Rizal hampir saja kembali meluapkan amarahnya, melihat Ratih hanya tertunduk dan diam. Namun, mendadak ingatan Rizal berputar saat hal yang sama pernah dilampiaskan pada Ratih.Dia ingat, saat itu dia marah besar karena mengetahui Dewi menolak cintanya. Dan yang lebih membuatnya marah, karena Dewi mengatakan,” Ada yang lebih pantas menerima cintamu. Dia sangat tulus dan sanggup berkorban untukmu.”Kata-kata Dewi menyiratkan gadis itu menolaknya. Namun, satu hal yang membuat amarahnya meledak, karena dia tahu, siapa yang dimaksud Dewi.Gadis pendiam, suka mengalah, meski pintar, dan hampir selalu ingin menarik perhatiannya. Meminjaminya PR, buku catatan, bahkan rela mengajarkan beberapa materi pelajaran yang dia tak mengerti karena kesibukan urusan OSIS saat SMA.Rizal menarik nafas sejenak.“Kamu tahu, tiket kita sudah hangus! Itu mubadzir!” ucapnya dengan penuh penekanan, mencoba menekan emosinya. ”Kamu kan bisa ngasi
Rizal dan Ratih masuk ke pesawat. Karena membeli tiket belakangan dan cek in bersamaan, mereka pun mendapat tempat duduk bersebelahan.Mereka masih dalam diam.Rizal mengeluarkan ponselnya. Masih ada waktu berkirim pesan sebelum pengumuman pesawat akan segera lepas landas.“Lang, kamu buka grup nggak?” Rizal mengirimkan pesan ke sahabatnya.”Ah, elu cemen. Bukannya kasih klarifikasi. Kenapa malah diam aja.” Gilang langsung menyemprot.”Aku nggak tau, Lang. Malah aku tahunya dari Ratih,” balas Rizal. ”Ratih udah tahu? Tumben dia buka grup. Dia tahu dari mana?”Benar juga. Ratih tahu darimana? Tapi, bukan waktu yang tepat untuk menanyakan. Nanti saja kalau suasana sudah membaik, batin Rizal.“Nggak tau. Dia nggak bilang. Aku nggak sempat nanya. Ini juga lagi drama.””Tapi jadi kan, besok kalian nikah?”Sejenak Rizal mengerutkan keningnya.
Tiga hari sebelumnya....”Lihat ini, Des!” Prita baru datang. Desti sudah menunggunya di cafe. Gadis itu langsung mengangsurkan ponselnya pada sahabatnya.Mata Desti yang tengah menatap gambar di layar itu melebar.“Rizal menikah?” tanyanya nyaris tak percaya. Meski belakangan dia tahu Rizal tengah melakukan pendekatan ke Ratih, namun bukankah dirinya sudah berusaha meyakinkan Ratih siapa Rizal.“Kamu dapat ini darimana?” tanya Desti lagi.Ya, pertemuan terakhir dengan Ratih dia gagal. Bahkan, Ratih dengan percaya diri mengusirnya. Namun, itu bukan berarti kekalahannya.Desti pikir, dia masih punya banyak waktu menggagalkannya. Bahkan, mempengaruhi putrinya saja, dia belum sempat. Dia masih memikirkan langkah-langkahnya. Tapi, kenapa justru sekarang Prita datang membawa undangan?”Dari ibukku di kampung.””Berarti kamu gagal, dong, Prit
”Gimana, Mas? Udah siap?” Hasan mampir ke rumah Rizal usai mengantarkan Pakliknya pulang. Persiapan di rumahnya sudah selesai. Acara di rumah hanya akad nikah. Sementara resepsi di gedung pertemuan balai desa. Tenda sudah dipasang.“Alhamdulillah. Siap lahir batin.” Rizal tersenyum. Dia lega, calon iparnya yang sebelumnya garang, sudah melunak.“Aku nitip Mbak Ratih ya, Mas. Meskipun dia itu suka mengalah, bukan berarti harus selalu kalah. Dia juga manusia biasa. Kadang sensi juga. Asal Mas Rizal tahu, nggak mudah bagi Mbak Ratih menerima Mas Rizal,” ucapnya.”Karena aku duda?” Rizal refleks menyahut.Hasan menghela nafas.“Justru bukan itu, Mas.”“Karena sikapku dulu padanya?”“Itu salah satunya.”“San, kamu nggak perlu khawatir. Aku akan bayar semua salahku dulu. Aku pun nggak ingin gagal dua kali.””Nggak ingin gagal dua kali, bukan artinya mengorbankan Mbak Ratih kan, Mas?” Hasan masih mencecar.Rizal tahu, Hasan tengah menguji kesungguhannya.”Kalau Mas Rizal menyakiti Mbak Ratih
"Diluar banyak orang. Mau kamu dilihat mereka?" Rizal mulai melancarkan serangan. Dia tahu, Ratih tipe insecure. Tak susah membuatnya urung keluar.Ratih yang merasa lipstiknya dikometari refleks menutup area mulutnya. Dia lalu berbalik, mencari cermin untuk memastikan seberapa berantakan pemulas bibirnya.Rizal menahan senyum. Begitu mudahnya istrinya ini terpedaya.Sayangnya, mendadak dia ingat kalau dia disuruh ke kamar itu untuk berganti baju. Tidak mungkin terlalu lama, karena tamu sudah menunggu.Rizal melayangkan pandangan. Ada jas yang ada di atas ranjang. Pasti itu untuknya, batinnya. Tanpa pikir panjang, dia segera membuka baju yang dikenakannya untuk mengganti dengan jas yang ada di situ.Sayangnya, saat dia sudah melepas baju, Ratih malah membalikkan badan usai bercermin karena hendak memprotes ucapan Rizal. “ Bo--- “ Ucapan Ratih menggantung. Mata Ratih membulat karena kaget dengan pemandangan yang dilihatnya. Refleks dia kembali berbalik.Rizal tertawa. Sebenarnya dia j
Mobil berhenti sempurna di depan balai desa.Rizal langsung turun duluan. Setengah berlari dia menuju pintu tempat Ratih duduk, hendak membantu membukakan pintu.“Aku bisa sendiri,” sahut Ratih saat pintu sudah terbuka. Wajahnya datar.”Duh kayak berantem gini,” batin Rizal.“Senyum, dong. Biar cantiknya kelihatan,” bisik Rizal tepat di depan telinga Ratih.Tampaknya Rizal harus mengalah. Dia tak ingin Ratih ngambek gara-gara terlalu banyak meledeknya.Rizal hanya diam saja. Tak berani komentar lagi, hingga Ratih keluar dari mobil."Mbak Ratih, tangannya Mas Rizal digandeng, dong," protes Bu Witri. Mendengar itu, percaya diri Rizal kembali naik.Pria itu tersenyum. Matanya memindai sekitar. Ada barisan Dini dan Suaminya di sebelahnya.Ratih menghentikan langkahnya begitu mendengar teguran Bu Witri."Banyak berdoa, biar nggak panik," bisik Rizal sambil memberikan lengannya. Membe
Habis isya, di rumah Ratih sudah mulai kembali sepi. Panitia sudah selesai menurunkan tenda dan mengembalikan kursi-kursi dan perkakas ke tempat penyewaan. Begitu juga urusan dapur. Sejak habis asar, semua sudah dibereskan.Dini dan suaminya sudah berangkat bulan madu. Namun, di rumah Ratih masih ada beberapa saudara jauh yang menginap.Ratih dan Rizal turut menemani mengobrol.”Sana, Mbak Ratih. Mas Rizal sudah capek itu. Mau istirahat kasihan,” ujar salah seorang kerabat.Strategi Rizal pura-pura menguap ternyata cukup jitu.Dia memang capek. Namun, tak enak kalau mohon diri istirahat. Padahal masih sore.”Nggak, kok, Pakde. Masih belum ngantuk.” Rizal pura-pura berkilah.Ibu Ratih memberi kode. “Sana, Nduk. Temani Masmu.”“Ayo kita bubar. Nanti Nak Rizal malu.” Bapak Ratih menambahkan.Terpaksa, ngobrol-ngobrol sementara bubar. Tapi, sebenarnya mereka hanya pindah tempat
Rizal hampir terlonjak kaget. Dia baru bangun usai limbung karena terlalu semangat berbuka puasa setelah dua tahun menduda. Lampu kamar masih menyala. Di sebelahnya, seseorang terbungkus selimut hingga kepala. Rizal mengingat-ingat. Dia baru sadar kalau terbangun di kamar yang asing. Apalagi melihat dirinya sendiri, dengan tampilan yang tak biasa. Untungnya, kamar Ratih tak ada AC. Sehingga tak membuatnya kedinginan. Refleks Rizal menepuk jidatnya, saat dia menyadari, di mana keberadaannya. Tapi… kenapa Ratih menyelimuti dirinya hingga ke kepala? Bahkan, Rizal tak ingat apa-apa. Apakah dia lupa doa sebelum tidur? Atau malah gosok gigi dan berwudhu seperti kebiasaannya sebelumnya. Pasti ini karena ketiduran, batinnya. ”Ratih....Ratih....” panggil Rizal. Pria itu mencoba menepuk bagian tubuh yang kemungkinan adalah pundak. Seseorang terbungkus selimut tidak menyahut. ”Dik?” Rizal mengubah panggilan. Dia yakin, pasti Ratih suka dengan panggilan barunya ini. Rizal mendekatkan kepa