Share

05. SEPENGGAL KISAH DI DALAM MIKROLET

   Sudah lebih dari satu minggu ini aktivitas kampus tidak seperti biasanya. Setelah melaksanakan ujian akhir semester, seluruh mahasiswa diliburkan selama dua bulan. Namun, aktivitasku hari ini mengharuskan aku berangkat ke kampus untuk mengikuti rapat rohis jam sebelas siang nanti. 

 

Walau jarak yang kutempuh tidak dekat, tapi ini adalah sebuah janji. Walaupun hanya sekedar jadwal, tapi aku harus komitmen terhadap jadwal. Jadwal adalah janji dan janji adalah hutang. Jadi sudah seharusnya seorang muslim bertanggung jawab kepada dirinya dan Allah. Walaupun begitu, Irfan tetap tidak bosan-bosannya mengingatkanku untuk menghadiri rapat itu, penting katanya.

 

Jam sembilan lebih sepuluh menit, setelah membantu Umi mengantar kripik. Aku bersiap menuju kampus, kurapikan peralatan dan kuambil Al-Quran tercinta, lalu ku masukan kedalam saku depan tas ransel berwarna biru tua. Meskipun tas ini usang tapi tas ini bersejarah, ia yang setia menemaniku menuntut ilmu sejak di bangku SD sampai saat ini, sampai menempuh S.1 di universitas Dasar Negara. 

 

Tak lupa aku membawa air putih yang di telah dimasak Umi, itu sangat berguna untukku. Apalagi harga minuman di kampusku sangat mahal. Sebelum berangkat Umi membuatkan ku secangkir teh hangat yang manis. Kuteguk dengan nikmat sambil mengucap syukur. Apapun yang aku miliki sekarang adalah karunia Allah yang patut aku syukuri. Aku tidak ingin menjadi orang yang kufur nikmat seperti almarhum ayah dahulu. Apapun yang terjadi dengan ayahku itu adalah suatu pelajaran berharga yang bisa aku kutip dan aku ambil hikmahnya. 

 

“Hari ini mau kemana Mal?” Tanya Umi ramah.

 

“Ke kampus, mau rapat rihlah untuk besok Mi.” Jawabku sambil memberikan cangkir teh yang telah kuhabiskan.

 

“Ke puncaknya jadi?”

 

In syaa Allah jadi Umi, besok pagi berangkat jam tujuh pagi, pulangnya hari minggu. Tapi pastinya bagaimana aku belum tau, keputusannya setelah rapat siang ini.”

 

Setelah menjawab pertanyaan Umi, aku langsung memasukan sepeda motor kedalam rumah yang tadi kupakai mengantar kripik, dan Umi menaruh cangkir di atas meja. 

 

“Akmal, Umi sampai lupa, bukannya sore ini kamu mengajar di Al-Irsyad?”

 

“Ngajar Umi, nanti setelah ashar aku  juga sudah pulang, dan langsung ke al-Irsyad.”

 

“kok motornya di masukan Mal? Emang kamu tidak mau bawa motor?”

 

“Tidak Mi, hari ini aku ingin pergi naik kendaraan umum saja, soalnya udara hari ini sangat panas. Sudah, Umi tenang saja, yang pasti aku tidak ingin membuat anak-anak TPA itu kecewa kok. Oh iya, Umi mau titip apa? Biar nanti aku belikan.”

 

“Tidak, Umi sedang tidak ingin apa-apa. Ya sudah kamu pergilah nanti terlambat, hati-hati di jalan.”

 

“Mohon doanya Umi. Assalamu'alaikum.”

 

Waalaikumussalam warahmatullah wa barakatuh.”

 

   Dengan penuh semangat dan melawan rasa malas aku bersiap untuk keluar. Tepat pukul setengah dua belas aku harus sudah berada di Masjid At-Taqwa. Masjid yang menjadi kebanggaan kampusku. 

 

Lokasinya hanya berjarak dua ratus meter dari ruang perkuliahan. Masjid itu tidak pernah sepi dari pagi hingga malam, selalu saja dihiasi dengan berbagai macam ibadah, dari Taman Pendidikan Al-Quran sampai kegiatan Itikaf yang rutin diadakan. 

 

Di masjid itulah tempat aku mencurahkan suka dukaku selama belajar di kampus Dasar Negara ini. Tempat aku mengadu pada yang Maha pemberi rizki saat aku berada dalam keadaan kritis kehabisan uang. Saat dagangan keluargaku tidak berjalan dengan lancar. Tempat aku bersimpuh menata hati, merancang strategi, dan memperkokoh iman dalam mengarungi kehidupan yang kejam. 

 

   Diluar, terik matahari kian menyengat. Udara panas bercampur polusi membuat dadaku sedikit sesak. Kuayunkan kaki berjalan cepat menuju halte bus yang berjarak lima puluh meter dihadapanku. Tak terasa, sampai juga akhirnya. Tepat didepan mataku terdapat sebuah pasar yang sudah cukup tua umurnya dan sudah sangat lama sekali. 

 

Kata Umi pasar itu sudah beroperasi saat Umi belum lahir. Nama pasar itu adalah pasar Rumput. Entah dari mana asal nama itu dan siapa yang mencetuskan nama itu. 

 

Tapi menurut orang-orang zaman dulu sebelum menjadi pasar Rumput, tempat itu adalah ladang rumput yang luas yang sering dipergunakan untuk memberi makan kuda-kuda delman atau andong yang menjadi transportasi pada masa dahulu. Dan saat di bangun menjadi pasar, diusulkanlah nama pasar rumput yang sesuai dengan tempat sebelumnya.

 

   Disamping halte terlihat beberapa tukang ojek berbaris rapih sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan sebuah karton tipis, aku yakin mereka kepanasan  terpanggang teriknya matahari, mereka sedang menunggu giliran mengangkut penumpang. Sistem yang mereka gunakan adalah budaya antri. 

 

Budaya leluhur nenek moyang yang masih di junjung tinggi, agar tidak terjadi perebutan yang mengakibatkan perkelahian. Masyarakat disini banyak yang mendedikasikan dirinya menjadi tukang ojek untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

 

   Setelah lima menit menunggu, akhirnya aku naik bus metromini jurusan pasar minggu yang lengang. Tidak banyak penumpang yang menaiki bus ini, hanya ada beberapa orang dibangku belakang yang sedang asik ngobrol sambil bersenda gurau. Aku duduk di dekat pintu masuk bagian depan. 

 

Baru beberapa saat berjalan, kondektur menghampiriku sambil mengulurkan tangannya membunyikan uang receh untuk meminta bayaran. Kukeluarkan uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya, dan ia memberikan kembali tiga ribu rupiah. Sesampainya di pasar minggu langsung kulanjutkan mikrolet jurusan depok. 

 

Dalam mikrolet, aku duduk dipaling ujung. Karena belum berangkat, mikrolet itu masih sepi dari penumpang, hanya ada seorang ibu yang membawa bayi perempuan kecil mungil berwajah putih. Sepertinya ibu itu baru saja belanja sayuran di pasar. Pasar minggu memang pasar yang sangat terkenal di Jakarta. 

 

   Pasar tradisional yang menjual berbagai macam sayuran dan buah-buahan. Pasar yang aktivitasnya beroperasi hampir 24 jam setiap harinya. Pasar ini selain menyediakan berbagai sayur dan buah-buahan, juga terdapat toko pakaian Ramayana dan Robinson yang terdiri dari beberapa lantai. 

 

Pakaian yang di jual dipasar ini harganya yang cukup murah dan terjangkau untuk masyarakat menengah kebawah. Aktivitas pasar ini sangat aktif, sampai-sampai banyak pedagang yang menjual dagangannya di pinggir-pingir jalan umum yang di lalui kendaraan bermotor. 

 

Tak heran apabila melintasi pasar ini sudah pasti akan terkena macet. Setelah aku menunggu hampir sepuluh menit, barulah beberapa penumpang lain berdatangan masuk kedalam mikrolet. Di ikuti oleh seorang laki-laki berbadan besar berperut buncit yang sedang merokok. 

 

   Gumpalan asap rokok itu mengebul dan membuatku tidak dapat bernapas lega. Kulihat ibu itu mulai menutupi hidung bayinya dengan selendang agar tidak menghirup asap rokok. Aku kasihan kepada si bayi kalau harus menghisap racun dari rokok itu, padahal usianya masih sangat kecil. 

 

Aku heran kenapa bapak itu tidak sadar ada anak kecil di hadapannya. Baru berjalan beberapa saat, tiba-tiba naiklah seorang bapak membawa tiga karung besar yang berisikan cabai. Ibu itu diapit oleh karung cabai yang cukup banyak. Mikrolet yang kunaiki menjadi sumpak dan sesak. 

 

Aku tidak tahan dengan bau cabai dan asap rokok, membuatku menjadi mual dan ingin muntah. Kulihat ibu itu, setelah kuperhatikan, Aku terkejut. si bayi yang di selimuti selendang telah basah oleh keringatnya.

 

Si bayi mulai menangis, Ibu itu meminta tolong kepada bapak yang membawa cabai untuk membuka jendela. Aku baru sadar kalau bayinya kegerahan. Bapak itu sepertinya tidak mendengar perkataan si ibu. Aku heran dengan bapak itu, sepertinya suara ibu itu tidak kecil. 

 

Apa bapak itu tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar. Ia hanya tetap diam dan tak menanggapi. Si ibu sudah mulai tidak sabar, ia Mulai menggerutu. 

 

“Cup.. cup.. cup.. nak, jangan menangis” Katanya. Tapi bayi itu masih saja menangis. 

 

“Cup..cup..cup..” Katanya lagi. 

 

Tetapi tangisan bayi itu malah kian menjadi-jadi. Lalu si ibu berteriak meminta tolong kembali agar jendela itu dibuka.

 

Kemudian bapak itu membuka jendelanya sedikit. Angin pun masuk melalui jendela yang telah dibuka tadi. Aku mulai bisa menghirup udara segar, walaupun hanya sedikit. Tetapi si bayi masih saja tidak berhenti menangis malah terus menangis semakin kencang. Aku heran kenapa dengan bayi itu, apa mungkin dia merasa sesak atau tidak bisa bernapas atau apa, entahlah. 

 

Si ibu mulai berteriak kasar. Wajahnya memerah dan emosinya menggebu-gebu. Hawa dalam mikrolet seperti ini dapat membuat siapa saja dapat meluapkan amarah. Mungkin ibu itu merasa jendela yang dibuka oleh bapak itu terlalu kecil dan masih membuat si bayi kegerahan. Ibu itu meminta agar jendelanya di buka lebih besar. Dan bapak itu pun menjadi murka. 

 

 “Maaf bu, saya lagi masuk angin tidak bisa buka jendela besar-besar!”

 

“Tapi anak saya kegerahan pak! Apa bapak nggak liat kalau anak saya terus menangis! Apa bapak gak denger tangisannya!” jawab si ibu dengan suara lantang.

 

 “Yasudah, baiklah.”

 

Bapak itu mengalah dan membuka jendelanya lebih besar.

 

   Buss 

 

Serentak hembusan angin masuk menyegarkan suasana. Tiba-tiba pak supir memandang melalui kaca kecil yang berada di atasnya, dan ia menggeleng-gelengkan kepala mendengar teriakan si ibu. Entah kenapa, kurasakan mikrolet mulai berjalan perlahan dan angin yang menerpa wajahku di luar jendela mulai tidak terasa. 

 

Ku tenggok ke arah luar, ternyata jalan sudah macet. Seperti barisan tentara berpawai. Maklum pagi hari, orang-orang sibuk untuk pergi menuju kantor. Tiba-tiba semakin keras saja bayi itu menangis, dan ibu itu marah kepada bayinya. Semakin keras bayi itu menangis, semakin marah si ibu tadi. Bapak berbadan besar itu malah mengeluarkan sebatang rokok yang baru. 

 

Sungguh panas udara di dalam mikrolet ini. Tangisan sang bayi tambah mengeras dan memberontak. Kutatap wajah bayi itu. Aku melihat pancaran di wajahnya seperti menunjukan rasa ketakutan yang luar biasa dalam dirinya. aku yakin dia bukan takut pada bapak berbadan besar itu, tapi kepada ibunya sendiri.

 

Lalu ibu itu mulai geram, dan aku mulai khawatir, tidak sepantasnya seorang ibu geram dan marah kepada anaknya sendiri, apalagi anak itu masih bayi. Tetapi apa yang bisa aku perbuat?

 

   Haruskah aku mengingatkan ibu itu supaya tidak marah dan kesal kepada anaknya? Tapi, apa hakku? Aku hanya orang lain dan belum pantas untuk mengingatkannya. Ingin kukatakan pada si ibu kalau anaknya takut padanya. Bagaimana mungkin seorang bayi akan berhenti menangis apabila dia merasa takut? Ya Allah, bagaimana ini? Tiba-tiba si ibu memukul pantat anak itu karena tidak berhenti menangis. Aku terkejut melihat kejadian itu. 

 

Sungguh teganya ibu itu memukul anaknya sendiri yang masih belum mengerti kalau dia berbuat salah. Bayi itu terus manangis dan semakin kencang. Aku tidak tahan melihat wajahnya yang ketakutan, dan aku tidak sanggup mendengar jerit tangisnya. 

 

   Ya Allah, tolonglah bayi itu, aku ingin marah melihatnya. Aku sangat tidak suka melihat seorang ibu berlaku kasar kepada anaknya sendiri. Berikanlah kesabaran kepada ibu itu. Berikan cinta dan kasih sayang ke dalam dadanya. Lambungkan jiwa dengan kelembutan yang murni dan suci dari seorang ibu kepada anaknya. Bapak berbadan besar itu lalu mematikan rokoknya dan berkata kepada si ibu, 

 

"Maaf Ibu, bukan teriakan amarah dan rasa geram yang bisa menghentikan tangisan bayi. Tapi, belaian lembut tangan seorang ibu yang dibutuhkan oleh bayi itu."

 

Aku terkejut mendengar nasehat bapak berbadan besar itu. Hampir tidak percaya seorang bapak yang tidak perduli kesehatan orang lain dengan merokok sembarangan, tiba-tiba melontarkan perkataan yang sangat bijak. Lalu ibu itu membuka selendang yang menutupi anaknya dan langsung memeluknya dengan kasih sayang. Kemudian si bayi tiba-tiba berhenti menangis. 

 

   Tangan mungilnya meraih-raih dada ibunya. Aku ingin menangis melihat pemandangan itu. Aku baru sadar ternyata memang tidak bisa melihat sifat seseorang dari fisiknya saja. Aduhai, seandainya aku adalah ibunya, pasti akan kubelai wajahnya dengan kedua tanganku. Kutimang-timang dengan rasa kasih sayang yang begitu besar dengan berjuta cinta. Dan kutenangkan dia dari keadaan yang menyesakkan ini. 

 

Tak lama kemudian si bapak yang membawa karung cabai itu turun dan si bayi sudah bisa di ajak bercanda oleh si ibu. Ketawa si bayi membuat semua penumpang tersenyum melihatnya. Mikrolet ini masih penuh oleh penumpang. Memang, tidak sepenuh tadi sih, tapi masih sedikit padat. 

 

Angin yang bertiup membuat suasana menjadi sejuk kembali. Mikrolet terus melaju. Tak terasa aku sudah memasuki kawasan lenteng agung dan sebentar lagi aku sampai. 

 

   Sesampainya di stasiun lenteng agung mikrolet berhenti, si ibu dan anaknya mengucapkan terima kasih kepada si bapak berbadan besar sebelum mereka turun. Kulihat jam yang melingkar di lengan tangan kananku. Jarum jam menunjukkan angka setengah dua belas lewat lima menit. 

 

Masya Allah, sebentar lagi sudah waktu Dzuhur, aku harus segera sampai kampus. Mikrolet kembali menurunkan penumpang. Kulihat beberapa orang turun. Sesak mulai menghilang, Suasana menjadi lengang. Hanya tinggal beberapa orang saja. 

 

   Mikrolet berjalan kembali. Tibalah didepan perempatan kampus. Aku meminta supir berhenti, sebelum turun aku berpamitan kepada bapak berbadan besar. Lalu kudekati supir mikrolet itu. Berapa Pak ..? Sambil aku mengulurkan uang limaribu rupiah. Tanpa berbicara Ia mengambil uang yang kuberikan,

 

“Terima kasih yah.” Jawab supir sambil memberi kembalian tiga ribu lima ratus rupiah. 

 

   Memang supir-supir angkutan di metropolitan ini tidak semuanya ramah. Mereka sangat keras dan kasar, banyak juga dari mereka yang suka ugal-ugalan mengendarakan kendaraaannya, selip kiri, selip kanan, tanpa mematuhi rambu-rambu yang berlaku untuk berebut mendapatkan penumpang.

 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status