena mau mengganti puasa di  bulan Ramadhan yang bolong karena berhalangan. Ibu juga mengganti puasa karena sakit," jelas Ibu, dan aku hanya manggut-manggut membenarkan ucapan Ibu.

"Kamu kalau  mau puasa, ya, puasa aja, nggak usah mengajak Ibu segala. Ibu ini lagi sakit, kalau dia kenapa-napa, kamu mau tanggung jawab, hah!" Kata Mbak Ranti dengan tatapan tajam ke arahku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status