Pagi harinya Sarah benar-benar mengawasi Gu untuk sholat. Agak malas sebenarnya gadis itu. Namun, ia tak punya pilihan lain sebab menumpang di rumah orang. Usai menunaikan ibadah wajib dua orang itu sama-sama memasak olahan kentang lagi. Gadis berambut keriting itu tahu apa yang dibuat oleh istri Hamis. Ditambah pasokan umbi tersebut sangat banyak ada di dapur, terlihat baru saja selesai dipanen. “Sepertinya Ibu sangat suka dengan kentang, ya?” tanya Gu ketika ia memotong-motong tipis bahan makanan tersebut. Ia harus terus berbincang dan berbagi agar tak terus-menerus memikirkan peristiwa beberapa hari silam. Tadi malam ia berpikir keras, sangat rugi memang jika Gu bunuh diri, sebab ancamannya begitu jelas berakhir di jahanam. Sementara itu Ivan hidup bahagia bergelimang harta bersama istri dan anaknya. Jadi keputusan yang diambil oleh Gu ialah mencoba untuk meneruskan hidup dan mulai melepaskan rasa sakit dalam dadanya. Beruntung ia bertemu Sarah, wanita yang juga punya luka dan mam
“Apa yang kau lihat, Gu?” Sarah membuyarkan lamunan gadis itu. Mata biru Gu tertuju pada senapan usang milik wanita paruh baya tersebut. “Bagaimana caranya Ibu memiliki senapan itu. Apa di desa ini memang lumrah orang punya senjata.”“Tidak. Bisa dihitung jari, sebab membelinya pun setara dengan harga tiga box besar kentang. Mahal, lebih baik untuk makan saja uangnya.” Sarah kembali ke teras rumahnya, lalu menyusun sisa terong yang ada. Gu mengikuti dari belakang. Ketika ada warga desa yang menginginkan hasil kebun Sarah, pembicaraan senjata tajam itu terhenti sejenak. “Lalu, kenapa engkau membelinya?” Sarah melirik benda yang ditukar dengan terong. Menarik, beberapa buah bawang merah juga putih untuk kebutuhan masak. “Berjaga-jaga. Demi keamanan, sebagai seorang dokter kau tentu paham bagaimana caranya menyikapi trauma. Entah dengan menghindar dari peristiwa yang sama atau memilih mempersiapkan diri lebih kuat dengan bekal yang lebih matang.” “Ajari aku, Bu. Aku juga ingin lebih
Setelah mencoba dan terus mencoba, pada akhirnya Gu bisa memperoleh pekerjaan di klinik. Tak mudah merayu pemilik klinik, sebab gadis asal Khazakh itu tak lagi punya bukti bahwa ia seorang dokter umum. Dan ia pun berakhir di sana sebagai petugas kebersihan saja. Setidaknya, Gu masih bisa bekerja di lingkup medis, bertemu alat-alat kedokteran juga obat-obatan. Walau rasanya ia sedikit terhina ketika harus menyapu dan mengepel ruangan saja. Namun, tak ada pilihan lain, karena ia tak mungkin terus-terusan merepotkan Sarah. Pemilik klinik tersebut adalah seorang dokter perempuan. Awal mulanya ia tak ingin memperkerjakan Gu, sebab klinik itu sudah ada petugas kebersihan. Namun, ia sempat mendengar cerita dari dokter yang berjaga tempo hari bahwa gadis berambut keriting itu sempat dirawat sebentar, indikasi disebabkan karena trauma ringan mengarah berat karena korban perkosaan. Lagi pula saat ditanyai, Gu bisa menjawab jenis-jenis obat, alat medis serta penyakit dan cara penanganan pertama
Gu meminta tespack pada petugas yang jaga di klinik. Kemudian ia bergegas ke kamar mandi, tentu dengan tangan juga kaki yang luar biasa gemetar. Ia gunakan alat itu seperti petunjuk yang tertera. Kemudian, detik yang berlalu terasa sangat lama sekali bagi gadis itu. “Negati, negatif, negatif, please!” Tak berkedip mata birunya melihat baru satu garis merah yang tercetak. Lalu seketika harapannya hancur sudah, tanda bahwa dirinya positif tak terelakkan lagi. Namun, ia masih berkilah, ada lima alat penguji, ia coba semua. Gu berharap ada setidaknya salah satu saja yang negatif. Sayang sekali, tidak ada satu pun yang sesuai dengan keinginannya. Ia tak bisa mengelak lagi, ada janin tak diinginkan yang tumbuh di dalam rahimnya. “Aku harus bagaimana?” Gu duduk di kamar mandi selama beberapa waktu. Berapa kali pun ia pandang test pack itu tetap saja tak berubah menjadi negatif. Benih dari lelaki yang paling ia benci dititipkan padanya. “Sial. Sudah laki-laki itu menghancurkan hidupkan sek
“Aku ingin menggugurkan anak ini, Nyonya,” ucap Gu ketika Hela baru saja tiba, tentu dengan setengah berbisik.“Kita bicara di ruanganku.” Hela tersenyum ramah pada salah satu pasien, seorang wanita yang juga sedang hamil besar. Gu berpaling dan tak mau tahu sama sekali. “Aku serius, aku tak bisa hidup membawa janin kotor ini.” Dua orang perempuan itu duduk berhadap-hadapan dalam pantry sambil menyesap secangkir kopi panas. “Sudah kau pikirkan baik-baik?” tanya Hela, Gu mengangguk dengan penuh keyakinan. “Bisa saja aku menggugurkan bayimu sekarang. Tapi aku ingin mengajakmu ke kota dulu. Ada sebuah obat yang harus aku beli. Dan aku tak bisa mengaborsi bayimu di sini. Terlalu riskan, ada sebuah kenalanku yang biasa melakukannya. Dia sering menggugurkan bayi-bayi yang tidak diinginkan oleh sepasang kekasih. Biasanya alasan masih ingin bersenang-senang. “Aku berbeda dengan mereka. Aku tak menginginkannya karena lelaki itu orang yang paling aku benci,” bantah gadis bermata biru itu. A
Setelah mampu berdamai dengan hati dan kesedihan, juga dendam yang tak akan pernah surut, Gu menerima dengan sepenuhnya anak yang dititipkan dalam kandungannya. Bahkan ia rutin memeriksakan calon bayi dalam rahimnya, demi agar tidak kekurangan vitamin. Cinta, tak bisa dipungkiri tumbuh perlahan-lahan, walau hadirnya dengan cara yang sangat menyakitkan. Usia kandungan itu telah memasuki lima bulan, tak sabar Gu ingin mengetahui apa anak yang dikandungnya, entah laki-laki atau perempuan. Sarah jadi ikut ketularan bahagia sendiri. Ia tak sabar juga menanti cucunya untuk lahir. Setiap malam sebelum tidur selalu ia bacakan ayat-ayat suci agar anak dalam kandungan itu terbiasa mendengarnya. “Semoga yang lahir nanti anak perempuan. Aku tak pernah mengurus mereka dari dulu. Pasti menyenangkan.” Sarah mengelus perut Gu yang sudah mulai bergerak. Terkadang gadis itu menyesali mengapa dulu ia nyaris menggugurkan kandungannya. “Aku lebih memilih anak laki-laki saja. Supaya besarnya nanti dia b
“Humaira, iya nama yang cantik untukmu, Cucuku.” Sarah mengelus pipi anak Gu. Ia dijemput oleh orang suruhan Hela untuk menjenguk satu pendatang baru di dunia mereka bertiga. Gadis tanpa suami itu hanya mengangguk saja, ia sendiri tidak pernah sibuk memikirkan nama untuk putrinya. Sebab yang lebih antusias menanti kelahirannya yaitu Sarah Ketika kondisi Gu dan putrinya sudah baik-baik saja. Hela mengantar ketiganya pulang. Empat perempuan dalam kendaraan yang sama. Memiliki nasib yang hampir-hampir mirip. Humaira sendiri belum tahu akan bagaimana jalan hidupnya, ia hanya dibesarkan dengan para ibu saja tanpa kehadiran seorang ayah yang jauh berada beberapa ratus kilometer dari desa itu. Untuk pertama kalinya Hela masuk ke rumah kecil Sarah. Hunian yang hangat sebab ada tawa anak kecil di dalamnya. Tidak ada yang spesial dalam penyambutan sang bayi, hanya makan malam biasa yang dimasak bersama Hela dan Sarah. Gu sendiri sedang asyik menimang putrinya. Mereka tak menggunakan box bayi,
Hela sedang menjalankan sebuah operasi caesar, salah satu ibu yang telah cukup umur untuk melahirkan. Tentu saja Gu ada di sana membantu. Dua tahun sudah ia menjadi asisten Hela, sudah banyak yang ia kuasai walau tak mengeyam pendidikan di fakultas lanjutan. Ilegal memang, tapi semua juga terjadi karena suatu sebab. Bisa saja Gu melanjutkan kuliahnya. Namun, negara yang ia tinggali kini juga berada dalam pengaruh Balrus. Hingga dua wanita itu sama-sama tak berani terlalu menampakkan diri. Berada di daerah perbatasan dan sunyi merupakan pilihan yang tepat.“Selesai.” Gu sudah merapikan jahitan pada perut ibu itu. Sementara bayi yang telah dikeluarkan diurus bersama dua orang perawat. “Kau semakin mahir. Andai saja ada cara untuk melegalkan kemampuanmu.” Hela membuka pakaian operasinya. Ia keluar dari ruangan itu, selanjutnya para perawat yang mengurus semuanya. Gu dan Hela sama-sama mencuci tangan di kamar mandi khusus tenaga medis. Wajah yang sama-sama kelelahan. Hari ini begitu bera