“Jadi kamu mantan wanita penghibur?” tanya Ica antusias.
“Ya bisa dibilang seperti itu,” jawab Hani santai. “Udah dapet apa aja kerja begituan?” “Uang, mobil, rumah, jalan ke luar negeri dan banyak lagi.” Mata Ica membelalak saat mendengar semua hal yang disebutkan oleh teman barunya. Ia bahkan tak percaya gadis berwajah manis nan lugu seperti Hani pernah melakoni pekerjaan hina seperti itu. “Kenapa berhenti? Biasanya wanita seperti itu akan berhenti saat berhasil menemukan lelaki yang bisa menerimanya dan membuatnya bahagia.” Hani tersenyum kecut, omongan Ica memang tak sepenuhnya salah. Rata-rata temannya pensiun setelah berhasil menikah dengan lelaki kaya yang atau lelaki yang benar-benar menerimanya. Bahkan tak jarang mereka mau dijadikan istri kedua, ketiga bahkan keempat asalkan orang itu kaya dan mampu memenuhi kebutuhannya. Namun itu hanya sebagian besar, karena banyak juga yang memilih tak menikah sampai akhir hayat mereka dan Hani merasa ia akan menjadi golongan itu. “Apa kamu pernah jatuh cinta dengan salah satu dari mereka?” Bak wartawan, Ica terus memberikan pertanyaan. Wanita bersuara cempreng itu sepertinya begitu ingin tahu tentang masa lalu Hani. Zaman sekarang jarang sekali menemui wanita yang rela melepas uang ratusan juta dan memilih menjadi pelayan toko dengan gaji tak lebih dari lima juta. “Pernah, enggak?” Ica mempertegas pertanyaannya. “Pernah, tapi seharusnya cinta tak boleh tumbuh di hati kami para pendosa.” Pikiran Hani seketika menerawang pada sosok lelaki yang pernah mencuri hatinya. Perhatiannya dan sikapnya benar-benar membuatnya melayang hingga ia mengharapkan hubungan yang lebih. Namun ia tersadar, ia hanya mencari kepuasan karena setelah itu ia tetap akan kembali pada istri dan keluarganya. Dan yang lebih menyakitkan, di lain hari lelaki itu akan mencoba hal baru yaitu memilih menjadi pelanggan temannya. Sekarang Hani merasa hidupnya sedikit lebih baik, paling tidak ia tak harus selalu dibayang-bayangi dosa yang setiap hari ia lakukan. Biarlah semua itu menjadi kenangan pahit yang tak pernah ia lupakan selama hidupnya. ** Rahman memandang bayi mungil yang kini tengah terpejam di bok bayinya. Wajahnya yang lucu dan pipinya yang gembul membuatnya selalu ingin menyentuhnya. Semua bagian wajahnya sama persis dengan dirinya terkecuali bibir yang selalu mengingatkan pada sesosok wanita yang telah mau merelakan bayi itu menjadi miliknya juga istrinya. Amelia Sanjaya, sebuah nama yang ia sematkan menandakan jika bayi itu memang asli darah dagingnya. Dalam keluarga Sanjaya, pantang bagi mereka menyematkan nama besar keluarga tanpa adanya ikatan darah. Oleh karena itu, sebuah ide gila tercetus untuk menyewa rahim seorang wanita demi mempertahankan nama baik keluarga dari isu yang beredar jika keluarga Sanjaya terancam tak punya penerus yang akan berbahaya karena bisa saja kekayaan mereka menjadi bahan rebutan anggota keluarga lainnya. “Amel udah tidur, Mas?” tanya Nara, wanita yang kini telah menyandang gelar sebagai seorang ibu. “Baru saja. Ayo kita istirahat, malam nanti dia pasti akan begadang,” ajak Rahman pada istrinya. Sejak lahir, jadwal tidur Amel memang belum teratur, ia sering terbangun tengah malam dan kembali tidur menjelang subuh. Hal itu cukup merepotkan bagi Rahman dan Nara karena tentu saja mereka selalu kurang tidur, namun semua itu tak pernah menjadi masalah karena mereka sendiri yang memutuskan untuk tak memakai jasa baby siter penuh waktu agar bisa menikmati perannya sebagai orang tua yang mungkin tak akan terulang kembali. “Apa suatu saat nanti Hani akan kembali dan mengambil Amel?” Sebuah pertanyaan yang sering kali Nara lontarkan pada Rahman saat mengingat jika anak itu bukanlah darah dagingnya. Sebagai seorang menantu keluarga Sanjaya ia tak bisa berbuat apa-apa saat mengetahui jika dirinya belum bisa melahirkan seorang anak yang bisa melengkapi kebahagiaannya. Meski begitu ia tak pernah merasa khawatir jika Rahman akan meninggalkannya karena sejatinya pernikahan mereka juga di dasari sebuah perjanjian bisnis yang membuat keluarga Sanjaya tak bisa seenaknya membuangnya agar penggabungan usaha mereka tetap berjaya. “Jangan berpikiran macam-macam, Hani tak akan bisa melakukan itu. Kita punya surat perjanjian dan semua hal yang bisa menggagalkan usaha Hani jika ingin mengambil Amel dari kita.” “Kamu sudah tak berhubungan lagi dengan Hani, kan?” Nara menyelidik. “Ti-tidak, memangnya kenapa?” “Jangan bermain-main dengan perasaan jika tak ingin hancur!” Nara memperingatkan. Meski hubungan mereka dengan Hani hanya sebuah bisnis, namun Nara tetap takut jika suaminya juga menggunakan perasaan dalam hubungan mereka. Sebenarnya dulu ada beberapa kandidat wanita yang mau menyewakan rahimnya, namun pilihan mereka akhirnya jatuh pada Hani karena Rahman sedikit tahu seluk belum keluarga Hani yang sudah berantakan sejak awal. Lagi pula Nara juga menilai hanya Hani yang bisa meyakinkan dirinya jika wanita itu hanya membutuhkan uang tak lebih dari itu. “Aku sudah berhubungan dengan banyak lelaki jadi jangan takut aku menggunakan hati apa lagi perasaan karena aku semua itu tak kumiliki.” Rahman ingat betul perkataan dan janji Hani di depan di depan dirinya dan Nara yang menunjukkan profesionalismenya dalam bekerja. Meski wanita itu mau melakukan apa saja yang diperintahnya tapi ia tak pernah mencari perhatian padanya dengan alasan apa pun. Bahkan selama menjalani kehamilan, Hani tak pernah mengeluh kecuali dia menginginkan makanan atau barang yang ingin dibelinya. Sejak awal Rahman merasa aneh karena Hani tetap cuek saat banyak wanita diluar sana berlomba-lomba mendekatinya. Jangankan menggoda bahkan berbicara saja hanya seperlunya. Namun hal itulah yang membuatnya semakin penasaran karena sejak dulu, ia hanya tahu Hani sebagai cewek tomboy pembuat keributan di sekolah namun tak pernah dekat. Tak jauh berbeda dengan Nara yang takut Hani akan kembali, pikiran Rahman sejak awal memang tak pernah lepas dari wanita itu. Sejak mulutnya mengucapkan kata talak untuk Hani, hatinya terus diliputi rasa bersalah karena secara tak langsung ia telah mempermainkan hati wanita itu. Rasa khawatir terus menyeruak saat mengetahui jika kini Hani memilih hidup sebagai pelayan toko ketimbang menikmati uang yang ia berikan yang katanya habis entah kemana. Benar apa yang dikatakan Nara, sebagai lelaki normal hatinya memang sudah tertambat pada Hani. Selama satu tahun kebersamaan mereka, wanita itu telah berhasil mendapatkan ruang tersendiri di hati Rahman. Entah benar atau salah, Rahman tak bisa membohongi diri sendiri jika ia kini merasakan rindu pada wanita yang telah melahirkan anaknya. Namun tanggung jawab besar pada bisnis keluarga membuatnya sulit untuk bergerak. Salah satu langkah saja bisa membuat reputasinya terancam. Akankah ia berani mengungkapkan atau terus menahan rasa itu agar hilang dengan sendirinya?Hani berjalan pelan melewati lorong rumah sakit yang penuh orang berlalu-lalang. Dia jan besuk seperti sekarang ini biasanya area rumah sakit cenderung ramai karena banyak orang yang datang untuk menjenguk sanak saudaranya. Setelah berpikir semalaman, Hani memutuskan untuk memenuhi permintaan Arif menemui Danish demi kesembuhan anak tersebut. Arif memang tak pernah memaksa hanya saja ia akan merasa berdosa jika sampai keadaan Danish terus memburuk bahkan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.Setelah menanyakan pada resepsionis perihal kamar yang ditempati Danish, kini Hani melangkah pasti menuju area beberapa ruang perawatan VVIP yang harga per malamnya setara dengan setengah gajinya kerja di toko tempat kerjanya kemarin.Hani berdiri sejenak di depan pintu setelah menemukan ruangan yang ia cari. Keraguan mendadak datang saat tangannya terulur hendak mengetuk pintu. Ia takut kehadirannya di sini akan membawa masalah baru dalam hidupnya yang kini sudah sangat rumit. Belum juga
“Hani, kamu kerja di sini?”“Kenapa enggak balik aja sih, Han?”“Jangan sok suci, deh!”Hani sudah mulai terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan mengejutkan dari beberapa teman lamanya yang tak sengaja melihat pekerjaan barunya. Semenjak bertemu Mami Can tempo hari, banyak teman-temannya yang penasaran dengan perubahan hidup Hani. Ada yang datang untuk bertemu dan da beberapa yang sengaja datang hanya untuk melihat atau menunjukkan rasa peduli dengan menawarkan bantuan. “Cantik sih, tapi murahan.”Kasak-kusuk mulai terdengar dari teman kerja yang kini mulai tahu jika Hani adalah mantan wanita malam. Wanita berpakaian minim yang akhir-akhir ini sering datang cukup menunjukkan jati diri Hani yang sebenarnya. Belum lagi masalah Rahman dan Arif yang beberapa kali berusaha menemuinya dijadikan bahan gosip terhangat yang hampir di bahas setiap jam istirahat atau pulang.“Apa rumor yang beredar itu benar?” tanya seorang lelaki berusia cukup muda yang kini duduk tepat di hadapan Hani.“Ya, be
Hari-hari Hani berjalan seperti biasa, berangkat kerja di pagi hari, bekerja sepanjang siang dan pulang menjelang petang sangat berbeda dengan pekerjaannya sebelumnya. Namun ada hal yang paling ia suka sekarang yaitu setiap hari bisa tidur dengan puas sepanjang malam. Ditempat kerja Hani juga merasa senang karena bisa bertemu banyak orang dengan berbagai karakter. Terkadang ada seseorang pembeli yang baik dan ramah hingga tak mau menerima uang kembalian atau malah bertemu tante-tante judes yang selalu memarahinya dan hal itu cukup membuat hidupnya sedikit berwarna. Semua itu sangat berbeda dengan pekerjaannya dulu yang setiap hari bertemu orang-orang sok manis namun mempunyai tujuan terselubung.“Yakin enggak mau balik? Om Hari sering nanyain kamu.”Hani mengingat perkataan Mami Can-mantan bosnya dua hari yang lalu saat mereka tak sengaja bertemu di toko. Meski Hani memilih merantau di berbeda kota, namun dunia ini terlalu sempit untuk menghindari orang-orang dari masa lalunya. Nyata
“Jadi kamu mantan wanita penghibur?” tanya Ica antusias.“Ya bisa dibilang seperti itu,” jawab Hani santai.“Udah dapet apa aja kerja begituan?”“Uang, mobil, rumah, jalan ke luar negeri dan banyak lagi.”Mata Ica membelalak saat mendengar semua hal yang disebutkan oleh teman barunya. Ia bahkan tak percaya gadis berwajah manis nan lugu seperti Hani pernah melakoni pekerjaan hina seperti itu.“Kenapa berhenti? Biasanya wanita seperti itu akan berhenti saat berhasil menemukan lelaki yang bisa menerimanya dan membuatnya bahagia.”Hani tersenyum kecut, omongan Ica memang tak sepenuhnya salah. Rata-rata temannya pensiun setelah berhasil menikah dengan lelaki kaya yang atau lelaki yang benar-benar menerimanya. Bahkan tak jarang mereka mau dijadikan istri kedua, ketiga bahkan keempat asalkan orang itu kaya dan mampu memenuhi kebutuhannya. Namun itu hanya sebagian besar, karena banyak juga yang memilih tak menikah sampai akhir hayat mereka dan Hani merasa ia akan menjadi golongan itu.“Apa
“Selamat bekerja, semoga betah, ya!” Hani tersenyum menyambut pelukan seorang wanita berambut pirang yang baru saja membatunya untuk agar bisa bekerja di sebuah toko roti langganannya. Wanita itu adalah salah satu seniornya di lokalisasi yang kini telah berhasil keluar dan berhasil membangun sebuah keluarga yang bahagia.Kini giliran Hani yang sedang berjuang. Meski sedikit terlambat, tapi ia tetap bersyukur Tuhan memberinya kesempatan dan membuka matanya meski dengan cara yang sangat menyakitkan. Tak ingin mengecewakan, Hani berusaha bekerja sungguh-sungguh meski ia tahu gaji yang dapatkan hanya cukup untuk makan dan membayar kontrakan rumah. Berbeda dengan pekerjaannya dulu yang dalam sekali bayaran bisa untuk membeli sebuah sepeda motor.“Bekerja keraslah, Hani! Perut kamu butuh makan,” batinnya.Awal merantau ke kota, Hani juga bekerja menjadi pelayan cafe. Dari situlah awal mula ia mengenal dunia hitam yang sempat mengubah hidupnya. Ia yang saat itu sangat membutuhkan uang unt
“Hai, uangku.” Hani mengelus perutnya yang mulai membuncit.Hanya tinggal menunggu hari, bayi dalam perutnya akan berubah menjadi pundi-pundi uang yang menurutnya lebih dadi cukup untuk bekal pensiun. Bertahun tahun menjalani hidup di lembah hitam, membuat Hani mati rasa dan tak pernah menganggap kasih sayang dan cinta itu nyata. Yang ada dipikirannya adalah mencari uang untuk melunasi hutang orang tuanya dan mengubah nasib keluarganya di desa. Namun pendidikannya yang rendah membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan berpenghasilan tinggi hingga ia memutuskan untuk mencari jalan pintas yaitu menjadi wanita malam.“Kok ke sini? Kamu enggak ikut istri kamu ke luar negeri?” tanya Hani sembari membetulkan duduknya yang mulai tak nyaman karena perut yang semakin membesar dan terasa berat. “Kalo kamu lahiran gimana?” jawab Rahman, lelaki yang tak lain adalah ayah dari bayi yang dikandungnya.“Ya, enggak enggak gimana-gimana.”“Hai anak ayah,” sapa Rahman yang wajahnya berada tepat di depan p