"Jangaaan! Aku mohon lepasin, toloooong!"
Aku terus berteriak, berharap ada seseorang yang mendengar teriakanku dan menolongku dari dekapan pria yang tidak bisa aku lihat wajahnya karena gelapnya malam itu.Tubuhku seperti dihantam ribuan belati, sakit. Aku yang dalam perjalanan pulang sehabis menghadiri pesta perpisahan bersama teman-teman SMA ku dihadang oleh seorang pemuda yang tengah mabuk di jalanan.Suasana malam yang sepi dan jalanan yang gelap membuat aku tidak bisa mempertahankan kesucianku. Tidak ada orang yang menolongku."Nak, kamu sudah siap?" tanya Bunda, membuyarkan lamunanku tentang malam itu.Hari ini tepat 5 tahun setelah kejadian menyakitkan itu.Aku yang ternodai malam itu tergeletak pingsan hingga akhirnya ditemukan warga dan langsung membawaku pulang, setelah salah satu dari mereka memberi tahu Ayahku. Tidak ada yang tahu siapa laki-laki itu. Sampai saat ini, semua masih menjadi misteri."Insya Allah, Bun!" jawabku meyakinkan Bunda juga hati ini.Setelah kejadian itu, aku menjadi trauma, hingga aku tidak melanjutkan kuliah.Untung saja benih penjahat itu tidak tumbuh menjadi seorang bayi, karena kalau itu sampai terjadi mungkin aku tidak akan siap untuk hari ini, hari di mana aku akan mencoba memulai hidup baru dengan berta'aruf."Pemuda ini sama kayak kamu, Nak," kata Pak Ustadz Danu yang duduk di hadapan aku dan Bunda."Maksudnya Pak Ustadz?""Dia baru 4 tahun hijrah, setelah dulu hidupnya dipenuhi kegelapan akibat salah didik keluarganya yang berfikir kalau kasih sayang bisa dibeli dengan harta" jelas Ustadz Danu, guru mengaji di tempat dulu aku belajar agama memantapkan untuk hijrah.Setelah menunggu beberapa menit, datang seorang pemuda tampan berkulit putih bersih menghampiri kami.Setelah mengucapkan salam dan kami menjawabnya, pemuda itu bersalaman dengan Ustadz Danu."Mungkin, sebelum kita melangkah lebih lanjut. Apa Zahra mau bertanya sesuatu?" tanya Ustadz Danu, seakan memberi kesempatan hati untuk mengakui semua tentang masa lalukuMembuka perlahan mulut ini, aku pun memberanikan diri mengutarakan isi dalam hati."Sebelum kita melanjutkan ta'aruf ini. Aku mau jujur. Aku sudah tidak perawan, Kak," tuturku.Aku terus menundukkan pandangan. Aku tidak mau memulai hubungan dengan kebohongan, apalagi semua pasti akan terbongkar dimalam pertama kami nanti.Bayangan pemuda bertato sepasang sayap di punggung yang malam itu merenggut kesucianku hadir seketika.Sesaat setelah perbuatan bejatnya aku yang masih setengah sadar melihat dia bertelanjang dada meninggalkanku. Pantulan cahaya rembulan membuatku bisa melihat tato itu di punggungnya."Aku tidak masalah," ucap Kak Alvin, pemuda yang saat ini di hadapanku sebagai calon suami."Aku korban pemerkosaan, Kak," lirihku tanpa aku sadari air mata mulai menetes.Ustadz Danu pun membantuku menceritakan kejadian di malam itu pada kak Alvin. Ia memang tahu semua tentangku.Aku mengangkat wajah ini yang awalnya tertunduk lalu melihat raut wajah Kak Alvin. Terlihat ada kegusaran, lagak tubuhnya seperti ketakutan, dan matanya seakan menahan air mata. Entah sikap apa yang dia tunjukan ini."Permisi, Ustadz, aku harus pergi. Assalamu'alaikum!" pamitnya.Dia berdiri tanpa mengucapkan apapun tentang kelanjutan hubungan ini, berlalu pergi meninggalkanku, Bunda dan Ustadz Danu.Bunda memegang tanganku, pandangan kami bertemu dalam satu pemikiran. Ada apa dengan Kak Alvin?Sejak hari itu tidak ada kabar dari kak Alvin, seminggu sudah aku digantung.Hingga pada suatu hari Ustadz Danu datang menemuiku dan memberi tau semuanya. "Assalamu'alaikum," sapa Ustadz Danu begitu masuk ke teras rumah kami.Aku dan Bunda menyambutnya. Kukira setelah ini ada kabar baik soal Kak Alvin, tapi ternyata malah kabar buruk yang membuat dadaku berdetak keras."Nak Alvin itu... yang melakukan hal buruk sama kamu, Nak."Seluruh tubuhku gemetaran. Lelaki yang kukira akan menuntunku dalam jalan kebenaran, tapi malah menjadi awal semua traumaku.Tanpa sadar, air mataku mengalir. Entah karena ketakutan, marah, atau malu."Nak Alvin memasrahkan kelanjutan hubungan ini padamu, Nak. Walaupun Nak Alvin sangat berharap bisa menikahi kamu," lanjut Ustadz Danu."Dia ingin menikahiku untuk bertanggung jawab, atau apa?" aku bertanya. "Aku tidak ingin dikasihani.""Bukan begitu, Nak...""Dia yang merenggut kesucianku secara paksa, lalu sekarang ia yang memasrahkan kelanjutan hubungan in padaku.""Zahra, Alvin sangat berharap bisa menikahimu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya dulu!""Tapi Bu!""Tidak kah kamu memberikannya kesempatan untuk memperbaiki diri?"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menerima perjodohan ini, dan meneruskan berta'aruf, sementara pemerkosa itu adalah calon suamiku?Kesibukan kak Alvin membuat jarak di antara kami. Dengan susah payah aku menepis jarak ini agar bisa melupakan masa lalu dan membuka lembaran baru dengan kak Alvin. Namun, sudah hampir dua bulan kak Alvin selalu di sibukkan dengan pekerjaannya.Ponselnya selalu berdering hampir setiap saat.Berangkat pagi dan pulang malam, malah kadang sampai dini hari. Mungkin karena dia belum dapat asisten pribadi yang baru. Semua pekerjaan dia yang pegang.Malam ini kak Alvin terlihat sangat letih. ia membuka kemejanya dan langsung merebahkan dirinya di atas ranjang." Udah sholat?"tanyaku, menghampiri."Sudah" jawabnya singkat. Ia memaksakan tubuhnya yang letih untuk menuju ke kamar mandi." Aku mandi dulu yah" ucap kak Alvin meninggalkanku.Sementara kak Alvin mandi, aku memunguti kemejanya yang berserakan. Namun, hidungku seakan mencium bau parfum wanita. Aku pun memastikan sekali lagi dengan mendekatkan hidungku di kemeja kak Alvin.Memang b
"Sayang bangun" bisik kak Alvin terdengar di telingaku.Aku mengedipkan mata beberapa kali, rasanya enggan terbuka. Tubuhku masih terasa lemas akibat pertarungan semalam. Bukan pertarungan mencari siapa yang menang atau yang kalah, melainkan awal dari pembuahan cinta kami."Hari ini kita akan datang ke pemakaman Beni" lirihnya, masi berada di atas wajahku. Hembusan nafasnya tercium menyegarkan dengan aroma mint." Bagaimana aku akan bangun, kalau kakak terus berada di atas ku" ucapku tersipu." Maaf!" kak Alvin salah tingkah dan langsung menggeser tubuhnya. Ia pun berdiri kemudian duduk di sofa mengambil Al-Qur'an kecil.Menunggu untuk sholat subuh berjamaah. Sementara itu, aku berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Waktu subuh sudah mau habis, sepertinya matahari tidak sabar menunjukkan Kilauan cahayanya.Sholat subuh selesai, sarapan pun sudah di habiskan. Kami bergegas menuju tempat Beni di kebumikan.
Aku menguatkan hati dan tubuh ini, mengajak Lina mengantarku menuju rumah sakit yang di beritakan di tv, aku ingin memastikan kalau berita itu salah.Berulang kali aku menghubungi ponsel kak Alvin, namun selalu berada di luar jangkauan. Di balik kegelisahan ini, tak henti aku memainkan jemariku memutar tasbih menyebut asmaNYA.Sampai Ba'da Dzuhur mobil belum juga sampai di rumah sakit, akupun memutuskan sholat di masjid pinggir jalan raya." Aku akan lebih belajar menjadi istri yang baik ya Allah. Ku mohon beri aku kesempatan!" Doaku, ku khususkan untuk kak Alvin.Selesai sholat, kami melanjutkan perjalanan.Satu jam kami berkendara akhirnya sampai di rumah sakit.Aku berlarian menuju kamar mayat yang di tunjuk salah satu perawat, ketika aku bertanya tentang korban kecelakaan dengan menggunakan mobil kak Alvin.Setibanya di depan ruangan itu, terlihat ada beberapa polisi, dan kak Alvin? apa dia benar kak Alvin? Ku langkahkan
" Tadi Aku mampir ke rumah bunda" kak Alvin melepaskan genggaman tangannya." Kata Bunda, Farel tidak bisa di selamatkan"DegDetakan jantungku melemah, tulang tulang di tubuhku seakan copot dari persendian, mata ini tidak bisa menahan untuk terpejam. Semua gelap."Zahra! Bangun Zahrah!"Aroma minyak kayu putih menyengat di hidungku, perlahan ku buka mata ini. Terdengar suara kak Alvin memanggilku." Kak Alvin" lirihku mendudukan tubuh ini yang awalnya terbaring di atas ranjang." Kamu, gak apa apa?" tanya kak Alvin, raut wajahnya begitu panik."Aku baik baik saja,Kak . Maaf" tangisku pun pecah. Ia langsung memelukku yang menundukkan kepala." Maafkan aku, Kak. Ampuni aku!"Sungguh hati ini tidak bisa menahan duka yang sedang menyelimuti. Meski kucoba tegar, namun tidak bisa di pungkiri, perasaanku terhadap Farel masih ada. Ya Allah hina sekali diri ini." Istirahatlah Zahrah""
Cahaya mentari pagi sudah mulai masuk melalui cela cela jendela yang sengaja aku buka. Hari ini aku dan kak Alvin berencana berziarah ke makam mamah, papah, dan ayah.Aku membantu kak Alvin mengenakan pakaiannya, nampak jelas kalau dia masih merasa sakit di bagian punggungnya.Sesekali pandangan kami bertemu, menimbulkan rasa canggung dan membuat tanganku gugup kalau harus memasukkan kancing satu persatu kemejanya.Setelah selesai bersiap kami langsung berangkat ke pusara Mamah dan papah terlebih dahulu. Masih dalam kebisuan, di dalam mobil kami seperti orang asing bukan layaknya pasangan suami istri."Zahra,apa hobi kamu?" tanya kak Alvin mengajakku mengobrol." Menulis,kak," jawab ku singkat." Makanan favorit?"" Nasi"Seperti ada yang aneh dengan jawabanku, kak Alvin malah terkekeh. Aku langsung menatapnya."Ma'af" ia menghentikan tawanya. suasana kembali hening. Hingga mobil berhenti di lahan parkir tempat p
hari pernikahanpun tiba, sesuai permintaanku tidak ada kemeriahan, hanya beberapa keluarga yang datang" Saya terima nikah dan kawinnya Zahra Nur Aulia binti Khosim dengan maskawin tersebut. Tunai! "" Sah? ""Sah !""Alhamdulillah "Kak Alvin menyematkan cincin di jari manisku, dan untuk pertama kalinya aku memberanikan diri mencium punggung tangannya.Setelah malam itu, tanganku kembali tersentuh olehnya . Dulu disertai rasa takut, sedangkan sekarang dengan menyebut nama Allah terasa nyaman. Dia suamiku.Akan nikah selesai semua tamu berangsur pulang, termaksud Bunda. Hiasan pengantin yang memang tidak terlalu banyak, tidak memakan waktu lama untuk merapikan kembali.Walau tidak ada resepsi atau pesta yang mewah , namun hari ini begitu melelahkan. Aku letih.*****" Kita sholat sunah dulu," Ajak kak Alvin.Kami pun menunaikan sholat 2 rakaat. Setelah selesai sholat kak Alvin membuka baju kokoh
Kami pun langsung melangkah menuju mobil. Kak Alvin menyalakan mobilnya, mengantar aku dan Bunda menjenguk Farel di rumah sakit. "Vin, besok kalian akan menikah. Bunda tidak ingin Zahra terus menyimpan masalalunya sehingga menjadi duri dalam rumah tangga kalian." Bunda memegang tanganku, matanya dilirikan ke arah kak Alvin yang sedang menyetir.Aku pun mengerti maksud Bunda. "Kak, mantan kekasihku mengalami kecelakaan, tadi kakaknya memintaku untuk menemuinya, sekarang kita akan menjenguk."Siiit! Mendadak kak Alvin menghentikan mobilnya. Terlihat kalau ia sangat terkejut dengan perkataanku. "Ma-af," Ia kembali menjalankan mesin mobilnya. "Apa Alvin keberatan dengan permintaan, Bunda? Mengantar Zahra ke rumah sakit?" tanya Bunda. "Tidak, Bun. Bukankah menjenguk orang sakit adalah sunah, apa lagi dia adalah orang yang kita kenal."Bukan hanya kenal, Kak. Dia juga orang yang aku sayan
Pagi ini cuaca benar-benar mewakili hatiku. Tidak ada hangatnya sinar mentari, tertutup oleh awan mendung. Mampukah aku menghalau awan hitam itu? Sementara sang mentari saja ikhlas akan takdirnya."Zahra, apa yang sedang kamu pikirkan?" Bunda menghampiriku yang sedang duduk di teras rumah."Tidak ada, Bun," jawabku singkat. Mata Bunda menerawang jauh ke depan. "Rasulullah pernah bersabda. Jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridhoi akan agama dan akhlaknya, maka nikahkan lah dengannya, jika kamu tidak menerima lamarannya niscaya terjadi fitnah dibumi dan kerusakan yang luas."Pandangannya tidak beralih. "Alvin adalah lelaki yang telah menghancurkan hidupmu. Namun, saat dia datang memintamu berjalan bersama untuk mencari ridho Allah, Bunda tidak kuasa menolaknya. Berada di posisimu mungkin sangat berat, karena Bunda yakin, kamu masih mencintai Farel."Di hadapkannya tubuh Bunda ke arahku. "Besok, kamu akan menikah. Apa kamu bisa menjaga kehormatan Bunda dengan menjadi istr
Sepanjang perjalanan, benak ini selalu teringat perkataan Farel. Apa benar selama ini ia mencariku? Apa keputusan Ayah dan Bunda mengajakku pindah secara tidak langsung menjauhkanku dari Farel? Namun, kalau saat itu kami tidak pindah, mungkin kak Alvin akan datang sesuai ucapannya yang juga mencariku untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Laju mobil kak Alvin melambat, aku melihat dari balik pintu banyak pengendara lalu lalang ke tengah jalan raya. "Sepertinya habis terjadi kecelakaan," ucap kak Alvin. "Hati-hati, Vin. Banyak orang melintas" "Iya, Bun."Dengan sangat pelan kak Alvin terus melajukan mobilnya. Setelah agak menjauh dari tempat kejadian, Ia pun berkendara dengan kecepatan normal lagi. Selang beberapa menit, kami pun sampai di rumah kak Alvin. Rumah yang begitu besar, berlantai dua, dengan gaya eropa, seperti istana di negri dongeng. Kak Alvin mengajak aku dan Bunda masuk. Di ruang tamu, sudah ada pak Ustadz Iman dan Ustadz Danu beserta istri mereka"Assalamu'al