Undangan pernikahan Ratih dan Rizal tinggal menghitung hari. Hari itu, hari terakhir Ratih masuk kantor. Besok dia harus bersiap-siap kembali ke kota kelahirannya. "Lancar semuanya ya, Mbak Ratih," ujar Anggi meski Ratih belum berpamitan. Hari-hari terakhir, banyak teman-teman kantornya menyemangati dan meyakinkan. Yang sudah pengalaman, berbagi nasehat. Yang belum berpengalaman pun ikut nimbrung. "Tunggu kami. Kami pasti datang." Cyntia turut menyahut. Ratih tak perlu mencemaskan banyak hal. Dini, adik perempuannya, sudah menyiapkan semuanya. Meskipun mereka berbeda karakter, Dini sangat mengenal selera kakaknya. Apalagi, Dini sangat ringan tangan dan menyukai mengurus hal-hal semacam pesta pernikahan. Tak hanya kegiatan saat hari H, bahkan sebelum hari H dari menyiapkan seserahan pun adik bungsu Ratih itu yang handel. Keluarga Rizal hanya tinggal menerima jadi, meski beberapa kali Rizal memnghubungi adik Ratih ini, memastikan semuanya berjalan lancar. Dini memang sosok yan
"Hai, Sasti kenapa?" Badan Ratih sedikit menunduk, mensejajarkan kepalanya dengan kepala Sasti yang duduk di sebelah papanya. Pucuk hidung Sasti memerah. Tercetak jelas bekas kesedihan di gadis kecil berkulit bersih, yang menurun dari mamanya itu. Sasti menggeleng. "Tanya dong, Papanya." Ratih mendelik mendengar Rizal justru menyela. Dia sudah berusaha serius, malah diajak bercanda. Padahal, dia berusaha keras agar tidak grogi berada di depan duda itu. “Sasti, Tante punya hadiah untuk Sasti.” Ratih mengulurkan kotak kado yang sudah disiapkannya kepada Sasti. Ratih harus berjongkok agar dia bisa benar-benar dapat melihat wajah putri calon suaminya itu. "Makasih, Tante." Meski menjawab, namun, binar keceriaan di wajah Sasti tak jua muncul. Bahkan, kado itu diletakkan begitu saja di sebelahnya. Ratih sebenarnya ingin mengorek lebih lanjut dan menghiburnya, layaknya ibu-ibu berhati malaikat. Tapi, naluri keibuannya tak kunjung datang. Ratih masih canggung dan berusaha mengolah
"Ayo, naik," titah Rizal saat Ratih mengantar Sasti hingga parkiran. "Nggak usah. Aku naik taksi aja." "Ck, kan sama aja. Nanti aku antar." "Beda arah, Rizal. Kasihan Sasti, sampai rumah kemalaman nanti," tolak Ratih. Padahal, Ratih sungguh hanya ingin menjaga agar detak jantungnya bisa kembali normal. Lama-lama dia bisa jantungan kalau dekat dengan Rizal yang belum halal menjadi pasangannya ini. Apalagi, akhir-akhir ini, Rizal mulai berani meledeknya. "Yaudah. Kalau udah sampai kos, kabari. Sasti, pamit sama Tante," titah Rizal pada putrinya. Ratih masih melambaikan tangannya, dan menunggu sampai mobil Rizal menghilang di area parkir. Dia akan kembali masuk mall dan memesan taksi setelah dia berada lobi gedung nanti. “Ratih!” panggilan namanya, membuat Ratih menghentikan langkah. Ia menoleh ke sumber suara. Matanya memicing menatap wanita muda seusianya yang berdiri tepat di hadapannya. “Ratih, kan? SMA satu, kan?” tanya wanita itu beruntun. Wajahnya sangat ceria. Sementara
Ratih hanya menanggapi dengan senyuman. Bingung dia mau komentar apa. Toh, sejatinya selama ini dia tak pernah memandang hal itu. Dia mau sama Rizal pun atas dorongan Nadia dan Dewi, sahabat yang dia percaya nalar dan hatinya bisa jalan beriringan dibandingkan nafsu duniawi, materi dan fisik semata. Alasan kuat lainnya bagi Ratih adalah karena restu orang tua Rizal dan orang tuanya. Di luar itu semua, hanyalah bonus yang mengikuti. Bisa juga, tampan dan tajir adalah bonus baginya. Bahkan Ratih baru ingat, kalau dia belum pernah bertanya serius tentang aktivitas Rizal. Dia kerja apa, penghasilannya berapa. Baginya, punya pekerjaan mau karyawan kantoran atau bukan, asal berpenghasilan yang cukup buat keluarga, itu sudah cukup. Toh, dia sendiri juga bekerja. Dan selama ini Rizal tak pernah membahasnya, kalau kelak setelah menikah, apakah harus di rumah, atau tetap bekerja. Huff, Ratih teringat pesan Nadia. Dia harus bicara. Berkomunikasi. Itu yang selama ini terlupa. Ratih hanya fokus
Rizal sudah tiba di bandara pukul 6 pagi. Dia mengajak Mbak Siti, ART-nya sekaligus masih saudara sepupunya, untuk mengasuh Sasti selama di Yogya. Rizal mulai gelisah. Berulang dia mengecek waktu di jam tangannya. Pandangannya mengedar ke seluruh area ruang tunggu bandara, gate yang akan membawanya menuju Yogya. Tapi, Ratih sama sekali tak terlihat. Padahal jam boarding sudah sebentar lagi.“Tante ikut kita, Pa?” Sasti dengan polosnya bertanya. Semalam, Rizal sudah memberi tahu putrinya kalau hari itu mereka akan pulang ke rumah kakek dan neneknya. Beberapa hari terakhir, Rizal juga sudah menjelaskan pada putrinya, siapa Ratih dan kenapa dia harus Ratih yang dipilihnya untuk menjadi ibu bagi Sasti. Rizal mengusap kepala Sasti, lalu kembali ia mengedarkan pandangan. Berkali dia mencoba menghubungi Ratih, tapi tak ada respon sama sekali. Pesan pun tak juga dibalasnya. Siti yang duduk di sebelah Sasti hanya bisa menatap kegalauan sepupunya itu. Rizal semakin panik, saat petugas mula
Memang seharusnya Ratih tak perlu membukanya aplikasi itu. Itu hanya melukai hatinya. Itu hanya belenggu syetan yang membuatnya kembali terpuruk di lembah keraguan. Harusnya dia cukup mendengar saja kata-kata Danisa dan tak perlu penasaran. Namun, semua sudah terlanjur. Bagaikan sebuah cermin. Ketika retak, maka pantulannya tak akan sama lagi. hatinya terluka. Ratih masih membenamkan wajahnya dalam bantal saat pintu kamarnya diketuk. Kening Ratih bergerut. Tak mungkin teman kosannya. Hari sudah siang. Mereka semua sudah berangkat kerja. “Mbak Ratih, ada tamu.” Suara ibu kosnya sontak membuat Ratih terpaksa bangun. Tanpa merapikan tempat tidurnya, Ratih segera menyambar jilbabnya. Biasanya Ibu kos datang ke kamarnya kalau ada perlu saja. “Iya, Buk. Makasih,” jawab Ratih sambil memperhatikan wajahnya di cermin sekilas. Memastikan tak ada kotoran di sekitar mata akibat kembali malas-malasan di tempat tidur. "Itu Mbak Ratihnya sudah ada. Saya permisi," pamit Ibu Kos pada Rizal. "Mak
“Ratih … apapun itu, kita tetap menikah besok pagi. Jadi bersiap-siaplah sekarang.” Rizal mengurangi intonasi suaranya. Tak ada lagi yang harus dibahas. Keputusannya sudah bulat. Menikah esok hari. Tak ada alasan lain yang membuatnya mundur. Padahal, Ratih berharap, Rizal tak hanya mengatakan itu padanya. Ratih berharap Rizal membesarkan hatinya. Tapi, ternyata harapannya justru pupus. Rizal bukan tipe seperti itu. "Percayalah padaku, apa yang ada di chat itu, tak seburuk yang kamu bayangkan,"ujar Rizal sambil menatap wajah Ratih. Tidak ada gunanya membahas sesuatu yang telah terjadi. Rizal lebih memilih fokus untuk menatap ke depan. Saat dia memposting undangan pernikahan itu, sebenarnya hanya sebagai pemberitahuan. Agar kelak, tidak timbul fitnah mana kala ada teman alumni SMA yang melihat mereka sedang berdua.Rizal tak mengira jika teman-teman mereka masih mengingat kejadian sepuluh tahun lalu, yang bahkan baginya sudah tak penting dan sudah dilupakan. Tapi dia salah. Kejadian
"Saksi, Sah?""Sah""Sah""Sah""Alhamdulillah." Rizal bernafas lega.Begitu juga kedua orang tua Ratih. Nampak jelas berbahagia. Akad nikah dilangsungkan di rumah Ratih. Di halaman depan dipasang tenda. Meski tak menerima tamu, namun sanak saudara dan tetangga banyak yang hadir. Sementara resepsi akan diselenggarakan di balai warga, tak jauh dari kediaman Ratih. Ini dipilih karena menggabungkan resepsi Dini dan Ratih. Tentu saja, tamu yang diundang lebih banyak. Jika diselenggarakan di rumah, akan memakan jalan warga, belum termasuk tempat parkir kendaraannya. Salah satu solusi menggunakan balai warga. "Ini kemauan Mas Rizal, Mbak. Katanya biar tetangga dan saudara yang datang, tidak perlu repot," tukas Dini saat membahas rencana acara. "Lagi pula, juga memanfaatkan fasilitas desa, Mbak," lanjut Dini."Aku ngikut kamu aja, Din. Tahu beres.""Paham, Mbak. Yang penting Mbak Ratih mau nikah aja, kita udah seneng.""Diniiii!" Ratih berteriak geram. Siapa sih yang nggak mau nikah?Tern