"Ini mobil kamu?" Ratih ragu bertanya. Dia ingat, mobil kali itu yang pernah dilihatnya berbeda dengan mobil yang dikemudikan Rizal. "Aku pinjam sama teman. Kan belum sempat ambil ke rumah." "Kenapa kita nggak langsung ke rumahmu?" Ratih serba salah. Apa Rizal menyembunyikan sesuatu di rumahnya, sehingga ia harus menginap di hotel? Bukankah justru lebih simple kalau langsung ke rumah? Toh, Sasti dan Mbak Siti masih di rumah orang tua Rizal. "Karena aku mau nunjukin ke kamu sesuatu." Mobil Rizal berbelok ke sebuah kompleks perumahan. Masih baru. Masih banyak kavling yang belum dibangun. Hanya beberapa rumah yang sudah berdiri. "Apa ini? Proyek pekerjaanmu?" tanya Ratih. Seingatnya, Rizal kerja di bidang properti. Tapi, tepatnya dimana dan seperti apa, dia tak paham. "Bukan. Ayo turun." Rizal memarkir mobilnya tepat di depan salah satu rumah yang sudah siap huni. Desainnya minimalis. Ada dua lantai. Tapi tanahnya tidak terlalu luas. Malah bisa dibilang ukuran yang minimalis
“Oh…jadi wanita ini yang membuatmu meninggalkan adikku?” Pria itu melirik ke Ratih dengan tatapan sinis. Dahi Ratih berkerut. "Adiknya? Apa yang dimaksud Desti?" pikir Ratih. Ratih memandangi Pria yang berdiri tak jauh dari Rizal itu. Tangannya berkacak di pinggang. Pria itu berperawakan tinggi atletis. Terlihat bahwa ia rajin berolahraga. Wajahnya pun terlihat cukup tampan. Sama seperti Desti, terlihat berasal dari keluarga yang terpandang Ratih menggeser tubuhnya. Dia memilih berdiri di belakang Rizal. “Dia yang meninggalkanku. Bukan Aku,” jawab Rizal datar. Ratih mengerutkan keningnya. Dia menangkap, Rizal seolah ingin mengabaikan pria itu. “Rizal! Kamu tak ada apa-apanya tanpa adikku. Beraninya kamu menolak adikku? Ha!” Lelaki itu mendekat, lalu ia menarik kerah baju Rizal hingga wajah Rizal mendekat ke wajahnya. Suara yang keras membuat perhatian pengunjung toko. Salah seseorang memanggil security yang sedari tadi ada di luar toko. "Pak...Pak...." Security datang be
"Maafkan aku, Dik, banyak hal yang belum aku katakan padamu sebelum kita menikah. Bukan aku menyembunyikan semuanya. Tapi, karena aku yakin, kamu akan menerimaku sebagaimana apa adanya." Ratih menghela nafas. "Tapi, akan lebih baik kalau kamu mengatakannya. Tentu saja, apapun kondisimu, aku menerima. Namun, jika aku tahu lebih awal, aku tentu akan menyiapkan diri," ujar Ratih. "Makasih, ya, Dik atas kepercayaanmu." "Kepercayaan itu mahal. Aku harap, kamu juga tak akan menyia-nyiakannya," ucap Ratih. Dia tak mau begitu saja menerima Rizal, seolah dia tak punya posisi tawar. Namun, Ratih bukanlah wanita yang ingin mempersulit sesuatu yang mudah. Mobil yang dikemudikan Rizal tak kembali ke hotel atau rumah baru mereka. Namun, justru belok ke sebuah kompleks perumahan yang terlihat cukup elit. Rumah-rumah terlihat besar dan mewah. “Ini rumahku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Nanti aku mau suruh orang buat packing barang Sasti dan Mbak Siti. Ada barang-barangku juga yang akan
Rizal dan Ratih tiba di rumah barunya bersamaan dengan mobil box yang membawa barang-barang mereka. Setelah minta bantuan untuk menurunkan, Ratih dan Rizal segera menata rumah baru mereka. Selain barang dari rumah lama, juga beberapa barang yang mereka barusan beli. Bahkan, tak lama, barang yang di antar juga datang. "Malam ini, kita kembali ke hotel dulu. Kamu pasti lelah. Rumah ini masih perlu dibersihkan lagi," ujar Rizal saat mereka berdua istirahat. Sebagian besar barang sudah ditata. Hanya barang Mbak Siti yang masih dalam dus. "Biar Mbak Siti yang taruh barangnya," ujar Rizal saat meletakkan dus ke dalam calon kamar Siti. "Iya. Tapi, besok kita sudah bisa tinggal di sini, Mas. Biar aku bisa bersih-bersih. Kita juga perlu belanja." "Belanja? Belanja apalagi?" Rizal mengerutkan keningnya. Bukankah tadi mereka habis belanja? "Kulkas kan kosong. Emang kamu mau puasa?" tanya Ratih. Rizal menaikkan alisnya. "Emang kamu bisa masak?" Rizal merasa aneh. Bertahun menikah den
“Kamu bisa masak?” tanya Rizal saat mengantar Ratih ke supermarket. Dia mengamati Ratih yang cekatan berbelanja. "Kamu meragukan?" "Nggak sih. Malah nggak sabar pengen nyicip masakan istri itu kayak gimana?" Ratih menaikkan alisnya, tapi buru-buru disembunyikan keheranannya. Ia mematri ucapan Rizal dalam ingatan. Apa mantan istrinya nggak pernah masak? Atau maksudnya masakan istri barunya? "Sebenarnya, aku lebih suka belanja di pasar tradisional." Ratih mengalihkan pembicaraan. "Kenapa? Bisa kenalan sama abang-abangnya?" goda Rizal. "Ck! kamu itu." Ratih berdecak. "Ya enggak lah. Kalau di pasar tradisonal, pilihannya lebih banyak. Harganya lebih miring. Lihat, ini harganya berapa?" Ratih menunjukkan harga bandrol salah satu sayuran yang tertata di lemari pendingin supermarket. "Kan ini udah bersih, udah dikemas. Ya wajar, harganya lebih mahal," ujar Rizal. "Iya. Jadi, kita beli kemasan dan kebersihan." "Mutu juga beda." Rizal menyela. "Tapi, kalau sudah dimasak, ya sa
Ratih segera menyelesaiakn cucian piring dan membereskan peralatan masaknya. Dengan seksama ikut mendengarkan sekilas jawaban Rizal dengan seseorang di seberang sana. Dari intonasinya, terdengar ada yang tak beres. “Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. “Minum, Mas.” Segelas air putih disodorkan Ratih, agar tersamar dari tindakan mengupingnya. Dia berharap Rizal mengatakan sesuatu padanya. Rizal tak mengatakan apapun. Dia sibuk membuka kontak di ponselnya, lalu menghubungi lagi seseorang, membuat Ratih tak punya kesempatan untuk bertanya. "Kamu istirahat dulu saja," titah Rizal, memberi kode tak ingin diganggu. --- "Ke kantor, Mas?" tanya Ratih pagi-pagi usai menyiapkan sarapan. Dia ingat percakapan Rizal yang mengatakan hari itu akan ada meeting dengan seseorang di telepon. Sampai malam, Rizal tak sempat mengajaknya ngobrol. Dia sibuk menghubungi orang-orang dari teleponnya. Hingga Ratih masih sungkan
"Ada apa, Mas? Siapa yang ke pengadilan?" tanya Ratih. Dia takut ada perkara hukum yang menjerat Rizal. "Kamu tenang saja. Semua bisa aku atasi," sahut Rizal. "Kamu nggak percaya sama aku?" "Ratih, ini bukan masalah percaya dan nggak percaya. Ini masalah aku dan pekerjaanku. Kamu tahu, kan. Semua pekerjaan ada resikonya." "Iya. Tapi, kalau resikonya berbahaya, kamu pikir, aku akan membiarkanmu?" "Ratih, makasih atas perhatianmu. Aku janji, semua akan baik-baik saja. Aku berangkat ya." Rizal mengacak kepala Ratih, lalu mengecup keningnya lembut, sebelum dia naik ke mobil. -- Ratih masih setia menunggu, meski malam sudah larut. Dia sudah bertekad akan membujuk Rizal untuk membuka semua rahasianya. Toh, dia sudah menikah. Kalau ada apa-apa, bukannya dia juga akan terseret? “Gimana, Mas?” tanya Ratih. Meski sudah pukul sembilan, Ratih masih menawarkan makan malam untuk Rizal. Pria itu tak menolak meski dia sudah makan malam di kantor dengan teman-temannya. Namun, kali ini
PoV Rizal Namaku Rizal. Entah kenapa, saat SMA hingga kuliah, aku lebih suka pada gadis yang cantik, yang menjadi idola kaum lelaki. Meskipun aku biasa saja, namun, aku akan berusaha mengejar cintaku. Sayangnya, saat SMA, cintaku pada Dewi kandas, karena kesalahpahaman. Itulah awal mula aku tak menyukai temanku satu sekolah yang bernama Ratih. Ratih bukannya tidak cantik. Hanya, dia gadis biasa saja. Aku tak pernah tertarik padanya. Tak ada sedikitpun yang menonjol, malah justru aku muak dengan sikapnya yang terlalu baik. Aku pernah sekelas dengannya. Anaknya lembut dan sering mengalah. Dia akan selalu mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri, dan menurutku itu berlebihan. Tersebutlah Dewi, gadis tercantik di SMAku, yang kebetulan sahabatnya Ratih. Kemanapun mereka pergi, selalu bersama. Jangan tanya, betapa menariknya Dewi. Dia benar-benar bak seorang Dewi. Selain pintar dalam pelajaran sekolah, juga pintar bergaul. Banyak kaum lelaki yang menaruh hati padanya, t