Share

06. MENGUNDANG SYAHWAT DI DEPAN MASJID

   Aku sampai di Masjid kampus jam dua belas kurang seperempat. Siang yang melelahkan. Kepalaku rasanya seperti mau medidih saat matahari hampir tepat berada diatas kepalaku. Cuaca benar-benar panas. Setelah turun dari mikrolet dan mengambil uang kembalian dari pak supir, segera kugemblok tas ransel butut kesayangan.

Aku ingin buru-buru bertemu dengan Irfan, ada yang ingin aku bicarakan padanya mengenai kondisi keuanganku. Aku ingin meminta bantuannya untuk mencarikanku pekerjaan sampingan. Aku melangkah menelusuri jalan setapak dan menyebrangi rel kereta yang sepi. Kupercepat langkah, tiga puluh meter di depan adalah Masjid At-Taqwa yang memiliki kubah besar yang di atasnya bertuliskan nama Allah. Masjid Megah yang memberikan ketenangan apabila berada di dalamnya.

   Tidak jauh dari pekarangan Masjid aku berpapasan dengan tiga akhwat yang beriringan keluar. Mereka adalah Irma, Ayu dan Rahmah. Mereka adalah pengurus rohis yang baru dari fakultas ekonomi. Diantara mereka, Irma yang memiliki jabatan tertinggi. Ia ketua keputrian di rohis. Keputrian rohis disini memiliki anggota terbanyak, kurang lebih lima puluh orang. Dan mereka tergabung dalam Satuan Kegiatan Islam (SKI) bersama fakultas lain.

Dari ketiganya, Irmalah yang memiliki tubuh sangat mungil, berparas jelita berkulit putih yang selalu ramah dan murah senyum, tapi di balik senyumnya ia termasuk salah satu wanita yang cerdas dan tegas, Tak heran bila ia selalu disegani oleh ahkwat-akhwat yang lain. Ia lulusan dari pondok pesantren dari cirebon. Orang tuanya seorang alim ulama yang terpandang disana. Ia satu jurusan denganku, jurusan Management perusahaan.

Assalamu'alaikum, ukhti pada mau kemana? Kok kelihatannya buru-buru.” Tanyaku sambil kutundukan kepala dan tak melirik sedikitpun, dan dengan serentak mereka membalas salamku.

Wa'alaikumussalam. Kami hendak ke ruang rohis, mau ambil white board dan perlengkapan lain untuk rapat. ia kami buru-buru biar tidak ketinggalan shalat berjamaah. Antum kenapa masih disini? Yang lain sudah menunggu di Masjid.” Jawab Irma.

“Iya, Saya baru saja datang. Ma... maaf saya terlambat.”

“Tidak apa-apa, tidak terlambat kok. Kan rapatnya di mulainya nanti jam satu siang. Oh iya Mal, afwan, antum aku daftarkan menjadi panitia bisa kan?” Ujar Irma bertanya padaku.

“Iya, in syaa Allah bisa. Aku akan bantu semampuku. Baiklah aku masuk dulu ya.”

   Segera aku melesat menuju Masjid tanpa mengucapkan salam kepada mereka. Aku sedikit gugup bila bertemu segerombolan akhwat. Malu rasanya. Aku sangat mengagumi sosok akhwat yang bertutur lembut dan santun. Aku sangat menghormati mereka, seperti aku menghormati diriku sendiri. Sesampainya di teras Masjid, terlihat beberapa jamaah duduk berbincang sambil menunggu waktu Dzuhur.

Aku tak kenal siapa mereka, mungkin mereka pendatang yang mampir untuk shalat. Mereka semua berpakaian sangat rapih, seperti para eksekutif muda dari perkantoran terkenal. Kududuk di samping mereka, kubuka sepatu sendal kemudian kutaruh di rak sepatu yang telah tersedia. Lalu tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku dari arah belakang. Suara yang tak asing bagiku. Ia penjaga sekaligus Imam besar Masjid ini.

“Hey Mal, Apa kabar?” Tanya pak Iman ramah dengan senyumnya yang khas sambil menyodorkan tangannya padaku. Langsung Kuhampiri dan kusalami beliau dengan penuh haru.

Alhamdulillah baik pak. Saya turut berduka pak Iman.”

“Iya, tidak apa-apa, terima kasih ya Mal.”

   Pak Iman baru saja kembali dari kampungnya di Surabaya. Beliau pulang ke Surabaya karena mendapat kabar bahwa ibunya meninggal dunia. Hampir satu bulan beliau disana. Di Jakarta Pak iman tinggal di ruang belakang masjid ini. Beliau di percayakan oleh kampus untuk mengurusi semua kebutuhan masjid. Beliau yang menata dan merapikan masjid hingga terlihat indah. Beliau masih muda, umurnya baru tiga puluh lima tahun, tapi beliau belum menikah.

“Ngomong-ngomong antum dari mana nih? Kok tumben libur kuliah tiba-tiba datang?”

“Ini, ada rapat rohis untuk rihlah besok. Abis si Irfan neror terus sih pak, nyuruh saya datang. Oh ya, gimana kabar pak Iman, sehat?”

Alhamdulillah sehat. Ya seperti biasa lah Mal, terus beribadah dan memperdalam Iman dan taqwa.”

Kutatap wajahnya sesaat, wajahnya terlihat bersinar sekali memakai kopiah berwarna hijau tua yang menutupi rambut depannya. Aku sangat kagum dengan pak Iman, beliau masih tergolong muda, tapi kedalaman ilmu agamanya begitu tinggi. Aku suka melihat beliau mengaji, suaranya begitu indah dan merdhu. Selain menjadi Imam besar masjid ini, beliau juga menjabat sebagai kepala sekolah Taman Pendidikan Al-Qur'an di masjid ini. Beliau sangat dekat dan akrab denganku. Kerendahan hati, dan rasa cintanya kepada Masjid ini, membuat beliau sangat di cintai oleh semua kalangan kampus. Dari dekan sampai mahasiswa sangat mengagumi sosoknya.

   Saat sedang asyik berbincang, tiba-tiba para jamaah yang berada di teras masjid histeris melihat dua wanita berambut pirang melintas di hadapannya. Wanita itu berpakaian tipis tanpa lengan dengan celana mini yang sangat pendek sampai pangkal paha. Kulihat mata mereka semua tertuju pada kedua wanita itu, sampai ada beberapa dari mereka bersiul-siul menggoda.

Wanita itu berjalan sambil melirik tersenyum malu. Sepertinya wanita itu begitu senang di goda. Belum sempat wanita itu berlalu pak Iman naik pitam dan menepuk pundak mereka satu-persatu dengan keras. sambil berkata,

“Jaga pandangan kalian! Jangan mudah tergoda dengan rayuan syetan! Ini masjid, bukan Mall! Tidak seharusnya kalian bersikap seperti itu. Istighfar kalian!”

Mereka serentak kaget dan mengucap Istighfar. aku bisa melihat raut wajah mereka yang terkejut oleh ucapan pak Iman. Gerakan kepalanya terperangah, kedua matanya terbuka dan alisnya mengangkat keatas. Pak iman berusaha menyadarkan mereka dari hipnotis kedua wanita itu. Aku baca Istighfar berkali-kali dalam hati, kulihat pak Iman sedikit emosi meluapkan kekesalannya kepada para jamaah. Kuajak pak iman menjauh dari mereka sambil kuusap punggungnya.

Istighfar pak. Jangan emosi seperti itu. Tak baik.”

“Bagaimana aku tidak kesal, mereka bersiul dan menggoda seenaknya. Tak tau apa kalau ia berada di masjid. Dasar pada g*bl*k!”

“Sudah pak, sabar.” Sambil ku usap punggung pak Iman dengan mengucap Istighfar terus menerus untuk menenangkan hati beliau.

   Setelah beliau tenang, aku mohon diri dari hadapannya. Aku sedikit heran dengan sikap pak Iman saat ini, tidak seperti biasanya. Sampai saat ini aku belum pernah melihat pak Iman sebegitu marahnya. Tapi memang wajar kalau pak Iman marah. karena Ia tidak mau rumah Allah di jadikan tempat menggoda perempuan.

Kulanjutkan berjalan melewati dinding tembok masjid yang kokoh bercorak keramik berwarna hijau. Dari balik tembok itu aku mendengar seorang akhwat sedang memberikan nasehat kepada beberapa wanita tentang anjuran menutup aurat. Aku berhenti sejenak dan duduk di balik tembok itu. Kudengarkan pembicaraan mereka. mereka sedang bercerita tentang istri Nabi Muhammad Saw.

“Memakai jilbab dan menutup aurat itu wajib hukumnya bagi semua kaum wanita yang telah dewasa atau telah akil baligh. Aisyah r.a berkata bahwa suatu hari Asma' binti abu bakar masuk menemui Rasulullah Saw. Dan dia mengenakan pakaian yang tipis. Melihat hal itu , Rasulullah Saw. Memalingkan tubuhnya, lalu beliau berkata,

     “Wahai Asma', Sesungguhnya wanita itu bila sampai pada masa balignya tidak diperbolehkan terlihat darinya kecuali ini dan ini ( sambil menunjuk ke wajahnya dan kedua telapak tangannya).” ( HR. Abu Daud)

Kudengarkan dengan seksama. Sangat syahdu ucapan akhwat itu. Entah siapa dia, begitu lembut dan santun cara dakwanya. Aku begitu terkesima mendengar akhwat-akhwat di kampus ini berdakwa tanpa kenal lelah. mereka membantu sahabat-sahabatnya agar tidak salah dalam melangkah. Lantunan ayat-ayat al-Qur'an sesekali dibacakan, agar mereka yang mendengarkan tergugah imannya. Andaikan dua wanita yang bejalan tadi berada di masjid ini dan mendengarkan dakwahnya, pasti mereka akan menutup tubuhnya dengan hijab. Andaikan seluruh wanita di dunia ini menutup auratnya dengan baik, maka tidak akan terjadi kejadian seperti tadi.

   Saat aku sedang asik mendengarkan mereka, tiba-tiba adzan Dzuhur berkumandang. Akhwat itu berhenti bercerita dan mendengarkan panggilan Ilahi. Aku berdiri dan segera menuju tempat wudhu. Masjid ini terlihat lengang, tidak seperti biasanya, yang selalu ramai oleh mahasiswa. Apabila ramai, tidak semua mahasiswa muslim melaksanakan shalat. Hanya beberapa dari mereka saja yang sadar akan pentingnya shalat yang mau melaksanakannya. Tapi, sangat banyak juga mahasiswa yang tidak shalat dan perduli panggilan Allah. Mereka mendengar, tapi pura-pura tidak dengar. Panggilan adzan hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Tak sedikitpun dari mereka yang tergerak hatinya untuk melaksanakan shalat. Mereka hanya sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status