Sepeninggalan Rizal, Pak Hamdani menelpon putranya. Dia meminta Desta segera datang. Usai memarkir mobilnya dengan asal, Desta berjalan tergesa masuk rumah. Ada Papa dan adiknya duduk di ruang tengah. Meski sudah empat tahun menikah, gaya adiknya tak berubah. Semaunya sendiri. "Benar apa yang papa katakan?" tanya Desta sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa. "Benar, Dik?" ulang Desta karena Desti malah asyik memainkan ponselnya. Tak ada kecemasan tersirat di wajahnya. Padahal Papa dan Kakaknya sangat gusar. Desti hanya mengangkat kedua bahunya, setelah meletakkan ponselnya ke atas meja. "Nasehati adikmu, Ta!" titah Sang Papa. “Bodoh kamu, Dik! Apa kurangnya Rizal?” seru Desta. Dia dulu turut andil dan merayu Desti agar menerima Rizal, karena baginya, Rizal itu sosok sempurna. Pekerja keras, ulet dan berani mengambil resiko. Sangat cocok menjadi bisnisman, selain juga bertangan dingin. Tapi rupanya, mahir dalam bisnis, belum tentu juga berhasil dalam rumah tangga. “Aku bos
Sejak Rizal dengan kesibukannya sering keluar kota dan Desti pun mulai enggan diajak pulang kampung saat Rizal punya kesempatan, orang tua Rizal lah yang lebih sering berkunjung. “Mamanya Sasti kemana, Ti?” tanya Ibunda Rizal pada Siti, pengasuh Sasti. "Lagi ke luar, Bulik," jawab Siti setelah terdiam sejenak. Ia bingung harus berkata apa.Meskipun Rizal maupun Desti tak pernah menceritakan kalau keduanya sedang ada masalah, sebagai orang terdekat yang 24 jam ada di rumah, Siti dapat merasakan bahwa keduanya sedang tidak baik-baik saja. “Mamanya Sasti sering keluar, apa Rizal tidak menegur?” tanya ibu Rizal lagi. Wanita itu tahu, kalau Desti hanya ibu rumah tangga. Harusnya, setelah punya anak, dia akan lebih banyak bersama anaknya. Siti yang keponakannya, hanya bertugas membantu saja. Bukan seratus persen urusan anak, harus dia yang pegang. Siti nafas berat, lalu menghembuskannya lagi. Tak berani berkata apa-apa, meski pada buliknya sendiri. Dia tak mau mengadu. Karena kalau itu
“Kenapa, Nek? Ada apa?” tanya Sasti karena neneknya masih berhenti, sementara toko mainan tinggal beberapa langkah lagi dari posisi mereka berdiri. “Ke sana, Nek!” tunjuk Sasti ke arah yang berlawanan dengan pandangan neneknya seraya mengayunkan jemari tangannya yang tergenggam oleh tangan neneknya, agar ibu dari papanya itu mendengarkan ucapannya. Namun, karena neneknya masih terdiam, Sasti pun akhirnya menyapukan pandangan ke arah yang dilihat neneknya. “Mama!” teriak gadis mungil itu seraya melepaskan genggaman tangan neneknya. Gadis itu lalu berlari dan menghambur ke mamanya, yang sedang berdua dengan pria yang tak dikenal oleh Sasti. Sontak Bu Ridwan kaget. Demikian juga Desti yang tak menyangka akan dipeluk Sasti dari belakang. Dengan bergetar, Desti menyapukan pandangan untuk mencari dengan siapa putrinya pergi ke mall. Wajah Desti serta merta berubah pucat pasi, karena tak menyangka putrinya memergokinya sedang bersama pria lain yang bukan papanya. “Kamu sama siapa, Nak
Mobil yang dikendari Anto sudah meluncur kembali ke rumah. Sasti yang duduk di bangku belakang, bersebelahan dengan Bu Ridwan sibuk dengan boneka barbie barunya. Sementara, Bu Ridwan masih sibuk dengan pikirannya sendiri seraya menghubung-hubungkan kejadian demi kejadian yang sejak awal mulai dicurigainya. Ingin rasanya Bu Ridwan mencecar Anto, tapi, wanita itu tak ingin anak kecil di sebelahnya akan mendengarkan percakapannya. Meski belum mengerti, anak sekecil itu dapat merekam dengan baik apa yang didengarnya. Sementara di rumah, Rizal sengaja pulang saat jam makan siang. Dia ingin memanfaatkan kebersamaannya dengan Sasti. Dia tak ingin kehilangan Sasti jika akhirnya nanti Desti tak dapat diraihnya kembali. Cukup sudah waktu yang selama ini telah terlewat dan tak dapat kembali. Rizal yang mendapati ayahnya sedang sibuk dengan pot tanaman di teras rumah, padahal hari sudah siang, sedikit kaget. Ayahnya tak mengabarkan kalau akan datang. “Lho, Bapak datang? Kenapa tidak berkirim
Setelah Sasti diajak Mbak Siti menjauh, barulah Bu Ridwan buka suara. “Tadi Ibu lihat Desti di mall.” Bu Ridwan mengambil jeda sejenak. Wanita paruh baya itu menatap putranya yang duduk berseberangan dengan dirinya. Lalu tatapan Bu Ridwan beralih ke suaminya. “Kamu ada masalah sama Desti?” tanya Ibunda Rizal. “Bu!” tegur Pak Ridwan. Lelaki itu sudah berpesan, sebagai orang tua, tak baik mencampuri rumah tangga anaknya. Anak lelakinya sudah dewasa. Baik dan buruk, dialah yang menentukan dalam bersikap. “Ibu hanya nanya, Pak. Bukan mencampuri. Kita sebagai orang tua, juga berhak memberi saran. Perkara diterima atau tidak, itu urusannya Rizal,” lanjut Bu Ridwan membela diri. Rizal menghela nafasnya. Dia tak ingin menambah beban orang tuanya. Mengetahui kondisi rumah tangganya, pasti akan membuat kedua orang tuanya bersedih.“Ibu lihat dia bersama siapa?” Meski akan sakit jika mendengarnya, namun, tak urung ditanyakan juga pertanyaan itu. Rizal merasa, sebagai lelaki dia tak ada har
Wanita muda itu tak pernah sekalipun merasakan hidup susah. Dari kecil selalu tumbuh berkecukupan dan berlimpah harta.“Kembalilah ke rumah suamimu. Wanita yang sudah menikah dan punya anak, kewajiban utamanya adalah mengabdi pada suami. Bukan tinggal bersama orang tuanya. Lakukan kewajibanmu sebagai istri dan ibu, maka pahala akan mengalir padamu,” ucap Pak Hamdani. “Tapi aku tak mencintai Rizal, Pa. Aku bosan hidup dengannya. Dia terlalu baik padaku. Aku merasa tak bisa menjadi diriku sendiri. Lagi pula, akhir-akhir ini dia pun mulai mengaturku. Aku tidak suka, Pa," rajuk Desti. Dia yakin kalau papanya akan berpihak padanya. Sejak kecil hingga dewasa, keluarganya sangat sayang padanya. “Tutup mulutmu!” Pak Hamdani tak dapat menahan emosinya. Dulu, dia berharap dengan menikah, Desti akan memahami tugas dan tanggungjawab dengan sendirinya. Apalagi dia menjadi pendamping Rizal, pemuda yang dikaguminya. Ternyata, dugaan Hamdani meleset. Mungkin, Rizal juga tak berani menegur karena
“Ada dua permintaanku sebelum aku kembali, Mas,” ucap Desti setelah sedari tadi hanya terdiam. “Ya. Utarakanlah,” sahut Rizal seraya bersiap mendengarkan dengan seksama. “Pertama, aku ingin pulang bersamamu, jika bapak dan ibumu sudah tidak ada di rumah kita. Aku sedang tak menginginkan ada orang lain, selain kita,” ucap Desti memberikan syarat pertama.Rizal mengerutkan keningnya sejenak, karena kedua orang tuanya memang sedang ada di rumahnya. Namun, lagi-lagi Rizal memilih untuk berhusnudzon. Mungkin peristiwa Desti bertemu ibunya saat sedang bersama lelaki lain, membuat Desti merasa tak nyaman. Rizal berjanji, jika Desti telah kembali padanya, dia tak akan memberi celah pada istrinya itu untuk berhubungan lagi dengan mantannya itu. Rizal sudah memikirkan untuk bekerjasama dengan Anto untuk mengawasi Desti. Jika Desti kembali lagi, maka dipastikan dia tak akan memaafkan Desti lagi. Kini, pintu maaf masih dibuka. Karena Rizal pun merasa menyumbang kesalahan atas kejadian ini. Di
“Kak, aku minta tolong carikan pekerjaan untukku,” suara Desti setengah berbisik saat menghubungi Gavin. Dia tak mau penghuni rumahnya sampai mendengar rencananya itu. Gavin yang sedang di kantor, mengerutkan keningnya sekilas. "Bekerja? Untuk apa kamu mencari pekerjaan?" tanya Gavin. Bahkan, dia tahu persis, harta dari orang tua Desti mungkin tak habis buat dia dan abangnya. Bahkan, kini Desti juga sudah menikah dengan suami yang sukses dalam bisnisnya. “Aku ingin minta pisah dari Rizal, Kak. Aku mencintaimu. Aku ingin kembali padamu, Kak. Tapi, kita tidak mungkin bisa menikah sebelum masa iddahku lewat. Aku perlu uang,” jelas Desti sebelum Gavin menjawab keheranannya. “Desti,” ucap Gavin, lalu mengambil jeda sejenak. Dia tak habis pikir dengan kenekatan mantan kekasihnya itu. “Kamu jangan melakukan hal konyol. Sudah, lupakan tentang kita. Kamu sudah punya keluarga. Sebaiknya, kamu pertahankan keluargamu. Pertahankan yang sudah kamu genggam. Bukan mencari sesuatu yang bisa jad