/ Romansa / DILAMAR MALAIKAT MAUT / 05. SEPENGGAL KISAH DI DALAM MIKROLET

공유

05. SEPENGGAL KISAH DI DALAM MIKROLET

작가: Dayat_eMJe
last update 최신 업데이트: 2021-04-30 05:28:53

   Sudah lebih dari satu minggu ini aktivitas kampus tidak seperti biasanya. Setelah melaksanakan ujian akhir semester, seluruh mahasiswa diliburkan selama dua bulan. Namun, aktivitasku hari ini mengharuskan aku berangkat ke kampus untuk mengikuti rapat rohis jam sebelas siang nanti. 

 

Walau jarak yang kutempuh tidak dekat, tapi ini adalah sebuah janji. Walaupun hanya sekedar jadwal, tapi aku harus komitmen terhadap jadwal. Jadwal adalah janji dan janji adalah hutang. Jadi sudah seharusnya seorang muslim bertanggung jawab kepada dirinya dan Allah. Walaupun begitu, Irfan tetap tidak bosan-bosannya mengingatkanku untuk menghadiri rapat itu, penting katanya.

 

Jam sembilan lebih sepuluh menit, setelah membantu Umi mengantar kripik. Aku bersiap menuju kampus, kurapikan peralatan dan kuambil Al-Quran tercinta, lalu ku masukan kedalam saku depan tas ransel berwarna biru tua. Meskipun tas ini usang tapi tas ini bersejarah, ia yang setia menemaniku menuntut ilmu sejak di bangku SD sampai saat ini, sampai menempuh S.1 di universitas Dasar Negara. 

 

Tak lupa aku membawa air putih yang di telah dimasak Umi, itu sangat berguna untukku. Apalagi harga minuman di kampusku sangat mahal. Sebelum berangkat Umi membuatkan ku secangkir teh hangat yang manis. Kuteguk dengan nikmat sambil mengucap syukur. Apapun yang aku miliki sekarang adalah karunia Allah yang patut aku syukuri. Aku tidak ingin menjadi orang yang kufur nikmat seperti almarhum ayah dahulu. Apapun yang terjadi dengan ayahku itu adalah suatu pelajaran berharga yang bisa aku kutip dan aku ambil hikmahnya. 

 

“Hari ini mau kemana Mal?” Tanya Umi ramah.

 

“Ke kampus, mau rapat rihlah untuk besok Mi.” Jawabku sambil memberikan cangkir teh yang telah kuhabiskan.

 

“Ke puncaknya jadi?”

 

In syaa Allah jadi Umi, besok pagi berangkat jam tujuh pagi, pulangnya hari minggu. Tapi pastinya bagaimana aku belum tau, keputusannya setelah rapat siang ini.”

 

Setelah menjawab pertanyaan Umi, aku langsung memasukan sepeda motor kedalam rumah yang tadi kupakai mengantar kripik, dan Umi menaruh cangkir di atas meja. 

 

“Akmal, Umi sampai lupa, bukannya sore ini kamu mengajar di Al-Irsyad?”

 

“Ngajar Umi, nanti setelah ashar aku  juga sudah pulang, dan langsung ke al-Irsyad.”

 

“kok motornya di masukan Mal? Emang kamu tidak mau bawa motor?”

 

“Tidak Mi, hari ini aku ingin pergi naik kendaraan umum saja, soalnya udara hari ini sangat panas. Sudah, Umi tenang saja, yang pasti aku tidak ingin membuat anak-anak TPA itu kecewa kok. Oh iya, Umi mau titip apa? Biar nanti aku belikan.”

 

“Tidak, Umi sedang tidak ingin apa-apa. Ya sudah kamu pergilah nanti terlambat, hati-hati di jalan.”

 

“Mohon doanya Umi. Assalamu'alaikum.”

 

Waalaikumussalam warahmatullah wa barakatuh.”

 

   Dengan penuh semangat dan melawan rasa malas aku bersiap untuk keluar. Tepat pukul setengah dua belas aku harus sudah berada di Masjid At-Taqwa. Masjid yang menjadi kebanggaan kampusku. 

 

Lokasinya hanya berjarak dua ratus meter dari ruang perkuliahan. Masjid itu tidak pernah sepi dari pagi hingga malam, selalu saja dihiasi dengan berbagai macam ibadah, dari Taman Pendidikan Al-Quran sampai kegiatan Itikaf yang rutin diadakan. 

 

Di masjid itulah tempat aku mencurahkan suka dukaku selama belajar di kampus Dasar Negara ini. Tempat aku mengadu pada yang Maha pemberi rizki saat aku berada dalam keadaan kritis kehabisan uang. Saat dagangan keluargaku tidak berjalan dengan lancar. Tempat aku bersimpuh menata hati, merancang strategi, dan memperkokoh iman dalam mengarungi kehidupan yang kejam. 

 

   Diluar, terik matahari kian menyengat. Udara panas bercampur polusi membuat dadaku sedikit sesak. Kuayunkan kaki berjalan cepat menuju halte bus yang berjarak lima puluh meter dihadapanku. Tak terasa, sampai juga akhirnya. Tepat didepan mataku terdapat sebuah pasar yang sudah cukup tua umurnya dan sudah sangat lama sekali. 

 

Kata Umi pasar itu sudah beroperasi saat Umi belum lahir. Nama pasar itu adalah pasar Rumput. Entah dari mana asal nama itu dan siapa yang mencetuskan nama itu. 

 

Tapi menurut orang-orang zaman dulu sebelum menjadi pasar Rumput, tempat itu adalah ladang rumput yang luas yang sering dipergunakan untuk memberi makan kuda-kuda delman atau andong yang menjadi transportasi pada masa dahulu. Dan saat di bangun menjadi pasar, diusulkanlah nama pasar rumput yang sesuai dengan tempat sebelumnya.

 

   Disamping halte terlihat beberapa tukang ojek berbaris rapih sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan sebuah karton tipis, aku yakin mereka kepanasan  terpanggang teriknya matahari, mereka sedang menunggu giliran mengangkut penumpang. Sistem yang mereka gunakan adalah budaya antri. 

 

Budaya leluhur nenek moyang yang masih di junjung tinggi, agar tidak terjadi perebutan yang mengakibatkan perkelahian. Masyarakat disini banyak yang mendedikasikan dirinya menjadi tukang ojek untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

 

   Setelah lima menit menunggu, akhirnya aku naik bus metromini jurusan pasar minggu yang lengang. Tidak banyak penumpang yang menaiki bus ini, hanya ada beberapa orang dibangku belakang yang sedang asik ngobrol sambil bersenda gurau. Aku duduk di dekat pintu masuk bagian depan. 

 

Baru beberapa saat berjalan, kondektur menghampiriku sambil mengulurkan tangannya membunyikan uang receh untuk meminta bayaran. Kukeluarkan uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya, dan ia memberikan kembali tiga ribu rupiah. Sesampainya di pasar minggu langsung kulanjutkan mikrolet jurusan depok. 

 

Dalam mikrolet, aku duduk dipaling ujung. Karena belum berangkat, mikrolet itu masih sepi dari penumpang, hanya ada seorang ibu yang membawa bayi perempuan kecil mungil berwajah putih. Sepertinya ibu itu baru saja belanja sayuran di pasar. Pasar minggu memang pasar yang sangat terkenal di Jakarta. 

 

   Pasar tradisional yang menjual berbagai macam sayuran dan buah-buahan. Pasar yang aktivitasnya beroperasi hampir 24 jam setiap harinya. Pasar ini selain menyediakan berbagai sayur dan buah-buahan, juga terdapat toko pakaian Ramayana dan Robinson yang terdiri dari beberapa lantai. 

 

Pakaian yang di jual dipasar ini harganya yang cukup murah dan terjangkau untuk masyarakat menengah kebawah. Aktivitas pasar ini sangat aktif, sampai-sampai banyak pedagang yang menjual dagangannya di pinggir-pingir jalan umum yang di lalui kendaraan bermotor. 

 

Tak heran apabila melintasi pasar ini sudah pasti akan terkena macet. Setelah aku menunggu hampir sepuluh menit, barulah beberapa penumpang lain berdatangan masuk kedalam mikrolet. Di ikuti oleh seorang laki-laki berbadan besar berperut buncit yang sedang merokok. 

 

   Gumpalan asap rokok itu mengebul dan membuatku tidak dapat bernapas lega. Kulihat ibu itu mulai menutupi hidung bayinya dengan selendang agar tidak menghirup asap rokok. Aku kasihan kepada si bayi kalau harus menghisap racun dari rokok itu, padahal usianya masih sangat kecil. 

 

Aku heran kenapa bapak itu tidak sadar ada anak kecil di hadapannya. Baru berjalan beberapa saat, tiba-tiba naiklah seorang bapak membawa tiga karung besar yang berisikan cabai. Ibu itu diapit oleh karung cabai yang cukup banyak. Mikrolet yang kunaiki menjadi sumpak dan sesak. 

 

Aku tidak tahan dengan bau cabai dan asap rokok, membuatku menjadi mual dan ingin muntah. Kulihat ibu itu, setelah kuperhatikan, Aku terkejut. si bayi yang di selimuti selendang telah basah oleh keringatnya.

 

Si bayi mulai menangis, Ibu itu meminta tolong kepada bapak yang membawa cabai untuk membuka jendela. Aku baru sadar kalau bayinya kegerahan. Bapak itu sepertinya tidak mendengar perkataan si ibu. Aku heran dengan bapak itu, sepertinya suara ibu itu tidak kecil. 

 

Apa bapak itu tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar. Ia hanya tetap diam dan tak menanggapi. Si ibu sudah mulai tidak sabar, ia Mulai menggerutu. 

 

“Cup.. cup.. cup.. nak, jangan menangis” Katanya. Tapi bayi itu masih saja menangis. 

 

“Cup..cup..cup..” Katanya lagi. 

 

Tetapi tangisan bayi itu malah kian menjadi-jadi. Lalu si ibu berteriak meminta tolong kembali agar jendela itu dibuka.

 

Kemudian bapak itu membuka jendelanya sedikit. Angin pun masuk melalui jendela yang telah dibuka tadi. Aku mulai bisa menghirup udara segar, walaupun hanya sedikit. Tetapi si bayi masih saja tidak berhenti menangis malah terus menangis semakin kencang. Aku heran kenapa dengan bayi itu, apa mungkin dia merasa sesak atau tidak bisa bernapas atau apa, entahlah. 

 

Si ibu mulai berteriak kasar. Wajahnya memerah dan emosinya menggebu-gebu. Hawa dalam mikrolet seperti ini dapat membuat siapa saja dapat meluapkan amarah. Mungkin ibu itu merasa jendela yang dibuka oleh bapak itu terlalu kecil dan masih membuat si bayi kegerahan. Ibu itu meminta agar jendelanya di buka lebih besar. Dan bapak itu pun menjadi murka. 

 

 “Maaf bu, saya lagi masuk angin tidak bisa buka jendela besar-besar!”

 

“Tapi anak saya kegerahan pak! Apa bapak nggak liat kalau anak saya terus menangis! Apa bapak gak denger tangisannya!” jawab si ibu dengan suara lantang.

 

 “Yasudah, baiklah.”

 

Bapak itu mengalah dan membuka jendelanya lebih besar.

 

   Buss 

 

Serentak hembusan angin masuk menyegarkan suasana. Tiba-tiba pak supir memandang melalui kaca kecil yang berada di atasnya, dan ia menggeleng-gelengkan kepala mendengar teriakan si ibu. Entah kenapa, kurasakan mikrolet mulai berjalan perlahan dan angin yang menerpa wajahku di luar jendela mulai tidak terasa. 

 

Ku tenggok ke arah luar, ternyata jalan sudah macet. Seperti barisan tentara berpawai. Maklum pagi hari, orang-orang sibuk untuk pergi menuju kantor. Tiba-tiba semakin keras saja bayi itu menangis, dan ibu itu marah kepada bayinya. Semakin keras bayi itu menangis, semakin marah si ibu tadi. Bapak berbadan besar itu malah mengeluarkan sebatang rokok yang baru. 

 

Sungguh panas udara di dalam mikrolet ini. Tangisan sang bayi tambah mengeras dan memberontak. Kutatap wajah bayi itu. Aku melihat pancaran di wajahnya seperti menunjukan rasa ketakutan yang luar biasa dalam dirinya. aku yakin dia bukan takut pada bapak berbadan besar itu, tapi kepada ibunya sendiri.

 

Lalu ibu itu mulai geram, dan aku mulai khawatir, tidak sepantasnya seorang ibu geram dan marah kepada anaknya sendiri, apalagi anak itu masih bayi. Tetapi apa yang bisa aku perbuat?

 

   Haruskah aku mengingatkan ibu itu supaya tidak marah dan kesal kepada anaknya? Tapi, apa hakku? Aku hanya orang lain dan belum pantas untuk mengingatkannya. Ingin kukatakan pada si ibu kalau anaknya takut padanya. Bagaimana mungkin seorang bayi akan berhenti menangis apabila dia merasa takut? Ya Allah, bagaimana ini? Tiba-tiba si ibu memukul pantat anak itu karena tidak berhenti menangis. Aku terkejut melihat kejadian itu. 

 

Sungguh teganya ibu itu memukul anaknya sendiri yang masih belum mengerti kalau dia berbuat salah. Bayi itu terus manangis dan semakin kencang. Aku tidak tahan melihat wajahnya yang ketakutan, dan aku tidak sanggup mendengar jerit tangisnya. 

 

   Ya Allah, tolonglah bayi itu, aku ingin marah melihatnya. Aku sangat tidak suka melihat seorang ibu berlaku kasar kepada anaknya sendiri. Berikanlah kesabaran kepada ibu itu. Berikan cinta dan kasih sayang ke dalam dadanya. Lambungkan jiwa dengan kelembutan yang murni dan suci dari seorang ibu kepada anaknya. Bapak berbadan besar itu lalu mematikan rokoknya dan berkata kepada si ibu, 

 

"Maaf Ibu, bukan teriakan amarah dan rasa geram yang bisa menghentikan tangisan bayi. Tapi, belaian lembut tangan seorang ibu yang dibutuhkan oleh bayi itu."

 

Aku terkejut mendengar nasehat bapak berbadan besar itu. Hampir tidak percaya seorang bapak yang tidak perduli kesehatan orang lain dengan merokok sembarangan, tiba-tiba melontarkan perkataan yang sangat bijak. Lalu ibu itu membuka selendang yang menutupi anaknya dan langsung memeluknya dengan kasih sayang. Kemudian si bayi tiba-tiba berhenti menangis. 

 

   Tangan mungilnya meraih-raih dada ibunya. Aku ingin menangis melihat pemandangan itu. Aku baru sadar ternyata memang tidak bisa melihat sifat seseorang dari fisiknya saja. Aduhai, seandainya aku adalah ibunya, pasti akan kubelai wajahnya dengan kedua tanganku. Kutimang-timang dengan rasa kasih sayang yang begitu besar dengan berjuta cinta. Dan kutenangkan dia dari keadaan yang menyesakkan ini. 

 

Tak lama kemudian si bapak yang membawa karung cabai itu turun dan si bayi sudah bisa di ajak bercanda oleh si ibu. Ketawa si bayi membuat semua penumpang tersenyum melihatnya. Mikrolet ini masih penuh oleh penumpang. Memang, tidak sepenuh tadi sih, tapi masih sedikit padat. 

 

Angin yang bertiup membuat suasana menjadi sejuk kembali. Mikrolet terus melaju. Tak terasa aku sudah memasuki kawasan lenteng agung dan sebentar lagi aku sampai. 

 

   Sesampainya di stasiun lenteng agung mikrolet berhenti, si ibu dan anaknya mengucapkan terima kasih kepada si bapak berbadan besar sebelum mereka turun. Kulihat jam yang melingkar di lengan tangan kananku. Jarum jam menunjukkan angka setengah dua belas lewat lima menit. 

 

Masya Allah, sebentar lagi sudah waktu Dzuhur, aku harus segera sampai kampus. Mikrolet kembali menurunkan penumpang. Kulihat beberapa orang turun. Sesak mulai menghilang, Suasana menjadi lengang. Hanya tinggal beberapa orang saja. 

 

   Mikrolet berjalan kembali. Tibalah didepan perempatan kampus. Aku meminta supir berhenti, sebelum turun aku berpamitan kepada bapak berbadan besar. Lalu kudekati supir mikrolet itu. Berapa Pak ..? Sambil aku mengulurkan uang limaribu rupiah. Tanpa berbicara Ia mengambil uang yang kuberikan,

 

“Terima kasih yah.” Jawab supir sambil memberi kembalian tiga ribu lima ratus rupiah. 

 

   Memang supir-supir angkutan di metropolitan ini tidak semuanya ramah. Mereka sangat keras dan kasar, banyak juga dari mereka yang suka ugal-ugalan mengendarakan kendaraaannya, selip kiri, selip kanan, tanpa mematuhi rambu-rambu yang berlaku untuk berebut mendapatkan penumpang.

 

***

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   24. TOKO PULSA MERIAH

    Setelah menyelesaikan urusanku dikampus aku langsung bergegas pulang. Sesampainya dirumah aku langsung menuju kamarku, dan aku coba menanyakan bagaimana kabar Anisa pada Irma melalui sambungan telpon. Karena aku belum sanggup untuk perjalanan jauh lagi, ini semua di akibatkan dua mahasiswa tekhnik suruhannya Dini yang tadi memukuliku di perpustakaan.Aku duduk di atas kasur lalu ku ambil handphone di saku celana dan menelpon Irma,"Assallamu'alaikum.""Wa'alaikumussallam, kau tak jadi datang kesini Mal?" Tanya Irma di sebrang sana."Maaf Ma, badanku tiba-tiba terasa sangan pegal sekali. Jadi tadi selesai dari kampus aku langsung pulang ke rumah.""Oh ya

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   23. ANCAMAN KERAS

    Setelah dari rumah Irma, aku langsung berangkat menuju kampus untuk mengembalikan buku-buku akhir semester yang pernah aku pinjam di perpustakaan, sekaligus mendaftar pengisian jadwal mata kuliah baru yang hanya di selenggarakan hari ini.Dalam perjalanan aku merasa baru mengerti dan sadar kenapa Anisa menitipkan jilbab hitamnya padaku waktu di puncak. ternyata ia takut kalau jilbabnya akan di buang dan ia juga akan disiksa oleh ayahnya. Aku terus berpikir bagaimana mencari jalan keluar untuk membantu Anisa. Ia tidak mungkin selamanya berada di rumah Irma. Ia secepatnya harus di pindahkan ke tempat yang lebih aman.Tempat dimana Anisa bisa mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan. Aku yakin cepat atau lambat orang tua Anisa pasti akan mencari Anisa, mereka tidak akan membiarkan Anisa hilang begitu saja. Aku mulai terpikir un

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   22. PENGAKUAN ANISA

    Irma berusaha menenangkan Anisa dengan memberikan pelukan hangat sambil mengusap-usap punggungnya. Wajah Anisa pucat, tubuhnya lemas, dan terdapat luka memar di pipi dan bibirnya. Itu pasti akibat tamparan keras ayahnya semalam. Irma menyuruh Anisa menceritakan pada kami apa yang terjadi. Tapi ia malah terus menangis. Aku memberikan kode pada Irma agar Anisa dibiarkan saja dulu. Karena Aku harus pergi ke kampus nanti aku kembali. Saat ingin beranjak, tiba-tiba Anisa memutuskan untuk bercerita saat ini juga, Irma kembali duduk disamping Anisa dengan wajah tertunduk. Kutunggu Anisa bicara, sambil ku alihkan pandangan agar aku tidak menatapnya. Lalu ia mulai bicara sambil terisak-isak, "Mal, aku mau minta maaf atas perilaku Dedi dan Orang tuaku yang telah menyakitimu. Semalaman aku telah disiksa oleh Ayah. Ayah bilang semala

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   21. KABAR BURUK

    Kupacu sepeda motorku dengan cepat menjauh dari rumah mewah tersebut. Setibanya di pertengahan jalan raya menuju rumah, aku dikejutkan oleh suasana jalan yang terlihat lengang dan sepi. Seperti tidak ada aktivitas. Aku menghentikan sepeda motorku sejenak. kulihat Batu-batu besar berserakan di tengah-tengah jalan. sekelompok polisi terlihat sedang berjaga-jaga dan memblokade jalan.Aku mulai panik, mungkin baru saja terjadi tawuran antar warga. Pasti anak-anak kampungku telah berbuat ulah kembali. Baru saja tiga bulan yang lalu berdamai dengan kampung sebrang, dan sekarang sudah bertikai kembali. Kuhampiri pak polisi itu dan meminta izin agar aku bisa pulang kerumah, merekapun membuka blokade dan mengizinkanku masuk. Saat aku melewati pos kemanan aku bertemu sekelompok anak-anak muda kampung yang sedang berjaga-jaga. Wajah mereka terlihat marah dan geram seperti api yang memb

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   20. MENGANTARKANMU PULANG

    Sambil menunggu Anisa di dalam masjid, Pak Iman menawarkanku bertadarus Al-Qur'an bersama usai shalat maghrib sampai menjelang Is'ya. Aku tersanjung mendengar tawarannya. Beliau mengajariku membaca Al-Quran dengan makhorijul huruf yang benar. Beliau memintaku membaca surat Al-Baqarah, aku membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali beliau membetulkan bacaanku. Tak terasa waktu shalat Isy'a tiba. Beliau menyuruhku mengumandangkan Adzan. Aku ikuti permintaannya. Alhamdulillah, suaraku tidak terlalu buruk. Masih cukup banyak masyarakat yang datang menunaikan shalat usai mendengar suaraku. Beliau tersenyum padaku. Usai shalat pak Iman pamit pergi kerumah temannya yang sakit. Ia mengajakku, tapi aku bilang aku sudah ada janji. Masjid masih terlihat ramai, ada beberapa orang sedang berzikir dan membaca Al-Qur'an.

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   19. UNDANGAN DAN ANCAMAN

    Setelah sekian lama berbincang-bincang, akhirnya aku meminta izin lebih pamit dulu pada Umi dan Ibu Hamadah untuk melanjutkan akivitasku menuju masjid At-Taqwa. Saat aku melintas di jalan suepomo, entah kenapa tiba-tiba ban motorku kempes. Setelah kuselidiki ternyata sebuah paku berukuran sedang telah bersarang disana. Kutarik paku itu, kemudian aku dorong motor menuju tukang tambal ban yang berjarak cukup jauh, kira-kira 2 km. Tubuhku terasa lelah, udara panas seperti memanggang kulitku, keringat mulai bercucuran. Kulihat jam tangan, sudah pukul setengah dua belas siang, tak lama lagi waktu dzuhur tiba. Sambil menunggu motorku, tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang kakek tua berjalan sambil memikul dagangannya. Tubuhnya kurus dan kulitnya keriput, kalau di prediksi kira-kira umurnya diatas tujuh puluh tahun. Sungguh kasihan kakek itu, entah kenapa dihari tuanya i

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status