DIKIRA MISKIN 17Ibu mengamati Mas Yudi yang baru saja turun dari mobil dan berjalan menuju pintu.Sasya yang sedari tadi asyik menonton upin ipin di youtube, segera meletakkan ponselnya dan berlari menyambut kepulangan Ayahnya. Dengan sigap Mas Yudi membawa Sasya ke dalam gendongannya dan menciumnya dengan gemas. Mas Yudi berjalan menuju ke arah kami, aku meraih tangan dan menciumnya, kemudian Mas Yudi beralih meraih tangan Ibu yang masih berdiri mematung seraya mengucek matanya berulang kali."Kamu benar Yudi, anak Ibu?" Tanya Ibu seraya membingkai wajah anaknya itu. Tangannya menepuk pipi Mas Yudi kemudian mengitarinya."Ya, Bu, ini Yudi yang tadi berangkat dan sekarang sudah pulang," jawab Mas Yudi seraya masuk ke dalam."Tapi, kok bisa berubah dalam sehari? Sekarang ganteng, sejak kapan gantengnya, atau jangan-jangan kamu bertemu peri kemudian dikutuk jadi ganteng begini?" Tanya Ibu dengan tatapan yang aneh dan masih menepuk-nepuk pipi Mas Yudi."Ada-ada saja Ibu ini, selama ini
DIKIRA MISKIN 18"Bagus kalau kamu sadar diri tidak ikut andil dalam membelinya, ini uang Ibu, dan aku anak kesayangan jadi, aku juga berhak menikmatinya, lagi pula lidah kamu tidak cocok makan makanan mahal seperti ini. makan tempe goreng dan singkong saja sudah cukup. Kalau makan pizza, perut kamu bisa kaget nanti," ucap Mbak Wiwid seraya mengambil lagi pizza itu dan memasukkan ke dalam mulutnya. "Ada apa Mbak datang kemari?" Tanyaku setelah mereka selesai memakan makanan yang di bawa Mas Yudi hingga habis tidak bersisa."Aku ingatkan sekali lagi ya, Tik, jangan sekali-kali tanya seperti itu lagi jika aku ke sini. Ini rumah Ibu, jadi aku bisa datang kapan pun aku mau. Aku ke sini hanya ingin tahu, apa benar itu mobil yang di depan milik Yudi? Sejak kapan Yudi bisa mengendarai mobil seperti itu?" Tanya Mbak Wiwid dengan menautkan alis."Oh, itu mobil majikanku, Mbak," jawab Mas Yudi."Sudah kuduga, itu tidak mungkin mobil kamu. Kalau begitu aku pulang karena sudah mendapat jawaban
DIKIRA MISKIN 19Mbak Ranti masih saja menggedor pintu dan berteriak dari luar. Hari memang masih terlalu pagi, pintu masih dikunci dari dalam. Ibu masih berada di kamarnya usai sholat subuh tadi.Awalnya aku malas untuk membuka pintu karena Mbak Ranti suka membuat keributan dan datang hanya ingin merendahkan. Apalagi sambil gedor-gedor pintu ia juga berteriak menanyakan mobil siapa yang ada di depan. Haruskah kujawab?Terpaksa aku membuka pintu karena tidak mau terlalu lama mendengar teriakannya yang dapat memecahkan gendang telinga itu."Lama amat buka pintunya, enak banget ya, hidup kamu, jam segini baru bangun," Kata Mbak Ranti dengan muka ditekuk dan bibir mengerucut.Enak saja bilang aku baru bangun, padahal aku sudah selesai mencuci dan hendak memasak mumpung Sasya masih tidur. Jika Sasya sudah bangun, aku sudah tidak bisa ngapa-ngapain lagi. Balita seusia Sasya memang butuh perhatian ekstra sehingga tidak bisa melakukan hal lain saat bersamanya.Di sini, aku harus mengerjakan
DIKIRA MISKIN 20"Oh, aku pikir itu mobilnya si Yudi. Kalau benar, aku juga harus punya." Aku masih mendengar perkataan Mbak Ranti meski sekarang aku sudah berada di dapur, tanganku sudah siap memegang pisau untuk memotong wortel."Kalau kamu pingin mobil, ya, beli saja, nggak usah minta Ibu. Ibu sudah banyak bantu kamu selama ini," ucap Ibu."Ibu nggak ikhlas membantuku dan keluargaku?" Tanya Mbak Ranti tidak terima."Bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas, selama Ibu bisa bantu pasti akan Ibu bantu. Tapi, kamu juga jangan mengandalkan Ibu terus, kamu harus mandiri, apalagi suami kamu seorang pegawai negeri. Percuma menjadi pegawai kalau mau beli mobil saja masih minta Ibu," ucap Ibu. Aku yang mendengar ucapan Ibu dari dapur hanya tersenyum. Rasain kamu, Mbak."Ibu meremehkan aku dan Mas Gani?""Kamu sendiri yang meremehkan dirimu sendiri. Dengan selalu meminta pada Ibu itu sama artinya dengan merendahkan dirimu sendiri." Ucap Ibu."Ah, malas, semenjak Mas Yudi dan Antika tinggal di
DIKIRA MISKIN 21"Memangnya kamu punya utang berapa tho, Wid, sampai menggadaikan sawah segala?" Tanya Ibu."Nggak banyak kok, Bu, lagi pula ini atas kemauan Mbak Ranti sendiri, ia bersedia membayar utang asalkan sawahku dia yang menggarapnya. Lagi pula selama ini aku juga tidak pernah mengurus sawah itu," jawab Mbak Wiwid dengan memainkan jari tangannya."Nggak banyak itu berapa?" Tanya Ibu lagi."Nggak usah kepo kenapa, sih, Bu? Memangnya kalau Ibu tahu akan bayarin utangku? Nggak, kan? Mau aku punya utang berapa pun yang penting Mbak Ranti sudah bantu bayarin. Inilah enaknya punya saudara yang punya banyak uang dan nggak pelit, jika ada salah satu yang kesusahan bisa bantu. Nggak seperti situ, jadi saudara yang tidak ada gunanya sama sekali," ucap Mbak Wiwid dengan nada sinis kearahku dan Mas Yudi.Membantu sih iya, tapi, kalau pada kenyataannya sawah yang dimiliki harus direlakan untuk digarap ya percuma. Itu sama artinya dengan 'tulung mentung' seperti menolong tapi sebenarnya pu
DIKIRA MISKIN 22"Bu," kataku seraya memegang lengan Ibu. Aku merasa tidak enak dengan sikap Mbak Wiwid hari ini. Aku bukannya mengalah, tapi, aku hanya ingin hidup tenang. Uang bisa di cari, tapi, ketenangan harus diciptakan."Biarkan saja, kalau nggak sekali-kali dikasih pelajaran bisa tuman, berlaku seenaknya pada kamu." Ibu mengusap pundakku dengan lembut. Alhamdulillah, Ibu sekarang benar-benar berubah, akhirnya kesabaranku berbuah manis."Apa yang kamu lakukan pada Ibu sehingga ia berubah, pakai pelet? Kamu bisa mempengaruhi Ibu, tetapi, aku tidak, dengar itu!" Kata Mbak Wiwid dengan tatapan tajam kearahku. Tangannya kini menunjuk mukaku."Sudah biarkan saja dia pergi!" kata Ibu kembali mengusap lenganku dengan lembut."Ish." Melihat Ibu yang terus membelaku, tentu saja membuat Mbak Wiwid kalap, dia keluar dengan membawa amarah sehingga pintu yang tidak bersalah pun terkena sasaran, brakk.Sampai di luar, mulut Mbak Wiwid tiada henti mengomel."Itulah akibatnya kalau kita terlal
DIKIRA MISKIN 23Usai bilang kalau Mas Yudi adalah seorang anak yang tidak pernah diinginkan, tatapan Ibu menerawang seperti adegan dalam sebuah sinetron. Terlihat ia menghela napas perlahan dan menghembuskannya. Aku melihat ada gurat penyesalan di sana.Aku dan Mas Yudi terdiam menunggu kata-kata Ibu yang akan meluncur dari mulutnya dengan sabar. Aku benar-benar menyesal telah lancang menanyakan hal yang seharusnya menjadi rahasia Ibu di masa lalunya. Maafkan aku, Bu, akibat jiwa kekepoanku, harus membuka kembali luka lama yang mungkin sudah terpendam selama berpuluh-puluh tahun."Bu," ucapku dengan meraih pergelangan tangannya. Aku tidak mampu melanjutkan kata-kata lagi, lidahku kelu dan bingung mau bicara apa. Aku benar-benar merasa bersalah sekarang."Ibu menyesal, Nak?" Hanya kalimat itu yang meluncur dari mulut Ibu, bibirnya tampak bergetar saat mengucapkannya."Tidak seharusnya Ibu membedakan kasih sayang antara anak satu dengan yang lain. Laki-laki atau perempuan sama saja, k
DIKIRA MISKIN 24"Oh, iya, aku sedang bikin kue." Tepuk jidat dan langsung berlari ke dapur untuk melihat kue yang tadi kubuat. Mematikan kompor dan membuka oven, kue yang sedang kupanggang sudah hitam karena gosong."Kenapa, Tik?" Ibu dan Mas Yudi menyusulku ke dapur."I--ini, Bu," kataku terbata dengan tangan memegang kue yang sudah tidak layak makan. Ya Allah, baru saja aku merasa bahagia karena Ibu sudah mulai sayang, sekarang aku malah ceroboh membuat kue gosong. Apa memang aku dan Ibu tidak ditakdirkan untuk akur dan saling menyayangi?"Ha ha ha ha," Ibu tertawa lebar melihat kue di tanganku."Ibu nggak marah?" Tanyaku heran melihat Ibu malah tertawa, padahal dalam bayanganku Ibu akan marah dan memakiku karena sudah membuat oven miliknya gosong dan aku sudah berencana bilang akan menggantinya."Jangan marah sama Antika ya, Bu, masalah oven, nanti Yudi yang akan belikan," kata Mas Yudi. Lagi, pikiran kami sama."Siapa yang marah? Kalau hanya oven Ibu bisa beli lagi, Ibu juga puny